
"Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!"
Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.
Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.
Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...
Hello, KKN! | [49. Untuk Mak Wasih]

Haiii 🌼
Kangen nggaaakkk? XD
Kemarin aku sempet bikin POV Yash di Karyakarsaaa. Khusus scene Sabine-Yash ajaaa. Di sana kita bisa lihat semua kejujuran Yash pokoknya. 😋 Udah pada bacaaa?
Selamat membaca yaaa. Makin sini, nulisnya makin baper karena kegiatan KKN di Welasasih sebentar lagi selesai. Semoga cerita sederhana ini melekat di hati kita semua dan nggak menjadi cerita yang mudah dilupakan yaaa. Jangan lupa untuk follow Instagram citra.novy juga untuk info tentang cerita ini selanjutnya akan dibagaimanakan(?) wkwk
Siap-siap untuk menyambut Anak-anak KKN 111, di versi dewasa yang pasti lebih gemesss lagi 😋 siapa yang udah nggak sabarrr?
Kasih api yang banyak dulu tapiii 🔥🔥🔥🔥🔥
***
Dua hari ini, mereka mulai membiasakan diri tanpa kehadiran Sindy di posko. Walau sesekali mereka akan lupa dan memanggil namanya, walau sesekali mereka akan ingat saat tengah makan bersama, walau sesekali mereka akan duduk di halaman belakang untuk melihat bunga-bunga layu di atas gundukan tanah merahnya.
Namun, mereka tidak lupa, ada Ivy yang kini harus mereka jaga sama-sama. Berbagi tugas untuk memberinya susu, menyediakan tempat yang hangat, mengajaknya bermain, menjaga kebersihan kandang barunya. Mungkin ini cukup menjadi pelipur, Sindy tidak sepenuhnya meninggalkan mereka, dia sengaja menghadirkan Ivy untuk dirawat bersama.
Yah begitu lah, Waktu akan terus berjalan, tanpa pernah menunggu, walau hidupmu tengah diliputi kehilangan dan kesedihan.
Oh, ya. Hari ini adalah tiga hari terakhir kegiatan KKN 111 di Welasasih. H-3 acara Penutupan Kegiatan KKN 111 Welasasih. Seluruh proker harus dinyatakan selesai, waktu tiga hari adalah waktu mereka menyelesaikan berbagai laporan seluruh kegiatan, meriviu apa-apa yang mereka lakukan hingga memperbaiki kekurangan.
Dan ini, adalah kali terakhir Gege harus mengunjungi Ruang Berbagi, untuk membereskan semua barang-barangnya di sana. Dia datang bersama Kama, tapi Kama harus menemui Pak Kades lebih dulu untuk bicara sehingga dia dibiarkan untuk membereskan segalanya sendirian. Tidak banyak, hanya ada beberapa buku bacaan, lukisan di dalam beberapa bingkai, speaker portable, juga beberapa alat tulis.
Gege memasukkan semua barang-barangnya ke dalam kotak yang berada di atas meja, yang sengaja dibawanya dari posko. Hanya dalam beberapa menit saja, pekerjaannya di ruangan itu selesai. Dia tatap ruangan di samping balai desa yang awalnya adalah ruangan yang tidak terpakai itu lama. Tatapnya memendar, ruangan sempit itu sesak oleh banyak cerita, penuh dengan tangis, tapi tidak jarang diisi oleh senyum yang lega.
Gege menghela napas panjang. Dia tengah menatap ke arah luar jendela, di mana pohon beringin yang berdaun rimbun di sisi-sisi lapangan sepak bola itu bergerak-gerak diterpa angin siang hari. Pemandangan itu, adalah yang sering dia tatap lama-lama. Ada beberapa orang yang akan melintas di sana, para warga yang hendak ke ladang dengan topi capingnya, para penggembala yang berjalan beriringan dengan hewan ternaknya.
Yah .... Kali ini, terakhir kali dia duduk di sana dan menyaksikan segalanya.
“Teh Gege ...?”
Suara itu membuat Gege sedikit terkejut hingga memutar tubuhnya cepat. Di ambang pintu, dia temukan Teh Yani yang kini berdiri sambil menjinjing kantung plastik hitam sambil tersenyum ke arahnya.
Jika kalian ingat, dia adalah sosok wanita yang pernah bertengkar dengan mertuanya di ruangan sempit itu, mempermasalahkan seorang pria yang merupakan anak dari seorang Ibu sekaligus suami dari seorang wanita bernama Kang Rahmat. Teh Yani, adalah wanita yang sempat datang pada Gege untuk berkata bahwa dia ingin bercerai.
Kali ini, dia kembali datang ke Ruang Berbagi.
“Teh Yani ....” sapa Gege. “Masuk, Teh ....”
“Lagi beres-beres ya, Teh Gege?” Teh Yani melepas sandal jepitnya di luar teras sambil melangkah masuk.
“Iya nih, Teh ....”
“Udah siap-siap pulang ya, Teh?” Suara itu berubah sendu. “Nggak kerasa ya, waktu empat puluh hari di sini .... Sekarang udah mau pulang aja.”
Gege tersenyum. “Iya. Kayaknya udah betah deh di sini, jadi waktu empat puluh hari itu kayak cepet banget.” Gege tertawa dengan suara rendah. Dia menyembunyikan haru saat tahu bahwa dia dan keempat belas temannya yang lain berhasil melalui seluruh waktu KKN di Welasasih.
“Kenapa sih nggak jadi orang sini aja?” tanya Teh Yani. “Teteh yakin, bukan cuma Teteh yang merasa terbantu oleh kehadiran Teteh dan Aa KKN, tapi hampir semua orang di desa ini amat-sangat merasa terbantu,” ujarnya. “Khususnya Teh Gege .... Kapan lagi bisa ngobrol sama psikolog secara gratis?”
Gege tertawa. “Belum jadi psikolog, Teh.”
Teh Yani melepaskan tawa singkat. “Calon psikolog, ya?” candanya. Dia masih tertawa, tapi kesan sendunya masih tetap terasa. “Teh Gege, sayang datang ke sini mau memberikan ini.” Dia menyerahkan satu kantung plastik makanan yang dibawanya. “Mohon diterima.”
“Ya ampun Teh, ngerepotin ....”
Teh Yani menggeleng. “Nggak .... Ini adalah ucapan terima kasih, karena selama di sini, Teh Gege banyak membantu saya.” Dia menunduk selama beberapa saat sebelum kembali menatap Gege. “Terima kasih karena Teh Gege sudah menyelamatkan pernikahan saya dan Kang Rahmat. Terima kasih, berkat Teh Gege, Indah nggak menjadi anak broken home.”
Gege menyunggingkan senyum simpul. “Saya kan hanya memberikan pandangan terhadap masalah Teteh, semua keputusan sepenuhnya ada di Teteh .... Jangan lupa berterima kasih kepada diri Teteh sendiri, karena Teteh sudah kuat, sudah mau bertahan, sudah mengambil keputusan yang tepat.”
Teh Yani mengangguk. “Iya. Saya bersyukur sekali ....” Lalu, terdiam agak lama. Teh Yani hanya memandangi Gege sampai akhirnya suaranya yang serak terdengar. “Teh Yani boleh peluk Teh Gege nggak?” tanyanya. “Karena ... setelah ini kan saya nggak tahu, kapan lagi bisa ketemu Teh Gege.”
Gege tidak berkata apa-apa, dua tangannya terulur untuk menyambut Teh Yani yang kini datang ke arahnya.
Ah, adegan perpisahan yang mengharukan seperti ini yang sebelumnya tidak pernah dia bayangkan. Meninggalkan orang-orang yang menganggapnya berjasa yang sebelumnya tidak pernah dia pikirkan.
“Pasti setelah kembali ke Jakarta, Teh Gege dan teman-teman yang lain sibuk sekali,” ujar Teh Yani. Suaranya lirih, diiringi Isak yang tipis. “Tapi, walaupun begitu, jangan lupakan Welasasih ya, Teh. Kami tunggu kedatangan Aa dan Teteh untuk kembali sekadar menengok keadaan kami,” ujarnya. “Kami akan menyambut Aa dan Teteh semua dengan sukacita.”
Gege mengangguk, dia menghela napas panjang untuk menahan air matanya. “Terima kasih ya, Teh .... Semoga nanti, kami bisa sama-sama kembali ke sini.”
Pelukan itu terurai, Teh Yani mengusap sudut-sudut air matanya yang basah. Dia bercerita di ruangan itu sambil menunggu Gege selesai membereskan barang-barangnya ke dalam kotak. Dia menceritakan bagaimana sikapnya bisa membuat ibu mertuanya lambat laun berubah. Hingga Gege temukan senyum yang tulus di wajah itu, lelahnya kini menyimpan lega. Teh Yani tampak lebih kuat dari terakhir kali Gege lihat.
Setelahnya, Teh Yani pamit pulang. Hampir bertepatan dengan Kama yang selesai bicara dengan Pak Kades.
Kama muncul di ruangan itu setelah membuka sepatunya dan bergerak masuk ke ruangan sempit itu. Bertanya, “Segini doang barangnya?”
Gege mengangguk. “Iya, cuma sedikit kok.”
“Oke.” Kama mengangkat kotak di atas meja. “Ayo pulang, ini biar aku yang bawa.”
Setelahnya, mereka bergerak keluar dari ruangan itu dan berjalan kaki untuk kembali ke posko. Gege menyusul langkah Kama sambil menjinjing kantung plastik pemberian Teh Yani, melewati jalan beraspal, dengan pohon-pohon rindang di sisinya.
“Udah selesai ngobrol sama Pak Kades tentang Perpisahan KKN kita?” tanya Gege sambil menyejajari langkah Kama.
Langkah Kama tidak sulit dikejar, seperti sengaja mengimbangi irama langkah Gege dan jangkauan kakinya yang pendek. “Udah. Pak Kades usul kalau perpisahan KKN diadakan malam hari supaya seluruh warga bisa hadir dan ikut menyaksikan. Karena kalau siang, warga masih sibuk di ladang.”
“Oh .... Oke, oke ....”
“Pak Kades juga ikut mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya Sindy,” lanjut Kama.
“Tahu dari mana Pak Kades Tentang Sindy?” Gege menoleh.
“Kayaknya Pak Jafran yang bilang. Waktu kita nggak bisa ikut nge-zoom sore itu, Pak Jafran langsung menghubungi Pak Kades, bicara soal acara perpisahan KKN,” jelas Kama.
“Oh ....” Gege mengangguk-angguk.
Sore itu, setelah mereka izin untuk tidak mengikuti rapat seluruh anggota KKN, Gege pikir Pak Jafran akan marah, atau setidaknya menuntut mereka untuk lebih bertanggung jawab. Namun nyatanya, Pak Jafran menelepon Kama dan menanyakan perihal keadaan sosok kucing yang melahirkan itu.
Saat tahu bahwa Sindy meninggal dunia, Pak Jafran membantu mereka untuk melakukan koordinasi langsung pada pihak desa terkait perpisahan KKN yang akan diselenggarakan tiga hari lagi.
“Oh iya, aku udah selesai bikin gambar yang kamu minta.” Wajah Kama menoleh. “Ada dua belas gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda-beda, sesuai yang kamu minta,” ujarnya.
“Nanti aku lihat gambarnya, ya?”
Kama mengangguk. “Boleh .... Udah aku print kok, pakai kertas tebal, jadinya kayak card gitu, sesuai sama yang kamu mau.” Kama menoleh lagi, menatap Gege sambil terus berjalan. “Itu untuk apa, kalau aku boleh tahu?”
“Untuk Mak Wasih,” jawab Gege. “Mau aku kasihin ke Mak Wasih.”
Kening Kama mengernyit, dia tidak mengerti. Jadi dia kembali bertanya, dan Gege menceritakan apa yang akan dia lakukan pada kedua belas gambar itu sampai membuat Kama tertawa dan mengangguk-angguk paham.
Di perjalanan itu, beberapa orang yang kebetulan tengah berada di beranda rumah akan menyapa saat Gege dan Kama berjalan melintas di depan rumah mereka. Sesekali mereka akan dihampiri dan diajak mengobrol. Sehingga tidak jarang Gege menunggu Kama yang tengah bicara dan menatapnya dari belakang.
Gege menatap punggung Kama yang dua tangannya kini masih menopang kotak berisi barang-barang miliknya.
Siang itu, sinar matahari tertahan oleh awan-awan. Mendung. Gege ingat hari itu. Harus mengingat hari itu.
Hari di mana Gege hanya memandangi wajah Kama dari kejauhan. Sesekali, saat tengah mengobrol, laki-laki itu akan menoleh dan tersenyum padanya. Dan Gege membalasnya dengan senyum yang sama. Menunggu dia selesai bicara dengan seseorang yang menyapanya.
Hari itu, Gege berusaha menatap lekat wajah Kama dengan benar, matanya merekam setiap lekuk indah wajah itu, menyimpannya dengan sangat baik di dalam kepala. Kegiatan yang akhir-akhir ini kerap dia lakukan. Karena, jika suatu saat dia rindu, dia akan dengan mudah menggali ingatan yang banyak itu dan menikmatinya untuk dirinya sendiri.
Kama menoleh pada Gege, menatap ketertinggalannya. “Ayo ...,” ajaknya saat dia selesai bicara dan pamit pada beberapa warga.
Setelahnya, Gege akan mengejar langkahnya, kembali berjalan di sisinya. Dan dia rasakan satu tangan Kama menggenggam jemarinya saat berjalan. Mengajaknya bicara. Tidak membiarkannya lagi untuk tertinggal di belakang. Kali ini, Kama membuat Gege mendengar terus suaranya sambil memandanginya dari samping, menyaksikan bagaimana dia berbicara dan tersenyum tipis, yang tidak terlalu kentara.
Hingga mereka tiba di posko, di keramaian yang ternyata sedang dikunjungi oleh Teh Lilih dan Mina yang tengah duduk di beranda.
“Teh, Gege!” Teh Lilih melambaikan tangan, membuat Gege membalasnya dan terpaksa melepaskan genggaman tangan Kama. Teh Lilih meninggalkan keramaian di beranda untuk bergerak ke arahnya.
“Sibuk banget nih kayaknya! Ya ampunnn, sampai susah banget mau ketemu!” goda Gege.
Teh Lilih melepaskan tawa pelan. “Iya. Sekarang kerjaan saya banyak Teh, bahkan suka sampai begadang semalaman untuk kerjain order-an.”
“Wah?! Keren banget. Udah banyak yang pesan ya?”
“Lumayan lah ...,” jawab Teh Lilih. “Karena dikerjain sendirian, jadinya ya ... menyita waktu banget—tapi Teh Lilih bersyukur banget, setelah diiklankan oleh AA dan Teteh, pesanan Teh Lilih jadi makin banyak.”
“Aku ikut seneng, Teh!” Gege tulus berkata demikian. Bahkan sampai dia bisa merasakan getar suaranya sendiri saat bicara. Dia mengingat bagaimana Teh Lilih yang pucat dan kuyu yang dia temui saat datang, kini berganti dengan Teh Lilih yang penuh semangat dan harap baru.
Gege menoleh pada Mina yang kini tengah dikerubungi oleh para anggota laki-laki. Gesang mencoba menggendong Mina dengan bantuan Samira. “Ya ampun kalau kayak gini, gue kayaknya nggak jadi baby blues .... Nggak jadi child free gue.” Suara Gesang membuat orang-orang di sekelilingnya mencibir. Sementara dia hanya tertawa-tawa.
Sambil menyentuh pipi Mina dengan gemas, Gesang berbicara pada Teh Lilih. “Teh, tolong Minanya jangan dikasih makan dulu biar nggak cepet gede.”
Teh Lilih hanya menanggapinya dengan tawa. Karena kini setelahnya, Gesang seperti mencari-cari sesuatu di tubuh Mina. “Tombolnya mana sih ini, weiii? Cara bunyiinnya gimana?” Dia memperlakukan Mina seolah-olah seperti boneka.
Setelahnya, Mina direbut dari pangkuan Gesang oleh Cleona. Lalu, dia berlari-lari di halaman karena di kejar oleh Yesa. Yah, tetap seperti itu, bising, berisik, dan sibuk.
Gege dan Teh Lilih menjauhi keramaian. Kantung plastik hitam yang Gege terima dari Teh Yani, dia taruh di beranda dan kini menjadi rebutan.
Di bawah pohon ceremai, Teh Lilih kini mengajaknya kembali bicara. “Beberapa hari yang lalu saya kembali menemui Kang Faldi.” Teh Lilih tersenyum saat Gege menoleh padanya. “Saya datang hanya untuk memenuhi janji bahwa saya akan berkunjung lagi setelah terakhir kali menemuinya. Saya datang untuk mengatakan bahwa ... saya tidak akan pernah menerima bentuk pertanggungjawaban apa pun darinya untuk Mina.”
Gege mengangguk. “Saya salut sekali sama Teteh.”
“Saya nggak egois kan, Teh?” tanyanya. Nada suaranya tetap rendah, tetap terdengar takut-takut saat membicarakan pria itu.
Gege menggeleng. “Nggak sama sekali,” jawabnya. “Teteh hanya sedang melindungi diri Teteh sendiri dan Mina—bukan hanya dari rasa kecewa, tapi juga dari kemungkinan luka lama yang bisa terulang lagi. Sekaligus, ini adalah penegas tentang kesalahannya di masa lalu, bahwa kehadiran itu tidak bisa dipinjam atau dikembalikan begitu saja ketika sudah lama dia tarik untuk Teteh dan Mina.”
Teh Lilih mengangguk. Tampak yakin sekarang. “Saya akan tetap bersikap demikian, dan membesarkan Mina sendirian, Teh. Saya akan berusaha menjadi yang terbaik untuk Mina.”
Gege tersenyum melihat keyakinan itu. “Saya yakin Teh Lilih bisa.”
“Eh ....” Di antara senyumnya yang kini terukir di wajahnya, Teh Lilih terkejut sendiri. Dia melupakan sesuatu yang sejak tadi dibawanya, sebuah kantung plastik yang dia taruh dipangkuan, kini dia angsurkan pada Gege. “Ini ... saya buat khusus untuk Teh Gege,” ujarnya. Saat Gege menerima pemberian tersebut, Teh Lilih kembali bicara. “Mohon diterima ya, Teh .... Ini nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang Teh Gege berikan untuk saya dan Mina, tapi ... saya harap dengan pemberian ini, Teh Gege nggak akan pernah melupakan saya dan Mina.”
Gege tersenyum haru sambil mengucapkan kata ‘terima kasih’ dengan suaranya yang lirih. Ucapan Teh Lilih mengingatkan Gege tentang perpisahan KKN yang tiga hari lagi akan dilaksaknakan. “Wah ....” Gege membuka sebuah kemasan di dalam kantung plastik itu.
Gege mendapatkan sebuah kaus putih, dengan embroidery di bagian dadanya yang dia yakini khusus Teh Lilih sulam untuknya. Karena di dalam sulaman itu, dia melihat satu pemandangan yang detail yang dia kenali. Di sana, ada seorang gadis yang tengah duduk di kursi, menghadap ke arah jendela yang terbuka, tampak tengah menyaksikan hujan, sambil menggendong seorang bayi kecil.
Gege tersenyum mengingat momen itu. Hari di mana Gege pertama kali diminta oleh Teh Lilih menjaga Mina di posko.
Namun tunggu ....
Hari itu ... hanya ada Mina, Gege, dan Kama yang tinggal di posko, kan? [Additional Part 15 di Karyakarsa]
“Suka nggak, Teh?” tanya Teh Lilih, membuat Gege menoleh padanya. “Saya diam-diam minta foto Teh Gege ke A Kama. Saya bilang ... Ada nggak foto Teh Gege dengan pose yang paling cantik yang A Kama punya? Terus ... A Kama kirim foto itu ke saya.”
***
Seharian ini, banyak kegiatan yang dilakukan oleh para anggota KKN 111 selepas program kerja selesai mereka rampungkan. Apalagi para anggota laki-laki yang seharian ini berkeliaran di Welasasih hingga waktu menjelang sore. Mereka mengunjungi banyak rumah warga untuk melakukan banyak hal.
Terutama di rumah-rumah para lansia, mereka membantu mengangkut air bersih, membenarkan atap rumah yang bocor, memotong kayu bakar, sampai mendorong gerobak jualan Bah Tata ke arah balai desa.
Mereka menjadi lebih bebas untuk melakukan apa pun. Seolah-olah tidak ingin menyia-nyiakan sisa waktu yang dimiliki, mereka menghabiskannya di luar bersama warga Welasasih.
Dan Javindra, hari ini menepati janjinya. Dia menyewa tambak ikan untuk para warga yang membantunya selama program kerjanya berjalan.
Gege keluar dari posko, melihat satu per satu anggota KKN-nya pulang, yang seperti biasa, tidak pernah dengan tangan kosong. Mereka membawa banyak makanan pemberian warga, berupa camilan atau makanan tradisional, ada juga yang membawa sayur dan buah-buahan.
Gege bergerak turun dari beranda, berjalan ke arah rumah kayu di samping posko. Rumah Mak Wasih. Belum tampak kehidupan di sana. Mungkin Mak Wasih belum pulang dari ladang?
Sore mulai turun, matahari hanya mampu mencapai pucuk-pucuk pohon sebelum akhirnya tenggelam. Di sana, selain ada para laki-laki yang duduk di bawah pohon ceremai, ada Samira dan Rajata yang tengah mengobrol di beranda, ada Cleona yang baru saja menangis karena Yesa melemparkan sandalnya hingga menyangkut di atas genteng dan tidak kembali turun. Juga ada Sabine yang tengah duduk di lorong posko, bersama Yash, tengah membahas bentol di tangan Sabine akibat digigit nyamuk semalam.
“Ka?” Gege memanggil Kama yang tengah duduk bersama Gesang, Jenggala, dan Sakala di bawah pohon ceremai. “Kalau Mak Wasih udah pulang, kasih tahu aku, ya?”
Kama mengangguk. “Oke,” sahut Kama sebelum kembali mengobrol bersama teman-temannya.
Gege kembali bergerak masuk, di posko, selain Juana dan Zale yang tengah tanya-jawab di ruang tengah, Gege tidak menemukan siapa-siapa. Padahal, tadi dia sedang bersama Keiya di dapur.
Jadi Gege mencarinya, “Kei?” panggil Gege.
“IIIH, GEGEEE!” Keiya merengek kencang dari balik pintu kamar mandi. “Ge, tolongin gue, pintunya kekunci. Lo bisa buka kunci dari luar nggak?”
Gege sempat tertawa sebelum menghampiri pintu. Lalu, dia mencoba membuka dari arah luar. Namun, tidak berhasil. “Kei, di dalam ada kunci nggak? Coba lempar ke luar!” pintanya.
Dinding kamar mandi tidak rapat ke atap, ada ruang untuk udara masuk dan keluar selebar setengah meter. Dan Keiya menurut, melemparkan kunci dari atas.
Gege mengambilnya dari lantai. “Bentar ya.”
“Iya,” sahut Keiya, masih terdengar tenang.
Namun, saat Gege melakukan beberapa kali percobaan, hingga Keiya harus menunggu lebih dari sepuluh menit, suaranya mulai terdengar panik.
“Ge? Nggak bisa, ya?” tanya Keiya.
“Iya, nih. Susah.” Gege berdecak. “Bentar ya, gue panggil cowok-cowok dulu.”
Gege bergerak keluar untuk memanggil salah satu laki-laki yang berada di bawah pohon ceremai. Selain ada Kama, Jenggala, Gesang, dan Sakala, di sana juga ada Javindra yang baru saja kembali dari tambak ikan.
“Ada yang bisa gue mintain tolong nggak?” tanya Gege. “Keiya kekunci di dalam kamar mandi. Nggak bisa keluar.”
Orang yang pertama merespons ucapan Gege, tentu saja Javindra. Dia berlari, membuat semua orang ikut bergerak dengan tergesa dan terburu untuk masuk ke posko. Kini, di luar kamar mandi, keempat belas anggota sudah mengerumuni pintu kamar mandi.
“Kei?” panggil Javindra.
“Iiih, Javin, gue kapok ke toilet.” Mendengar tawa di luar, Keiya kembali bersuara. “Jangan pada ketawa dong. Tolongin.”
“Bentar, Kei.” Javindra merapatkan tubuhnya ke pintu. “Gue telepon Alvin dulu.”
“IH, JAVIN JANGAN NGELEDEK BISA NGGAK SIH?! MALU-MALUIN AJA!” Keiya berteriak dengan suaranya yang nyolot. “Lo kalau nggak mau bantu, nggak usah deh. Sana! Yang lain ada yang mau bantu kok!”
“Lah, siapa yang mau bantu?” tanya Gesang. “Nggak ada.”
“IIIH, JANGAN GITU DONG!” Keiya merengek lagi. “Jangan pada jahat dulu. Buruan tolongin.”
“Dobrak aja boleh nggak?” tanya Javindra pada Kama.
Saat Kama belum menjawab, suara teriakan Keiya sudah terdengar lagi. “HEH, JANGAN!” Dia sungguh terdengar lebih panik. “Jangan ngerusak fasilitas posko dong.”
“Nanti kan bisa dibenerin,” ujar Kama.
“Nggak, nggak. Jangan gara-gara gue, nih pintu kamar mandi jadi rusak.”
“Ya udah, lo tunggu di situ.” Selanjutnya, Javindra bergerak pergi, lalu kembali dengan membawa satu kotak alat pertukangan. Dia juga meminta yang lain membawakan sebuah bangku.
Di luar perkiraan, dia kini malah memanjat untuk bisa naik dan masuk ke kamar mandi melalui rongga di atas dinding kamar mandi. “Lo pake celana dulu, Kei, gue mau naik.”
“Ih, Begooo. Ya gue udah pake celana lahhh dari tadiii!” Suara Keiya setengah merengek, setengahnya lagi marah.
Lalu, Javindra benar-benar memanjat dinding dengan menggunakan satu bangku kayu sebagai pijakan. “Minggir Kei, gue mau lompat,” ujar Javindra saat sudah tiba di atas. Setelahnya, Javindra benar-benar melompat.
Sementara itu, anggota yang lain masih menunggu di luar untuk menyaksikan kelanjutan tragedi pintu yang terkunci.
Sesaat, tidak terdengar apa pun, Javindra belum membenarkan kunci pintu. Bahkan, tidak terdengar suara. Sehingga, Kama menghampiri pintu. “Vin?” panggil Kama. Selanjutnya, kening Kama mengernyit karena tidak mendapatkan sahutan. “Javin?”
Masih tidak ada suara.
Kini giliran Gege. “Kei?” Dia merasa bertanggung jawab karena menjadi yang pertama menemukan Keiya terkunci lalu memanggil anggota lain. “Keiya? Jawab gue dong. Lo baik-baik aja? Javin nggak ngapa-ngapain lo, kan?”
Gege melirik Kama. Semua saling lirik saat Keiya tidak kunjung menyahut.
“Kei?” Semua saling bersahutan memanggil.
“Keiya?” Mulai panik.
Lalu, “Iya.” Suara Keiya akhirnya terdengar setelah lima atau tujuh menit berlalu.
Tidak lama, suara kunci yang tengah dibenarkan dari arah dalam terdengar. Klotak-klotek di daun pintu adalah usaha Javindra, hingga akhirnya pintu terbuka.
Selanjutnya, Keiya menjadi yang pertama keluar, disusul Javindra yang baru saja membereskan alat-alat pertukangannya ke dalam kotak.
“Kok, lama banget?” tanya Kama, tentu saja pertanyaan yang sama juga disuarakan oleh yang lain.
Javindra tidak menjawab, dia hanya menyunggingkan senyum yang entah apa artinya. Melihat keadaan itu, Gege buru-buru menghampiri Keiya yang kini bergerak ke dalam ruang kerja. Gege hendak memanggil Keiya, tapi langkahnya tertahan karena dari arah luar, seseorang memanggilnya.
“Ge, Mak Wasih udah ada tuh ....”
Kabar baik. Gege untuk saat ini harus meninggalkan Keiya yang ... mungkin menginginkan waktu sendiri sebelum nanti dia recoki dengan berbagai pertanyaan. Langkah Gege kini terayun keluar.
Dia hanya melongokkan wajah, memastikan keadaan rumah kayu yang berada di samping posko. Dia temukan sepasang sandal di berandanya, yang memberi tahu bahwa pemilik rumah sudah tiba.
Kembali Gege bergerak ke dalam posko, ke kamarnya, untuk mengambil sebuah paket yang didapatkannya siang tadi. Dan dengan langkah terburu, dia kembali bergerak keluar. Kali ini, ke rumah Mak Wasih, berjalan ke arah pintu rumahnya yang terbuka.
Gege memencet bel.
Dan tidak lama melihat Mak Wasih muncul dari arah dapur.
Gege tersenyum melihat wanita lanjut usia itu berjalan ke arahnya dengan tergopoh-gopoh, seolah-olah kedatangan Gege begitu dia nanti. Wanita itu tersenyum, tampak bahagia dengan wajahnya yang lelah dan tubuhnya yang wangi sabun mandi.
Gege duduk di atas lantai kayu, di dekat ambang pintu di rumah itu. “Aku duduk di sini aja,” ujar Gege ketika Mak Wasih menyuruhnya duduk di kursi.
Dan Mak Wasih, duduk di sisi Gege. Tampak kebingungan saat Gege tiba-tiba memberikan sebuah paket berbentuk kotak padanua.
Gege membiarkan wanita itu bertanya-tanya tentang isi kotaknya. Kali ini, Mak Wasih tidak lagi berlama-lama memainkan bubble wrap, dia lebih tertarik pada isi kotak yang diterimanya. Gege membiarkan Mak Wasih membuka kotak itu. Di dalamnya, dia temukan sebuah ponsel yang masih berada di dalam kotak kecil.
Sambil menatap pada Mak Wasih yang kini menoleh padanya, Gege tersenyum. Jemari Gege bergerak membentuk huruf U, lalu ditempelkan di depan bibir dan digerakkan lurus ke depan, kemudian tangannya menunjuk Mak Wasih. “Ini, untuk Mak Wasih.”
Mak Wasih tampak terkejut sehingga tangannya tidak kunjung bergerak. Karena itu, Gege meraih benda di tangannya, membuka kotak itu dan mengeluarkan ponselnya. “Mak bisa gunakan ini.” Gege meraih sebuah case ponsel dengan glitter yang berada di atas meja, benda pemberian Gege yang merupakan benda kesayangan Mak Wasih yang selalu dia bawa ke mana-mana. Gege memasangkan benda itu di belakang ponsel.
“Cantik kan ...?” tanyanya.
Mak Wasih tersenyum, tapi matanya berkaca-kaca. Tangannya bergerak dengan kening mengernyit, Ini mahal.
Gege menggeleng. Tidak. Tidak mahal sama sekali jika dibandingkan dengan berapa banyak kebaikan yang pernah Mak Wasih berikan selama mereka berada di Welasasih. Mak Wasih memberi banyak makanan setiap pagi dan malam seolah-olah tidak ingin mereka kelaparan, Mak Wasih juga mengobati mereka yang sakit, Mak Wasih memeluk mereka yang sedih, Mak Wasih mengusap-usap punggung mereka yang resah, Mak Wasih juga membersamai dalam setiap momen yang mereka lewati di desa itu.
Jadi ponsel itu, benad-benar tidak ada apa-apanya.
Gege mengeluarkan dua belas kartu dengan gambar berbagai macam ekspresi wajah di dalamnya. Itu adalah gambar buatan Kama, yang Gege minta selesaikan hari ini dan laki-laki itu menepati janjinya.
“Itu aku yang gambar.” Suara Kama terdengar. Sosoknya muncul di ambang pintu. Entah sejak kapan dia berdiri di sana hingga akhirnya bersuara dan bergabung dengan Gege dan Mak Wasih untuk duduk di lantai kayu rumah tua itu. Kembali tangan Kama bergerak menjelaskan pada Mak Wasih dengan gerakan seadanya. “Itu aku yang gambar, disuruh Gege.”
Mak Wasih mengangguk. Menatap kedua belas kartu di tangannya. Di dalam kartu itu, ada gambar dengan ekspresi wajah senang, bangga, suka, sehat, sedih, marah, takut, sakit, rindu, kesepian, tolong, dan lelah.
Gege meraih kembali ponsel yang dia berikan pada Mak Wasih, tangannya bergerak menjelaskan, “Aku punya waktu tiga hari untuk ngajarin Mak Wasih cara memakai HP ini ....” Gege belum bisa melanjutkan kalimatnya.
Dan Kama melepaskan tawa pelan di sampingnya sambil merangkul pundaknya. “Katanya nggak akan nangis?”
Gege memaksakan satu senyum. “Aku akan ajarin Mak Wasih untuk pakai HP ini. Maaf kalau waktu ngajarinnya singkat. Aku baru bisa ngasih HP-nya sekarang karena ... uang tabunganku baru terkumpul dan aku baru bisa membelikan HP ini untuk Mak Wasih.”
Mak Wasih mengucapkan kata terima kasih dengan mata yang berkaca-kaca. Berkali-kali.
“HP ini, boleh Mak pakai untuk menghubungi siapa saja. Termasuk anak-anak KKN di sini.” Gege tersenyum. “Mak bisa melakukan panggilan video. Tapi, karena mereka nggak banyak tahu tentang bahasa isyarat, Mak boleh tunjukkan gambar-gambar ini untuk memberi kabar pada mereka saat Mak Rindu.”
Mak Wasih mengangguk-angguk saat Gege menjelaskan lagi.
Gege mengambil satu kartu. “Ini, kalau Mak lagi senang.” Mengambil kartu yang lain. “Ini kalau Mak lagi sedih.” Lalu kartu lainnya. “Ini, kalau Mak lagi ... butuh pertolongan.” Dia terus menjelaskan semua kartu-kartu itu, hingga akhirnya dia mengambil kartu terakhir. “Dan ini, kalau Mak lagi ... sakit.” Ujung suaranya bergetar, dan dia rasakan Kama kembali mengusap pundaknya.
Sementara itu, Mak Wasih mengangguk, paham, tapi tangannya yang bergerak baru saja mengusap sudut-sudut matanya dengan ujung lengan pakaiannya.
Gege kembali bicara pada Mak Wasih. Pada pemilik mata paling tulus yang pernah dia temui selain kedua orangtuanya. Pada pemilik wajah dengan senyum lembut yang mampu menenangkan. Pada sosok kuat bertubuh rapuh yang ... tiga hari lagi akan benar-benar dia tinggalkan.
“Aku selalu menginginkan kabar baik dari Mak Wasih .... Aku selalu berharap ... Mak Wasih sehat selagi aku nggak ada di sini....” Gege menunduk, dia gagal menahan air matanya saat terus harus menatap mata Mak Wasih. “Saat aku jauh ... aku berharap Mak Wasih baik-baik aja. Tapi, kalau Mak Wasih sakit .... Jangan ragu untuk hubungi aku ...,” ujarnya. Dia sudah tidak mampu menahan tangisnya. Gege bicara bersama air matanya yang kini meleleh. “Hubungi kami, kalau Mak kenapa-kenapa di sini .... Ya?”
***
Siapa yang ikut sedih karena sebentar lagi anak-anak nakal ini mau ninggalin Mak Wasih? ☹️
Makin Deket ke masa depan nih kita. Bayangin anak-anak sesumbar ini udah berubah jadi pria-pria dewasa yang keren dehhh. Siap-siap ya. 😆
Jangan lupa kasih vote dan komen yang banyaaakkk. Udahhh?
Terus kasih api di sini yang banyaaaakkk🔥🔥🔥🔥🔥

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
