Hello, KKN! | [48. Satu Anggota yang Hilang]

468
92
Deskripsi

"Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!"

Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.

Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.

Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...

 

Hello, KKN! | [48. Satu Anggota yang Hilang]

post-image-67fa64e3511d2.png

 

Haiii 🌼

Selamat malam mingguan bareng anak-anak KKN Welasasihhh 😋

 

Kasih satu emot yang mewakili perasaan kamu saat ini dong?

 

 

Udah mendekati akhir KKN itu artinya udah dekat juga kita ke cerita masa depan yang darderdor lagi. 😆 Masihsemangat kan iniii?

 

 

Ini 4800 kata. 😆 Komen sama vote-nya bisa dirameinkan yaaaa???? Kasih api dolooo manaaa deeeehhh iniii.Yang banyaaak. 🔥🔥🔥🔥🔥

***

 

 

 

 

Pagi kembali hadir di Welasasih. Sisa-sisa air hujan yang membuat basah pekarangan, suara air sungai, kicau burung-burung kecil yang hinggap di dahan pohon ceremai, suara usap sapu lidi Gege yang bergerak di halaman, dan derit-derit lantaikayu di posko yang mulai bising menandakan aktivitas penghuninya sudah dimulai. Entah untuk menyiapkan sarapan di dapur, bersiap mandi, mencuci pakaian atau sepatu, rebutan lahan jemuran, atau juga aksi beberes Cleona yang membara saat melihat puntung rokok berantakan.

Pagi di posko, selalu ramai.

Gege mengeratkan cardigan rajut di tubuhnya saat kembalimenggerakkan sapu lidi di bawah pohon ceremai. Akhir-akhir ini, bukan hanya udara Welasasih yang dingin, tapi juga suasananya. Kegiatan KKN tetap berjalan seperti yang semestinya, tapi suasananya menjadi jauh berbeda. Masalah-masalah bermunculan, musuh-musuh kedamaian hadir satu per satu, seolah-olah memberi tahu bahwa sebentar lagi semuapenghuni posko u harus kembali sibuk menyambut kehidupanyang ‘sebenarnya’ di luar sana.

“Bersih-bersih, Teh Gege?” Suara sapaan yang nyaring dari jalan yang berada di seberang sungai membuat Gege tersadar bahwa dia melalui beberapa detik sebelumnya dengan melamun.

Wajah Gege mendongak, balas menyapa dengan senyumseorang ibu-ibu bertopi caping yang melintas. “Iya, Bu. Mau kesawah, ya?”

“Iya. Punten nya, Teh. Ngiring ngalangkung.” [Iya. Permisi ya, Teh. Ikut lewat.]

“Iya, Bu. Mangga.” [Silakan] Gege mengangguk sopan, membiarkan ibu-ibu itu berlalu. Setelahnya, dia meraih pengkiuntuk memindahkan sampah daun-daun kering yang taditerkumpul ke dalam trash bag.

Saat Gege berjongkok untuk membenarkan posisi trash bag, kebisingan di beranda mulai terdengar.

Gesang yang kemarin mengeluh sakit, kini duduk meringkukdi atas kursi kayu di beranda posko. Dia mengaduh beberapa kali. Di belakangnya, Rajata berjalan, tampak sudah siap untukpergi.

Ada Javindra yang menyusul keluar. “Serius, masih sakit, Ges?” tanyanya.

Gesang mengangguk. “Serius lah. Ngapain gue bohong?” balasnya. “Ini gue balik-balik KKN bisa-bisa baby blues lah anjir, gue nggak mauuu ketemu anak-anak dulu.”

“Karma tuh ....” Rajata menunjuk ke arah paha Gesang. “Gara-gara lo ngehalangin Sabine buat masak.”

Gesang malah tertawa. “Apa hubungannya anjir?”

Beberapa dari mereka seharusnya berangkat ke balai desahari ini untuk menyelesaikan proyek peta desa yang tengahRajata rampungkan, termasuk Gesang. “Ini bukan alasan lo doang karena nggak mau ikut ke balai desa buat bantuin gue, kan?” tanya Rajata.

“Kagak, astaga ....” Gesang tampak putus asa karena tidak ada yang percaya padanya. “Gue udah minta Jenggala sama Sakala buat bantuin lo di sana, sekalian ambil dokumentasi hasilakhirnya juga.”

Tidak lama kemudian, dua orang yang disebut namanya tadimelangkah keluar, Jenggala dan Sakala yang sudah siap pergi sambil menjinjing jas almamater UNDAYA.

“Masih sakit, Ges?” tanya Jenggala.

Gesang mengangguk, wajahnya setengah meringis.

“Yeu ....” Sakala bicara sambil mengancingkan lengan jasnya. “Minta obatin Samira sana.”

“Dih, sinting lo, ya?” Rajata langsung sewot. “Dadanya kebesot pohon kelapa, masih masuk akal lah minta obatin Samira. Lah, ini? Samira ngobatin apanya gue tanya?”

Melihat Rajata yang melotot-melotot, Sakala hanya tertawa.

Tidak lama kemudian, ketiga laki-laki itu bergerak pergi dariberanda. Rajata sempat berkata pada Samira yang melewatinya untuk mengambil ponsel yang tertinggal di beranda, “Miw, berangkat dulu, ya?”

Dan Samira hanya menggumam, tanpa menatap ke arah Rajata sama sekali. Berlalu begitu saja untuk kembali masuk ke posko.

“Ya elah, kenapa lagi nih?” gumam Jenggala. “Baru jugajadian. Udah ada drama aja.”

“Nggak tahu ....” Rajata menggeleng kecil. “Semalam, baik-baik aja dia.”

Ibu Rajata, Tante Pramudhiya, datang untuk mengirim banyak makanan. Berbicara banyak dengan Rajata dan Samira tanpa ada yang mendengar.

“Udah jangan dipikirin dulu.” Sakala menepuk lengan Rajata yang masih diam di tempatnya berdiri. “Ayo berangkat.” Ketiga laki-laki itu bergerak meninggalkan posko untuk menaiki motor menuju balai desa.

Dan Gege, masih memperhatikan bagaimana Rajata yang tampak bingung.

Gege menghela napas, dia sudah selesai dengan sampahdaun-daun keringnya, yang kini diangkut oleh Yesa ke lorong di samping posko untuk dijadikan bahan uji coba alat bakar sampah siang nanti.

Yesa dan Gege masih berada di halaman saat sebuah motor melaju dari kejauhan melewati jembatan menuju posko. Ini masih pagi sekali, mungkin pukul tujuh? Bahkan, matahari belum muncul karena suasana pagi ini juga mendung. Namun siapa sangka, di waktu yang masih sangat pagi itu mereka sudah kedatangan tamu.

Seorang gadis dengan jilbab instan cokelat dan cardiganpolos biru denim, kini turun dari boncengan motor seorang ojek langganan yang selalu mengantarnya ke mana-mana, menjinjing sebuah tas, berjalan ke arah posko.

Dia Neng Marisa.

“Pagi, Aa, Teteh,” sapa gadis itu. Senyumnya kini kembali cerah, membuat Gege menyambutnya dengan senyum yang sama, tanpa ada yang tahu, diam-diam Yesa sudah panik dan mengirimkan banyak pesan pada Cleona.

Namun, Cleona mungkin sedang menjemur pakaian di halaman belakang? Karena saat Yesa sudah melepas tatap padaponselnya, Cleona tidak kunjung datang.

“Aa Yesa, kebetulan ada di sini.” Neng Marisa kini tidak lagimemoles bibirnya dengan liptint basah yang menyala, tidak adasisa liptint di giginya. Juga, tidak ada rambut yang sengaja keluar di kening dari balik jilbabnya. “Aa, Neng masak lagi nih buat Aa.” Dia mengangsurkan tas yang dibawanya, yang ternyata berisi kotak makanan.

Yesa menggaruk sisi lehernya, melirik Gege yang kini menggedikkan dagu ke arah tas itu. Jadi sesuai perintah Gege, Yesa akhirnya mengulurkan tangan untuk menerima pemberianNeng Marisa, walau dengan gerakan yang agak ragu.

“Aa Yesa ....”

Yesa mengerjap-ngerjap. “Ya, Neng?”

“Walau A Yeaa udah jadian sama Teh Ona, A Yesa nggak boleh lupa sama Neng, ya?” pinta gadis itu. “Apalagi sebentar lagi A Yesa pergi dari Welasasih.”

Percakapan itu mulai mendalam, jadi Gege berniat untukmenjauh. Namun siapa sangka Yesa akan menahan langkahnya, dengan mencengkram pergelangan tangan Gege agar tidak beranjak ke mana-mana?

Suara siulan yang usil di beranda terdengar. Di sana sudahada Javindra dan Kama, yang menyertai Gesang rupanya.

“Walaupun Neng pasti seneng banget seandainya bisadapetin hati Aa, tapi kalau Aa bisa bahagia sama Teh Ona, Nengikut bahagia,” lanjut gadis itu.

Dan dengan kurang ajar, suara Javindra terdengar dari kejauhan. “Kalau Aa Yesa nggak mau ngasih hatinya, Neng minta ginjalnya aja. Biar bisa dijual beli apa aja.”

Perkataan itu membuat Gesang dan Kama memalingkan wajah untuk menyembunyikan tawa.

Neng Marisa tersenyum mendengar lelucon itu. Dia hendak bicara lagi, tapi Cleona yang muncul dari posko dan bergerak dengan tergesa ke arah keberadaan mereka, membuat perhatian Neng Marisa teralihkan.

“Eh, ada Neng Marisa?” Cleona sedikit terengah karena baru saja berlari, lalu berbisik pada Yesa dan bisa Gege dengarsuaranya. “Sori, baru buka HP.” Lalu, “Aduh, repot-repot kirim makanan lagi buat A Yesa, ya? Makasih ya, Neng.”

Neng Marisa mengangguk. “Sama-sama, Teh Ona ....”

Gege tidak menyangka dia harus berada di antara kisah cintasegitiga itu, menjadi saksi setiap kali mereka saling berhadapan. “Neng, nanti boleh lho kalau mau ngobrol lagi. Besok Teh Gege ada di Ruang Berbagi,” ujar Gege.

Neng Marisa mengangguk. “Iya, makasih ya, Teh ...,” balasnya. “Sekarang Neng mau ke balai desa dulu ya. Ada janji sama A Sakala, hari ini pelatihan terakhir sebelum launchingproduk soalnya.” Dia tersenyum. Lalu, melambaikan tangan kecil sebelum pergi. “Nanti A Yesa cobain produk jualan Neng, ya!”

Yesa tersenyum, setengah meringis, tapi juga membalas lambaian tangannya.

Neng Marisa, gadis itu, benar-benar patah hati setelah tahubahwa Yesa berpacaran dengan Cleona, ya? Senyumnya memang cerah, tapi tidak seberisik biasanya saat bicara.

Namun, tidak ada yang bisa disalahkan. Karena, siapa yang bisa memaksakan perasaan seseorang? Lagipula, pura-pura suka juga akan salah sekali ketika melihat seantusias apa Neng Marisa pada sosok Yesa.

Dari kejauhan, dari beranda, suara Gesang dan Javindra terdengar saling bersahutan. “Yes! Yesa!”

Yesa menoleh. Dia masih saling berpegangan tangan dengan Cleona di sana sambil melihat kepergian Neng Marisa.

“Cieee!” Gesang dan Javindra bersuara kompak, sementara Kama di sisinya hanya geleng-geleng kepala dengan fokus yang sudah tertuju MacBook yang berada di pangkuannya.

Yesa melepaskan tangan Cleona mendengar seruan berisik dari teman-temannya.

Sementara itu, Gege berbalik dan melangkah menujuberanda. Langkahnya disusul Cleona, dan Yesa yang kini ikut-ikutan.

Sambil berjalan, Gege berbicara, “Ketika pergi ..., ketika KKN selesai nanti, Lo kayaknya harus ngasih  closure deh, Yes, ke Neng Marisa.”

Closure apaan? Gue nggak pernah menjanjikan apa-apa.”

Langkah Gege berhenti di beranda, berbalik, menatap Yesayang kini berdiri di hadapannya. “Tapi selama ini lo nggakpernah mengatakan apa pun yang menyangkut tentang perasaanlo ke Neng Marisa. Dan sebaliknya. Lo cuma menghindar, terusbilang kalau lo udah jadian sama Ona.”

“Lho, memangnya harus begitu?” Yesa mengernyit, masihtidak terima. “Harus gue jelasin?”

Sementara itu, terdengar sahutan dari arah laki-laki yang duduk di beranda. “Jadi serius gini masalahnya ....”

“Maksud Gege tuh ..., apresiasi perasaan Neng Marisa,” jelas Cleona. “Gitu, kan?”

Gege mengangguk. “Jangan lo tinggalin gitu aja saat lo tahudia suka sama lo. Soalnya kan udah terang-terangan sejak awal. Ini lo tiba-tiba jadian sama Cleona. Kalau lo pergi tanpa bicara apa-apa, nggak bertanggung jawab itu namanya.” Gege masihmenatap Yesa. “Ngerti?”

Yesa mengangguk. “Iya ...,” jawabnya. “Nanti gue ajak dia ngobrol.”

Dan Kama tampak takjub melihat sikap menurut itu sampaimenanggalkan tatapnya dari monitor. Dia menoleh kepada Gege dan Yesa keduanya bergantian. “Lo nurut banget kalau Gegeyang nasehatin?”

Yesa mengernyit. Mencibir, bibirnya sampai miring-miring saat melangkah melewati Kama untuk membuntuti Gege kedalam posko. “Ge, stecu, stecu dulu yuk, Ge?” ajak Yesa.

Lalu, teriakan Kama dari luar terdengar. “Wei, nggak ada ya!”

Gege berjalan di ruang tengah, lalu bertemu Sindy yang sejak tadi berjalan mondar-mandir di dalam posko. Gege sempatberjongkok untuk melihat keadaan kucing gendut yang tampakgelisah itu. “Kamu kenapa? Belum ketemu Mama Sabine ya dari kemarin?” tanyanya. Gege mencoba menggendong kucing putih itu, tapi dia segera bergerak turun dan kembali berjalan mondar-mandir.

Sesaat, Gege meninggalkannya, bergerak ke arah dapur. Di sana, dia temukan tiga temannya yang lain; Keiya, Samira, dan Juana. “Sindy kayak gelisah banget deh. Nggak diem banget dia.”

“Kayaknya mau melahirkan beneran deh dia,” ujar Keiya, dia tengah membantu Juana memetik daun kangkung.

“Box lipatnya yang waktu itu dipesen udah datang belum, ya?” tanya Gege. “Waktu itu Sabine cerita tentang rencana pesan box lipat gitu.”

“Kayaknya udah datang deh,” jawab Samira. “Cuma belum Sabine pasang.”

Gege menoleh ke arah pintu ruang kerja yang masih tertutup. Di dalamnya, Sabine sama sekali belum berniat keluar. Namun, tadi, pagi-pagi sekali Gege sempat memastikan keadaan Sabine dengan mengetuk pintunya dan dia mendapatkan sahutan dariarah dalam.

Satu per satu anggota KKN mulai memasuki area dapur, mereka mulai mencari sesuatu yang bisa dimakan di saat waktu sudah melebihi waktu sarapan.

Termasuk Cleona, yang kini bergerak ke arah dapur dengannapas terengah-engah karena baru saja diusili oleh Yesa. “Masa Yesa lemparin sandal gue sampai nyangkut di pohon ceremai?” ujarnya sambil mencepol rambut. “Ngeselin banget tuh orang. Ya ampun. Pen gue jeblesin aja kepalanya ke tembok.”

“Yesa mah kayak anak kemarin sore, yang kalau PDKT bawaannya jail sama caper mulu,” ujar Zale. Dia duduk di sisi Juana sejak tadi, membantu Juana memotong bawang. “Lo sadar nggak sih, Na, lo lagi ditandain buat dikasih uang gepok dua M?”

“Sadar lah ..., setelah dapet dua M, tinggal gue tinggalin tuh binatang.” Cleona tampak kesal sekali. “Ada yang bisa gue bantu nggak, nih?”

“Ngulek dong, Na.” Samira menunjuk ke arah ulekan yang berada di atas meja makan. “Udah gue bumbuin tuh bahan sambelnya, lo tinggal ngulek doang.”

Cleona melongok ke atas, lalu menggeleng. “Nggak ah .... Gue nggak bisa ngulek pakai ulekan bulet begitu,” tolaknya. “Gege aja tuh.”

“Gege baru selesai nyapu halaman tahu.” Juana melirik Zale. “Sayang, kamu aja deh.”

“Aduh, aku bisa bantuin apa aja. Kecuali ngulek deh beneran.” Zale merapatkan kedua telapak tangannya. Memohon pada Juana. “Jangan aku, Sayang. Musuh aku banget ulekan bulet kayak gitu tuh.”

Gege beranjak berdiri. “Gue coba deh,” ujarnya. “Tapi guebelum pernah nyobain pakai ulekan begini sih ....” Dia malahtertawa saat baru memegang ulekan bulat yang lebih besar dari kepalan tangannya itu.” Lalu, dia menoleh pada Juana. “Ini gimana sih cara nguleknya?” Dia tertawa lagi. “Bingung gue—eh, tapi jujur kalau ulekan biasa, gue bisa.”

Satu per satu anggota KKN mulai memasuki dapur lagi, mereka mulai mencari sarapan. Termasuk Rajata, Jenggala, dan Sakala yang kini sudah kembali dari balai desa untuk sengaja sarapan di rumah.

“Coba sini.” Kama yang sudah tidak lagi mengurus data-datadi MacBook-nya, kini menghampiri Gege dan meraih ulekandari tangan Gege.

Namun, yang dia lakukan sekarang, hanya berdiri di belakang Gege begitu saja tanpa menyuruh Gege menyingkir. Dua tangannya bahkan dengan sengaja dia ulurkan ke depantanpa memberi kesempatan pada Gege untuk beranjak daritempatnya semula. Laki-laki itu mulai bergerak menghaluskan sambal dengan kedua tangannya. Sementara dia sengaja sekalimengurung Gege di antara kedua lengannya.

“Ini aku keluar dulu dong, bentar, “ ujar Gege. Karena sesekali dia merasakan dada keras Kama mengenai punggungnya.

“Lho, ya nggak boleh ....” Lengan kiri Kama kini bahkandengan sengaja melingkar di di tubuh Gege, menahannya pergi. “Aku bantuin kamu kan sengaja, biar bisa peluk kamu.” Kama tersenyum, bisa Gege rasakan senyum itu karena bibir laki-laki itu sengaja ditaruh di pundaknya.

“Kita-kita ini tak nampakkah, Babi?” tanya Javindra mulai muak.

Karena, lihat, di antara belasan pasang mata, Kama malah makin bertingkah dengan sesekali sengaja mencium pundak Gege.

“Asik banget gue lihat-lihat main pacar-pacarannya,” sindir Jenggala sambil memegangi kamera di tangannya. Lalu, diam-diam dia mengarahkan kamera pada pasangan Kama-Gege.

“Lo bayangin seekor Kama bisa clingy begitu ....” Yesasewot sekali, dia bergerak mengambil air putih dari water dispenser. “Geli nggak lo?”

“Tak patut, tak patut, tak patut.” Gesang menggerakkan telunjuknya.

Namun, Kama selalu menulikan telinga atas cacian teman-temannya itu selama dia masih bisa bersama Gege.

“Yesa, pantes sih lo nggak ada waktu buat diri lo sendiri,” ujar Jenggala. “Kama memang nggak boleh lo lewatin sedikit pun gerakannya.”

“Kamaaa!” Itu suara Javindra, yang entah dari mana asalnya. Cepat sekali dia pergi ke luar. “Sambil nunggu sarapan, ayo ujicoba dulu pembakar sampahnyaaa!”

Kama selesai dengan ulekan kasarnya, yang tampak lumayan karena kini Gege hanya tinggal melanjutkan pekerjaannya. “Akuke depan dulu ya, kamu lanjutin nih,” ujarnya pada Gege.

“KAAAAA!” Suara Javindra terdengar lagi.

“Iya!” Kama menjauh. Lalu menunjuk ulekan yang tengah Gege pegang. “Awas kena mata, Sayang. Hati-hati nguleknya,” ujarnya sebelum pergi.

“Heleh ....” Yesa mendelik saat mendengar kata ‘Sayang’ untuk kesekian kali.

Sewot terus dia tuh.

“Sayang .... Sayang .... Sekarang udah nggak level panggilnama  kayaknya ya?” cibir Yesa, tanpa merasa perlu Kama dengar karena laki-laki itu sudah bergerak jauh keluar posko. “Tingkat kepedeannya udah nembus langit rupanya Si Kama-kama itu.”

Dapur kembali sibuk, yang kembali didominasi oleh para perempuan, karena kini para laki-laki sudah kembali ke beranda untuk mengetahui uji coba proyek milik Javindra. Mereka menunggu sarapan dengan sabar tanpa bertanya lagi.

Di dapur kini, laki-laki yang tersisa hanya Yesa. Dia duduk di salah satu meja makan, di dekat Gege. Mengambil kerupukdari stoples, lalu mencocol sambal yang baru selesai Gegehaluskan. Di sana, ada suara bising oleh minyak panas yang menggoreng bakwan sayur. Sehingga suara Yesa tidak menjadipusat perhatian lagi. Hanya Gege yang mendengar. “Lo bisabayangin nggak betapa rusak nasib ‘Si Sayang’ itu seandainya lo nggak memilih untuk sama dia nanti?”

Gege menanggalkan ulekan di tangannya ke sisi. Lalu menarik kursi untuk duduk.

“Gue pastiin sekali lagi ya, Ge .... Lo kayak gini, bukan karena takut sama ancaman Laika, kan? Karena itu kedengeran tolol banget sih.” Yesa memperhatikan Gege yang kini duduk di sisinya. “Lo begini, bener-bener karena ... untuk diri lo sendiri, kan?”

Gege mengangguk. Tidak tampak keraguan di sana. “Iya,” jawabnya. “Ada banyak hal yang gue harus pikirin ... Jadi ngapain gue mikirin Laika?”  

“Perasaan orangtua lo, ini jadi salah satu alasan terbesarnya, ya?”

Gege mengangkat bahu. “Yah .... Lo bayangin seandainyamereka tahu kalau selama ini ... orang yang paling merekapercaya adalah orang yang sama, yang menyakiti gue dalamwaktu yang bersamaan.”

“Mereka bakal ngejar Kama sih ...” gumam Yesa. “Tapi gue yakin kok, Ge .... Kama udah siap banget walaupun harusdipenggal kepalanya gara-gara ketahuan nyakitin lo. Diakayaknya udah siap banget dengan semua konsekuensinya.”

Gege menggeleng. “Gue nggak mau balikan sama cowok yang habis dipenggal kepalanya sih,” ucapan Gege membuat Yesa tertawa getir.

Tawa itu sumbang, lalu reda dengan sendirinya. Yesa masihmenatap Gege sambil bicara. “Lo tahu nggak alasan sebenarnya kenapa gue baru mau niat ngejar Cleona saat usia gue dua puluhenam?” tanyanya. Saat Gege tidak menjawab, Yesa kembali bicara. “Ada tugas yang lebih penting yang harus gue kerjain .... Jagain lo. Sampai lo bener-bener bahagia sama pilihan lo nanti. Karena, bisa berabe gue, kalau dikit aja gue lengah. Nggak lengah aja gue kecolongan mulu ....” Dia tertawa lagi, lalu .... “Setelah itu, baru deh, gue berani mikirin tentang diri gue sendiri.”

*** 

Para anggota sudah selesai sarapan pada waktu yang sudah mendekati makan siang. Pukul sebelas pagi. Mereka mengantre untuk minum. Lalu mencuci piring masing-masing, kemudian kembali keluar dari posko untuk melakukan aktivitas yang dijadwalkan hari ini.

Hari ini, selain ada jadwal uji coba alat bakar sampah, mereka juga memiliki jadwal zoom meeting dengan Pak Jafran.

“Pak Jafran bilang, semua anggota harus ikut zoom meet nanti,” ujar Kama. “Katanya sih, sama semua kelompok KKN bimbingannya juga. Mau diskusi masalah kegiatan penutupan KKN nanti.”

Gege tiba di beranda, mendengar ucapan Kama, tatapnya kini tertuju pada banner KKN 111 yang dipasang di depan posko,  menggantung di beranda. Rasanya, baru kemarin diamelihat Gesang sibuk dengan palunya untuk memasang banneritu saat pertama kali mereka datang. Kini, banner itu akansegera diturunkan, yang artinya, setelahnya mereka harus segerameninggalkan Welasasih.

Mereka sudah berkumpul di halaman untuk menyaksikan ujicoba alat bakar sampah milik Javindra.

Tentu saja tanpa Sabine. Sabine baru keluar dari ruang kerja yang mengurungnya seharian setelah Gege mengetuk pintu. Gege beralasan, “Pak Jafran pengen semua anggota ikut zoom. Lo bisa keluar dulu?”

Hal itu yang mampu meluluhkan Sabine untuk keluar dariruangan, meraih handuk dan mandi. Setelahnya, bagaimana pun caranya, Gege harus berhasil membujuknya untuk makan.

Javindra, Kama, dan yang lainnya mulai memasukkantumpukkan sampah daun kering yang Gege kumpulkan di dalamtrash bag tadi pagi ke dalam tempat sampah. Mereka jugamenyalakan api, lalu menjauh dan memperhatikan bagaimanatabung besar itu menghancurkan sampah dengan api yang melalap habis di dalamnya.  

Di tengah proses pembakaran, Javindra berbicara pada Kama. “Gue bakal nyewa tambak lagi buat mancing kalau proyek ini berhasil,” ujarnya.

Kama hanya mengangguk-angguk. Mereka kini tengah memperhatikan beberapa hal. Salah satunya, asap yang minim saat proses pembakaran itu berlangsung.

Kama tersenyum, dan Javindra menoleh dengan wajah puas.

“Berhasil, Ka!” pekiknya heboh. “WOHOOO! BERHASILLL!” Javindra berteriak sambil memeluk kencangKama hingga tubuh temannya itu sedikit terhuyung-huyung ke depan.

Para perempuan yang duduk di beranda kini ikut bertepuk tangan dan bersorak, ikut merayakan kebahagiaan itu. Sementara para laki-laki sudah saling peluk dan berseru kesenangan.

“KITA BERHASIL!” teriak Javindra lagi. Di tengah pelukan-pelukan yang berdatangan kepadanya, Javindra kembali bicara. “Ka, pinjem dua juta, Ka. Buat sewa tambak.”

“Yah Si Bangsat.” Kama hanya mengumpat.

Namun selanjutnya, Kama tidak berdaya karena Javindra kembali memeluknya. Sedangkan yang lain hanya ikut-ikutan tertawa.

Di tengah kebisingan dan keramaian itu, Sabine hadir dengan penampilan yang tidak lagi menunjukkan bahwa dia baru saja bangun tidur. Piyamanya sudah berganti dengankardigan merah muda yang melapisi kaus putih di dalamnya disambung dengan celana denim. Wajahnya dia beri riasan tipis sehingga matanya yang sembab tidak terlalu kentara. Dia duduk di antara kelima teman perempuannya di tepian beranda, dekat dengan Gege.

“Gimana perasaan lo sekarang?” tanya Gege.

“Yah .... Masih nggak jelas.” Sabine mengangkat kedua bahunya. Tatapnya memendar di setiap sudut halaman. Lalu bertanya, “Yash belum balik, ya?”

“Kama bilang sih tadi masih di perjalanan. Dia juga sempat bilang bakal ikut zoom meeting di perjalanan kalau nggak keburu nyampe posko,” jelas Gege. Dia tersenyum saat Sabine mencebik. “Kenapa, sih? Sini dong peluk dulu.” Dua tangannya merentang dan Sabine menyambut pelukan itu. Yang selaluberakhir dramatis, karena keempat teman lainnya ikut-ikutan memeluk sambil menggumam sedih.

Pelukan itu terurai, mereka memperhatikan Sabine yang kembali bicara. “Gue sebenarnya udah nggak mau berurusan sama Yash ....”

“Kecewa banget, ya?” tanya Juana.

“Mungkin iya .... Karena dulu gue sempat mengira kalau dia itu ... adalah laki-laki langka yang sangat menghargai wanita. Mengapresiasi setiap usaha kecil seseorang. Gue kagum ... gue melihat dia kayak ... harta karun. Karena gue nggak begitu banyak mendapatkan peran seorang pria di dalam hidup gue.”Dia tertawa. “Jadi ..., makanya gue bilang, gue dikecewakan sama ekspektasi gue sendiri. Tapi di balik itu gue juga jujur ... feeling guilty banget waktu lihat Ona berantem sama ceweknya—“

“Oh .... Ini gue harus klarifikasi sih.” Cleona menghadapkan kedua tangannya ke arah teman-temannya. “Kemarin, yang gue berantem sama ceweknya Yash, itu bukan untuk ngebelain lo, Bine. Nggak ada maksud gue ikut campur antara masalah lo danYash,” akunya. “Gue kesel sama tuh cewek karena ... diaseenaknya bikin keributan dengan mulut kotor yang kayak jambannya itu. Jadi sama sekali nggak ada hubungannya sama lo.”

Keiya mengusap pundak Cleona, mencoba menenangkannya karena nada suaranya sudah mulai berapi-api saat mengingat kejadian kemarin.

“Gue harus jelasin ini ke Yash kalau dia datang nanti,” ujar Cleona.

“Tapi suaranya dibikin rendah ya, Na ....” Gege mengingatkan. “Nggak pakai kenceng. Nggak pakai teriak.”

“Iya ....” Cleona menurut. Untuk saat ini.

Kepala Sabine bersandar pada tiang beranda. Menatap ke kejauhan. “Gue beneran udah nggak mau ngomong deh sama Yash, tapi ... gue butuh dia untuk bicarain masalah Sindy. Gue mau Sindy ....”

“Tapi Yash susah banget nggak sih, buat ngalah kalau masalah Sindy?” timpal Samira.

“Gini aja deh. Sindy tetap lo bawa ke Jakarta, tapi kasih jadwal untuk nginep. Misal, Senin sampai Kamis nginep di rumah lo. Nah, Kamis Sindy dijemput sama Yash buat nginep di rumahnya sampai Minggu.”

“Ini udah kayak mikirin hak asuh anak beneran sih gue rasa.” Gege menggeleng heran.

“Atau kita tanya Sindy langsung lah, dia pengen ikut siapa.” Cleona menunjuk Sindy yang masih berjalan gelisah di ruang tengah.

“Ribet banget ini masalah hak asuh ....” Samira memegangikepalanya. Sisa tawanya masih terdengar saat dia bangkit dari beranda untuk bergerak ke dalam posko. Entah untuk mengambil apa, mungkin air minum?

“Eh, tapi ini bukan akal-akalan Yash doang, kan?” tanya Juana. Dia menatap semua teman-temannya. “Ya kan, biasanyadia tuh orangnya nggak pedulian. Cuek. Mau ada huru-hara ataumasalah apa pun yang terjadi di posko, dia seringnya bodo amat. Tapi masalah Sindy ini, dia tiba-tiba keras kepala .... Ini bukan akal-akalan Yash aja buat bisa berurusan sama Sabine karena rasa bersalahnya dia kemarin, kan?”

Sabine berdecak. “Ya nggak lah .... Mana ada dia bakal begitu?” gumamnya. “Lo nggak lihat apa gimana dia cinta matisama tuh cewek? Ngapain juga pengen berurusan sama gue?Kayak nggak ada—“

“SABINEEE!” Suara teriakan Samira terdengar. “BINE, INI SINDY, BINE!”

Tidak hanya Sabine yang kini bangkit dari beranda dengangerakan tergesa. Sabine berlari diikuti oleh yang lainnya. Dengan langkah ricuh dan terburu-buru, mereka menghampiri ruang tengah. Mereka melihat Sindy sudah berbaring dengannapas terengah-engah di lantai kayu.

“Kayaknya dia mau melahirkan deh!” Cleona, tidak pernah sepanik itu.

“Box lipatnya mana?” tanya Gege, mengguncang lenganSabine yang tampak kalut. “Bine?!”

Sabine menunjuk ke arah kamarnya. “Di laci kabinet,” ujarnya sambil menggeragap.

Kebisingan di ruang tengah kini bertambah parah ketika para laki-laki yang tadi sibuk di luar, ikut bergerak masuk. Satu per satu bergabung.

Termasuk Yash yang sudah kembali ke posko, wajahnya tampak lelah, menjadi orang terakhir yang bergerak di antara lantai kayu yang berderit-derit saat terinjak.

Para laki-laki itu, belum menyadari kepanikan di posko. Kama berseru, tangannya menepuk-nepuk. “Ayo, kita mulai zoom sama Pak Jafran. Ini udah mau mulai, soalnya—”

“Sindy mau melahirkan!” ujar Gege sambil membuka boxlipat, menaruhnya di lantai.

Setelahnya, Sabine memindahkan tubuh Sindy ke dalam box. “Kita bawa Sindy ke dokter aja bisa nggak?” Sabine semakin panik. “Ges, coba cari info dokter hewan di sini, Ges!” Diamenatap Gesang, berteriak, tapi terdengar memohon.

“Nggak ada, Bine. Nggak ada dokter hewan di sini, harus ke kota Bandung, dan itu jaraknya jauh banget.” Gesang menggeleng.

Yash buru-buru menaruh tasnya di lantai, menghampiri boxtempat Sindy berbaring. “Siapa yang punya pengalaman nemenin kucing melahirkan?” tanyanya.

Semua saling lirik, menggeleng dengan wajah panik.  

Kama berdecak. “Pak Jafran udah nelepon.” Dia menempelkan ponselnya ke telinga setelah membuka sambungan telepon. “Halo, Pak? Iya, Pak. Ini, kami—“

“Sindy, ya ampun!” Sabine berteriak panik

Dan Kama menoleh. “Pak, mohon maaf, kelompok kami izinuntuk nggak bisa ikut kegiatan zoom meeting hari ini. Nggak, bukan, Pak. Ada kucing mau melahirkan di posko kami. Iya, maaf, Pak. Kami izin, terima kasih.”

Dan semua melongo.

Tidak ada yang menyangka Kama akan membatalkan janjidengan Pak Jafran karena huru-hara Sindy yang hendak melahirkan.

“Yes, panggil Mak Wasih, Yes!” teriak Kama sambil kembali memasukkan ponselnya ke saku celana. Dia bergerak mendekat pada box. “Siapa tahu Mak Wasih paham ini kita mestingapain.”

Yesa langsung berlari keluar. Menghilang, meninggalkan kepanikan pekat di posko itu, meninggalkan semua anggota yang kini berkumpul mengerumuni box dengan Sindy yang masih tampak lemah dan kesakitan.

Tidak lama kemudian, Yesa kembali. Tangannya menggenggam tangan Mak Wasih, membantunya berjalan cepat ke dalam posko. Sementara tangan yang lainnya membawa potongan kardus, yang entah berguna untuk apa. “Di sini, Mak.” Yesa menunjuk ke arah box yang tengah dikerumuni oleh teman-temannya.

Mak Wasih menoleh pada Gege, karena dia tahu hanya Gege yang mengerti bahasa isyaratnya di saat panik begini. Tangan Mak Wasih menunjuk kardus, lalu berbicara dengan gerakan tangannya.

“Pasang dus di sekeliling box biar Sindy hangat,” ujar Gegemenerjemahkan. Dan kini, semua membantu menutupi box itu dengan kardus. Kembali dia melihat Mak Wasih, tangannya bergerak lagi. “Ambil kain untuk alas tidur untuk Sindy.” Gege kembali menerjemahkan.

Dan di sana, Sabine tidak banyak berpikir, dia membuka kardigan merah muda kesayangannya. Dia gunakan pakaian tebal itu untuk menjadi alas tidur Sindy.

Setelahnya, Sindy menggeliat. Dia juga terdengar mengeongkecil. Lirih. Semakin panik. Semua melihat Sindy yang kini berusaha mengeluarkan bayinya.

“Ayo, ayo .... Semangat. Kamu bisa kok. Kamu kuat,” ujar Sabine. Dia mencoba menyemangati dengan suaranya yang cemas. “Semangat Sindy, kamu harus semangat. Kita kan udah janji untuk bareng-bareng ke Jakarta buat ketemu Tomo.”

“Tomo saha?” [Tomo siapa?] tanya Gesang.

“Ada. Kucing. Ganteng. Namanya Tomo.” Sabine menyebut nama kucing gendut abu-abu milik Kayina, kucing yang Kama adopsi, yang pernah Gege ceritakan padanya.

“Ayo, kamu harus jadi Mama Muda yang hebat.” Sabine kembali bicara.

Dan, semua bersorak, saat Sindy berhasil melahirkan satubayinya.

Namun, belum, mereka belum bisa lega. Perut Sindy masihbesar, tampak ada satu atau mungkin dua lagi bayi kucing yang tersisa di sana.

“Ayo, Sindy. Semangat. Sedikit lagi.” Kini bukan hanya Sabine yang menyemangati. Kalimat itu datang saling bersahut-sahutan. Mereka panik, karena kini Sindy tampak lemas, tidak berdaya.

Mak Wasih meraih satu bayi kucing yang telah lahir tadiuntuk memotong ari-arinya dan meneteskan obat antiseptiksetelah meminta kotak obat pada Gege.

Sementara itu, Sindy masih tampak terdiam, tidak ada lagiusaha untuk mengeluarkan bayi di perutnya. Kembali MakWasih mengambil bayi kucing mungil itu dari sisi Sindy, mengusapmya dengan tisu karena Sindy tidak juga menyadaribayi yang lahir di sisinya sehingga tidak merespons untukmenjilati, membersihkan tubuh bayi mungilnya yang kinimenggeliat kecil.

Mak Wasih kembali menaruh bayi kecil itu lebih dekatdengan Sindy. Berharap Sindy menyadarinya. Namun, lama, Sindy hanya bernapas pelan. Matanya terpejam. Lama, mereka hanya memandangi kucing putih itu yang kini tampak terlelap dengan tenang.

Mak Wasih menggoyangkan tangan Sindy. Mencoba membangunkannya.

Namun, Sindy tidak kunjung bergerak.

Bahkan, helaan napasnya tidak lagi tampak. Satu, dua, tiga detik berlalu. Tidak ada pergerakan dari tu buah kucing putih itu.

Semua memperhatikan Mak Wasih yang kini menoleh pada Gege, matanya berkaca-kaca, dua telapak tangannya digerakkanpelan, bolak-balik. Artinya ....

Tidak .... Masih ada kemungkinan untuknya menyampaikan kabar baik. Tidak .... Bagaimana Gege bisa menyampaikanberita duka itu pada Sabine?

Gege menatap Sabine. Namun, isakan kecil lebih duluterlepas dari celah bibir Gege saat dia belum berhasil bicara. Tangan Gege bergerak membekap mulut, mencegah isakan yang lebih pilu terdengar. Tubuhnya berbalik, tidak sanggup menatap mata Sabine lebih lama. Namun di belakangnya, dada Kama hadir untuk menutup wajahnya. Tangisnya pecah di sana.

Dan kini di belakang sana, suara isak tangis Sabine lepas juga. “Sindy .... Bangun ....” Suara pilu Sabine terdengar di antara tangisnya. “Bangun .... Kamu janji mau nemenin aku keJakarta ....” Tangan Sabine menggoyangkan tubuh Sindy. “Kamu udah janji mau nemenin aku biar aku nggak kesepianlagi .... Bangun .... Jangan tinggalin aku sendirian .... Aku mohon, bangun ....”

 

***

 

 

 

 
 

 

 

 

 Aku punya secuil POV Sabine-Yash di Karyakarsa. Kalau nggak malam ini di-update, mungkin besok ya.

 

Siapa ikut sedih? :(

 

Ada yang mau disampaikan untuk Sindy? Untuk terakhir kali?

 

 

 

Kasih emot bunga dulu yang banyakkkk tapiii. Semoga bisa update cepet 🌼🌼🌼🌼

post-image-67fa64d5684ea.jpeg

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Hello Kkn
Selanjutnya Hello, KKN! | [Additional Part 48 – Yash’s POV]
1.6k
442
Ini adalah part khusus Yash-Sabine. Buat yang mau tahu POV Yash saat digodain Sabine, pengakuan Yash. Pokoknyaaa semuaaa. Selamat membaca yaaa. :P
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan