
"Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!"
Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.
Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.
Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...
Hello, KKN! | [46. Lima Belas Pengakuan]

Haiii 🌼
Aku udah pulang dari rumah orangtuakuuu. Jadi takkan kutemukan lagi mati listrik hampir dua belas jam kayak kemarin wkwkwk. Semoga bisa kembali rajin lagi nulisnya yaaa doaiiinnn. ✋🏻
Jangan lupa follow Ig citra.novy ya. Nanti bakal diadain voting, tentang cerita siapa yang bakal ditulis selanjutnya 😋 yaaa walaupun cerita KKN ini kayaknya masih agak panjang juga siii nyampe tamat. Tapi gapapa, kan nanti bisa dipertimbangkan lebih awal bakal nulis cerita siapaaa.
Btw udah penasaran banget sama sosok yang posesifin Gege di masa depan itu, kan? 😋 Aku tunggu voteee dan komennya di part ini yang banyaaak karena ini 5300an kataaaa. 😭🏻
Kasih api yang banyak dlu tapiii boleeeh yaaa? 🔥🔥🔥🔥🔥
***
Grup
Arkayesa Pilar created ‘Grup’.
Arkayesa Pilar added Jeandru Kama.
Arkayesa Pilar added Rajata Suma Pragia.
Arkayesa Pilar added Mahasagara Yash.
Arkayesa Pilar added Kanigara Zale.
Arkayesa Pilar added Jenggala Narapati.
Arkayesa Pilar added Sakala Dananjaya
Arkayesa Pilar added Gesang Radengga.
Arkayesa Pilar added Javindra Madana.
Rajata Suma Pragia
Buru-buru banget sampe nggak sempet mikirin nama grup.
Arkayesa Pilar
Keburu gemeter. 😭🤲🏻
Rajata Suma Pragia
😂😂
Arkayesa Pilar
Kok cuma delapan orang, ya?
Kan, harusnya sembilan?
Satu lagi siapa yang belum gue masukin?
Jenggala Narapati
Lu oon.
Sembilan orang sama lu.
Arkayesa Pilar
Oh iya. 😭
Sori. Masih syok banget. 😭
Jeandru Kama
Males banget.
Ada apaan lagi nih?
Gesang Radengga.
Kama, kata gue mending lo cepet pulang, anggota lo nih, pada nggak beres.
Rajata Suma Pragia
Persis kayak ketuanya.
Kanigara Zale.
Lama-lama kena serangan jantung masal ini satu posko kena semprotan rahasia tiap hari.
Jenggala Narapati
Sumpah sih, sebenernya nggak begitu kaget. Memang udah banyak hint-nya. Tapi ini terlalu duar, gedombrang-gedombreng, JEGEEERRR.
Kanigara Zale
Ini mah bukan Keiya yang kaget dapet banner dari Alvin, tapi kita yang pada kaget sama kelakuan Javin.
Rajata Suma Pragia
Yesa katanya mau nenangin Javin sama Keiya tadi?
Kok malah jadi mundur?
Jenggala Narapati
Yes, aman Yes?
Gesang Radengga
Sok-sokan maju, nyamperin.
Arkayesa Pilar
Gue pikir nggak akan langsung dicaplok. 😭
Depan mata guaaaaa. 😭😭😭
Javindra brengsekkk.
Kecubung jenis apa yang lo pake anying? 😭😭
Jeandru Kama
Ini ada apaan?
Arkayesa Pilar
Javin.
Cium Keiya. 😭
Jeandru Kama
Lah wajar, kan kakak-adek.
Arkayesa Pilar
Cium bibir. 😭😭😭
Jeandru Kama
Tai.
Ga lucu.
Ga usah bercanda kayak gitu.
Arkayesa Pilar
Ngapain bercanda si. 😭
Jeandru Kama
Insect?
Rajata Suma Pragia
Serangga?
Jeandru Kama
Autotext.
Arkayesa Pilar
Nggak lucu
Tai. 😭🏻
Jeandru Kama
Angkat telepon gue, Yes.
Gue mau ngomong.
Mahasagara Yash
Ini posko tiap ditinggal Kama, ada aja gebrakannya.
Jeandru Kama
Pusing gua.
Arkayesa Pilar
Nah, pusing, kan?
Jeandru Kama
Vin?
Muncul, Vin.
Javindra?
Javindra Madana
Nyaut.
Jenggala Narapati
Lo yakin ini bukan pertama kalinya lo lakuin di posko, Vin?
Javindra Madana
Nggak lah.
Rajata Suma Pragia
Vin?
Javindra Madana
Apaan?
Rajata Suma Pragia
Are you ready? :(
Gesang Radengga
Awokwokwokwok.
Sepertinya kumengenal percakapan ini.
Kanigara Zale
Lo cintanya sama Keiya. Tapi pas awal bisa-bisanya sempet gombalin Gege sama Sabine depan Keiya.
Arkayesa Pilar
Ka, lihat nih kelakuan sopir truk ini.
Sakala Dananjaya
Kalau berani terang-terangan gini, berarti mainnya lebih pro dari Kama, ya?
Rajata Suma Pragia
Kama cuma berani main di belakang Yesa soalnya.
Gesang Radengga
Kama tergeser posisinya jadi nomor 2.
Ayo siapa lagi mau ikuttt biar kama jadi nomor 9?
Kanigara Zale
Rapi mainnya Bro Javin. Sampe nggak ada yang sadar.
Jenggala Narapati
Sampai bongkar rahasia secara mandiri.
Gesang Radengga
Ini tokek nggak bakal datang nih? Ada konflik berat begini?
Kanigara Zale
Nggak perlu bantuan tokek ini mah. Udah sat set das des cap cup.
Jeandru Kama
Keiya gimana? Aman?
Jenggala Narapati
Telepon aja, Ka.
Jeandru Kama
Gimana nanyanya, ya?
Gesang Radengga
Tanya kabar aja dulu.
Jenggala Narapati
Assalamu’alaikum, Keiya. Sehat, Neng?
Jeandru Kama
Ada aja kelakuan kalau gue lagi jauh begini.
Sakala Dananjaya
Memang beneran harus diadain pengajian di posko kayaknya.
Gesang Radengga
Bener, kayak ide siapa dulu tuh?
Posko kita perlu di ruqyah, dilemparin garam sama daun bidara.
Jenggala Narapati
Wkwkwk. Sindir alusss.
Jeandru Kama
Javin sok-sokan doang.
Taunya sekarang dia yang kerasukan.
Arkayesa Pilar
Ka, sungkem, Ege.
Suhu baru itu.
Arkayesa Pilar changed the group name to “SUHU [Sumber Hujatan]”
Rajata Suma Pragia
Seenggaknya murid kama yg satu ini lebih pro daripada gurunya.
Jenggala Narapati
Tingkahnya lebih gong daripada aksi tarik-tarikan kemeja Kama-Gege.
Gesang Radengga
Javin juga main tarik-tarikan.
Tarik tambang kiss.
Jenggala Narapati
Ah elah 🤣🤣
Jeandru Kama
Gue telepon Keiya nggak diangkat.
Gege juga sama.
Coba pastiin deh, Keiya aman?
Arkayesa Pilar
Nggak lah. Nggak aman.
Abis gampar Javin kenceng banget.
Jeandru Kama
Nangis nggak?
Arkayesa Pilar
Nggak sih. Cuma ya keliatan banget marah.
Javin aja masih syok tuh.
Jeandru Kama
Javin?
Javindra Madana
Apaan?
Jeandru Kama
Siroyo.
***
Pagi-pagi, Gege dan kelima teman perempuan KKN-nya sudah berangkat dari posko untuk membantu kegiatan sosial yang diadakan oleh Klinik Sindangsono. Mereka diantar oleh Zale, yang mengendarai mobil Sakala menuju ke sebuah pesantren yatim piatu yang jaraknya tidak jauh dari klinik. Sedangkan Rajata dan Jenggala mengendarai motor, menyusul pergi.
Di sana, agenda pertama yang mereka lakukan adalah memberi santunan berupa sejumlah uang, makanan, pakaian, buku-buku bacaan, perlengkapan sekolah, hingga mainan. Selanjutnya, mereka juga bertugas menamani anak-anak itu untuk bermain. Nah, di momen itu para anggota KKN 111 berperan sangat penting. Tidak hanya menemani mereka dengan mengadakan fun games, Gege dan yang lainnya juga mengajari mereka untuk membuat vision board yang telah berhasil dilakukan di Welasasih.
Acara itu dipimpin oleh Samira tentu saja. Dia yang paling menguasai situasi jika menyangkut segala hal yang berhubungan dengan anak-anak. Mereka berkumpul di taman yang berada di tengah-tengah bangunan, rumputnya yang tebal dan hijau kini ditutup oleh karpet plastik karena air sisa hujan semalam membuat area itu masih agak basah. Mereka, anak-anak itu, tampak antusias sekali saat Samira memberikan masing-masing papan gabus, kertas warna-warni dan alat tulis untuk mengkreasikan rancangan mimpi mereka.
Di tengah kegiatan itu, seorang anak perempuan berjilbab putih datang menghampiri Gege. Usianya mungkin sekitar tujuh atau delapan tahun, dia bertanya, “Teh Gege ....” Gadis kecil bernama Nabila itu menyebut namanya dengan suaranya yang rendah dan lembut. “Kalau cita-cita itu ... boleh jadi apa saja, kan?”
Gege mengangguk cepat. “Boleh dong .... Boleh jadi apa saja.”
“Walaupun cita-citanya nggak mungkin tercapai?” tanyanya, begitu polos. Tidak, dia tidak sedang putus asa, dia hanya sedang jujur dan bercermin pada keadaan dan kehidupannya.
Gege menggeleng kecil. “Nggak ada cita-cita yang nggak mungkin tercapai.” Dia temukan beberapa helai rambut yang keluar dari jilbab putih gadis kecil itu. Jadi, Gege mengusap keningnya, dia rapikan jilbabnya.
“Tapi ... cita-citanya terlalu tinggi. Terlalu jauh ....”
Gege menunduk, menyejajari wajahnya dengan wajah mungil itu. “Nggak apa-apa kalau cita-citanya terasa jauh untuk saat ini. Karena sesuatu yang jauh tetap bisa digapai dengan langkah-langkah kecil, kan?” tanyanya. “Begitu juga dengan cita-cita. Cita-cita itu ada untuk menjadi motivasi, mendorong kita untuk belajar, dan nggak menyerah untuk terus mengejar.”
“Gimana kalau cita-citanya tetap nggak bisa tercapai?” Gadis kecil itu mengulangi pertanyaannya.
“Kalau akhirnya, cita-citanya memang nggak sepenuhnya tercapai, nanti kamu akan mengerti sendiri, bahwa langkah-langkah kecil kamu yang terarah pada cita-cita itu, nggak akan pernah berakhir sia-sia. Akan ada banyak ... sekali hal berharga yang kamu dapatkan. Jadi jangan sedih, jangan kecewa ....” Gege mengernyit kecil, mencoba mengintip pada papan yang tengah Nabila dekap. “Memangnya cita-cita Nabila mau jadi apa, sih? Teh Gege boleh tahu nggak?”
“Jadi arsitek,” ujarnya. “Biar bisa gambar rumah yang bagus.”
Gege mengacungkan kedua ibu jarinya. “Kereeen! Nabila suka gambar?”
Gadis kecil itu mengangguk. “Suka. Teh Gege mau lihat?” tanyanya.
“Boleh.”
Setelahnya, Gege melihat anak kecil itu menaruh papan gabusnya di depan Gege, lalu berlari untuk kemudian kembali dengan satu buku gambarnya yang dia tunjukkan pada Gege. Di dalamnya, Gege menemukan banyak gambar menakjubkan. Gambar bangunan-bangunan tinggi, juga rumah-rumah modern yang ekspresif. “Ini bagus sekali lho?”
Nabila tersenyum mendengar pujian itu, membuat Gege meraih tubuhnya agar duduk lebih dekat. Lalu, kini mereka sama-sama membuka lembar demi lembar buku gambar itu.
“Nabila ..., Teh Gege pernah dengar dari seseorang. Bahwa ... keistimewaan anak-anak seperti Nabila adalah, Nabila dan teman-teman memiliki kebebasan untuk menciptakan mimpi dan cita-cita sendiri. Nabila bebas mau jadi apa saja, seperti yang Nabila inginkan. Bebas untuk berlari ke arah yang Nabila mau .... Kuncinya adalah, sungguh-sungguh belajar dan nggak menyerah. Ya?”
Nabila mengangguk, seraya mendekap buku gambarnya. “Makasih ya, Teh Gege,” ujarnya dengan mata berbinar-binar.
Gege mengangguk kecil, lalu melepas kepergian gadis kecil itu saat Samira memberi instruksi untuk mulai menggunting dan menempel cita-cita di atas papan gabus yang masing-masing mereka pegang.
Gege menjauh sesaat dari area taman saat suasana sudah kondusif. Tubuhnya berbalik, sedikit terkejut karena tiba-tiba Axel ada di hadapannya.
“Sori, sori,” ujar Axel sambil melepaskan tawa kecil. Dia sadar sudah membuat Gege kaget. “Aku bikin kamu kaget, ya?”
Gege menggeleng. “Nggak apa-apa.” Tangannya meraih botol air mineral pemberian Axel. “Thanks, ya.”
Axel mengangguk. “Anytime.”
“Oh, ya .... Mira ada menghubungi aku hari ini,” ujar Gege.
“Oh, ya?”
Gege mengangguk. “Dia bilang, dia mau cerita satu hal. Tapi—“ Ucapan Gege terputus karena ponselnya kini bergetar, tangannya merogoh saku jas almamater marun yang dia kenakan. “Ah, baru aja diomongin,” gumamnya. “Bentar ya, Xel. Aku ke depan dulu. Mau ketemu Mira.”
“Mau aku antar?” tanya Axel, tubuhnya berbalik mengikuti arah gerak Gege.
Sedangkan Gege tidak menghentikan langkahnya, melangkah mundur untuk menjawab tawaran Axel. “Nggak usah.”
Lalu, Gege berbalik, setengah berlari menuju pintu keluar. Dia tidak ingin membuat Mira menunggu lebih lama. Hari ini adalah hari yang dia tunggu-tunggu setelah beberapa waktu lalu usahanya tidak membuahkan hasil. Langkah Gege mengendur saat tatapnya menangkap sosok Mira yang berdiri di depan gerbang masuk.
Gadis remaja berseragam SMA itu, kini menatap ke arahnya dengan tatapnya yang sendu. Wajahnya kuyu, lebih mengkhawatirkan dari terakhir kali mereka bertemu. Namun, ajaib sekali karena hari ini dia memaksakan satu garis senyum yang tipis untuknya.
Gege mengajaknya masuk, mereka berjalan di halaman pesantren tempat kegiatan sosial itu diadakan. Menghindari keramaian, Gege mengajak Mira menuju sebuah gazebo di sudut halaman. Mereka duduk bersisian, dengan tatap mira yang tertuju ke arah kejauhan.
Gadis remaja itu, tampak meratapi sesuatu. “Terima kasih ya, Teh Gege ...,” ujarnya. Suaranya masih sama seperti terakhir kali mereka bertemu; rendah, ragu, terdengar putus asa. “Makasih karena ... setelah bertemu Teh Gege, aku jadi punya sedikit keberanian untuk bicara.”
“Dengan senang hati,” balas Gege. “Senang sekali mendengar kabar baik ini.”
Wajah Mira mendongak, dia menoleh dan menatap langsung mata Gege. “Awalnya aku nggak punya keberanian untuk langsung bicara, jadi aku menuliskan di atas secarik kertas apa yang ingin aku katakan pada ibuku. Dan Ibu sudah membaca semuanya .... Ibu tahu tentang rahasia yang selama ini aku sembunyikan.” Dari suaranya yang bergetar, juga raut wajahnya yang sakit, Gege tahu bahwa rahasia itu bukan kabar yang baik.
“Bagaimana respons Ibu, setelah tahu?” tanya Gege.
Wajah sendu Mira kembali lagi, senyumnya lenyap. “Ibu sedih ...,” jawabnya. “Tapi aku lega ... akhirnya aku bisa mengatakan ini pada Ibu.”
“Jika ini adalah kabar yang tidak baik ..., Ibu lambat laun pasti bisa menerima.”
“Aku hamil, Teh ....” Suara itu seolah-olah membekukan dunia.
Gege menatap lama gadis berseragam putih-abu-abu itu. Selama beberapa saat, dia kehilangan suara.
“Aku mengecewakan Ibu.” Wajah Mira menunduk. Dia tatap kuku-kuku jemarinya yang kini dia mainkan, tampak gugup, tampak kalut. “Aku mengecewakan satu-satunya orang yang aku miliki di dunia ini.”
Gege menarik napas. Perlahan mencoba menenangkan diri atas kabar buruk itu. Dia adalah manusia biasa, yang sesekali akan kehilangan kemampuan untuk bicara hal baik agar orang di hadapannya tetap baik-baik saja. Selama beberapa saat, Gege kehilangan kemampuan menghibur dan meredakan sedih seseorang.
“Ibu menangis ....” Mira bersuara lagi. Dengan suaranya yang bergetar.
“Keadaannya pasti sangat sulit, baik untuk kamu mau pun Ibu. Wajar kok kalau Ibu sedih. Ibu pasti khawatir tentang masa depan kamu, tentang tekanan sosial yang akan kamu dapatkan, juga harapan yang pernah dia gantungkan pada kamu. Iya, kan?” Gege berusaha keras untuk bicara, menyelami kekalutan Mira.
Mira mengangguk. “Aku mengerti, Teh ....”
“Yang harus kamu lakukan sekarang .... Siapkan diri kamu untuk menghadapi langkah ke depannya, usahakan selalu komunikasikan semuanya dengan Ibu. Apa rencana ke depannya setelah ini?”
Mira menggeleng kecil. “Belum tahu.”
“Apa pun yang terjadi .... Jangan lupa untuk tetap periksa ke dokter, pastikan keadaan kamu dan bayi di perutmu ini sehat.” Gege meraih tangan Mira yang tampak rapuh, menggenggamnya, seolah-olah berharap bisa menyalurkan sisa energi miliknya. “Jangan takut untuk menata kembali masa depan. Hidup nggak akan berakhir karena situasi ini. Kamu masih bisa memiliki masa depan yang baik. Fokus pada langkah-langkah yang bisa kamu ambil untuk memastikan yang terbaik bagi kamu dan bayi kecil di perutmu ini .... Bisa, ya?”
***
Hari ini, melelahkan sekali. Kegiatan yang dilalui bersama anak-anak selalu berhasil menguras energi. Dan percakapan dengan Mira di halaman tadi, benar-benar melenyapkan sisa energi yang Gege miliki. Mobil Sakala kembali dikendarai oleh Zale. Juana duduk di jok samping pengemudi. Gege duduk di jok tengah bersama Sabine dan Keiya. Sementara Cleona dan Samira duduk di jok paling belakang.
Bunyi notifikasi dari pesan-pesan yang masuk ke ponselnya, Gege abaikan sejak tadi. Sempat melihat layar ponselnya sekilas. Kotak pesannya dipenuhi oleh Axel. Dia menyampaikan terima kasih berulang kali atas keterlibatan anggota KKN 111, atas kegiatan hari ini.
Padahal, Gege menunggu kabar dari Kama. Ke mana laki-laki itu seharian ini? Tidak ada kabar sama sekali. Apakah Kama lupa pada ulang tahunnya yang jatuh pada esok hari? Apakah ... kejadian dua tahun lalu akan terulang lagi?
Kama meninggalkan Gege demi Laika di momen yang seharusnya membuat mereka menghabiskan waktu berdua.
Sepanjang perjalanan, Gege hanya mengalihkan tatap ke sisi kiri, pada kaca jendela yang menampakkan baris hujan yang mulai menyerang kaca mobil. Hening selama beberapa saat. Tidak ada yang membuka suara.
Sampai akhirnya, “Gue dan Javin pernah punya hubungan ....” Penjelasan Keiya menarik perhatian sesisi mobil, termasuk Zale yang diam-diam menatapnya dari cermin di atas dashboard. “Kami jadian waktu awal masuk kuliah. Kenal saat masa-masa masih jadi MABA. Kami menjalin hubungan selama satu tahun. Terus ... harus berakhir karena ... orangtua kami,” jelasnya. “Kita nggak tahu kalau dunia ini udah berubah menjadi sangat sempit. Sempit ... banget. Sampai-sampai, nyokap gue kenal sama bokapnya Javin, dan mereka mengenalkan kami di saat udah memutuskan tanggal pernikahan ....”
Samira mengulurkan tangannya dari belakang, mengusap pundak Keiya.
“Kaget banget sih saat itu .... Kayak ... kok bisa, ya?” Keiya melepaskan tawa. “Kejadiannya baru satu tahun lalu sih, nyokap gue dan bokapnya Javin baru menikah satu tahun lalu.”
“Jadi, lo berdua memutuskan untuk mengalah?” tanya Cleona.
“Gue sih yang menyerah .... Sejak awal gue yang menolak untuk memperjuangkan hubungan ini. Karena ... ya untuk apa? Nggak mungkin juga gue tega menghancurkan kebahagiaan orangtua gue, kan?”
“Javin sendiri gimana?” tanya Gege.
“Awalnya dia bersikeras untuk memaksakan hubungan kami, tapi gue berhasil bikin dia menggagalkan niatnya untuk membatalkan pernikahan orangtua kami.” Keiya menarik napas panjang. “Kami mencoba sama-sama menerima, bahwa keadaan kami sekarang udah berbeda. Tapi ternyata sulit .... Apalagi orang yang harus gue hadapi adalah seorang Javindra. Susah banget kadang dia buat diajak kerja sama.”
Kini, semua merangkul Keiya, sementara Juana berbalik untuk meraih tangannya.
“Jadi orangtua lo nggak tahu tentang hubungan kalian?” tanya Sabine.
Keiya menggeleng. “Mereka nggak pernah tahu,” jawabnya. “Sori, ya .... Karena udah bikin kalian kaget semalam—“
“Jangan minta maaf, Kei ....” Gege mengusap pundaknya. “Nggak ada yang perlu dimaafin.”
“Iya. Yang harus lo lakuin cuma ... lo kasih tahu kita kalau lo kesulitan menghadapi Javin, nanti kita bantuin!” janji Sabine.
Mereka, cukup banyak membahas masalah itu selama perjalanan. Juga tentang Javindra yang masih berniat membongkar rahasia mereka di depan orangtuanya. “Waktu pulang ke Jakarta kemarin, kakak perempuan gue nikah. Dan Javindra bisa-bisanya berniat ngomongin masalah itu di saat keluarga besar kita lagi kumpul. Kadang gue capek banget ngadepin dia ....”
“Sekarang lo nggak bakal ngadepin dia sendirian lagi, Kei,” ujar Cleona. “Ada kita.”
Percakapan itu mengantar mereka hingga sampai di posko. Hujan telah reda saat mereka tiba, menyisakan suasana yang basah di sana. Mobil bergerak ke halaman, menyita perhatian para laki-laki yang tengah duduk di beranda. Jenggala dan Rajata sudah tiba lebih dulu. Ada Yesa, Yash, Sakala, Gesang, dan Javindra juga tengah duduk-duduk di lantai kayu itu dalam keadaan tubuh yang kotor, entah apa yang baru saja mereka lakukan.
Sedangkan Kama, belum pulang juga, ya?
Gege melihat layar ponselnya. Belum dia temukan pesan dari Kama.
Sambil memasukkan ponselnya kembali ke saku jas almamater, Gege kembali memikirkan jawaban dari keresahannya. Apakah Kama sedang bersama Laika? Berusaha menenangkannya?
Mereka baru saja turun dari mobil. Belum sempat bergerak masuk ke posko, saat tiba-tiba saja sebuah motor bergerak masuk ke halaman.
Dia adalah Alvin, datang seorang diri.
Oh, laki-laki itu tidak tahu bahwa dia sedang mengantarkan lehernya untuk dipenggal.
Alvin turun dari motor, menghampiri Keiya, hal yang membuat Javindra bergerak keluar dari beranda dengan satu batang rokok yang diapit oleh jemari. Namun, Javindra tidak bergerak lebih dekat ternyata, dia hanya menatap dari kejauhan.
Alvin sudah tiba di hadapan Keiya. “Teh, hari ini ke mana aja? Seharian nggak ada kabar. Sehat-sehat aja—”
“A?” potong Keiya.
“Ya?” Alvin mengangkat kedua alisnya.
“Pernyataan dan pertanyaan semalam dari kamu itu, masih berlaku?” tanya Keiya.
Mendengar percakapan itu, otomatis membuat Gege melirik ke arah lain, melihat Javindra yang kini baru saja membuang puntung rokoknya pada rumput yang basah, menginjaknya hingga bara oranye di ujungnya mati. Lalu, bibirnya melepaskan sisa asap tipis ke udara.
“Masih, Teh. Kenapa?” tanya Alvin. “Kalau Teh Keiya mau minta waktu untuk memikirkan pertanyaan saya—“
“Aku mau kok,” potong Keiya lagi. “Aku mau jadi pacar kamu, A.”
***
Sungguh, diam di posko hari ini membingungkan sekali. Javindra yang diam membisu membuat satu posko beku. Tidak ada lagi Javindra yang berisik dan menciptakan masalah dengan semua orang. Suaranya tidak terdengar. Hingga akhirnya, untuk meredakan kecanggungan dengan terus berdiam, Yesa mengajak mereka semua untuk ke luar dari posko.
“Ke sungai yuk, kotor banget nih,” ajak Yesa. Seharian ini, mereka membantu warga membenarkan saluran air sehingga pakaian mereka penuh noda lumpur
Semua anggota KKN 111 berjalan kaki, melewati jalanan sore yang masih tampak basah. Hujan sudah reda, tapi angin yang berembus membawa dingin yang membuat mereka mengenakan jas almamater marun itu erat-erat.
Jalanan cukup sepi, pintu rumah-rumah warga di sisi kanan-kiri masih tertutup menandakan mereka belum kembali dari ladang. Kini, beberapa jalan menanjak dan menurun mereka lalui hingga akhirnya tiba di sebuah sungai jernih yang dekat dengan mata air.
Di sore yang dingin itu, ada para laki-laki yang melepas kaus-kaus mereka untuk membersihkan diri. Para perempuan, seperti biasa, menunggu pakaian-pakaian mereka di tepi, di atas batu-batu besar yang kini mereka duduki.
Sementara itu, dari kejauhan ada Yesa dan Gesang yang merayu salah seorang pemilik rakit untuk mengendarai rakit dari tepi ke tepi, menjemput orang-orang yang baru pulang dari ladang untuk menyebrangi sungai. Sesampainya di tepi, Gesang menahan rakit dengan menarik tali, sementara Yesa tetap di atas rakit hingga orang-orang berhasil turun.
“Mau pada naik nggak?” Yesa berteriak, melambaikan tangan ke arah teman-teman perempuannya.
Hanya Gege, Cleona, dan Samira yang bangkit, berlarian menuju Yesa dan Gesang yang mendadak menjadi pengendara rakit. Karena Juana baru saja ditarik oleh Zale untuk ikut menceburkan diri di sungai, sementara Sabine membersamai Keiya yang tetap diam di atas batu-batu besar tempat menyampirkan pakaian para laki-laki.
Kini, Gege, Cleona, dan Samira telah tiba di atas rakit. Bersama Gesang dan Yesa yang mulai menarik rakit ke tengah. Namun, di tengah-tengah sungai, rakit dikunci sampai berhenti. Setelahnya, “SELAMAT ULANG TAHUUUN!” Yesa menciduk seember air dan mengguyur Gege.
Lihat, kekonyolan apa yang Yesa lakukan sekarang?
Gege berteriak. “Ulang tahun gue besok!”
“Ya nggak apa-apa, mumpung nggak ada Kama,” ujar Gesang.
“Kalau besok kita nggak bisa ngerjain lo kayak gini. Nanti dimakan Kama.” Yesa masih menciprat-ciprat air ke arah Gege.
Tidak sampai di sana, Si Laknat Yesa itu kini turun dari rakit untuk mengambil lumpur dengan ember hitamnya yang dia dapatkan dari rakit tadi. Hal itu membuat Gege panik, hingga Gege berdiri dari rakit dan menunjuk wajahnya. “Lo kalau berani lempar lumpur, gue beneran bakal aduin lo ke Kama!” ancamnya.
“Aduin aja, wleee.” Dan benar. Yesa tidak ada takut-takutnya, dia erus melempari tubuh Gege dengan lumpur dari embernya.
Hal itu, hanya membuat Cleona dan Samira tertawa-tawa, sementara Gesang menahan rakit agar Gege tidak bisa ke mana-mana. Namun, tawa Cleona dan Samira terhenti seketika saat Yesa dengan sengaja melempar lumpur ke arah mereka.
“Yesaaa!” teriak Cleona.
Namun, teriakan Cleona itu malah Yesa hadiahi dengan satu guyuran air dari embernya. Cleona ikutan basah. Ketiga perempuan itu menjerit hanya bisa berusaha membalas Yesa dengan cipratan air oleh kedua tangannya sementara Yesa yang curang punya senjata ember.
Kepalang basah, ketiga perempuan itu turun dari rakit dan membiarkan air sungai menenggelamkan pinggang mereka demi bisa membalas dendam pada Yesa. Mereka mengejar Yesa yang kini berlari ke tepi, menjatuhkan embernya. Di saat itu, mereka berhasil memerangi Yesa dengan lumpur yang mereka ambil dengan ember.
Lihat, suasana sudah sangat chaos berkat tingkah Yesa dan Gesang.
Akhirnya, tidak ada yang menjadi sasaran utama lagi. Semua laki-laki dan perempuan kini saling lempar lumpur dan mencipratkan air. Padahal, Yash dan Javindra baru saja naik dari sungai hendak mengambil pakaian dari atas batu.
Hanya ada lumpur dan air yang menjadi senjata di antara peperangan itu. Hingga akhirnya sebuah suara terdengar. “Kalian ngapain, sih?”
Semua serempak menoleh.
Pada Kama, yang kini berdiri sambil berkacak pinggang. Dengan kaus putih dan celana khaki, serta jas almamater yang dia pegang di satu tangan. Pertama, matanya tertuju pada Gege. Dia melangkah mendekat seraya mengamit tangannya. “Udah, udah! Udah sore. Udaranya juga lagi dingin begini, bisa-bisanya malah main di sungai. Naik semua, ayok balik ke—“
PLOK!
Suara kencang itu adalah lemparan lumpur dari Yesa yang berhasil mengenai tengkuk Kama.
Jelas saja. Kama naik pitam. Dia menghela napas, sebelum akhirnya berbalik, meraih lumpur dengan tangannya dan mengejar Yesa.
Aksi kejar-kejaran itu terjadi selama beberapa saat sebelum akhirnya Kama yang pakaian putihnya menjadi penuh lumpur, kini menghampiri Gege. Wajahnya tampak lelah setelah melewati perjalanan Jakarta-Welasasih, tapi dia tampak tulus tersenyum saat berhasil menemukan Gege.
“Kamu nggak ada kabar dari pagi,” ujar Gege seraya menghampiri Kama. Saat sudah berhadapan, jemari keduanya saling bertautan. “Kamu ... baik-baik aja, kan?” Laika, tidak membuat kamu kesulitan, kan?
Kama mengangguk. “Aku baik. Apalagi setelah ketemu kamu. Aku makin baik.” Siapa sangka, setelahnya Kama bergerak memeluk Gege. Dengan tubuh keduanya yang basah dan penuh lumpur itu.
Gege hanya tidak menemukan laki-laki itu sehari semalam. Dia yakin Kama akan kembali, dia juga percaya dengan ucapan Kama bahwa, tidak akan ada yang berubah sekembalinya Kama dari Jakarta selepas menemui Laika. Namun, Gege temukan risaunya sejak semalam itu bertumpuk hingga segala hal yang dia lakukan seharian ini menjadi penuh nuansa sendu.
Sesaat sebelum Kama melepaskan dekapannya, kedua tangan Gege masih melingkar di tubuhnya, menahannya untuk menjauh. “Sebentar ...,” pintanya. Berharap Kama masih memberikan satu-dua detik pelukannya. “Sebentar lagi ....”
Kembali sepasang lengan Kama melingkar di tubuh Gege. “Oke.” Dia menyetujui. Tangannya menepuk-nepuk punggung Gege.
Kali ini, akan benar Gege nikmati masa-masa jatuh cintanya pada seorang Kama. Kordes KKN 111 Welasasih yang tidak akan lagi dia temui di Jakarta sosoknya. Akan dia miliki laki-laki itu untuk memenuhi egonya yang haus akan keberadaan laki-laki itu sejak bertahun-tahun lamanya, sebelum nanti ... dia harus merawat perasaannya sendiri.
Gege menghela napas panjang di antara aroma khas Kama dan lumpur di tubuhnya. Dia kumpulkan semua perasaan yang dia kumpulkan hari ini. Lalu, dia sandarkan lelahnya dalam peluk itu. Sialnya. Di detik itu, dia begitu menyadari bahwa pelukan Kama masih menjadi tempat yang tepat.
Wajah Gege mendongak. Jemarinya terangkat mengusap sisi wajah Kama, ada lumpur di sana. Lalu, dia tertawa. “Kotor banget kamu ....”
Kama melepaskan tawa kecil. “Lho? Kamu juga kotor.” Setelahnya pelukan keduanya terlepas. Lalu, “Ayo sini. Aku bantu bersihin.”
Gege duduk di atas batu yang rendah, setengah kakinya dia biarkan terendam air. Sementara itu, tubuhnya merunduk untuk meraih air dan membersihkan lengannya. “Kamu kenapa nggak ngabarin aku sejak pagi?” tanya Gege lagi, dia mendongak pada Kama yang kini menghampirinya. “Kamu belum jawab pertanyaan aku dari pagi.”
“Tadi pagi aku ke kantor Pia, terus ... ada beberapa hal yang harus aku kerjain di kampus juga. Sengaja nggak ngabarin kamu, biar kamu nyariin.” Kama mencebik. “Tahunya nggak .... kamu bahkan nggak chat aku sama sekali.”
Gege melihat Kama kini duduk di batu yang lain yang berada di sisinya. Dia duduk menghadap pada Gege dengan posisi dua kaki ditekuk yang mengurung tubuh Gege. Bisa bayangkan seberapa dekat mereka, kan? Sesekali, saat Kama membantu Gege membersihkan tubuhnya, lengan Gege akan menyentuh dadanya.
“Kamu seharian ini ke mana aja?” Kama membantu Gege membersihkan lumpur di ujung rambut yang terurai di punggungnya.
“Aku ikut kegiatan sosial yang diadain sama Klinik Sindangsono.” Jawaban Gege membuat gerak tangan Kama terhenti.
“Sama Axel?”
Gege menoleh, mendapati Kama menatapnya. “Iya.”
Kama kembali bergerak membersihkan sisa lumpur di rambutnya. “Terus ... ngapain aja tuh ...?”
Gege tertawa, satu tangannya memegangi pipi Kama yang basah. “Ya gitu lah, nemenin anak-anak main. Kalau sama Axel jelas aku nggak ngapa-ngapaiiiin.” Gege melepaskan tawa kecil. Lalu, tawa itu reda saat dia memandangi wajah itu, jemarinya mengusap-usap sisi wajahnya. “Hari ini aku kenalan sama anak kecil, namanya Nabila. Dia ditinggal orangtuanya saat masih bayi. Katanya ... kedua orangtuanya kecelakaan. Tapi dia manis banget lho anaknya, pintar gambar.”
“Oh, ya?” Kama tampak tertarik dengan cerita itu. “Berapa tahun usianya?”
“Delapan tahun. Cita-citanya jadi arsitek katanya.”
“Kereeen,” puji Kama.
“Terus hari ini, akhirnya aku berhasil ketemu Mira.”
“Dia ada menemui kamu?”
Gege mengangguk. Masih menatap mata Kama, masih mengusap sisi wajahnya dengan jemari. “Dia datang dengan ... masalahnya yang rumit. Tapi aku bersyukur dia mau cerita.”
Kama mengangguk. “Semoga dia bisa melewati masalahnya, ya ....”
Gege mengangguk. Semoga ....
Lalu, saat Gege mengambil jeda untuk terdiam, giliran Kama yang bicara. “Aku bertemu Laika semalam,” ujarnya, membuat usapan jemari Gege di wajahnya terhenti. “Aku tahu apa yang dia inginkan sekarang. Aku mengerti kenapa dia begitu marah saat aku tinggalkan ....”
Gege menunggunya kembali bicara.
“Tapi, apa pun yang terjadi ..., aku akan tetap berusaha untuk terus bisa sama kamu. Melindungi kamu sebisaku,” ujarnya. “Jangan khawatir, apa pun yang terjadi nanti .... Aku akan tetap ada untuk memperjuangkan kamu.”
Dari semua kata-katanya, bisa Gege simpulkan bawah Kama ragupada Laika. Laika sudah pasti tidak akan menepati janji apa pun pada Kama. Karena yang Laika inginkan, satu-satunya, hanya melihat bagaimana Gege hancur dan terluka. Jadi, Kama mengatakan hal itu untuk meyakinkan Gege pada kekacauan hubungan keduanya yang mungkin saja akan terjadi di waktu yang akan datang.
Namun, untuk saat ini, Gege ingin sekali tidak memikirkan tentang banyak kemungkinan buruk yang akan dia dapatkan. Waktu tunggunya semakin tipis, jadi ... akan dia biarkan dirinya untuk jatuh cinta pada Jeandru Kama. Seperti selayaknya tidak akan terjadi apa-apa seandainya mereka memutuskan terus bersama.
Gege merasakan gerak jemari Kama di pipinya, mata laki-laki itu kini, hanya tertuju pada satu titik. Kama mengusapkan ibu jarinya di sana, pada titik hitam kecil di pipinya. “Aku suka banget sama tahi lalat kamu ini. Aku suka setiap—“ Ucapan Kama tidak usai, karena Gege baru saja mendorong tubuhnya untuk bergerak mendekat, merapatkan wajah, mencium bibir Kama. Lebih dulu.
***
[Additional SCENE]
“Ayo dong! Baris yang rapi sesuai urutan yang udah ditentuin tadi!” teriak Jenggala. Dia tengah mengatur posisi kamera, menaruh tripod pada arena tanah berpasir di tepi sungai. Namun, dia harus menghela napas berkali-kali saat keempat belas temannya sulit sekali diatur.
Mereka akan membuat konten video kejujuran yang akan diungkap saat kegiatan KKN sudah selesai nanti. Mereka berbaris, jauh dari kamera. Telah ditentukan nama dengan cara secara acak, yang nanti satu per satu akan kebagian untuk bicara di depan kamera, tentang kejujuran.
Apa pun, mereka boleh bicara tentang kejujuran apa pun.
Jenggala masih berada di balik kamera. “Siap, ya?” tanyanya lagi, yang diberi acungan jempol oleh teman-temannya dari kejauhan. Sesaat setelah kamera selesai diatur posisinya dengan baik, Jenggala berlari masuk ke barisan teman-temannya.
Orang pertama yang berlari ke arah kamera adalah Samira. Dia yang pertama mengungkapkan kejujuran. Berbicara di depan kamera yang menyala itu. “Kayaknya pas KKN doang aku nggak ngerasain kesepian. Dari mulai bangun tidur aku punya teman cerita sampai tidur lagi. Makan dan ibadah diingetin. Deep talk sampai pagi.” Kemudian dia bergerak maju. Berbisik di depan kamera. “Makasih ya. Aku sayang kalian.” Lalu, Samira berlari ke arah berlawanan.
Orang kedua, Jenggala. Dia berlari, berbisik sambil mendekatkan wajahnya ke kamera. “Sabine, terima kasih sudah mengenalkan rasa tai.” Lalu dia tertawa sendiri sambil berlari.
Giliran Sakala yang kini menggantikan Jenggala. Dia tidak berlari. Berjalan santai. Keningnya mengernyit saat menatap kamera. “Ngomong apa, ya?” gumamnya, tampak bingung. “Yang jelas .... Habis ini gue pasti bingung banget balik ke rumah mau ngapain .... Nggak ada yang ribet soalnya.” Lalu dia tertawa.
Lalu, Cleona. Dia berlari dengan senyumnya yang ceria. Namun, saat menatap kamera, wajahnya berubah sendu. “Maaf ya kalau gue sering marah-marah. Kalau KKN ini udah selesai, ajak gue jalan ya biar gue ga kesepian?”
Kali ini, giliran Gesang. Dengan cengengesannya yang khas dia mendekat ke arah kamera. “Balik ke kosan gue pasti merasa kehilangan. Pasti kangen duduk di posko sambil lihatin kalian teriak-teriak dan ketawa. Sehat-sehat pokoknya kita.” Kemudian, dia berbisik dan merapatkan wajahnya ke kamera. “Gue punya beberapa rahasia di video. Siapa mau lihat?”
Giliran Zale tiba. Dia menggantikan Gesang dengan gerakan terburu. “Makasih ya semuanya. Semenjak megang dokumentasi saya tiap malem semenjak itu nggak pernah tidur, nggak pernah tidur selalu lihat tiap malem nggak tidur, tidurnya siang.”
Zale tertawa sendiri setelah memparodikan seorang ibu-ibu viral saat diwawancara oleh wartawan televisi. “Serius, serius.” Selanjutnya dia berbisik, sangat dekat ke kamera. “Jua, lulus kuliah nikah yuuuk!”
Kini giliran Juana. Dia mendekat ke arah kamera sambil melihat Zale yang cengengesan dari kejauhan. Matanya menatap kamera. “Zale ngomong apaan, deh? Ngajak gue nikah, ya pasti?” tanyanya, sudah hafal sekali. Lalu, giliran dia yang berbisik kini. “Zale, ayoookkkkk nikaaaaahhhhh.” Suara Jua terdengar nyaring.
Dan Zale tertawa-tawa dari kejauhan sambil merentangkan tangan, menyambut Juana dengan pelukan.
Sekarang giliran Kama. Dia berjalan tenang dengan kaus putihnya tampak banyak noda lumpur. Membungkuk, wajahnya mendekat ke kamera. “Ge, aku punya sesuatu buat kamu. Habis KKN nanti, aku bakal tunjukin ke kamu. Sabar ya ....”
Kemudian, giliran Javindra, yang kini bergerak ke arah kamera saja tubuhnya harus didorong. Jadi, dia berjalan malas-malasan. Terdiam menatap kamera. Berdecak sambil memalingkan wajah. Tangannya mengibas ke udara. “Dah, lah .... Lagi nggak mau ngomong apa-apa gue.” Lalu dia pergi.
Tiba giliran Sabine. Dia berjalan dengan langkahnya yang girang, lalu bicara dengan suaranya yang ceria. “Yash, gue iseng sih awalnya .... Tapi kalau lo mau kita serius, gue ayo aja. Kayaknya gue udah mulai suka beneran deh. Gue siap mengobati patah hati lo.” Selanjutnya, dia menutup mulutnya, lalu berlari.
Kini Yesa. Dia menggantikan Sabine. Tiba-tiba saja berbicara di depan kamera itu tanpa aba-aba. “Ona, kalau lo belum juga nikah di usia dua puluh enam, lo boleh hubungi gue.” Setelahnya, dia tertawa sambil berjalan menjauh.
Kali ini, Keiya. Wajahnya muram, menghela napas di depan kamera itu sebelum bicara. “Gue benci banget sama Javin sih .... Serius ....” hanya itu. Kemudian, dia berlalu.
Sekarang Gege. Dia berjalan, lalu menatap wajahnya sendiri di kamera. Rambutnya lepek, bajunya penuh noda lumpur. Menyedihkan sekali. Namun, dia segera bicara di depan kamera itu. “Kama .... Kayaknya saat ini aku ada di titik yang ... beneran lagi jatuh cinta sama kamu .... Setelah ini kamu harus tahu ya, kalau aku pernah benar-benar jatuh cinta—“ Suaranya tidak selesai, berganti dengan jeritan kencang karena Kama baru saja berlari sambil menggendong tubuhnya dengan satu tangan. Dan Gege pun hilang dari kamera.
Rajata tertawa-tawa melihat Kama membawa kabur Gege. Dia berjalan ke arah kamera. Sesaat, dia membenarkan posisi kamera yang sempat mengenai lengan Gege tadi. Lalu, “Gue mau jujur ...,” ujarnya. “Gue dan Miwa baru jadian semalam. Nanti traktirannya nyusul. Haha.” Sisa tawanya masih ada ketika Samira menarik tangannya menjauh dari Kamera.
“Jangan ngomong macem-maceeemmm!” ujar Samira sambil membawanya menjauh.
Terakhir, Yash. Dia melangkah tenang ke kamera. Berdiri di depan benda yang masih menyala itu. Menghela napas. Lalu dia menoleh pada Jenggala, bertanya. “Ini videonya ditayangin setelah KKN, kan?” tanyanya. Setelah mendapatkan jawaban ‘Iya’ dia kembali menatap ke arah kamera. Lalu bicara, “Sabine, berhenti ya .... Gue risih ....”
***
Satu kalimat dong silakan setelah membaca semua pengakuan di atas?
Oh yaaa. Mau lanjuttt Additional Part nggak? Aku punya satu Additional Part di Karyakarsa khusus rahasia-rahasia yang menceritakan Javin-Keiya, Rajata-Miwa, Gege-Kama juga ada, sama Sabine-Yash yang aduh bakal gimana ya mereka? 🥲
Mau di-upload kapan nih Additional Part 46 nya? 😋
Vote sama komen dulu dooonggg yang rame di sini tapi.
Terus kasih api yang banyak nih nih biar cepet aku update 😋🔥🔥🔥🔥🔥

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
