
"Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!"
Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.
Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.
Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...
Hello, KKN! | [54. Pria yang Bersamanya]

Haiii 🌼
Banyak sekali perdebatan kulihat-lihat part kemarin. Buat yang mau tau POV Gege tentang apa aja rencananya kemarin dan mau coba ngerti, boleh baca Additional Part 52 kemarin yaaa. Tapi kalau mau tetap dengan asumsi masing-masing juga bebas ajaaa. Asal kita damai-damai aja komennya yawsss 🌼
Eehhhh satu lagiiii. Tolong banget ini mahhhh ada lagi yang komen, “Nanti aja bacanya nunggu tamat.” Karena kalau Nemu komen begini lagi ya udah aku juga nanti aja post-nya dahhhh nunggu tamat. 😋🏻
Selamat membaca yaaawwwss. Kasi api dulu gasiii🔥🔥🔥🔥🔥
***
Axel yang lebih dulu menghampiri Kama, mengulurkan tangan untuk mengajaknya berjabat tangan. “Apa kabar?” tanyanya.
Kama, tentu saja, dengan raut wajahnya yang tidak ekspresif, balas menjabat tangan Axel. “Baik.” Dan setelahnya, dia tidak berminat untuk lebih lama diam dalam kecanggungan itu.
Di meja yang sama, kursi Kama yang berada di samping Gege itu telah ditempati oleh Axel sekarang. Jadi, Kama harus menarik kursi baru jika ingin bergabung kembali ke meja itu.
Namun tentu saja, Kama tidak akan repot-repot melakukannya. Alih-alij kembali bergabung dengan kecanggungan, dia memilih bergerak menjauh sambil merogoh saku celana untuk mengeluarkan satu bungkus rokok. Kama seolah-olah begitu sadar bahwa dia adalah seseorang yang tidak pandai mengabaikan rasa tidak nyaman. Dan sesat kemudian, keberadaannya yang bergerak ke arah kolam yang berada di sisi area taman, disusul oleh Yash dan Rajata.
Lalu, Yesa yang ini ikut bangkit, mengajak Axel. “Smoking area, Xel?” Ajakannya tentu saja hanya bersifat formalitas karena dia tahu Axel tidak mungkin setuju untuk bergabung. Dia tahu bahwa Axel bukan perokok.
Axel hanya mengulurkan tangannya. Mempersilakan.
Sementara itu, Yesa menjauh, langkahnya kini diikuti oleh Sakala.
Di meja itu, selain masih ada dua pasang pengantin dan kelima teman wanitanya, tersisa Jenggala, Gesang, dan Axel saja.
Oke. Keadaan seperti ini seharusnya tidak terjadi. Kecanggungan ini. Keadaan yang tidak nyaman ini.
Karena rencana Gege semula adalah, dia akan datang dan merayakan malam ini untuk menggantikan momen bachelor party Juana dan Zale yang tidak sempat mereka lakukan. Walaupun ada Kama, dia akan pura-pura tidak peduli seperti yang telah biasa dia lakukan sebelumnya. Setelahnya, dia akan pulang. Namun kini, berkat Gege yang sibuk seharian dan tidak memberi kabar, Axel memutuskan untuk datang. Menjemputnya.
“Tenang, Xel. Seperti janji gue kemarin, kalau malam ini kita nggak sediain minuman dengan alkohol yang berlebihan.” Juana kembali mengungkapkan janjinya pada Axel saat Gege diizinkan untuk datang ke acaranya malam ini. “Lagian, gue juga nggak mau ambil risiko hari pernikahan gue berantakan karena bridesmaid gue hangeover semua besok pagi,” lanjutnya.
“Nggak sih, sebenarnya poin kekhawatiran gue datang ke sini ... bukan itu.” Axel menyeringai, tapi di ujung kalimatnya dia sisipkan tawa. Dia meraih minuman baru yang Gege bawa, yang belum sempat diminumnya tadi. Sambil menyesapnya, matanya melirik ke arah kepergian Kama.
Dan tentu saja, orang-orang di meja, menyadari maksud Axel.
Namun, seharusnya perasaan Axel bisa dimengerti, kan? Karena Kama adalah pria yang mampu membuat Gege masih memikirkan bagaimana nasibnya di saat Gege sendiri hancur dan berantakan. Dan Axel tahu sekali atas hal itu karena dia berada di dalam rencananya. [Additional Part 52]
Gege berdeham dan segera meraih kembali perhatian seisi meja. Dia ingin mengenyahkan kecanggungan di acara bahagia Juana dan Zale yang seharusnya tidak terjadi. “Jua, gue beneran penasaran deh sama perasaan lo sekarang.”
“Perasaan gue?” Juana tersenyum cerah. Dia adalah manusia yang memiliki senyum paling cerah saat sedang bahagia, pantas jika sejak lama Zale menjuluki dia sebagai ‘Mataharinya’. Dua tangan Juana saling menggenggam. “Jujur awalnya gue nggak expect bakal nikah seawal ini ya ....” Usia Juana kini menginjak di angka dua puluh empat, sedangkan Zale lahir hampir satu tahun lebih awal darinya.
Walaupun begitu, mereka menjalani tingkat pendidikan yang sama. Dan keputusan untuk menikah ini cukup membuat beberapa orang terkejut. Di satu sisi, semua sahabatnya bisa menebak dengan pasti akhir kisah cinta keduanya. Di sisi lain, mereka juga takjub pada keputusan serius yang diambil saat usia keduanya masih membuat manusia lainnya mengejar banyak hal.
Namun, tentu saja pernikahan tidak akan menghalangi segala mimpi yang mereka miliki, kan? Justru kini, ada dua manusia yang saling menguatkan untuk setiap langkah yang diambil menuju harap dan mimpi yang mereka sepakati bersama. Begitu, jika pernikahan dijalani oleh dua orang yang tepat.
“Kalau Jua sih kayaknya seneng banget karena akhirnya kita bisa pacaran dua puluh empat per tujuh,” ujar Zale.
Juana tertawa. “Itu kamu nggak, siiih?” dia mencubit pinggang Zale. “Kamu jadi nggak usah telepon-telepon aku sambil marah-marah lagi kalau aku nggak ada kabar karena ketiduran. Kamu tinggal pulang ke rumah, terus peluk aku di kamar.”
Di sana, semua menertawakan keduanya.
“Lo tahu nggak? Setiap kerja lembur, Zale selalu bilang dia nggak pernah merasa capek karena ada seseorang yang harus siap dia biayain hidupnya.” Jenggala berdecak. “Langgeng-langgeng deh lo berdua.”
“Tapi kalau lagi ngambek terus mumet mah, kayaknya flat gue masih siap nampung lo buat nginep sih, Zal,” timpal Gesang.
Zale tertawa lagi. “Jangan begitu lah harapannya, lo doain gue sama Jua nggak ada masalah dan adem-adem aja.”
Masih ada tawa dan suara obrolan tentang keduanya. Tentang bagaimana Juana dan Zale bertemu, tentang bagaimana keduanya berkenalan dan akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan. Tentang pertengkaran-pertengkaran tidak perlu yang kadang lucu jika di ingat-ingat. Dan banyak lagi.
Di tengah keramaian itu, Gege melirik Axel dan menyadari gerak-geriknya.
Axel beberapa kali melihat arloji di pergelangan tangannya. Walau berusaha agar tidak kentara, Gege tetap menyadarinya. “Udah malam banget.” Axel menoleh pada Gege. “Aku punya janji sama Om Favian untuk selalu bawa kamu pulang nggak lebih dari jam dua belas malam setiap kali pergi,” ujarnya.
Yang tadi bising, kini mendadak sunyi. Mereka saling lirik.
“Nggak ada kepentingan lagi kamu di sini, kan?” Sikap Axel mungkin terkesan menyebalkan, tapi Gege mengerti mengapa dia bersikap demikian.
“Sebenernya gue sama Zale tuh udah nyiapin games sih untuk malam ini.” Juana kembali bicara dalam rangkulan Zale. “Tapi ... kayaknya nggak apa-apa ditunda sampai besok. Besok nggak ada aturan pulang sebelum jam dua belas, kan?” tanyanya.
Gege mengangguk. “Nggak ada. Besok bebas aja!”
“Besok, waktu kita semua sepenuhnya punya lo pokoknya!” seru Cleona.
“Karena yang kita tunggu tuh after party-nya!” sahut Keiya.
“Tapi jangan aneh-aneh ya games-nya.” Sabine mencurigai senyum iseng Juana.
Semua pria yang baru saja selesai dengan rokok-rokok mereka kini kembali ke meja saat para wanita sudah beranjak berdiri. “Balik?” tanya Yesa.
“Iya,” jawab Gege.
Di sisi Yesa, Sakala menyusul hadir, lalu duduk di salah satu kursi. “Kita masih di sini kan buat nemenin, Zale?” tanyanya.
“Cewek-cewek balik duluan nggak apa-apa. Besok pagi-pagi banget kan harus datang ke sini lagi. Subuh pokoknya. MUA udah siap buat nunggu kalian,” ujar Juana.
“Oke ....” Sahutan itu terdengar saling tumpang-tindih.
“Xel, Gege biar gue aja yang antar pulang.” Yesa meraih kunci mobil dan memasukkan bungkus rokok ke saku celananya.
“Oh, nggak usah, biar gue.” Axel sudah memegangi tangan Gege.
Sementara itu, dari kejauhan ada Kama yang bergerak mendekat dengan Yash dan Rajata. Langkahnya melambat, seolah-olah enggan tiba di meja saat Gege dan Axel masih di sana. Atau ... entah, Gege lebih sering menghindari tatap Kama sejak tadi, jadi dia tidak pernah bisa membaca maksud dari ekspresi atau sikapnya.
Yesa kembali bicara. “Gue yang izin ke orangtuanya buat bawa dia pergi malam ini, jadi harus gue juga yang mastiin dia pulang sampai selamat ke apartemennya.”
Gege menoleh pada Axel. “Kamu bukannya besok masuk pagi?” tanyanya. “Mending kamu istirahat deh, daripada bolak-balik anterin aku.”
Axel tengah menjadi dokter internship di salah satu rumah sakit di daerah Jakarta Barat. Jadi, dia memiliki tempat tinggal sementara di dekat rumah sakit tempatnya bertugas. Dan jaraknya cukup jauh jika dia harus mengantar Gege terlebih dulu.
Axel tentu saja tidak keras kepala. Dia selalu menerima alasan logis Gege dengan sikap yang terbuka. “Ya udah, tapi kamu hati-hati ya? Kabarin aku kalau udah sampai,” ujarnya.
“Iya.”
Setelahnya, Gege mengikuti langkah Axel yang kini bergerak keluar. Axel merasa tidak perlu kembali menoleh ke belakang karena Kama sudah bergabung kembali di meja itu. Sikap yang tepat karena setelahnya bisa jadi kecanggungan yang lebih parah terjadi. Atau justru ketegangan?
Oh, memang seharusnya Gege berpikir berulang-ulang-ulang-ulang kali untuk menghadiri acara yang memungkinkan akan membuat Kama dan Axel berada dalam satu tempat yang sama. Namun, acara Juana dan Zale adalah pengecualian. Gege tidak mungkin untuk tidak datang.
Axel menaiki mobilnya, dia semoat berkata pada Yesa sambil lalu dan membuka kaca jendela mobilnya. “Nitip Gege ya, Yes.” Klaksonnya dibunyikan satu kali.
Dan Yesa mengacungkan ibu jari untuk merespons permintaannya.
Setelah Axel pergi dan melambaikan tangan dari balik kaca mobilnya yang tadi terbuka, Gege berdiri dengan Yesa yang kini sudah mempersilakannya masuk ke mobil. Yesa mengantarnya pulang, menepati janjinya pada Yaya bahwa Gege akan dia kembalikan ke unit apartemennya dalam keadaan baik-baik saja.
Ada helaan napas yang terkesan gusar dari pria di sampingnya saat mobil sudah berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya.
Hal itu membuat Gege menoleh. “Kenapa?” tanya Gege..
Yesa berdecak, sesaat dia berpikir. “Gue masih belum bisa memutuskan untuk bersikap kayak gimana ketika Kama dan Axel ada di tempat yang sama. Bingung aja gitu .... Aneh banget kalau gue bersikap seolah-olah nggak pernah terjadi apa-apa.”
Lihat, Yesa saja sampai mengeluhkan hal itu. Apalagi Gege, kan?
Namun, tentu saja Gege tidak boleh terdengar risau untuk menanggapinya. “Aman aja sih kelihatannya .... Axel bukan orang yang suka cari masalah, dan gue lihat-lihat ... Kama sekarang udah nggak terlalu responsif sama hal yang bikin dia nggak nyaman, kayaknya dia udah mulai bisa mengendalikan diri.”
Yesa tidak menanggapi perkataan Gege. Terdiam lama dan fokus mengemudi. Lalu, saat lampu merah menahan laju mobil, Yesa bicara lagi. Tangan kirinya menarik rem. Oh, ya mobil Land Cruiser ini masih menjadi mobil kesayangannya. “Kenapa sih lo lebih memilih dianggap sama-sama salah daripada dikasihani?” tanya Yesa, yang membuat Gege langsung mengerti arah pembicaraannya. “Gue punya berbagai asumsi atas kejadian malam di mana lo bicara di hadapan semua orang dan mengaku kalau lo juga jatuh cinta sama Axel. Gue nggak bisa langsung percaya.”
Gege menoleh. “Kenapa?”
“Kita sama-sama sejak bayi. Mana mungkin gue bisa langsung percaya dengan semua pengakuan lo itu.”
“Kama percaya.” Padahal mereka kenal dan hidup di waktu yang sama.
Yesa mengibaskan tangan, seolah-olah tidak ingin dulu membahas tentang Kama. “Ini semua rencana lo, kan? Ini yang lo bilang ... bahwa lo punya cara untuk menyelesaikan hubungan lo dengan Kama,” tuduhnya.
Dan Gege memalingkan wajah sesaat agar Yesa tidak berhasil menemukan apa pun dari gerak bola matanya.
“Lo tahu Laika akan ingkar janji dan tetap akan menghancurkan hubungan lo dan Kama di depan keluarga lo, jadi lo dengan sengaja menjebak Laika di sana? Dan untuk melindungi Kama, lo juga mengaku telah melakukan kesalahan yang sama dengan bawa-bawa Axel juga?” [Additional Part 52]
“Waw ....” Gege takjub dengan dugaan itu, tapi dia buat responsnya setengah mencibir agar tidak kentara bahwa dugaan itu tepat menembak sasaran.
“Lo punya kesepakatan dengan Axel malam itu, atau ... Lo bener-bener membohongi diri lo dan orang lain dengan membawa Axel ke dalam masalah lo?”
Gege menghela napas. “Nggak ada yang dirugikan seandainya gue dan Axel punya kesepakatan, kan?”
“Oh, jadi Axel tuh tipe orang yang ‘manfaatin aja gue, yang penting gue bisa sama lo’ gitu, ya?”
Gege tertawa. Dia malas mengiyakan, tapi Yesa orang yang tidak mudah dia bohongi. Selama ini, Yesa bukan tidak tahu apa-apa, dia hanya menyimpan segala asumsi dan informasi yang dia ketahui untuk dirinya sendiri.
Dan malam ini, Yesa tiba-tiba membahas masalah yang telah lama berlalu itu. Berkat Kama dan Axel yang kembali bertemu setelah ... sekian lama tidak pernah Gege berikan kesempatan mereka untuk bertemu.
“Kalau lo nggak bawa-bawa Axel malam itu, udah habis Kama di tangan bokap lo,” lanjut Yesa. Dia berdecak. “Bahkan di titik paling sakit, lo masih mikirin nasib dia. Tapi pasti Kama nggak sadar sih, kalau lo sengaja melindungi dia dengan cara kayak gitu.”
“Bagus lah kalau dia nggak sadar.” Akhirnya Gege tidak lagi menyanggah tuduhan itu. Tidak ada gunanya juga karena Yesa hanya akan terus bicara dengan atau tidak Gege akui tuduhannya. “Segalanya jadi lebih mudah kan nyatanya?”
“Kama benar-benar lo pukul mundur dengan cara tidak terduga .... Karena, lo tahu kan kalau bawa orang ketiga itu cara paling sakit saat kita berniat melukai seseorang?”
“Bagus lah. Artinya gue berhasil, kan?” tanya Gege. “Kama berhenti. Kama nggak punya alasan untuk ngejar gue lagi. Dan itu juga jadi alasan kuat buat Kama kenapa dia nggak harus berusaha untuk ... kembali sama gue lagi.”
Hingga saat ini, sejak empat tahun lalu meledaknya kejadian itu, Kama benar-benar meninggalkan Gege sepenuhnya. Selain tahu bahwa semua orang mendorongnya pergi dari sisi Gege, dia juga seharusnya membenci apa yang telah Gege lakukan padanya.
“Kita nggak pernah tahu sih, apa yang sebenarnya Kama rencanakan selama empat tahun ini setelah nggak sama lo lagi.”
“Yah, pokoknya jangan sampai sia-sia lah waktu empat tahunnya .... Ngapain aja dia selama empat tahun ini kalau nggak bisa benci gue?” ujar Gege, setengah mengejek. Dia berpikir, mengingat-ingat bagaimana cara Kama menatapnya, berbicara padanya. “Tapi gue yakin sih ... dia beneran udah benci sama gue.”
“Kalaupun dia bersikap dingin ke lo, itu bukan karena benci dan nggak menyadari kesalahannya sendiri, sih. Itu bentuk kecewa dia karena ditinggalkan saat dia merasa udah mati-matian berubah dan berjuang buat lo.” Lalu, sejenak Yesa menoleh. “Atau bisa jadi, itu bentuk usaha dia supaya nggak terlalu kentara kalau sebenarnya dia masih cinta sama lo? Who knows? Selama empat tahun ini, gue nggak pernah lihat dia deket sama cewek mana pun.”
***
Tangan Kama bergerak menggapai-gapai saat alarm yang monoton itu terus berbunyi, keluar dari benda kotak pipih di atas kabinet. Tangannya berhasil membuat suara berisik itu terhenti, sebelum lima menit kemudian kembali terdengar bisingnya hingga Kama mendorong tubuhnya untuk bangkit.
Kama baru kembali dari Candani pukul tiga pagi, menemani Zale yang terus bercerita bahwa dia begitu gugup sekaligus bahagia hingga sulit tidur. Apakah memang akan seperti itu keadaannya saat tahu bahwa kamu berhasil mendapatkan seorang wanita yang amat kamu cintai menjadi calon istrimu?
Mulut Kama menguap lebar, dia menoleh pada ponselnya yang kembali berisik. Meraihnya, kali ini benar-benar suara alarm yang mungkin akan berulang. Masih pukul lima pagi. Namun dia tahu hari ini harus bangun lebih awal walau tubuhnya belum mendapatkan waktu tidur yang benar-benar cukup.
Pukul sembilan pagi akad pernikahan Zale dan Juana akan dilaksanakan. Sementara itu, Kama sama sekali belum mengambil kemeja batik yang dia titipkan kepada Mia untuk dijahit khusus dipakai hari ini.
Jadi, Kama bergegas mandi, selanjutnya dia akan menghubungi Mia, bagaimana cara Kama akan mendapatkan kemeja batik untuk groomsmen hari ini? Apakah akan diantarkan oleh jasa pengirim barang? Atau harus Kama sendiri yang ambil?
Berurusan dengan Mia, butuh banyak perhitungan.
Setelah kejadian empat tahun lalu, Mia berubah menjadi lebih perasa. Butuh waktu sekitar enam sampai tujuh bulan untuk mendapatkan pelukan Mia dan mendengar permintaan maafnya. Walau ya, setelahnya ... Kama sesekali akan tetap menjadi musuhnya atas kesalahannya di masa lalu.
Kama baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah, handuk bahkan masih melilit pinggangnya saat suara bel di unit apartemennya terdengar. Saat melangkah keluar dari Kamar, Kama melihat monitor kecil yang berada di samping bingkai pintu.
Mia berdiri di luar sambil menjinjing hanger dengan kemeja batik yang masih terbungkus rapi.
Kama bergegas membuka pintu. “Mi?” Dia agak terkejut karena Mia datang dalam waktu sepagi ini. “Aku bisa lho ambil sendiri.”
Mia langsung menerobos masuk. “Mia nggak percaya kamu bakal datang ke rumah, paling kamu order Go-Send untuk ngambil kemejanya.” Mia menaruh hanger di atas sofa. “Udah dua minggu lho Ka, kamu nggak nemuin Mia. Sibuk banget, ya?”
Setelah menyelesaikan jenjang S2 dengan tepat waktu, Kama menjadi bagian dari perusahaan ayahnya. Dia bekerja menjadi karyawan baru yang membutuhkan banyak waktu untuk belajar sehingga beberapa pekerjaan yang menumpuk tidak jarang menyita banyak waktu malamnya. Kama berubah menjadi manusia yang harus menghasilkan uang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Saat ini, tujuannya bekerja hanya sebatas itu. Rencana masa depan dan mimpi, masih belum bisa dia kumpulkan setelah jatuh dan kepingannya berserakan. Dia masih enggan menyusunnya lagi untuk menjadikannya utuh. Perayaan rencana masa depan dan mimpi yang tercapai, tidak ada apa-apanya jika hanya Kama yang bisa menikmatinya sendirian.
“Aku banyak lembur Mi, minggu-minggu ini,” ujarnya sambil melihat Mia melepaskan kemeja batik dari hanger. “Minggu ini, aku juga baru pulang dari Medan. Jadi belum sempet nemuin Mia.”
Mia menghampiri Kama yang masih berdiri dengan selembar handuk. “Pakai dulu baju kamu, nanti masuk angin,” ujarnya seraya memberikan kemeja batik itu pada Kama.
Kama mengucapkan terima kasih. Setelahnya, dia bergerak ke kamar untuk berganti pakaian dengan kemeja batik untuk kostum groomsmen dan celana kain hitam. Setelah selesai, dia kembali menghampiri Mia yang kini berada di balik pantri.
Selain membawakan Kama kemeja batik, Mia juga membawakan sarapan untuk Kama pagi ini. Biasanya, Kama hanya akan mengambil satu buah pisang dan yogurt plain untuk sarapannya. Namun jika ada Mia, sarapannya akan berubah menjadi lebih berat. Setangkup roti lapis berisi smoked beef yang dilapisi dengan sayuran dan saus.
“Tumben Mia ke sini?” tanya Kama setelah duduk di atas kursi tinggi yang menghadap pada meja pantri.
“Kenapa memangnya? Nggak boleh?”
Tuh, kan?
“Boleh lah .... Cuma ya, aneh aja.”
Mia mencebik, lalu memberikan selembar tisu pada Kama, gerak tangannya kini menyentuh bibir, seolah-olah memberi isyarat pada Kama bahwa bagian bibit atasnya kotor.
“Nggak biasanya aja,” lanjut Kama.
Mia tidak merespons, dia hanya memperhatikan penampilan Kama dengan saksama.
“Kenapa?” tanya Kama. “Ganteng, ya?”
Mia melepaskan napas kasar. “Percuma sih ganteng, kalau nggak bisa setia.”
Dengar?
Dibahas lagi.
Padahal sudah berlalu selama bertahun-tahun lamanya.
Raut wajah Mia seketika berubah murung. Namun, dia tetap memaksakan seulas senyum sebelum kembali menatap Kama. “Nanti habis makan, sikat gigi lagi, ya ...,” ujarnya. Mia selalu tampak menyesal jika tanpa sengaja membahas tentang kejadian itu.
Mia kembali bangkit dari kursi. Bergerak menuju kabinet dan mengambil gelas. Di sana, dia mengambil air putih untuk dirinya sendiri. Lalu, berdiri lama sambil memandangi Kama. “Ganteng juga Ka, kalau dilihat dari sini.”
Kama mengernyit bingung. “Maksudnya lebih ganteng kalau dilihat dari jauh?”
Mia tertawa. Dia kembali ke meja sambil membawa gelas baru dan mengisinya dengan air putih. Setelahnya, Mia kembali duduk di hadapan Kama. “Minum dulu ....”
“Makasih, Mi.” Kama menenggak habis minumannya dalam satu kali teguk.
“Semalam ... kamu ketemu Gege?” tanya Mia begitu tiba-tiba.
Selalu bisa Kama rasakan saluran napasnya seperti terganggu setiap kali seseorang menyebut nama Gege.
Kama mengangguk. “Iya.”
“Lalu?” Wajah Mia meneleng saat bertanya. Matanya menatap Kama lekat. Entah jawaban seperti apa yang diharapkan oleh ibunya itu, Kama tidak bisa menerka, hal itu yang membuat Kama berpikir lama.
Akhirnya, Kama memutuskan untuk jujur saja. “Ya ... nggak apa-apa. Maksudnya ya ... cuma ketemu kayak biasa kalau di acara-acara yang sama. Lagian di sana ada Axel juga kok.”
“Oh ....”
Kama kembali menggigit sisi rotinya, menunggu Mia kembali untuk bicara. Namun nyatanya, dia harus menghabiskan dua gigitan roti untuk mendengar lagi suara Mia.
“Ka ....”
“Hm?” Kama berhenti mengunyah.
“Kalau ... Gege nggak ingin mengkonfrontasi masalah yang terjadi empat tahun lalu, Mia mohon ... jangan katakan apa pun, ya?” pintanya.
Dan Kama kini agak sulit untuk sekadar mengunyah.
“Kalau Gege nggak memulai apa pun untuk membahas masa-masa itu, jangan katakan apa pun,” pintanya lagi. “Anggap saja itu kesalahan kamu di masa lalu, yang tentu hanya kamu sendiri yang bisa memperbaiki.”
“Iya, Mi ....”
Mia menghela napas panjang, seolah-olah apa yang hendak dia katakan begitu berat. “Jadi, ayo ... lupakan. Sebagaimana Gege bisa melupakan hal segala hal tentang kamu dan kembali menjalin hubungan yang baru.”
Kama mulai sulit menelan.
“Jangan lagi terpancing untuk menyalahkan siapa pun atas kejadian itu, Ka .... Yang jelas, ambil bagian salahmu sendiri, lalu perbaiki. Perihal Gege ... lupakan, lepaskan, kalian sudah berada di jalan yang berbeda sekarang. Akui bahwa bahagia Gege bukan urusanmu lagi ....”
Seperti halnya Gege yang membiarkan Kama saat Kama mengatakan berkali-kali bahwa bahagianya hanya untuk Laika dulu?
“Bahagia Gege bukan tentang kamu lagi ...,” lanjut Mia.
Dan beruntung sekali Kama berhasil menghabiskan sarapannya di tengah percakapan itu. Mia yang akhir-akhir ini biasanya akan menunda apa pun kabar buruk atau saran yang mungkin akan menyinggung Kama dan mengatakannya selesai makan itu, kini seperti tidak sabar ingin mengatakannya segera. Mia seolah-olah tidak sabar membuat Kama lebih cepat berpikir sebelum kembali bertemu dengan Gege hari ini.
“Aku ngerti, Mi ....”
Mia mengangguk. “Axel baik sekali, kok .... Mia sudah banyak memastikan hal itu selama ini. Axel ... pantas untuk Gege. Begitu pun sebaliknya.” Akhirnya, wanita yang begitu menginginkan Gege ada dalam hidupnya itu, kini menyerah. Dia bahkan berhasil mengatakan hal yang paling sakit untuk dia akui selama ini.
Bahwa Gege bukan lagi untuk Kama.
Atau mungkin saja, sebenarnya apa-apa yang Mia katakan pada Kama saat ini, tidak untuk mengingatkan mengingatkan dirinya sendiri? Mengingatkan sosok Mia yang begitu kecewa dan terluka karena bayi perempuannya gagal dia kandung akibat kehamilan ektopik yang merusak saluran tuba falopi hingga divonis tidak bisa lagi mengandung. Mengingatkan Mia yang saat itu menangis-nangis dalam pelukan Pia sambil meminta maaf karena merasa gagal menghadirkan bayi perempuan. Mengingatkan sosok Mia ... yang pada saat itu berhasil memenuhi ekspektasi bayi perempuan yang dia harapkan melalui seorang Gege.
Kini, bayi perempuan yang sejak dulu begitu dia perhatikan perkembangannya itu, lambat laun sadar harus dia lepaskan.
“Axel menyayangi Gege, sebagaimana orangtuanya menginginkan sosok yang bisa menjaga Gege dengan baik. Axel sempurna untuk Gege .... Dan Mia yakin kamu juga akan menjadi sosok sempurna bagi wanita yang berhasil kamu buat jatuh cinta.”
Kama menghabiskan air putih di gelasnya. Namun sekat di tenggorokannya tidak kunjung enyah. “Aku ngerti ....”
Kejadian empat tahun lalu menghasilkan banyak permintaan maaf. Entah dari Kama pada kedua orangtuanya dan orangtua Gege, begitu pun sebaliknya. Juga, dari Gege kepada orangtuanya dan orangtua Kama, juga sebaliknya.
Lalu, waktu membawa mereka pada momen-momen kebersamaan yang mengharuskan mereka untuk kembali bertemu. Canggung perlahan pudar, walau tidak sepenuhnya kembali seperti semula, tapi semua perlahan membaik.
Ya .... Semua membaik, kecuali hubungan Kama dan Gege.
“Kamu akhir pekan ini jadi ke rumah Omami?” tanya Mia, dia segera mencari pembahasan baru saat air matanya bermain-main hampir jatuh. “Kale bilang, Teta mau merayakan kelulusan Shana, juga mau mengucapkan selamat atas wisuda Kale dan keterimanya kamu bekerja di Bimantara.”
Kama tertawa mendengar ucapan itu.
Selain kedua orangtuanya, Omami dan Teta selalu ikut merayakan setiap perubahan kecil di dalam hidupnya. Dua sahabat orangtuanya itu, sejak lama turut membesarkan dan menyaksikan seorang Kama hidup dari manusia kecil hingga dewasa. Omami dan Teta, adalah dua manusia berhati tulus yang tidak pernah menghakimi Kama dan ikut membersamai sakitnya hinngga perlahan membaik.
Ketika Kama bertanya tentang kebaikan-kebaikan Omami dan Teta, mereka akan menjawab bahwa, Kama adalah salah satu keajaiban yang hadir di saat Omami dan Teta tidak baik-baik saja. Kama yang menjadikan Omami dan Teta bertahan hingga sekarang hingga memiliki Shana.
Yah begitu dua makhluk baik hati itu berkata pada Kama dan membuat Kama percaya bahwa, setidaknya, satu kali dia melakukan hal yang tidak akan pernah dia sesalkan dalam hidupnya.
“Mia akhir pekan ini ada jadwal konseling?” Kama bertanya pada ibunya yang kini tertawa.
“Harusnya ada. Tapi kalau Omami dan Teta ada acara, ya Mia nggak akan pergi konseling.” Mia berkata seolah-olah dia memiliki seorang konselor pribadi yang akan diajaknya bicara untuk segala masalahnya.
Padahal, ‘jadwal konseling’ yang selalu dia katakan itu adalah kata lain dari menemui Gege di tempat kerjanya selama satu jam untuk mengobrol atau sekadar menghabiskan waktu makan siang bersama.
Benar. Mia tidak butuh konselor. Mia hanya butuh Gege.
Mia akan datang ke tempat Gege bekerja, tempat penyedia jasa konseling untuk memesan jadwal Gege selama satu jam seharga satu juta dua ratus ribu rupiah. Dia akan masuk ke ruangan Gege sambil membawa makanan, menanyakan kabarnya, mengajaknya mengobrol sambil menghabiskan makan siang, lalu setelahnya dia akan pulang.
Konseling hanya kamuflase. Dan Gege tahu itu, tapi tentu saja Gege tidak pernah bisa menolak keinginan Mia yang ingin menemuinya.
Mia selalu berkata, “Mia nggak punya alasan untuk bertemu Gege kalau Mia nggak sengaja memesan waktu satu jam di saat dia bekerja.”
Kini, Mia membereskan alat makan Kama, lalu bergerak ke pantri. Setelahnya, Mia kembali lagi dengan segelas air. “Jadi, nanti Mia akan bilang ke Gege bahwa Minggu ini Mia ada acara dan nggak akan ganggu Gege dulu. ” Setelahnya, Mia tertawa lagi. Apa pun tentang Gege selalu mampu membuatnya bahagia.
Namun, tawa itu entah mengapa tiba-tiba saja mengantarkan Kama ingat pada kesalahannya. Dia tatap wajah Mia yang tawanya menyisakan binar mata serta lengkung senyum yang indah.
Pasti sakit sekali saat harus mengakui bahwa dia memiliki anak laki-laki yang tidak bisa memenuhi ekspektasinya untuk anak perempuan yang begitu dia sayangi.
“Mia mau peluk aku nggak?” tanya Kama tiba-tiba.
Mia menoleh, mengerjap-ngerjap. “Nggak ah ....” Wajahnya berpaling, Mia selalu berusaha tampak tidak terlalu memedulikan Kama.
Namun, “Ya udah .... Kalau gitu ku aja yang peluk.” Kama bergerak memeluk ibunya, lama, membiarkan rasa bersalahnya sementara terungkup oleh dua lengan yang kini balas memeluk tubuhnya.
Maaf ya, Mia ....
Tangan Mia bergerak mengusap-usap. Seolah-olah menyadari rasa bersalah Kam. “Mia tahu kok, Ka .... Lambay laun Mia harus berhenti mengganggu Gege. Kalau Gege sudah menikah dengan Axel nanti ..., Mia hanya akan punya kamu dan Kale,” ujarnya. “Jadi izinkan Mia ya sekarang, untuk menikmati waktu Mia sama Gege ... selagi bisa?”
***
Happy ending menurut kalian di cerita ini tuh ... apa???
Kama harus sama Gege?
Atau yang penting mereka sama-sama bahagiaaa?
Part depan acara party Juana & Zale niiiyyy. Dan apa yang akan terjadi after party? Apakah akan WUT WUT WUT WUT 🙂↔️

Sebenernya aku bisa aja update lagi BESOK. Asalkan vote sama komennya menyalahhh. KAYAK MISAL SEMBILAN JUTA KOMEN GITU🤣😋
Sampai ketemu di Part selanjutnya ya. Spam apinya yang banyaaaakkkkkkkkkk banget kalau mau update-nya nggak ngaret-ngaret lagiii 🔥🔥🔥🔥🔥🔥

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
