Hello, KKN! | [52. Selamat Datang Di Jakarta]

468
106
Deskripsi

"Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!"

Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.

Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.

Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...

Hello, KKN! | [52. Selamat Datang Di Jakarta]

post-image-6808ddc89238e.png

Haiii 🌼

 

 

Temu juga kita di part ini. Di mana mereka udah balik ke duniaaa nyata wkwk.  Semoga setelah ini mereka bisa banyak kumpul barengnya ya! Pokoknya sesuai vote komen lahhh. Bakal digas kalau vote dan komennya gacorrr 😋🔥

 

 

Sebelum bacaaa, mau spam emot apaa?

 

 

 

Selamat datang di Jakartaaa. Jangan lupa kasih yang banyak apinyaaa 🔥🔥🔥🔥🔥

 

***

 

 

 

“Abangkuuu!” Suara teriakan Kale terdengar seiring dengan petasan konferi yang baru saja meledak saat Kama baru saja membuka pintu rumah. “Welcome back home!” 

Saat tiba di Jakarta siang tadi, Kama meninggalkan barang-barang bawaan KKN-nya di apartemen begitu saja. Setelahnya, dia tidur seharian. Lalu, Mia menelepon menyuruhnya untuk makan malam di rumah. Jadi saat Kale menyambutnya dengan antusias dan tertawa-tawa sambil memeluknya di ambang pintu, Kama hanya berdiri dengan wajah terkantuk-kantuk. 

“Mana Mia?” tanya Kama, tanpa sedikit pun merespons kehebohan yang Kale tunjukkan untuk menyambut kedatangannya. 

“Harga konfetinya dua ratus ribu, lho?” 

Kening Kama mengernyit. Ya terus kenapa? 

Kama tidak merespons kekecewaan adiknya pada Kama yang tidak mengucapkan terima kasih atas tingkahnya yang membuat rambut-rambut Kama diselipi oleh potongan kertas warna-warni. Kama melangkah masuk ke kediaman orangtuanya itu. “Mi ...?” 

Panggilannya menghasilkan sahutan. “Haiii, ya ampun. Udah datang anak, Mia—Piii, Kama udah datang, Piii!” Mia berjalan dengan terburu dari arah ruang tengah sambil merentangkan kedua tangannya. Setibanya di depan Kama, dia bergerak memeluk. “Ya ampun, Mia kangen banget, deh!” Wajahnya merengut sebelum kembali memeluk Kama. 

Dan setelah pelukan terlepas, Mia baru menyadari ada banyak sesuatu terselip di rambut anak sulungnya. “Ini apaan sih, Ka?” 

Kama hanya menoleh ke belakang, menunjuk pintu masuk tempat Kale berdiri di sana sambil memberikan cengiran karena sadar petasan konfetinya berhasil membuat lantai  tampak berantakan. 

Mia menghela napas. “Sebelum makan malam, itu harus udah bersih ya, Le!”

“Lha?” Kale melepaskan tawa sinis yang nyaring. “Ini tuh kejutan untuk menyambut kedatangan Kama lhooo? Kenapa malah dapet respons tidak diinginkan beginiii?” protesnya. Lalu, “Mbak Sriii!” Kale berteriak. 

“Nggak ada pertolongan Mbak Sri!” ujar Mia, berjalan sambil mengamit lengan Kama. “Mbak Sri sibuk! Kamu beresin sendiri!” 

Malam itu, mereka berkumpul di meja makan. Pia, Mia, Kama, dan Kale—yang masih bersungut-sungut. Mia menyediakan menu makan malam kesukaan Kama. Akhirnya, untuk hari ini kedatangan Kama cukup diharapkan. Selama makan malam berlangsung, kedua orangtuanya bertanya tentang pengalaman selama di tempat KKN juga progres perkuliahannya, dan Kama menjawabnya dengan antusias. 

Jangan anggap ‘antusias’ Kama dan Kale itu memiliki arti yang sama. 

Antusias jika beriringan dengan nama Kama, akan tetap pada ketenangan. 

“Awalnya Mia mau ajak Gege ke sini untuk makan malam juga, tapi Mia berpikir lagi, pasti Tante Lula juga kangen sama Gege, makanya ... ya udah Mia nunggu giliran besok-besok aja,” ujar Mia dengan tatap menerawang. “Tapi nanti Mia pengen makan di luar ah .... Boleh ya, Pi?” 

Pia mengangguk. “Boleh.”

“Nanti biar aku yang cari tempatnya,” timpal Kale.

Mia menggerakkan jadi telunjuknya. “Nggak, nggak .... Mia mau cari tempat sendiri.” 

Dan Kale hanya mencebik mendengar penolakan itu.

“Habis KKN ini, pasti langsung sibuk lagi sama perkuliahan aktif ya, Ka?” tanya Pia, tangannya mengambil gelas berisi air putih. “Magang kapan?” 

“Akhir semester depan. Pokoknya libur semester enam, itu udah sibuk magang,” jawab Kama.

Pia mengangguk-angguk. “Rencananya, kamu bakal magang di mana? Kalau mau bantuan Pia buat nyari tempat—“

“Kalau nikah sambil kuliah, aman kan, Pi?” tanya Kama, begitu tiba-tiba. 

Dan pertanyaan itu tentu saja dihadiahi oleh respons terkejut dari ketiga anggota keluarganya. Pia tersedak dan segera mengambil air minumnya, Mia mendadak melongo, sementara Kale hanya menggeleng-geleng heran. 

“Diem-diem taunya minta kawin, heran banget.” Tentu saja Kale yang berkomentar lebih dulu. 

“Kamu apain Gege, Ka?” tanya Mia. Wajahnya berubah menjadi sangat cemas. “Kok ..., mendadak minta nikah gini?”

“Lho, bukannya Mia sendiri yang bilang, kalau kuliah sambil nikah tuh nggak apa-apa?” tanya Kama.

Mia menggeleng berkali-kali. “Nggak, nggak. Ini permintaan kamu mendadak banget, jadinya Mia curiga,” ujarnya. “Kamu habis ngelakuin kesalahan, ya?” 

“Mia mah nanya kesalahan ke Kama.” Kale mendecih. “Ya, jagonya lah dia. Dalam melakukan kesalahan.”

“Yesa gimana sih kerjanya?” gumam Mia. 

“Ka ...?” Pia mulai angkat bicara, kedua tangannya bersedekap di atas meja. Menatap Kama dengan serius. “Kamu ... pakai pemberian Pia nggak?” tanyanya. Jemarinya memberi isyarat yang tidak jelas. “Itu ... lho ....” 

Kama mengernyit, tidak mengerti.

“Yang pia simpan di saku celana kamu itu ....” Pia kembali memberi petunjuk. 

“Oh ....” Kama menggeleng cepat. “Nggak lah .... Ngapain dipakai?”

Pia tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya dengan wajah gusar, membuat Kama, Mia dan  Kale terkesiap. “Pia kan udah bilang. Pakai aja buat jaga-jaga.” Pia memegang keningnya. “Berapa kali kamu melakukan—“ Pia mengusap kasar wajahnya, tidak melanjutkan kalimatnya.  “Kalau nggak pakai ... ya udah .... Positif ini. Pasti.”

“Hah?” Kale melongo.

Mia menangkup mulut. “Astaga ....”

 Tangan Pia bergerak ke arah Mia. “Hubungi Candani, Mi. Booking secepatnya.”

Mia yang tampak kebingungan kini hanya menatap Pia dan Kama bergantian. 

“Tuh kan. Bener ternyata, dia lakuin juga.” Kale menunjuk Kama. “Kata Yesa, Kama tuh memang punya rencana untuk bikin Gege hamil, Mi, saking takutnya ditinggal—“

“Jangan sembarangan lo!” Kama menunjuk wajah Kale. 

“Astaga, Kama ....” Mia hanya berhasil menggumam kecil, benar-benar kehilangan suara selama beberapa saat. Lalu menatap Pia. “Pi, anak kamu nih ...!”

“Ya udah lah, mau gimana lagi?” gumam Pia akhirnya. 

“Udah begitu setelan dari pabriknya, Mi,” imbuh Kale. “Lagian Mia dulu waktu hamil Kama nih ngidam apa, sih? Begini amat manusia ini ....”

“Ngidam cincau item—Pi, jangan-jangan kamu beneran ya nuangin oli bekas ke cincau yang aku makan biar warnanya item? Makanya anak kamu jadi begini? Ya ampun, Kama ....” Mia memegangi kepalanya. “Pusing banget Mia ....” 

“Mi, tenang dulu deh ....” Kama berusaha menarik tangan ibunya. 

Sementara Mia masih menangkup wajahnya. “Apa yang harus Mia bilang sama Om Favian dan Tante Lula, Ka? Kok, kamu tega banget sampai menghamili—“

“NGGAK, MI.” Kama nyaris putus asa. “Nggak ada yang hamil dan menghamili—astaga, makanya dengerin aku dulu dong!”

Pia menurunkan ponselnya, batal menghubungi Candani. Menoleh pada Kama. 

“Kenapa sih kalau aku ngomong tentang rencana atau apa pun tuh, Mia nggak pernah bisa berpikir positif?” tanya Kama. “Selalu aja ... bikin spekulasi yang buruk.”

“Karena ayah kamu Janari, Ka ....” Jawab Mia. “Gimana bisa Mia nggak berprasangka buruk?” 

Kama menghela napas. Menatap Mia yang masih kelihatan meredakan rasa terkejutnya atas dugaan-dugaan tentang Kama dan Gege yang dia buat sendiri. “Gege nggak hamil .... Nggak ...,” ulang Kama.

“Ya terus kenapa kamu tiba-tiba minta nikah?!” bentak Mia.

Sedangkan Pia hany kembali duduk. Menatap Kama penuh tanda tanya.

Kama terdiam selama beberapa saat. Lalu, “Aku cuma ... pengen jagain Gege aja.” Yang sebenarnya, setelah KKN selesai lalu mereka tidak bersama, Kama mendadak risau karena tidak bisa setiap saat memaksa Gege menyadari cintanya pada Kama. 

Saat berpisah dari Welasasih, Kama tiba-tiba berpikir tentang banyak kesalahan yang pernah dia lakukan dulu. Lalu, bagaimana jika setelah itu Gege sadar atas segalanya dan berpikir untuk menyerah dalam hubungan ini? 

Oh, ini mungkin berlebihan. Namun, bisa saja terjadi, kan? 

“Mi?” Kama menatap Mia yang masih memegangi kepalanya. “Mia bisa pikirkan permintaan aku ini, kan?”

Mia menatap Kama, masih tampak belum yakin dengan keinginan anaknya itu. “Tunggu .... Mia beneran belum bisa sepenuhnya percaya sama kamu deh, Ka.” 

“Mia bisa ambil waktu untuk memikirkan masalah ini dalam keadaan yang tenang, kok,” ujar Kama lagi. “Nggak usah buru-buru.” 

“Sejak menikah dengan Pia, ketenangan Mia udah hilang .... Mia nggak punya ketenangan.” Suara itu terdengar mengeluh. “Karena Mia harus selalu menghadapi tiga ekor Janari yang tiap hari tuh ... ada aja gebrakannya.”

“Mia butuh psikolog,” ujar Kale. 

Kama menunjuk wajah Kale. “Betul, makanya Mia butuh Gege.” 

Mia memegangi kepalanya lagi. Tidak merespons ucapan kedua anak laki-lakinya. 

“Mi ...?” Kama mencoba membuat Mia menatapnya. 

Dan Mia menoleh. “Jujur ... Mia seneng kalau kamu ngelakuin ini semua karena kamu sayang sama Gege ....”

“Aku sayang sama Gege, Mi ....” 

“Aku juga sayang Gege,” imbuh Kale. 

Mia menatap Kama lekat-lekat. Seolah-olah tengah mencari keyakinannya di sana. “Tapi nggak bisa buru-bur begini Ka, kalian berdua harus punya persiapan yang matang untuk pernikahan kalian ...,” ujarnya.

“Rencananya aku mau melamar ulang Gege, Mi ....” Jika dulu Kama dan Gege dipersatukan oleh bantuan kedua orangtuanya, kali ini dia ingin Gege tahu, bahwa Kama mencintainya dengan sungguh-sungguh, melamarnya adalah bentuk dorongan dari rasa ingin memiliki yang muncul dari dirinya sendiri. 

“Bagus itu ....” Mia mengangguk, wajahnya tampak takjub dengan rencana Kama. Lalu, Mia melirik sinis ke arah Pia. “Lamar Gege yang bener ... jangan kayak Pia waktu melamar Mia dulu.” 

Kale yang sudah kembali menyuapkan makanan ke mulutnya, kini menatap wajah kedua orangtuanya. “Memangnya dulu, gimana cara Pia ngelamar Mia?” 

 

***

 

Setelah makan malam yang heboh itu, Kama kembali ke apartemen karena ingat bahwa seluruh barang bawaan KKN belum dia bongkar dari koper dan tas ranselnya. Banyak cucian yang harus dia bawa ke laundry, beberapa barang elektronik yang harus dia pakai, juga beberapa buku yang akan dia gunakan untuk perkuliahan yang kembali aktif pekan depan. 

Jadi, saat Mia menyuruhnya menginap di rumah, Kama menolak dan bersikeras untuk kembali ke apartemen. Namun, Kama tidak sendirian, dia memaksa Kale untuk ikut, lumayan untuk diperbudak membantunya membereskan barang-barang. 

Mobil Kama baru saja mencapai pintu masuk area gedung apartemen. Dan di sampingnya, Kale masih saja terus bicara. “Lo serius mau nikahin Gege?” 

“Serius lah ...?” Kama menoleh sekilas sebelum kembali fokus pada kemudi.

“Secepat ini?” 

“Iya. Kenapa memangnya?” 

Kale menggeleng kecil, dia mendengkus dengan tatapan lurus saat mobil sudah memasuki area basement. “Kagak ....”

“Kayak Mia juga lo lama-lama.”

Kale tertawa. “Galau banget gue rasa jadi Mia, saat harus ngadepin lo.” 

“Lo tahu nggak, kenapa sikap Mia ke gue tuh sering banget berubah-ubah?” tanya Kama. “Kadang Mia tuh mendukung banget gue sama Gege, tapi kasang Mia juga bersikap seolah-olah gue adalah orang yang paling jahat buat Gege.” Sampai-sampai selama KKN Mia rela membayar Yesa. 

“Mia pernah bilang dulu, gini ....” Kale menjentikkan jari. “Ini yang pernah gue denger ya. Katanya, dulu gue dilahirkan dari hasil babymoon di Onsen, mereka lagi liburan ke Jepang kalau nggak salah. Lagi bahagia-bahagianya lah, karena Pia yang lagi sibuk banget saat itu, nyempetin liburan sama Mia. Nah, sementara lo, lo tuh dibikin saat Mia lagi jengkel-jengkelnya sama Pia karena pas nikah Mia inget kalau dia nggak dapat lamaran romantis dari Pia.”

“Penasaran banget gue, memangnya gimana sih cara Pia ngelamar?” tanya Kama. “Sampai dibahas terus dendamnya sampai sekarang.”

“Itu juga yang gue pertanyakan. Mungkin nanti bisa kita sama-sama cari tahu gimana cara Pia ngelamar Mia.” 

“Oke, lanjut.” Kama sudah berhasil memarkir mobilnya, yang sudah tidak lagi menjadi miliknya karena dia sudah berjanji menyerahkan kendaraan itu pada seonggok bocah tengil di depannya. 

“Jadi, saking keselnya Mia ke Pia waktu itu, Mia bilang, diantara kita, lo yang paling mirip sama sosok Janari Bimantara.”

Kama mengernyit. “Bego, bokap lo itu.” 

“Abang lo,” balas Kale. Setelahnya, dia melanjutkan, kembali ceritanya. “Mia bilang, mencintai Pia itu udah kayak naik roller coaster. Mia tuh pernah sakit banget, bahagianya tuh pernah bahagia banget. Dan bagian sakitnya nih, Mia nggak mau sampai Gege ngalamin.”

Kama menggeleng. “Nggak bakal lah ....”

“Udah, bukan nggak bakal,” ralat Kale. 

Ck. 

“Jadi intinya”—Kale belum selesai bercerita—“Mia tuh sayang banget sama Gege dan takut banget Gege mengalami sakit seperti yang Mia alami. Jadi sebenernya, kalau Mia punya pilihan, dia tuh nggak mau jodohin dia ke lo, tapi ke gue.”

Kama tahu kalau kalimat terakhir itu hanya karangan, sehingga dia memalingkan wajah dengan ekspresi muak. “Kayak Mia nggak bahagia aja sama Pia, sampai segitunya ke gue,” ujarnya. “Mia tuh kayak cewek-cewek sosmed yang suka bikin caption marriage is scary tahu nggak?” 

“Ya iya lah anjir scary, Mia seumur hidupnya harus menghadapi tiga Janari, gimana nggak scary setiap saat?” Lihat, dia asal bicara lagi. “Gue tuh bahkan bertanya-tanya sama judul buku yang lagi Mia tulis sekarang, soalnya kan dirahasiakan banget. Jangan-jangan judulnya tuh ‘Sisi Tergelap Menikah dengan Janari’.”

Kama mengumpat, tapi dia juga tertawa. 

“Atau nggak, ‘Kisah Inspiratif Menjalani Hidup Bersama Bandar Kondom dan Perintilannya’.” Kale mengangkat tangan. “Bisa jadi, kan?” 

Kama tertawa. “Makin ngaco.” Dia membuka pintu mobil, bergerak keluar diikuti oleh Kale.

“Jadi lo sekarang ngerti, kan? Jadi intinya ... ya gitu lah .... Gue sih berharapnya Mia nggak pernah tahu kalau lo bahkan udah selesai nyakitin Gege dan sekarang tinggal sisa insyafnya doang.” Kale mulai menyebalkan. “Karena kalau Mia tahu, justru Mia sendiri yang bakal jauhin Gege dari lo.” 

Mereka sudah bergerak memasuki elevator. Saat Kale terus bicara, Kama melihat ponsel di saku celananya memunculkan satu buah panggilan telepon. Dari Om Tanto, dia adalah orang yang Om Hakim beri tugas untuk melanjutkan penyelidikan terhadap Ayudha Ardana. 

Saat pintu elevator terbuka mengantarkan mereka ke kamar Kama. “Lo duluan aja,” ujar Kama. “Ada yang harus gue ambil ke lobi.”

“Oke ....” Kale berjalan tanpa mencurigai apa pun. Sesaat dia berbalik. “Eh, gue nanti ada urusan ke rumah temen bentar ya. Jadi kalau beres-beresnya nggak selesai malam ini, dilanjut besok.” 

Kama mengangguk. “Santai ....” Setelah memastikan Kale tidak bisa mendengar suaranya, Kama mengangkat telepon itu. “Halo? Om?” 

“Mas Kama, saya menemukan beberapa informasi baru,” ujar pria itu. “Ternyata, setelah dinyatakan bebas dengan denda yang harus dibayarnya, Yudha Ardana pernah bekerja sebagai pegawai kafetaria di sekolah tempat Mas Kama bersekolah dulu. Tapi dia dipecat setelah tiga hari bekerja.” 

Kama tertegun selama beberapa saat. “Oh, ya ...? Apa masalah yang dia timbulkan sampai bisa dipecat?” 

“Dia terbukti sengaja memasukkan makanan yang menyebabkan alergi salah satu siswi saat itu kambuh. Tapi kasus ini nggak di-up untuk menjaga nama baik sekolah.” 

Kama menarik ingatannya, pada Gege kecil yang saat itu sesak napas akibat alergi yang tiba-tiba saja dia terima saat waktu makan siang. Apakah ini ada hubungannya dengan Yudha Ardana? 

“Cari tahu lebih banyak, Om. Dan ... jangan sampai ayahku tahu.” Pesan itu berkali-kali dia ucapkan pada pria itu. 

Telepon terputus setelah Om Tanto berjanji akan menemukan keberadaan pria tersebut. Kama melangkah pelan, kembali menyusun potongan-potongan ingatan. Mengingat tentang Laika yang menghilang hingga dia muncul kembali di hadapannya setelah sekian lama. Dia baru sadar, waktu dua belas tahun itu terlalu lama untuk mengingat nama seseorang dan datang kembali dalam hidupnya jika tidak pernah merencanakan apa-apa, kan? 

Kama tiba di depan pintu unit apartemennya, baru saja hendak mendorong handle pintu. 

Namun, “Ka ....” Sebuah suara terdengar dari arah koridor yang jauh dan membuat Kama bergegas menoleh.

Ada sosok gadis yang seharian ini tidak dia temui setelah biasanya bisa dia temui kapan saja. Yang membuatnya seperti remaja yang baru saja jatuh cinta karena gusar sekali saat tidak menerima kabarnya. 

“Aku baru aja mau nyusulin kamu ke rumah saat nggak dapet kabar kamu seharian, lho?”. ujar Kama saat gadis itu bergerak semakin dekat. 

“Aku seharian tidur .... Terus malam ini ingat kamu.”

“Kok nggak bilang mau ke sini?” Kama mengulurkan dua tangannya, meraih tubuh gadis itu ke dalam peluknya. “Kan, bisa aku yang datang ke rumah kamu. Udah malam lho ini, sama siapa kamu ke sini?” 

“Sendiri.” 

“Diizinin sama Yaya?” 

“Aku nggak bilang kalau mau ke sini, sih .... Aku cuma bilang kalau aku mau ke tempat teman KKN-ku.” 

“Ah ....” Kama mengangguk-angguk. “Kamu nggak bohong kok, kan aku temen KKN kamu juga,” ujarnya yang dihadiahi tawa. 

Mereka melangkah ke dalam unit apartemen yang pintunya baru saja berhasil terbuka. Masih sambil saling memeluk, hingga akhirnya Kama sadar bahwa ... dia terlalu rindu jika harus diam saja.

Jadi, setelah memastikan bahwa Kale tidak ada di ruang depan, Kama menelengkan kepala saat wajah Gege mendongak padanya. Benar, dia menantikan waktu-waktu di mana ... tidak harus sembunyi-sembunyi untuk sekadar mencium bibirnya saat tempat sedang ramai-ramainya. 

Namun, baru saja bibir Kama berhasil menyentuh bibir lembut yang kini terasa dingin itu, Kama menyadari sebuah bayangan di ambang pintu kamar. Ciumannya terlepas, lalu menoleh, melihat sosok Kale tengah berdiri di sana. Sesaat mata adik laki-lakinya itu terpejam. “Gue nggak lihat ... kalau lo kasih gue dua juta.” 

***

Kale tengah sibuk sendiri di dalam kamar itu saat Kama dan Gege hanya duduk-duduk dan saling mengobrol. Dia paling sibuk membereskan barang bawaan Kama sementara Kama sendiri malah sibuk menempeli Gege sejak tadi. Saat ini, Kale adalah tak kasat mata dan tidak mampu melihat apa-apa, ‘asal ada dua juta’ begitu perjanjiannya. 

Jadi, Kama cuek saja saat menarik Gege duduk di dekatnya dan menatapnya lekat-lekat saat gadis itu bicara. 

“Aku sempet beres-beres barang bawaanku ketika sampai, tapi habis itu ketiduran,” ujar Gege. “Seharian aku tidur, tapi ... aku sempat video call sama Mak Wasih. Dia lagi di ladang.” 

“Kamu kangen ... sama Mak Wasih? Sama Welasasih?” Tangan Kama mengusap sisi wajah Gege. Wajahnya bergerak mendekat untuk menatap wajah Gege lamat-lamat.

“Mulai .... Sange .... Sange ....” Suara Kale terdengar. 

Abaikan saja

Itu yang selalu Kama bilang. 

“Dari tadi tuh .... Aku selalu ingat-ingat kayak ... saat ini, di jam segini, kemarin aku lagi ngapain ya di Welasasih?” ungkap Gege. “Gitu ... terus seharian ini, sampai rasanya tuh ... sendu banget.” Benar, dia terbangun sambil menatap langit-langit kamarnya yang tinggi. Di sana, tidak lagi ada cicak, tidak juga ada serangan nyamuk, tidak ada suara tokek. Seharusnya dia kembali baik-baik saja karena bisa berdiam diri di kamarnya sendiri dengan nyaman.

Namun ternyata tidak. 

Selepas KKN semua terasa berbeda. 

Ada yang tertinggal.

Ada yang hampa. 

“Ajak ketemuan aja anak-anak yang lain kalau kamu kangen mereka.” Kama memberi usul.

Percakapan di grup KKN bahkan masih ramai sampai sekarang, tapi rasanya terlalu dini untuk mengajak bertemu satu sama lain. Jadi, harapan satu-satunya, untuk mengenyahkan rasa rindu itu, hanya dengan menemui Kama. 

Dan memang .... Gege rasa, hari ini adalah orang yang harus Gege banyak habiskan waktu bersamanya adalah Kama. 

“Kamu lapar nggak?” 

Gege menggeleng. 

“Kalau lapar, aku mau nyuruh Kale keluar, buat cari makan.”

“Alesaaan ... nyuruh gue keluar. Go-food kan bisaaa!” Suara Kale terdengar lagi. Setelahnya, Kale beranjak dari tempat duduknya “Mia udah bilang kangen banget tahu Kak, sama kamu,” ujarnya sambil memainkan kunci mobil Kama—yang sudah dia anggap menjadi miliknya itu.

“Aku juga kangen sama Mia,” sahut Gege. 

“Ngumpul, yuk?” ajak Kale. “Kan, bentar lagi ada yang mau ulang tahun nih.” Kale melirik Kama. “Sekalian aja kita makan malam bareng, gimana? Nanti aku kasih tahu Mia.” 

Seharusnya, Gege menyambut usul itu dengan antusias, tapi nyatanya dia hanya mengangguk sambil mengeluarkan suara yang terdengar lemah. “Boleh ....” 

“Oke. Nanti aku bilang Mia,” ujar anak laki-laki itu. Lalu, tatapnya beralih pada Kama. “Ka, gue keluar dulu sebentar ya. Ke rumah temen.” Lalu telunjuknya mengacung. “Lo ... jangan berani macam-macam ya selama gue nggak ada.” Dia beralih pada Gege. “Kak, kalau dia berulah, telepon aku aja.” 

Gege tertawa. “Oke.” 

Lalu, Kale bicara lagi untuk mencari gara-gara. “Ka, TF sekarang dong, buat open table.” Setelahnya, Kale berteriak ketakutan karena Kama kini mengambil ancang-ancang melemparkan bantal kursi ke arahnya. Kale kabur dan menutup pintu dengan gerakan terburu.

Dan di ruangan itu, kini hanya tersisa Kama yang duduk di sisi Gege dengan tangannya yang masih mengusap-usap sisi wajahnya. “Kamu tahu nggak kalau hari ini aku beli kopi  berbotol-botol untuk aku taruh di dalam kulkas?” tanya Kama. “Kayak balas dendam banget setelah di Welasasih aku susah banget cari kopi.” 

Gege tertawa saat Kama melangkah ke arah mini pantri di salah satu sisi ruangan. Gege menghampiri laki-laki itu, yang kini membuka lemari es dan mengeluarkan satu botol kopi. 

“Mau nggak?” tanya Kama saat Gege bergerak untuk mendekat ke arahnya.

Gege menggeleng. “Nggak.” Dia suka kopi, sesekali akan menikmati minuman itu. Namun untuk kali ini, dia tidak butuh apa pun. 

Hari ini, lagi-lagi Gege hanya datang mendekat pada laki-laki itu untuk memandangi wajahnya. Laki-laki yang ... selama empat puluh hari membuat Gege merasa dicintai. Oke, jika seseorang bertanya tentang kenangannya bersama Kama dalam waktu empat puluh hari, Gege akan menjawab, 

Indah, menyenangkan. Terlepas dari banyaknya kesalahanpahaman dan masalah. Gege merasa, dia selalu diberi urutan pertama yang Kama prioritaskan. Sedih yang dia miliki selalu berusaha dimengerti, senangnya selalu diupayakan untuk dirayakan, dan tubuhnya dijaga sekuat raga Kama di sisinya. 

Kini, di bawah lampu garis yang berwarna oranye, Gege berdiri memandangi Kama yang baru saja berbalik berjalan ke arahnya. Dia meneguk satu kali botol kopinya, lalu tersenyum. 

Pemandangan yang memukau saat melihat wajahnya tersenyum dengan sorot lampu yang redup. Namun, hati Gege mencelus. 

Di antara tatap yang dia tujukan pada laki-laki itu, dia simpan harap-harap yang baik. Dia taruh doa-doa yang tulus. Semoga hal baik selalu beriringan dengan langkahnya. Semoga dia tidak pernah menyerah pada setiap proses pencapaiannya. Dan Gege akan selalu menjadi orang yang turut bahagia melihat laki-laki itu baik-baik saja. 

Kini, Gege mendapati Kama merapatkan tubuh padanya. Dua tangannya mengurung Gege yang setengah bersandar pada meja bar. Dua mata itu mengamati Gege lekat-lekat, bergerak ke setiap sisi wajahnya, selalu berhasil membuat Gege merasa kalau hanya dia yang diinginkan oleh Kama. 

“Jangan banyak nangis ...,” ujar Kama saat memperhatikan kedua kelopak matanya. “Kalau ada waktu, kita bisa kok ... main ke Welasasih kapan-kapan.” 

Gege menarik kecil dua sudut bibirnya untuk memberi Kama senyum. 

Namun, hari ini ... bukan Welasasih yang membuatnya banyak menangis. Ada hal lain, janji yang harus dia tepati pada dirinya sendiri. Gege menatap lekat dua bola mata di depannya bergantian. Hingga akhirnya dia berani bertanya, “Aku boleh nggak nginep di sini ...? Malam ini ...?”

Satu kali mata itu mengerjap. Selanjutnya Kama menggerakkan satu tangannya untuk merogoh saku celana. Meraih ponsel, menghubungi seseorang. Saat ponselnya sudah dia dekatkan ke telinga, dia bicara dengan tatap yang tidak lepas dari kedua mata Gege. Seolah-olah dia tengah mengancam, seolah-olah dia tengah memberi peringatan, seolah-olah dia tengah memberi waktu pada Gege untuk menarik kata-katanya dan memberi kesempatan untuk berubah pikiran. “Le, lo langsung balik aja. Nggak usah. Besok aja diberesin. Iya. Gege ... aman.” Setelahnya, Kama menaruh ponsel dengan sembarang, terburu-buru, seolah-olah dia tidak bisa lagi menunggu untuk mendorong wajahnya maju. Menanamkan satu ciuman kuat hingga Gege harus memegangi kausnya erat-erat.

 

***

 

===============

Gege melihat satu per satu laki-laki yang mereka tunggu di meja sejak tadi, muncul memasuki area taman yang terbuka. Para laki-laki yang telah menanggalkan jas alamamternya bertahun-tahun lalu, kini berjalan mendekat. Para laki-laki yang kini telah mengubah kaus santainya dengan kemeja-kemeja formal pria dewasa yang lekuknya tampak lelah karena seharian diajak bekerja. 

Tujuh, enam, lima, empat ....

Gege menahan napas. 

Tahu bahwa hitungan mundur waktu tidak akan berhenti walau dia berkata belum siap dengan takdir yang tengah dia hadapi. 

Hitungan mundur itu bergerak lagi.

Tiga, dua ..., satu. 

Sosok yang tidak diharapkan kedatangannya itu muncul. 

Dan Gege membeku. Dia melihat wajah-wajah pria itu tertawa sambil berjalan gontai ke arah meja. Namun, pria terakhir yang dia temukan kehadirannya, langsung saja memaku tatap ke arah matanya sejak pertama kali menemukan keberadaan Gege di sana. 

“Sori, sori, Sayang. Aku bikin kamu lama nunggu.” Salah satu di antara pria itu mendekati Juana.

Sementara pria lainnya mulai mengisi kursi-kursi kosong yang melingkari meja. 

Juana memukul lengan pria itu sambil mencebik. “Sumpah ya, harusnya kamu tuh nemenin kegugupan aku seharian ini untuk menghadapi hari pernikahan kita besok!” omelnya. “Tanya tuh sama yang lain! Dari tadi aku cuma minum air putih, nggak ada yang bisa aku makan dan minum lagi. Makanya dari tadi bolak-balik toilet mulu aku!” 

Semua kursi kosong telah diisi. Tinggal tersisa satu kursi kosong yang berada di sisi Gege. Mungkin sengaja disisakan? Entah ....

Jadi, pria itu, yang sejak tadi dia khawatirkan kedatangannya, benar-benar duduk di sisinya. 

Terlalu dekat jaraknya. 

Sehingga Gege menarik jauh ke sisi lain kursi yang didudukinya untuk menghindari hela napasnya terlalu banyak menghirup aroma tubuh pria di sisinya.  

“Ya elah .... Pakai ditarik segala kursinya.” Yesa menertawakan tingkahnya. “Lupa apa pernah pangku-pangkuan dulu?” 

================

***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Udah terjawab ya. Yang nikah Juana. Tapi sama siapa?

 

Jauh-jauh nebak couple lain yang nikah, tahunya yang nikah ya dia juga yang sejak awal kelihatan bucinyya🥲

 

Habis ini ... kita saksikan aksi Kama dan Gege yang saling mengganyang di saat udah dewasa(?)  wkwkwkwk. 

 

Tunjukin antusiasnya dong sampai manaaaa. Kasih apinya dulu cobaaaa liat semangatnyaaa 😋🔥🔥🔥🔥🔥

post-image-6808ddf24e8d4.jpeg

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Hello Kkn
Selanjutnya Hello, KKN! | [Additional Part 52 – Rencana Gege]
708
159
Ini adalah part kelanjutan part 52 kemarin  di apartemen Kama dan segala POV Gege yang dia sembunyikan dari Kama. Selamat membaca yaaa.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan