Hello, KKN! | [5. Desa Welasasih]

397
46
Deskripsi

“Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!”

Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.

Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.

Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...

Hello, KKN! | [5. Desa Welasasih]

post-image-67597fd3dc607.png


Haiii. 🌸

 

 

Kangen nggakkk?

 

Maafkan ya agak lama update-nyaaa. Karena ada beberapa kerjaan jadi mesti diselesaikan duluuu.

 

 

Masih semangat kannn yaaa? 🔥

 

Oh iya. === Tanda ini adalah penanda bahwa scene-nya terjadi di masa depan yaaaa. Pokoknya inget-inget ajaaa. XD Selamat membacaaa. 🌸


Posko KKN 111 Welasasih

post-image-67597ff60ec6d.jpeg

***

 

==========

“Ge?” 

Seorang wanita yang sejak tadi termenung di ruangan itu dengan satu kotak berisi kenangan di tangannya, dan selembar foto yang sejak tadi dia tatap, kini mendongak. Dia temukan wajah sahabatnya melongok dari balik pintu.

“Kok, lama? Ketemu nggak kotaknya?”

“Eh—iya, ini ketemu.” 

“Ayo, udah pada nungguin tuh.” 

Gege setengah berlari menghampiri sahabat wanitanya yang masih berdiri di ambang pintu hingga Gege tiba menghampirinya. “Cowok-cowok udah pada kumpul?”

“Belum. Mana ada mereka bakal datang cepet, sih?” gumam wanita yang sudah berjalan di depannya, Cleona. “Gue yakin mereka punya acara sendiri sih sebelum ke sini.”

Gege berdecak. Setelahnya, langkahnya menyejajari Cleona. Sama-sama berjalan untuk kembali ke taman, pada kebisingan, pada tempat yang akan dijadikan area pesta. Pada tempat di mana ikrar pernikahan akan didengar.

===========

 

 

 

Di balik kebenciannya pada Kama, harus Gege akui bahwa manusia satu itu memang  memiliki jiwa kepemimpinan yang luar biasa hebat. Dalam waktu satu pekan, dia bisa membuat seluruh anggota kelompok KKN-nya menyelesaikan tujuh rencana program kerja yang mereka susun dalam sebuah proposal. 

Seminar proposal berjalan lancar. Tujuh program kerja disetujui, hasil survei ke lapangan adalah sebagai bukti akurat bahwa semua progran kerja sudah menyasar tepat pada hal-hal yang dibutuhkan oleh masyarakat. Mencakup aspek ekonomi, pendidikan, sosial budaya, kesehatan, informasi, lingkungan, dan keagamaan. 

Mereka membuat tujuh rencana program kerja yaitu; digitalisasi UMKM desa, pembuatan taman  baca, pelestarian warisan budaya, pengadaan tempat sampah sekaligus alat sampah minim asap, pembangunan infrastruktur digital desa, gerakan desa hijau, dan perbaikan infrastruktur tempat ibadah.

Mereka memiliki beberapa tugas revisi, lalu sebuah peringatan tentang kegiatan yang akan lebih banyak dari program kerja yang akan mereka lakukan di sana. “Yah, nanti kalian akan terjun langsung dan mengerti. Biasanya, dalam satu program kerja, kalian akan mendapatkan beberapa tugas tambahan yang tidak disangka-sangka—yang itu akan mempengaruhi RAB yang telah ditentukan sebelumnya, jadi harus pintar-pintar me-manage keuangan yang diberikan oleh pihak kampus,” ujar Pak Jafran. “Kalau nggak sesuai dengan proker, kaliak berhak menolak. Selamatkan kelompok kalian dari kata ‘iya’ setiap kali dimintai sesuatu.”

Mungkin hal itu yang membuat Kama tampak pusing sendiri. Dia berkali-kali berkata, “Dengan dana yang ada, gue harap bisa nge-cover semua proker sampai selesai.”

Oke. Lupakan bagaimana wajah kusut Kama setelah seminar proposal. Mari kita bercerita tentang bagaimana mereka mulai melepaskan Jakarta untuk menuju ke Bandung Barat dan memulai hari untuk terjun seluruhnya di masyarakat. 

Bukan Kama namanya kalau tidak penuh dengan tindakan preventif, saat kelompok KKN lain berangkat sesuai dengan tanggal yang ditentukan oleh LPM, Kama meminta kelompoknya untuk pergi satu hari sebelum tanggal pelaksanaan KKN. Katanya, “Kita harus punya tenaga untuk beres-beres barang sebelum ketemu sama pihak desa dan ngejelasin proposal program kerja kita selama KKN di sana nanti.”

Emang nih orang nggak bisa kalau lihat orang lain santai sedikit. 

Namun, seperti sebelum-sebelumnya. Kama selalu berhasil memaksakan idenya hingga tidak ada yang mendebat. Mereka berangkat H-1, pada malam hari. Rencananya, mereka hanya akan membawa masing-masing satu sepeda motor yang dikendarai oleh sembilan anggota kelompok laki-laki, dan satu truk militer berisi barang bawaan dan keenam anggota perempuan. 

Seperti yang dikatakan oleh Pak Jafran. “Hidup sederhana, sesuaikan dengan tempat di mana kalian tinggal.”

Lagi pula, Kama bilang—Kama lagi—di Desa Welasasih mereka lebih membutuhkan kendaraan sepeda motor untuk punya akses menuju rumah-rumah warga. 

Namun, siapa sangka bahwa Sakala akan datang dengan penuh percaya diri menggunakan Maybach GLS hitamnya ketika kedelapan laki-laki lain patuh dengan sepeda motornya? “Gue yakin di sana nanti sesekali kita bakal perlu mobil, percaya sama gue,” ujarnya meyakinkan kedelapan laki-laki yang tengah menatapnya muak. “Terus, lo semua tega anak-anak cewek naik truk sampai Welasasih? Gue sih nggak ya. Bisa-bisa, nyampe sana mereka tepar karena mabuk perjalanan. Yang repot siapa? Kita-kita juga.” 

Akhirnya, ide Maybach GLS itu disetujui. Keenam anggota perempuan terselamatkan dari guncangan truk militer dan menemani Sakala di mobilnya.

Oke. Selamat tinggal Jakarta, malam itu, mereka semua berangkat menuju sebuah desa yang berada di pelosok. Maybach GLS milik Sakala berpisah dengan delapan motor yang berjalan beriringan. Mobil hitam itu memasuki gerbang tol, dan membuat keenam perempuan cukup tenang. 

Namun, “Masih jauh ya ini kalian jangan seneng dulu,” ujar Sakala saat mobilnya sudah keluar dari pintu tol. “Kalau mau pada tidur, tidur aja. Nanti gue bangunin kalau udah sampai.”

Selama perjalanan, para perempuan itu tidak terlalu banyak bicara. Karena, mungkin sama seperti yang tengah Gege rasakan saat ini, suasana sendo saat meninggalkan Jakarta sekaligus para orangtua yang mengkhawatirkan mereka masih terasa. Bahkan, setelah dua jam perjalanan, Gege masih mendapatkan sebuah pesan dari Yaya, “Belum sampai ya, Sayang? Yaya kangen nih, kalau udah sampai telepon Yaya ya.” 

“Kayaknya kita memang salah pilih ketua deh,” gumam Cleona yang duduk di jok paling depan, karena dia kalah suit, dia duduk di paling depan. “Momen KKN gue ini berubah jadi mimpi buruk karena Kama.”

“Bener. Orang lain santai aja tuh, kita doang yang ditekankan buat benar-benar ‘mengabdi,’” tambah Juana. “Gue nggak bisa bayangin kalau udah di sana nanti, apa dia nggak nyuruh kita buat bikin log book tiap hari?” 

“Jua, udah deh, gue bayanginnya jadi pengen nangis lagi.” Sabine memeluk bantal bunganya, benar-benar menangis lagi. Dia sengaja duduk di jok paling belakang bersama Gege dan Samira, karena sepanjang perjalanan memang sudah direncanakan untuk menangis. “Gue ingat nyokap, jadi pengen balik.”

Gege dan Samira merangkul pundaknya, “Udah, Bine. Nanti lo sakit kalau nangis terus lho?” ujar Samira. Kepalanya meneleng, berusaha menatap wajah Sabine yang ditutup oleh hoodie berwarna pink-nya. 

“Lo harus yakin kalau KKN ini bakal menyenangkan, Bine. Ini cuma karena lo belum bisa mengolah persepsi lo aja kok. Lo harus yakin bahwa KKN ini bakal menyenangkan,” rayu Gege.

“Menyenangkan apa? Kama tuh harusnya nggak masuk kelompok kita nggak, sih?” tanya Sabine. “Apa sih yang bikin dia ada di kelompok kita? Kepentingannya apa? Se-urgent apa sampai dikabulin sama LPM?” 

“Iya, kenapa dia nggak minta satu kelompok sama ceweknya, sih?” tanya Juana.

“Anak DKV tuh nggak KKN setahu gue,” jawab Keiya. “Eh, maksudnya ada programnya, tapi mereka bisa ganti pakai magang.” 

“Jadi ceweknya Kama nggak KKN, ya?” tanya Gege.

Keiya mengangkat bahu. “Gue nggak tahu juga. Tapi kalau punya pilihan untuk nggak pergi KKN, kayaknya kita semua bakal milih untuk nggak pergi nggak, sih?” 

Semua mengangguk-angguk, menyetujui ucapan itu.

Oke. Kembali pada perjalanan yang panjang. Yang ... beneran panjang, ini kita mau ke mana woi? Sudah hampir lima jam mereka habiskan waktu di perjalanan, tapi Desa Welasasih belum juga nampak. 

“Sak, kita mau ke mana ini?” Cleona yang duduk di jok paling depan menoleh ke kaca jendela, membuat semua penumpang di sana ikut-ikutan panik. “Ini hutan anjir, Sak.” 

“Lo pakai maps dong!” teriak Sabine dari jok belakang. 

“Kita nyasar kayaknya deh.” Juana memeriksa waktu di ponselnya. “Udah jam sebelas malam ini lho kita malah masuk hutan?” 

“Sebaiknya telepon anak cowok lain nggak, sih?” Gege meraih ponselnya, walau sudah ditahan sebisanya, dia tetap tidak bisa menahan panik.

“Ini rutenya udah bener kok, memang lewat sini.” Sakala tampak tenang, antara tenang atau memang dia menikmati kepanikan teman-teman perempuannya. “Kita lewatin area ini dulu; pesawahan, hutan kayu, sampai nanti nemu rumah warga setelah turun bukit.” 

“Gue telepon Zale dulu deh.” Juana menyingkirkan rambut pendeknya ke belakang sebelum menempelkan ponselnya ke telinga. “Duh, nggak diangkat. Mereka nggak mungkin ninggalin kita, kan?”

“Harusnya tadi kita janjian di alun-alun kecamatan untuk berangkat bareng kalau tahu bakal masuk hutan begini!” Cleona tampak frustrasi karena duduk di jok paling depan, menyaksikan paling jelas  keadaan hutan saat malam.

“Gue telepon Javin dari tadi nggak diangkat, nggak guna banget tuh manusia,” keluh Keiya. 

Mereka kini, tiba menyebrangi sebuah jembatan yang menyambungkan dua desa yang terbelah oleh sungai, sebuah  gapura tua melengkung di atasnya bertuliskan, ‘Wilujeng Sumping di Desa Welasasih’.

[Selamat Datang di Desa Welasasih]

“Ngeri ada begal nggak, sih?” kata-kata polos Sabine membuat seisi penumpang menatapnya horor. Mata Sabine yang sembab karena kebanyakan menangis kini berpendar, menatap semua mata teman-temannya. “Lihat dong, jalannya gelap banget. Nggak ada penerangan jalan sama sekali.” 

“Nggak ada jalur listrik memang di sini, Bine,” sahut Sakala, masih seperti tadi, tenang. “Tapi kalau di Welasasih, listrik udah masuk, tenang aja.” Dia terkekeh saat melihat wajah para perempuan di sana begitu tegang. “Nah, di depan tuh ... kita bakal lewatin bukit, yang salam satu sisinya jurang.”

Jelas semua kembali pada posisi tegang. Siapa yang bisa santai jika mendengar kata ‘jurang’? Kata itu hampir tidak pernah mendapatkan konotasi baik. 

Keenam perempuan di dalam mobil menatap lurus pada jalanan gelap yang berlubang, yang sejak tadi membuat tubuh mereka terguncang-guncang, yang kini disorot oleh lampu mobil milik Sakala. 

Satu, dua, tiga, sebentar lagi mobil akan melalui tanjakan yang begitu curam.

Namun, mobil direm mendadak. Tiba-tiba, segerombolan pria dengan tudung-tudung hitam menghadang jalan laju mobil dengan lambaian tangan mereka. Di titik itu, kata tegang tidak cukup untuk menggambarkan keadaan para penumpang di dalam mobil. Semua tangan saling menggenggam. Hening sekali, suara radio bahkan hanya serupa desis karena kehilangan signal. Segerombolan pria dengan tudung hitam mendekat ke arah mobil, mengerubungi. 

Dan, saat salah satu dari mereka mengetuk kaca jendela, para perempuan di mobil menjerit. “AAAA!!!” 

“Weiii?” Ketukan di luar semakin kencang, dan jeritan di dalam mobil semakin brutal. “Ini gue.” Pria di luar mengetuk-ngetukkan lagi jemarinya pada kaca. “Ini gue, Kama. Kita semua sengaja nungguin kalian biar—” Suara Kama terhenti karena Cleona sudah membuka kaca jendela mobil dan mengulurkan tangannya ke luar untuk menjambak rambut laki-laki itu.

***

Dari jembatan, gapura tua itu, mereka hanya membutuhkan waktu sepuluh menit untuk tiba di rumah Posko KKN 111. Waktu sepuluh menit seharusnya tidak begitu lama jika saja yang mereka lewati sepanjang jalan bukan bukit gelap dan jurang. 

Para perempuan bahkan memilih duduk di beranda kayu sambil berselonjor kaki saat para laki-laki menurunkan koper dan barang-barang mereka dari truk. Butuh helaan napas berkali-kali agar napas mereka kembali normal setelah melewati perjalanan yang memacu adrenalin. 

“Kita cuma bantuin nurunin koper ya, kalian pilih sendiri koper dan barang-barang milik kalian nanti,” ujar Javindra, dia berjalan melewati beranda dan memasuki rumah sambil mengangkat semua barang yang diturunkan dari truk, menaruhnya di ruang tengah. 

Gege sudah bangkit dari posisinya, lalu berjalan mengikuti para laki-laki yang bergerak ke dalam rumah. Melihat bangunan serba kayu itu dengan mata berpendar, ternyata para perempuan lain juga mengikutinya dari belakang. 

Juana sengaja berjongkok dan menatap pada celah-celah yang dihasilkan di lantai kayu. “Ini pasti dingin banget sih kalau malam, udara dingin bisa masuk dari semua celah lantai kayunya.” 

“Ini namanya rumah panggung,” jelas Kama. “Rumah yang lantainya sengaja dibuat tinggi.”

“Biar?” tanya Gege, tubuhnya berbalik.

“Menghindari hewan buas.” Jawaban Kama membuat semua perempuan melongo. “Jadi, setiap malam jangan lupa buat nutup pintu atau jendela. Kalau pun mau dibuka, pastiin kalau ada yang jagain biar hewan buas nggak masik.” 

“Gila sih, dari awal muncul kabar KKN ini gue sama sekali nggak menemukan kabar baik.” Cleona tampak putus asa. 

“Ngapain gue pergi KKN kalau buat ketemu hewan buas deh?” tanya Sabine, masih menjinjing bantal bunga.

“Nggak bisa apa kalau waktunya dikurangi? Jangan empat puluh hari banget?” tanya Keiya.

“Bisa,” sahut Javindra. “Sekarang kalau lo mau balik, gue anter.” 

Keiya mendelik.  

Kama bertepuk tangan beberapa kali agar suasana menjadi kembali kondusif. “Ingat tujuan awal kita ke sini, dan fokus pada apa yang harus kita selesaikan,” ujarnya. Menatap semua pasang mata yang kini tampak risau. “Oke. Kita akan bagi kamar sekarang. Ada tiga kamar di sini, di sebelah kanan—ruangan yang paling besar ini akan menjadi kamar kalian.” Dia menunjuk para perempuan. “Dan satu kamar di sebelah kiri ini untuk kamar laki-laki. Kami nggak butuh kamar yang terlalu luas karena biasanya akan tidur di mana aja.” 

Lalu, mereka berjalan ke satu kamar di bagian belakang kamar laki-laki. “Nah, kamar ini akan kita gunakan untuk ruangan khusus. Aturan di ruangan ini, nggak boleh berisik dan nggak boleh saling mengganggu. Jadi, untuk yang mau cari tempat ngerjain tugas, untuk diem doang atau untuk orang yang lagi kesel dan pengen sendiri, di sini tempatnya, meminimalisir masalah juga buat orang-orang yang mood-nya lagi senggol bacok.”

Semua menyetujui.

“Sampai sini ada yang mau ditanyakan?” tanya Kama.

Semua menggeleng, berlalu untuk mengambil koper masing-masing. 

“Oke, selamat beristirahat semuanya. Besok kita harus bangun pagi-pagi untuk mengadakan pertemuan resmi dengan aparat desa.” Lihat, Kama bersemangat sekali. “Oh, iya, Ge. Jadwal piket, harian gue udah minta ya kemarin. Aturan di rumah ini selama empat puluh hari, harus kita bikin juga. Sama—“ ucapan Kama terhenti saat melihat Zale tengah membidikkan kamera ke seluruh ruangan. “Zal?” 

“Yep?” Zale berbalik.

“Konten PDD, sebelum publish harus lewat persetujuan semua anggota ya.” Ucapan Kama membuat Jenggala melangkah mendekat. “Cari konten yang aman-aman aja. Gue lihat-lihat, konten KKN tuh nggak jauh-jauh dari cinlok lah, apalah.”

“Oh, takut nyinggung perasaan cewek lo, ya?” tanya Jenggala.

Kama membela diri. “Yang punya cewek kan bukan gue doang. Yash, Gesang—“

“Gue mah masih HTS-an,” sahut Gesang.

“Ya gitu lah ....” Kama menghindari tatapan orang-orang yang tertuju padanya. “Pokoknya setiap konten, lo kirim ke grup dulu deh.”

Zale melepaskan tawa pelan. “Gue baru tahu, selain bikin konten, tugas PDD mesti jaga perasaan pacar orang juga.” 

“Itu masuk common sense nggak, sih?” balas Yash sambil berlalu. “Nggak harus disuruh, tapi lo harus ngerti.”

Selanjutnya, tidak ada yang berniat mendebat. Mereka mulai berpencar, sebagian sudah memasuki kamar tidur, sebagian lagi menuju ruang tengah, lainnya berada di ruangan luas paling belakang yang menyatu dengan dapur. 

Gege masih bertahan di ruang tengah, dia memilah barang bawaannya dengan Yesa yang duduk bersila di hadapannya. “Kenapa lo?” tanya Gege saat Yesa terus menatapnya.

Yesa menggeleng. “Jagain lo aja.”

Gege mendecih. “Jagain gue dari apaaa?” 

“Dari apa kek, dari cowok-cowok yang mau gangguin lo. Dari Kama juga.” Yesa melepaskan tawa. “Anjir lah, ini serius gue harus gantiin posisi Kale selama empat puluh hari ke depan?” 

Kale dan Yesa adalah dua nyamuk yang memiliki tugas berganti-gantian untuk mrnjaga Gege dari Kama. Entah apa tujuan para orangtua melakukan hal itu. 

“Dibayar berapa lo?” tanya Gege.

“ACC buat dapet mobil baru sih kalau kata Om Ari.” Yesa menyengir. “Jadi gue beneran bakal jagain lo demi mobil baru gue.” 

“Lo bakal dapat mobil baru deh, gue bantuin. Asal lo nggak ngikutin gue ke mana-mana kayak gini.”

“Oh, nggak bisa .... Nyokap lo bilang, lo sama Kama harus dijagain soalnya bisa aja melakukan hal-hal yang tidak diinginkan dan tidak senonoh—“ Ucapan Yesa terhenti karena Gege baru saja melemparnya dengan tumbler. Laki-laki itu tertawa. “Kita tuh tahu banget betapa lo menggilai Kama—“

Gege berdecak, kali ini dia melotot memberi Yesa peringatan. “Siapa yang menggilai Kama?” Dia tidak terima.

“Halah, kayak nggak ingat aja dulu, ditantang buat cium Kama langsung lo cium.”

Gege menjambak rambut Yesa sehingga laki-laki itu mengaduh dan tubuhnya condong ke depan. “Berisik lo.” Itu sudah lama sekali, lamaaa sekali. Saat Gege berusia tujuh tahun. Saat dia menganggap bahwa Kama satu-satunya laki-laki yang tersisa di muka bumi sedangkan yang lain hanya siluman kodok. 

“Tas kecil gue ada di koper lo kayaknya deh, Ge,” tiba-tiba Kama menghampiri Gege yang masih duduk berhadapan dengan Yesa. 

Gege mencari di dalam kopernya. Tas milik Kama yang berisi charger, kabel USB dan lain-lain itu tertinggal di rumahnya sehingga Tante Chiasa mengantarkannya pada Gege yang sore tadi belum berangkat. Sekaligus mencari alasan untuk bertemu dengan Gege juga sepertinya. Tante Chiasa mengatakan banyak hal, menyampaikan banyak pesan. 

Tante Chiasa selalu membuat Gege khawatir. Daripada Kama sendiri, Tante Chiasa yang tampak sangat jatuh cinta pada Gege.  Terakhir wanita itu berkata, “Kasih tahu Tante ya Ge, kalau Kama macam-macam di sana. Nanti Tante yang marahin—Oh, iya, jangan mau dipegang.” 

Padahal, siapa yang mau macam-macam sih? Kama tidak pernah tertarik pada Gege, dan Gege sudah lama memutuskan untuk menganggap Kama tidak lebih dari seekor kodok seperti laki-laki lain. 

Lalu, aktivitas orang-orang di dalam rumah itu terhenti saat suara ketukan pintu dari arah luar terdengar. Semua saling tatap, merasa heran dengan tamu yang datang di tengah kegaduhan. Pasalnya, saat ini waktu sudah jauh melewati tengah malam. Siapa yang akan bertamu di jam-jam orang sudah terlelap seperti ini? 

“Buka, Yes,” ujar Gesang seraya menggedikkan dagu ke arah pintu. 

“Lo aja.” Yesa menolak.

Rajata berdecak, padahal dia yang paling jauh dari pintu. Dari ruangan belakang, dia berjalan cepat. Tidak mengambil ancang-ancang, tiba-tiba saja dia membuka kunci dan menarik daun pintu agar terbuka. 

Di luar, selain ada suasana malam yang gelap dengan pohon-pohon yang daunnya tertiup angin kencang, ada seorang wanita tua bertubuh bungkuk dan mendongak. Wajahnya yang penuh kerutan tersiram cahaya oranye dari lampu beranda, dia tersenyum. Rajata melompat ke belakang menghasilkan suara gedebuk yang kencang, dan semua  yang berada di dalam rumah menjerit histeris.

 

***

 

 

 

 

Sehat-sehat di mana pun kita berada pokoknya ya! 

 

Doain aku sehattt juga biar bisa update sering-seriiing. :p Siapa tau besok tiba-tiba update gitu kan :p 🔥🔥🔥

post-image-67598009dd4cd.jpeg

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Hello Kkn
Selanjutnya Hello, KKN! | [6. Morning Person]
355
53
“Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!”Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak terima saat banyak laki-laki yang mendekat pada Gege dan menyatakan suka. Ternyata, usaha Gege sia-sia saat diingatkan bahwa cinta pertamanya adalah Kama.Ketegangan terus berkembang, hingga semua masalah bermunculan dengan sembarangan. Jadi, bagaimana Kama? Kamu tetap pada Laika atau memutuskan kembali pada Gege dan menyatakan suka?24/11/24
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan