
"Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!"
Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.
Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.
Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...
Hello, KKN! | [50. Malam Perpisahan KKN 111]

Haiii 🌼
Akhirnya kita tiba di acara perpisahan KKN ini huhu.
Ada tokoh di Welasasih yang paling ngena dan bikin kalian juga berat buat ninggalinnya?
4800 kata lebih ini mau dikasih emot apa dulu? 😡🫶🏻
Di bawah ada bagian dag dig dug yang mesti kalian tahan rasa penasarannya sampai part depan nih 😋
Jadi mulai dari atas boom ya vote dan komennyaaaa. Kasih api yang banyak dulu tapiii 🔥🔥🔥🔥🔥
***
Kelima belas anggota KKN itu, kini tengah berada di halaman posko, mengerumuni papan bunga yang baru saja mereka terima. Papan bunga itu adalah ucapan belasungkawa yang dikirimkan oleh Pak Jafran.

Selain papan bunga, beliau juga mengirimkan selembar surat tulisan tangan berisi pesan singkat. ‘Mohon terima ucapan belasungkawa dari saya. Walaupun saya terkalahkan oleh Sindy, tapi saya ikut bangga kalian sepeduli itu pada kucing desa hingga mengurus pemakamannya dengan baik.’
Sabine berdecak setelah membaca surat tersebut, “Enak aja kucing desa. Sindy kan calon kucing metropolitan, nggak tahu aja Bapak.”
“Tapi nggak nyangka banget sih, Pak Jafran sampai segininya,” ujar Gege sambil masih menatap papan bunga di hadaoannya.
Perlahan, mereka terurai dari papan bunga tersebut. Bergerak menjauh sambil sesekali menatap papan dengan bunga-bunga di sisinya itu. Siapa sangka Pak Jafran justru begitu peduli dengan duka mendalam yang menimpa posko KKN 111 alih-alih marah karena merasa diabaikan?
“Pergi sekarang nggak?” tanya Jenggala sembari mengalungkan tali kameranya.
“Bentar. Gue harus telepon Pak Jafran dulu untuk bilang makasih,” ujar Kama sambil melangkah menjauh.
Sore itu, mereka sudah bersiap untuk pergi ke sawah milik Mak Wasih yang berada di belakang rumah. Sambil menunggu semua anggota laki-laki siap karena sebagian mereka baru selesai mandi, para perempuan menghentikan seorang pedagang es potong yang melewati posko dengan motornya.
Mereka duduk di beranda dengan masing-masing satu tusuk es potong saat para laki-laki mulai bergerak keluar dari posko. Kama yang baru saja selesai menelepon Pak Jafran, juga mendekat. Dia menatap Gege dari kejauhan, lalu bergerak ke arah Gege yang tengah mengulum es potongnya. Tiba-tiba saja, tangan Kama menutup sebagian wajah Gege.
Hal itu membuat Gege mendongak. “Kenapa?”
“Kalau makan es kayak gini, tuh ... basain kamu tutup pakai tangan kayak gini,” ujar Kama sambil menarik satu telapak tangan Gege untuk menutup sebagian wajahnya. “Apalagi kalau lagi di depan banyak orang .... Mencegah orang lain mikir aneh-aneh,” ujarnya.
Gege sempat melongo saat Kama melangkah menjauh untuk menghampiri anggota laki-laki yang lain. Namun, Gege menurut, melakukan apa yang Kama ucapkan tadi, telapak tangannya menutup bagian depan mulutnya sampai es potong miliknya habis.
Sore itu, sebelum matahari turun dan berubah dengan warna menjadi lebih pekat, mereka bergerak ke arah sawah milik Mak Wasih yang berada di belakang rumah. Mereka mengambil banyak video sesuai instruksi dari Jenggala dan Zale. Selain kamera di tangannya, mereka juga menggunakan drone untuk merekam semua kegiatan yang mereka lakukan dari kejauhan.
Di jalan tanah kecil yang menggaris setiap kotak sawah, mereka berbaris untuk berjalan menuju matahari yang mulai tenggelam di barat. Saling berpegangan di pundak sambil tertawa-tawa. Gege memegangi pundak Samira, sementara di belakangnya ada Kama yang memegang pundak untuk menjaga keseimbangan langkahnya.
Kelima belas mahasiswa dengan jas almamater marun itu berbaris rapi setelah menanggalkan sandal-sandal mereka di saung milik Mak Wasih yang berada di tengah sawah.
Mereka mengambil banyak rekaman video. Mulai dari sore muncul hingga matahari mulai tenggelam dan menyebarkan warna oranye di langit Welasasih.
“Saat kameranya menjauh, kita mulai dadah-dadah ya!” Terdengar Jenggala kembali memberikan instruksi.
Dan yang lainnya menurut. Kamera itu perlahan menjauh dan terbang ke arah yang lebih tinggi, merekam lambaian perpisahan kelima belas anggota KKN pada Welasasih yang selama hampir empat puluh hari ini mereka tinggali. Dengan segala kekonyolan, tawa, tangis, masalah, dan segala hal yang mereka lalui di sana.
Mereka kembali berjalan, dengan kamera yang masih menyala. Namun, entah karena sandalnya yang licin, atau Keiya yang tidak hati-hati, satu kaki kirinya masuk ke area tanah sawah. Dia menjerit, yang lain menoleh serempak dan bergerak hendak menolong.
“Ya ampun, kaki gue.” Keiya merengek karena setengah kakinya tenggelam di dalam lumpur.
Keiya mendongak, melihat Javindra yang berdiri paling dekat dengannya diam sana, dia berinisiatif merogoh ponsel di saku jasnya. “Gue telepon Alvin deh. Siapa tahu dia mau nolong.”
Keiya benar-benar mengeluarkan ponselnya. Namun, sebelum dia benar-benar menghubungi Alvin, Javindra lebih dulu menarik tangannya. Membuat Keiya bangkit dari posisi terduduknya dan memapahnya ke arah talang air yang terbuat dari bambu di dekat saung.
Setelah merasa footage yang diambil cukup, kini para perempuan beristirahat, duduk-duduk di saung sambil menunggu para laki-laki mencoba menangkap belut dengan pancingan yang Gesang miliki dari hasil bergurunya pada bocah-bocah kecil yang bermain di sawah. Gelak tawa terdengar dari kesembilan laki-laki itu saat pancingan mereka berkali-kali gagal.
Sementara di saung itu, para perempuan mulai sibuk mengurus Ivy. Sabine sengaja membawa satu tas khusus untuk perlengkapan Ivy, salah satunya susu dan dot yang kini dia keluarkan.
Sabine menatap Ivy yang tengah meminum susu dari dotnya. “Beruntung loh Ivy ini nggak rewel,” ujarnya. “Dia anteng banget, mirip Sindy dulu.” Dan yang lain juga menyetujui hal itu. Lalu, Sabine berbicara pada Ivy yang masih merebahkan tubuhnya di atas lantai berpapan kayu di dalam saung itu. “Makasih ya, nggak bikin Mamam baby blues.”
“Mamam ...?” Gege dan yang lainnya mengulang panggilan itu.
Sabine mengangguk. “Iya, Mamam .... Soalnya kalau Oma, berasa tua banget gue.”
Tawa kelima gadis lainnya lepas saat mendengar alsan Sabine. Mereka masih duduk di dalam saung, di atas papan-papan kayu yang bersih, Mak Wasih tampak menjaga saung itu dengan baik sebagai tempat beristirahatnya setelah lelah bekerja. Mereka menatap kesembilan laki-laki yang kini masih bermain di pinggiran sawah dengan pancing-pancingnya.
“Masalah Ivy, bakal jadi rebutan hak asuh lagi nggak sih, Bine?” tanya Gege. “Lo udah diskusiin masalah ini sama Yash?”
Sabine mengangguk, membawa Ivy ke pangkuannya. “Udah .... Yash udah menyerahkan hak asuh Ivy ke gue. Kami udah sepakat kalau gue yang akan mengurus Ivy sepenuhnya. Tapi, Yash tetap akan ikut bantuin biaya hidup Ivy, dia juga minta untuk diizinin nengok Ivy sesekali buat ngobatin kangennya ke Sindy.”
Di atas papan kayu itu, Ivy mulai berjalan-jalan. Dan Sabine memperhatikan bagaimana bayi kucing itu kini bergerak ke arahnya. Meraih tubuh mungilnya dan kembali membawanya ke pangkuan.
“Lo bilang ... lo nggak mau lagi berurusan sama Yash perihal apa pun?” tanya Keiya.
“Awalnya gitu ....” Sabine melepaskan napas berat. “Tapi demi hak asuh ini, gue rasa nggak apa-apa kalau berurusan sama dia, sebatas masalah Ivy ya .... Gue akan berurusan sama dia, cuma masalah Ivy ....” Sabine menekankan. “Walau ya ... kadang gue kebablasan juga, ngomongin apa aja kalau lagi berdua sama dia. Kayak semalam tuh, nggak jelas banget gue tunjukin bentol di tangan gue ke Yash padahal awalnya gue cuma nyuruh dia beli pasir kucing buat Ivy.”
“Dan Yash meladeni kerandoman tentang bentol lo itu?” tanya Cleona.
“Iya lagi,” gumam Sabine. “Dia sampe Googling tentang bentol. Seserius itu.”
“Seserius itu, lah .... Cowok beton kayak dia lo ajak deep talk masalah bentol,” timpal Juana. “Ya diseriusin.”
“Tapi ngomong-ngomong, gue lihat pasir buat Ivy tadi pagi udah datang,” ujar Samira. “Padahal lo baru bilang semalam, kan, sama Yash?”
Sabine mengangguk. “Iya, cepet banget. Mana murah lagi harganya kata Yash, cuma dua ratus ribuan, nggak tahu deh itu dia dapet beli dari mana.”
Seruan kencang dari arah laki-laki di sisi kotak sawah membuat percakapan kelima perempuan itu terhenti. Mereka melihat betapa hebohnya laki-laki itu saat tahu bahwa kail Gesang berhasil menangkap satu belut. Mereka merayakan kemenangan itu dengan mengangkat tubuh Gesang dan bersorak bangga.
“Foto! Foto!” seru Javindra.
Lihat, betapa mereka menikmati waktu-waktu terakhir tinggal di Welasasih sebagai anak desa.
Karena, setelah tiba di Jakarta nanti, mana mungkin mereka akan menemukan sawah dan belut seperti sore ini, kan?
Tidak lama setelah perayaan belut itu selesai, mereka menghampiri saung tempat para perempuan beristirahat. Para laki-laki itu penuh keringat, tapi tampak bahagia.
Sesaat, Kama berdiri di depan Gege untuk memperhatikan Gege yang duduk di hadapannya. “Kamu katanya mau minta aku fotoin?” tanyanya.
Gege mengangguk. “Iya. Tolong dong!” Dia mendorong tubuh Kama untuk kembali berjalan di antara jalan setapak tanah di antara kotak sawah, menjauhi keramaian yang ada di saung bambu itu.
Sebenarnya, Gege bisa saja meminta tolong pada Jenggala atau Zale yang jelas-jelas sejak tadi membawa-bawa kamera. Namun tentu saja, Kama akan langsung mengeluarkan ekspresi tidak terima dan mencari masalah jika melihat Gege mengandalkan laki-laki lain untuk dimintai tolong, kan?
Gege berjalan ke arah barat, pada matahari yang tenggelam dan menyisakan warna oranye lebih pekat.
“Nah, udah berhenti di situ!” ujar Kama sambil menunjuk ke arah Gege. Setelahnya, Kama mengarahkan kameranya pada Gege. “Oke .... Satu, dua, tiga.” Satu gambar tertangkap di layar ponselnya dan Kama tersenyum. “Lagi, ya,” pintanya.
Setelahnya, Kama lebih berani meminta Gege untuk mengatur posisi sesuai keinginannya. Gege yang tersenyum ke arah kamera, Gege yang berbalik dengan wajah menoleh ke belakang dan tertawa, Gege yang membelakangi kamera sambil berjalan di jalan tanah setapak, dan banyak foto lainnya yang Kama tangkap dengan kameranya tanpa Gege ketahui.
Setelahnya, laki-laki itu menghampiri Gege sambil menatap banyak foto di layar ponselnya. “Nih, lihat sendiri. Bagus nggak? Atau harus aku ulang?”
Gege meraih ponsel Kama, memeriksa sendiri hasil tangkapan kamera laki-laki itu. Lalu, dia tersenyum. “Bagus, udah cukup. Kirim ya,” pinta Gege. “Kalau udah kamu kirim, mau kamu hapus dari HP kamu juga nggak apa-apa. Banyak banget itu soalnya.” Puluhan foto ada di sana sepertinya, karena Kama menangkap beberapa foto dalam satu kali pose.
“Nggak lah ....” Kama menggumam sambil menatap layar ponselnya. “Nggak akan aku hapus .... Cantik banget kamu ....”
“Halah ....”
“Serius ....” Setelahnya, wajah Kama mendongak. “Kaus yang kamu pakai juga bagus.”
Gege menunduk untuk melihat kaus yang dia kenakan. Kaus putih dengan embroidery hasil sulaman tangan Teh Lilih dia kenakan hari ini. “Iya. Ini kaus pemberian Teh Lilih,” jawab Gege. Dia menunjuk gambar di bagian dadanya. “Kata Teh Lilih, ada yang bilang kalau aku cantik banget di gambar ini.”
Ucapan Gege mampu membuat Kama tersenyum kikuk. Kama sampai mengalihkan wajahnya agar Gege tidak menyadari ekspresinya, gesturnya kini tampak salah tingkah.
Gege mengejar tatap Kama, dia memegangi tubuh Kama untuk memutari tubuh laki-laki itu agar bisa menatap langsung matanya. “Jadi kamu udah ambil foto aku diem-diem dari awal KKN, ya?”
“Lah? Hahaha. Ngapain?” tanya Kama, masih menghindari tatap Gege. “Aku ngambil foto kamu terang-terangan juga berani.”
“Halah .... Mana ada kamu berani waktu ituuu?” Gege memegangi tangan Kama agar Kama tidak menghindar lagi. “Aku mau tanya serius deh sama kamu.”
Ucapan Gege membuat Kama berhenti bergerak. “Apa?”
“Aku penasaran, kamu ... sama cewek kamu dulu ... semanis ini juga?”
Kama mengerjap-ngerjap. Dia terdiam selama beberapa saat. Satu-dua detik. “Lho? Mak Wasih datang ke sini tuh.” Kama menunjuk ke arah lain. Kentara sekali dia enggan menjawab pertanyaan Gege dengan mengalihkan pembicaraan seperti itu.
Bahkan saat ini, Kama meninggalkan Gege untuk bergerak ke arah kedatangan Mak Wasih yang kerepotan membawa dua buah rantang susun di tangannya.
“Ka!” Gege berteriak, tapi Kama tidak mengindahkan.
Kama terus berjalan, tapi langkahnya kalah cepat dan didahului oleh Gesang. Gesang berlari ke arah Mak Wasih, yang kemudian disusul oleh Cleona dan Yesa yang kini ikut berlari-lari.
Di pertengahan jalan sebelum langkah-langkah itu tiba pada Mak Wasih, Cleona yang dikejar oleh Yesa tanpa sengaja menyenggol Gesang yang berjalan di hadapannya sehingga satu kaki Gesang lolos dari jalan setapak dan masuk ke kotak sawah. Gesang hilang keseimbangan sehingga tubuhnya limbung dan terguling ke bawah.
“Ges, maaf, Ges!” teriak Cleona, panik sekali.
Gesang yang kini wajahnya penuh lumpur karena kepalanya lebih dulu mendarat itu, segera berteriak, mengadu. “KAMAAA!”
“YA ILAH, KENAPA LAGI, SIH?” Kama memutar bola matanya, tampak muak saat melihat kejadian kekanakkan itu.
Namun, tentu saja Kama dan yang lainnya kini bergerak untuk menolong Gesang yang tubuhnya sudah penuh lumpur.
Tingkah-tingkah konyol mereka tidak pernah gagal membuat Mak Wasih tertawa. Bahkan kini, saat Kama dan yang lainnya membantu Gesang membersihkan tubuhnya di bawah talang air, Mak Wasih terpingkal-pingkal sampai mengeluarkan air mata saat melihat Gesang menjerit-jerit karena dipaksa membuka kaus dan celana.
Gege melihat bagaimana Mak Wasih menghampiri Gesang dan menolongnya untuk kembali ke darat dengan tubuhnya yang basah. Menyelamatkan Gesang dari aksi usil teman-temannya. Mak Wasih, jantung hati KKN Welasih yang sejak awal mereka bertemu sudah menunjukkan sikap yang tulus dengan sosok ringkihnya yang malam-malam mengirim talas kukus.
Kini, Mak Wasih membuka rantang-rantang susun yang dibawanya. Berisi makanan dan nasi yang sengaja dimasak untuk anak-anaknya saat tahu bahwa mereka akan mengunjungi sawahnya.
Di saung itu, mereka kembali rwbutan talas kukus.
“Yang bergerak dapet Neng Marisa!” teriak Yesa, sehingga dia mampu merebut satu wadah talas karena rekan-rekannya yang lain mendadak berubah menjadi batu.
“Lah, nggak apa-apa .... Neng Marisa cantik kok,” ujar Javindra sambil merebut kembali wadah talas kukus dari dekapan Yesa dibantu oleh yang lainnya.
Keributan itu Mak Wasih tatap dengan matanya yang berkaca-kaca. Sambil menyuapkan makanan ke mulutnya, tampak sesekali Mak Wasih mengusapkan ujung lengan ke sudut matanya. Sedihnya tidak mampu dia sembunyikan walau dia tertawa. Mungkin diam-diam Mak Wasih sadar, ini adalah waktu-waktu terakhir kebersamaan mereka.
Sore itu, sebelum matahari benar-benar tenggelam, mereka memutuskan untuk kembali ke posko. Rantang susun kosong diambil alih oleh Gesang dan Jenggala. Sementara Mak Wasih dituntun oleh Rajata. Di belakangnya lagi, ada Kama yang memegangi tangan Gege sambil berjalan menyaksikan huru-hara Yesa dan Cleona di baris paling ujung.
“Bisa nggak gue maju ke depan, Ka?” tanya Cleona. Dia hendak mendahului langkah teman-temannya yang lain, tapi kesulitan karena jalan di tengah kotak sawah itu tidak bisa dilalui oleh dua orang sekaligus. Jika memaksakan diri, salah satu akan terguling seperti yang terjadi pada Gesang tadi. “Gue nggak mau jalan bareng Yesa!”
“Kenapa sih, Na?” tanya Yesa yang berjalan di belakangnya.
“Yesa ngejar ya, Na?” tanya Kama sambil melepaskan tawa.
“Iya, pelirahaan lo nih ngejar ternyata, males banget gue,” balas Cleona.
Sementara itu, di belakang sana, Yesa hanya tertawa-tawa. “Yah, Na .... Nanti habis KKN lo pasti kangen gue kejar.”
Lalu, entah serius atau tidak, Cleona berbalik, langkahnya terhenti saat berhadapan dengan Yesa. “Memangnya ... selesai KKN, lo bakal berhenti ngejar?”
***
Tiba saatnya mereka sibuk di balai desa untuk mengurus semua keperluan terkait acara perpisahan KKN 111 dengan Masyarakat Welasasih. Menurut kesepakatan awal, mereka akan membuat panggung kecil di dalam gedung olah raga di samping Balai Desa Welasasih. Namun, keputusan mendadak berubah. Pak Kades bilang pada Kama, “GOR nggak akan bisa menampung seluruh Masyarakat Welasasih, A. Jadi, kita pindahkan panggung perpisahannya di lapangan sepak bola aja.”
Lapangan sepak bola itu adalah puncak tertinggi daerah Welasasih, daerah di samping balai desa yang banyak dilalui oleh orang-orang saat hendak ke ladang. Jadi memang strategis sekali.
Namun, “Ini serius panggung kita bakal ditaruh di tengah lapangan sepak bola.begini?” tanya Yesa tampak khawatir. Dia melihat area luas yang ditengahnya tengah dibangun panggung sederhana untuk keperluan panggung perpisahan. “Gimana kalau yang datang sedikit? Apa nggak bakal cringe nanti acaranya?”
Namun, kekhawatiran Yesa sama sekali tidak beralasan. Semakin sore, area sisi-sisi lapangan telah dipenuhi oleh banyak tenda para warga yang hendak berdagang. Sebagian warga sudah hadir di lapangan untuk menyediakan makanan dan membantu para anggota KKN untuk menyiapkan acara.
Hingga sore hari, keadaan semakin ramai. Hampir seluruh warga tumpah ruah ke area lapangan sepak bola yang luas itu. Sehingga, alih-alih seperti panggung perpisahan, area itu lebih tampak seperti pasar malam dadakan.
Di tengah-tengah lapangan sekarang, sudah siap sebuah panggung yang diisi oleh lighting seadanya. Hiasan yang dibuat oleh para anggota perempuan yang dibantu oleh warga, juga sebuah layar proyektor lebar untuk menampilkan video. Acara akan dilaksanakan pada pukul delapan malam, sesuai kesepakatan awal, setelah acara lomba anak-anak selesai dan serah terima alat bakar minim sampah pada sore hari yang dihadiri oleh Pak Jafran.
Acara malam itu dipandu oleh Juana dan Zale, Jenggala yang bertugas untuk mendokumentasikan acara dibantu oleh Gege dan yang lainnya. Suara Juana dan Zale yang mulai menyapa, disambut riuh dan sorak warga Welasasih yang tumpah ruah di depan panggung itu.
“Salam sejahtera untuk kita semua.” Juana mulai menyebutkan satu persatu tokoh Welasasih yang hadir, menyapa para warga dan perangkat desa. “Tidak terasa, waktu yang telah kita lalui bersama selama beberapa minggu terakhir kini telah sampai pada akhir. Banyak cerita, kenangan, dan pelajaran yang kami dapatkan di sini—yang akan selalu kami kenang dan bawa pulang sebagai bagian dari perjalanan hidup dan pengabdian kami sebagai mahasiswa.”
Lalu, Zale melanjutkan. “Untuk itu, izinkan kami, selaku pembawa acara, memandu rangkaian kegiatan perpisahan KKN pada hari ini, untuk mengantarkan kita semua pada momentum luar biasa ini sebagai penutup kebersamaan.”
Bergulir acara itu satu demi satu. Tiba giliran Kama memberikan laporan atas program kerja KKN 111 selama empat puluh hari di Welasasih. “Kami telah melakukan beberapa kegiatan di Desa Welasasih, yang kami harap bisa membantu keadaan Desa Welasasih dan warganya menjadi lebih baik dalam beberapa sasaran yang kami tentukan sebelumnya.”
Kami melakukan pelatihan digitalisasi UMKM Desa, membantu pembangunan instruktur digital desa dengan mengesahkan logo desa di HKI, membantu melestarikan budaya Welasasih dengan ikut membantu mempromosikan Tarantaka dan kegiatan seni lainnya, melakukan upaya untuk pemberdayaan tempat sampah yang salah satu hasilnya telah dilakukan serah terima sore ini, melakukan gerakan desa hijau dengan membentuk Green House Kelompok Wanita Tani, Taman Baca yang ramai oleh anak-anak setiap hari, juga perbaikan infrastruktur tempat ibadah.”
Terima kasih karena telah menyambut kedatangan kami dengan begitu hangat. Terima kasih karena ... selalu menyambut ide-ide kami dengan sikap sangat terbuka. Membantu pengabdian kami dengan kebersamaan dan gotong royong.” Kama menatap semua hening di hadapannya. “Sebenarnya, berat sekali bagi kami meninggalkan Welasasih, terutama Mak Wasih, sosok paling berjasa di balik semua kegiatan kami. Yang tidak lelah mengantarkan makanan pada pagi, siang, sore, dan malam. Seolah-olah takut sekali bahwa anak-anak yang nakal di posko kelaparan.” Kama tersenyum pada Mak Wasih yang kini melambaikan tangan padanya, dia tahu namanya disebut saat Gege yang berdiri di sampingnya menjelaskan.
“Kami sadar, dalam pelaksanaan program KKN ini, masih sangat banyak kekurangan. Namun kami berharap, apa yang kami lakukan di sini, sekecil apapun itu, bisa memberikan manfaat bagi Welasasih dan ... tidak mudah dilupakan. Seperti kami, yang akan membawa pulang banyak pelajaran dan kenangan dari Desa Welasasih, sesuatu yang tidak kami dapatkan di mana pun.
Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh warga desa, bapak, ibu perangkat desa, serta semua pihak yang telah membantu dan mendukung kegiatan kami selama ini. Akhir kata, kami mohon maaf bila selama berada di sini ada kata atau sikap yang kurang berkenan. Doakan kami agar bisa terus belajar dan menjadi pribadi yang lebih baik ke depannya.”
Selanjutnya, giliran Pak Kades yang kini naik ke panggung. Dia berdiri sambil menatap ke keramaian di depannya. “Waktu terasa begitu cepat. Rasanya baru kemarin Aa dan Teteh datang ke desa kami, membawa semangat, senyum, juga kekhawatiran tentang waktu tinggal empat puluh hari di desa yang begitu pelosok ini.” Ucapannya dihadiahi oleh tawa.
“Kini tiba saatnya kami harus melepas kalian kembali ke dunia sebenarnya, melanjutkan perjuangan yang lebih besar. Saya, mewakili warga Desa Welasasih, ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kehadiran dan kontribusi Aa dan Teteh semua. Banyak hal yang telah dilakukan, tidak hanya program kerja yang diajukan secara tertulis, tapi juga semua bantuan AA dan Teteh terhadap kami. Alih-alih bertindak sebagai mahasiswa KKN Aa dan Teteh ini malah berperan seperti DAMKAR yang setiap saat selalu bisa kami andalkan.
Akhir kata, kami ucapkan selamat jalan. Hati-hati di perjalanan pulang besok, dan jangan lupakan kami yang tetap ada di Desa Welasasih ini .... Pintu kami selalu terbuka lebar jika Ada dan Teteh ingin kembali.”
Tepuk tangan yang meriah terdengar.
Selanjutnya, acara pentas seni dimulai. Di belakang panggung, para anggota KKN sudah berbaur dengan para orangtua untuk membantu mereka mendandani anak-anak kecil lucu yang kini berlarian hendak menuju panggung pentas.
Gesang membantu satu per satu anak yang hendak naik ke panggung, mulai panik saat serangan anak-anak semakin banyak dan dia kembali bergumam. “Gue mendadak baby blues lagi kalau begini ceritanya.” Karena ada anak laki-laki yang menggelantungi kakinya alih-alih segera naik ke atas panggung.
Di atas panggung tarian-tarian dipertontonkan. Mulai dari anak-ank hingga remaja anggota sanggar tari Tarantaka.
Setelahnya, ada sebuah kejutan kecil. Penampilan pembacaan puisi oleh Rafa, yang mereka sangat ketahui begitu mengagumi Gege sehingga menjadikan Gege sebagai tujuan utama di vision board yang dibuatnya.
Rafa naik ke atas panggung. “Puisi ini saya persembahkan untuk Aa dan Teteh Kakaen, terutama Teh Gege.” Sorak Sorai terdengar.
Namun Kama bergerak ke samping Gege, bertindak melindungi Gege dari rayuan anak kecil itu.
“Aa dan Teteh Kakaen.” Rafa mulai membacakan puisinya. “Kau hadir seperti pelangi, yang muncul setelah hujan di sore hari, membuat hatiku hangat kembali .... Kita tertawa bersama di taman. Berbagi cerita, mimpi, dan harapan. Kau bukan sekadar teman, tapi seseorang yang buat hariku lebih berwarna dari angan. Jika suatu saat engkau kembali, aku akan menyambut tanganmu tanpa bertanya kabar. Semoga, kita bisa terus bersama walau jarak selalu berhasil menyebar jauh dari luar. Teh Gege. I love you.”
Pernyataan terakhir membuat Gege menutup wajahnya sambil tertawa, sementara yang lainnya heboh sekali, riuh suara penonton terdengar oleh sorak dan tepuk tangan.
Sementara itu, Kama baru saja menyenggol lengan Gege. “I love you tuh katanya.”
Dan hal itu, membuat Gege berteriak membalas ucapan Rafa. “I love you too, Rafa!”
Tingkahnya, tentu sama membuat suasana lebih ramai. Mereka tertawa, tapi diam-diam Rafa memalingkan wajah dan menyembunyikan senyumnya.
“Lo hati-hati deh, Ka,” ujar Yesa di antara keriuhan itu. “Lo tahu nggak kisah Kamil sama Khansa yang beberapa tahun kemudian nikah gara-gara ketemu di tempat KKN? Age gap-nya lumayan jauh tapi mereka bisa nikah.”
Kama hanya menggeleng, wajahnya tampak gerah. Namun, Kama mendapatkan kembali senyumnya saat satu tangan Gege hinggap di sisi wajahnya.
Acara kembali bergulir. Kini pada penampilan misterius sosok empat laki-laki yang berdiri di panggung dengan intro lagu The Guardian of Nusantara yang menggema. Pertama tampil, tidak ada yang mengenali sosok laki-laki dengan Baju Bedahan dan kain kebat batik. Saat berbalik, didapati empat laki-laki anggota KKN, dia adalah Javindra, Gesang, Rajata, dan Yesa. Mereka bergerak seirama. Serius sekali untuk menghibur sepertinya.
Namun, di gerakan selanjutnya, beberapa dari mereka lupa. Sehingga yang tercipta di sana hanya gerakan asal yang tidak kompak dan membuat seluruh penonton tertawa. Tidak hanya itu, di akhir penampilan mereka juga bernyanyi lagu yang membuat semua penonton ikut bernyanyi. Sungguh berbaur dengan masyarakat lagi yang mereka bawakan itu.
“Aku tak mau bicara, sebelum kau cerita semua.” Keempat laki-laki itu bergantian bernyanyi dengan goyangan yang mengundang beberapa warga ikut ke atas panggung. “Apa maumu? Siapa dirinya? Tak betah bila ada yang lain .... Jangan hubungiku lagi, ini bisa jadi yang terakhir. Aku ngerti kamu, kau tak ngeri aku. Sekarang atau tak selamanyaaa ....”
Gebrakan yang cukup menghibur.
Mereka bisa menjadi siapa saja, termasuk menjadi biduan desa.
Sebelum akhirnya beberapa video yang Gesang ambil selama berada di Welasasih mulai ditayangkan pada layar proyektor yang bisa disaksikan oleh semua warga. Di sana, video diawali dengan asap yang mengepul di dapur Mak Wasih. Bergerak pada Mak Wasih yang tengah membuat camilan tradisional seperti getuk lindri, talas kukus, ketan bakar, dan banyak lagi. Bergerak di jalanan desa, menuju sanggar Tari Tarantaka, ditampilkan berbagai kegiatan seni di sana.
Video bergerak lagi pada suasana desa. Di pesawahan yang merekam dari kejauhan, para anggota KKN yang tengah berjalan di jalan tanah setapak menuju sebuah saung. Mak Wasih juga ada di sana, sosok yang tidak pernah meninggalkan mereka selama mereka berada di Welasasih.
Lalu, video berakhir pada sebuah rekaman suara. “Masa tinggal kami telah habis .... Yang setelah ini, mungkin tidak akan kami temukan lagi banyak kabar tentang Welasasih dan warganya yang penuh kasih. Namun, tetaplah hidup dengan baik, raih segala hal yang pernah kami dengar angan dan ceritanya. Terima kasih ..., Welasasih.”
Video ditutup dengan foto-foto yang ditampilkan secara bergantian.
Pertama adalah foto kegiatan Kama saat membangun kembali gapura di Jembatan Cimacan. Kama yang saat itu menggulung kemejanya sambil berjalan dengan penuh keringat mendapat banyak sorakan dari remaja perempuan.
Lalu, foto Gege yang tengah sibuk di dalam Ruang Berbagi.
Gesang yang tengah tertawa dengan pria paruh baya dengan satu kapak besar di tangannya selepas membantunya memotong kayu bakar.
Yash yang tengah membenarkan rak di masjid.
Javindra yang tengah tertawa bersama teman memancingnya di tambak.
Rajata di tengah ibu-ibu PKK.
Samira dan anak-anak PAUD-nya.
Cleona bersama Bah Tata di depan gerobak jualan tahu gorengnya.
Sabine dan Sindy yang tengah bermain di depan posko.
Keiya yang ikut kegiatan menari di Tarantaka.
Juana dengan Mamang Sayur di dekat mobil baknya.
Zale yang diam-diam mengambil jeruk saat mengambil video di balai desa.
Jenggala yang setia mengambil video di setiap kegiatan sehingga sosoknya minim muncul di segala dokumentasi.
Sakala bersama para peserta pelatihan UMKM.
Yesa yang sibuk menanam tumbuhan bersama kelompok Tani Wanita.
Selanjutnya, ada foto perayaan mendapatkan belut di sawah.
Foto Kama dan Gege tengah berdiri sambil memangku anak balita di posyandu.
Samira dan Rajata yang berada di tengah anak PAUD.
Foto bersama dengan Mak Wasih di sawah.
Yang terakhir ... adalah foto Gesang saat menurunkan banner KKN 111 Welasasih di depan posko. Dan ya .... Kegiatan mereka ... berakhir juga.
***
Pada tengah malam usai membereskan segala perlengkapan acara, usai tugas mereka malam itu. Dan Kama mengumpulkan semua anggotanya dengan membentuk kerumunan. “Terima kasih atas kerja samanya selama ini. Dan ... maaf kalau gue punya banyak kekurangan selama menjalankan tugas. Tugas gue sebagai koordinator desa, gue lepaskan hari ini.”
Setelahnya, para perempuan yang membentuk kerumunan di tengah-tengah, saling berpelukan. Di susul oleh pelukan dari kesembilan laki-laki dari arah luar. Ada tangis di sana, haru, lega, yang ... meninggalkan banyak kenangan.
Mereka pulang ke posko dengan berjalan kaki. Melewati jalanan sepi, ditemani cahaya bulan yang ternyata menyala hangat. Penguasa langit, sepertinya tahu bahwa saat ini mereka sangat membutuhkan sekali hari tanpa hujan. Dan terkabul harapan-harapan itu.
“Ka ....” Di antara langkah-langkah di depan yang meninggalkan, Gege berjalan bersisian dengan Kama. Saling mengaitkan jemari, kadang juga Kama menggenggam tangannya jika menemukan jalan berlubang dan meminta Gege menghindar. “Aku bangga banget sama kamu ....”
Kama menoleh, tersenyum. Lama dia tidak bicara apa-apa sampai akhirnya. “Wah .... Keren banget aku, kayaknya baru kali ini aku bikin kamu bangga, ya ...?”
Tangan Gege menahan langkah Kama. Makin tertinggal keduanya, tapi tidak masalah selama Kama masih bersamanya. Gege menatap lekat mata laki-laki itu di antara temaram lampu penerang jalan. Gege ingin mengatakan banyak hal, termasuk pesan yang ingin dia tetap baik-baik saja walau kisah KKN mereka usai.
Namun, Gege tidak mengatakan apa-apa, tentang sesuatu yang kini mendesak di kepalanya. Dia hanya berjinjit, dengan dua tangan bertopang di pundak kokoh Kama. Mencium sudut bibir Kama yang mampu dia gapai. Lalu .... “Terima kasih ya .... Aku bangga bisa nemenin kamu di sini ....”
***
[Masa depan ya iniyyyy]
==================
Meja itu diisi dengan tawa. Menceritakan banyak kisah tentang empat puluh hari mereka bersama di masa lalu. “Salah satu yang nggak kena kutukan KKN tuh pertemanan kita nggak, sih?” ujar Keiya. “Biasanya, selesai KKN ya udah, nggak ada kabar lagi. Tapi kita nih, masih bisa sama-sama sampai sekarang.”
“Ya .... Walau ada yang harus lamaaa pergi dulu buat menghindar dari banyak konflik rumit ya.” Tawa Cleona terdengar.
Dan Gege ikut melepaskan tawa mendengar ucapan itu sambil meraih gelas berisi cocktail yang terasa semakin hambar seiring es di dalamnya mencair.
“Yah, namanya juga hidup .... Ada badainya,” imbuh Juana.
Samira bicara di tengah tawa teman-temannya. “Badai pasti berlalu, tenang aja.”
“Berlalu lalang maksudnya?” timpal Sabine yang kembali membuat temannya tertawa.
“Tapi ‘pergi’ kalau akhirnya nggak sia-sia, ya nggak apa-apa,” ujar Cleona. “Daripada gue, nggak ke mana-mana, dan nggak ada yang berubah juga.” Kini tatap Cleona tertuju pada Juana. “Terus apa lo bilang waktu itu, Jua? Tentang teori ovum. Cewek tuh cuma ditakdirkan untuk nunggu sampai sperma datang, terus pilih mana yang terbaik, gitu, kan?”
Juana menjentikkan jari. “Betul, nggak usah capek-capek. Lo duduk aja, diem nunggu cowok yang effort buat datang ke lo. Habis itu, lo pilih lah mana cowok yang baik buat jadi suami lo, dan jadi ayah yang baik buat anak-anak lo.”
Cleona mencondongkan tubuhnya ke depan. “Tapi Jua, setelah gue pikir-pikir. Kalau gue pakai teori ovum, sperma itu nggak akan datang kalau kita nggak nyari cowok buat bisa diajak having sex—“ Kata-katanya tidak selesai karena tawa lebih dulu terdengar. “Eh, tapi bener, kan?”
“Itu kan cuma ... perumpamaan.” Juana bersandar ke sandaran kursinya dengan wajah gerah.
Keiya memeriksa arlojinya. “Eh, makin malam nih, coba cek dong, tuh cowok-cowok udah jalan apa belum? Apa masih nongkrong aja?”
“Bentar deh, gue telepon dulu.” Cleona menjauh untuk menghubungi seseorang, meninggalkan meja yang terus berisik di sana. Sesaat, dia kembali. “Udah pada di jalan ke sini tuh ....”
Kata-kata itu, membuat Gege meraih gelas minuman berkaki tinggi yang agak hambar miliknya tadi. Menyesapnya lagi. Entah, apakah gugupnya kini tampak sangat jelas? Karena setelahnya, Samira bertanya dengan suaranya yang rendah. “Lo ... baik-baik aja, Ge?”
Gege mengangguk. “Gue ... baik-baik aja kok.”
Setelahnya Samira tidak lagi bertanya, tapi menuduh. “Lo gugup.”
Kali ini Gege menggeleng. “Nggak.” Namun, satu-dua detik kemudian, dia meminum isi gelasnya yang hambar itu hingga tandas. “Gue nggak gugup ....” Setelahnya Gege kesulitan menelan salivanya. Karena ... dia melihat satu per satu laki-laki yang mereka tunggu di meja sejak tadi, kini muncul memasuki area taman yang terbuka.
================
Udah deg-degan belommm nih menyambut kisah mereka yang lebih kompleks dan njilimetttr?
AKU UDAH NULIS ADDITIONAL PART DI KARYAKARSA BTW.
Kisah tersembunyi pasangan-pasangan lain selain Kama-Gege. 😋 Besok mungkin yaaa? KITA MALAM MINGGUAN BAREEENGGG. 😍

Sampai bertemu di part selanjutnyaaaa. Bakar-bakar lagi apinyaaaa. 🔥🔥🔥🔥🔥

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
