Hello, KKN! | [42. Ayo Kita Pikir Ulang]

552
153
Deskripsi

"Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!"

Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.

Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.

Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...

Hello, KKN! | [42. Ayo Kita Pikir Ulang]

post-image-67dec4ad710d2.png

Haiii 🌼

Terima kasih komen dan vote-nya di part kemarin. Keren banget!

Masih semangat kannn ngikutin kisah anak-anak KKN ini? 🙌🏻

 

 

 

Jangan lupaaa voteee sama komen yang ramai yaaa. Ini 5000 kata. Mana nulisnya sambil sakit gigi akutu. Kalau nggak rame aku nangis banget sih ini😭🫵🏻

 

 

Bisa kasih api yang banyak dulu nggakkkk 🔥🔥🔥🔥🔥

***

 

 

“Lo tunangan gue, sejak awal lo tunangan gue!” Kama mengumpat kencang, tangannya menarik tubuh Gege hingga Gege terkesiap karena tubuhnya baru saja beradu dengan dadanya yang keras. “Apanya yang nggak jelas?!” 

Keduanya tidak memedulikan belasan pasang mata yang kini menyimak dan menonton adegan bodoh itu. Akal sehat sudah ditelan oleh amarah. Dua tatap yang bertemu itu membakar satu sama lain. “Sejak awal?” tanya Gege. “Sejak awal yang mana?” tanyanya lagi. “Karena sejak awal, cuma gue yang berjuang sendirian di saat lo terus menyangkal.” 

“Lo bahas lagi semua hal yang udah lama berlalu?” Pandangan Kama bergerak-gerak, menatap kedua mata Gege bergantian. “Apa yang terjadi sama lo sebenarnya?” 

Gege menarik napas perlahan, mencoba tenang saat tatap Kama seolah-olah menyekapnya untuk tidak berani bicara macam-macam. “Seperti yang lo alami dulu ... gue ragu. Dengan hubungan ini.” 

Tentang rekaman suara yang didengarnya, Gege tahu betul bahwa itu sudah lama berlalu jauh sebelum hubungan keduanya menjadi baik-baik saja. Namun, dia temukan sendiri titik muak dan sakit itu. Ini bukan semata-mata respons marah atas rekaman suara yang dia dapatkan, tapi bentuk akumulasi dari setiap emosi yang dia rasakan selama hidupnya yang menyangkut banyak hal tentang Kama.

Sudah lama sekali dia ingin berkata, “Seperti yang gue bilang tadi, lo ahlinya dalam mengecilkan segala hal. Termasuk gue,” ujarnya. “Lo datang dan pergi semau lo, dan sekarang ... dengan bermodalkan sadar atas perasaan yang bahkan ... lo nggak perlu effort banyak ngelakuinnya, lo bisa mendapatkan gue balik setelah meminta maaf?” 

Itu semua adalah kalimat yang terus dia dengar bolak-balik dari Yesa, yang sebelumnya tidak pernah dia dengarkan, yang selalu berhasil membuatnya menutup telinga. Namun kini, dia mengatakannya untuk menyerang Kama.

“Kita ngobrol berdua—“ Kama bergerak menarik tangan Gege, tapi Gege bergeming. 

 “Lo pikir gue akan terus bisa menerima lo dengan tangan terbuka?” Suara Gege melemah. Dia takut sekali tidak berhasil menahan tangisnya. “Lo pikir gue nggak punya titik lelah menghadapi lo?”  Dia benci sekali karena mendengar suaranya sendiri yang bergetar. 

Terdiam. 

Kama hanya menatapnya. Tampak tidak menyangka kalimat-kalimat itu akan dia dengar dari mulut Gege. 

“Gue capek ....” Gege menunduk, lalu mendorong tangan Kama yang mencengkram pergelangan tangannya. 

Awalnya, usaha Gege untuk terlepas tidak berhasil. Namun, Yesa ikut bicara. “Lo berdua sama-sama capek, lo berdua bisa bicara lagi setelah istirahat,” ujarnya. “Ka?”

Kama mendengarkan ucapan itu. Cengkramnya meninggalkan tangan Gege. Dia juga membiarkan Gege yang kini berbalik, berlalu untuk keluar dari ruang tengah. Gege melangkah ke arah dapur. Melihat dari jendela, ada asap yang keluar dari cerobong dapur Mak Wasih, menandakan bahwa wanita lanjut usia itu tengah berada di rumahnya. Di dapurnya yang berlantaikan tanah. 

Gege bergerak ke sana, dia tahu bahwa saat ini dia tidak butuh bicara dengan siapa pun. Walaupun ini sebuah pernyataan kejam, tapi dia tahu Mak Wasih satu-satunya orang yang paling hening dan tenang. Jadi, dia bergerak ke arah pintu dapur yang terbuka itu. Dia temukan wanita itu menoleh karena menemukan bayangan kehadiran Gege di belakangnya. 

Wanita itu menatap Gege, memperhatikan bagaimana Gege mengusap air matanya. Melihat tangan Gege yang kini bergerak saat bertanya, “Aku boleh ikut duduk di sini, sebentar?” tanyanya. 

Mak Wasih mengangguk, awalnya dia hanya diam dan memperhatikan bagaimana Gege yang melangkah mendekat ke arah lantai kayu tinggi di dapurnya, duduk di tepi, menunduk untuk membuang lagi tangisnya. Gege menekuk kedua lututnya, menyembunyikan tangisnya di sana. Sesaat kemudian, Gege merasakan sebuah rengkuhan hadir di pundaknya, sebuah usapan lembut hadir di punggungnya. Tentu saja, dalam heningnya. 

 

***

Ada ketenangan di rumah Mak Wasih. Dan keadaan yang sebaliknya terjadi di posko pasca Gege pergi. Di ruang tengah itu, Kama menjadi tersangka utama. Dia mulai memperhatikan bagaimana belasan pasang mata yang kini tampak syok. Entah karena pertengkaran yang baru saja terjadi, atau juga karena fakta yang baru mereka ketahui. 

Kama yang belum mengistirahatkan dirinya semalaman itu tidak ingin berusaha keras untuk berpikir atau menjelaskan. Jadi, dia masih berdiri di tengah ruangan tanpa mengatakan apa-apa. Hingga dia mendengar salah satu dari temannya berbicara. 

“Jadi tunangan Gege yang pengen banget gue tonjok mukanya tuh ... dia?” tanya Zale. Entah pada siapa. Atau mungkin dia hanya bicara pada dirinya sendiri. “Laki-laki letoy tuh elo?” Kali ini dia menunjuk Kama. 

Dan Cleona menambahkan. “Oh, jadi elo?” 

“Kenapa lo malah cosplay jadi Fuji sih, Na?” Keiya menyikut lengan Cleona. 

“Oke.” Javindra menepukkan tangan satu kali, membuat seluruh perhatian teralihkan padanya. “Jadi, terbuka sudah mata bathin kita ya,” ujarnya. “Ya, kordes-kordes kita ini adalah tunangannya Gege. Udah diperjelas sama Kordes-nya sendiri.”

Sebagian orang yang baru tahu akan hal itu mengernyit. Semua wajahnya tampak bingung. Mereka kini seperti tengah memungut puing-puing ingatan dari semua momen yang mereka dapatkan sepanjang KKN. 

Sakala memejamkan matanya, tangannya menghadap ke depan seolah-olah tengah menerawang ingatan. “Jadi, Laika itu adalah selingkuhan—“

“Jangan bahas Laika,” ujar Yesa.

“Oke.” Sakala menarik napas. “Jadi tunangan Gege yang brengsek itu lo? Ka?” tanyanya. 

“Dan wanita yang Gege panggil Mia, yang datang ke posko hari itu. Nyokap lo?” tambah Gesang. 

“Pantes dia nyuruh lo potong rambut terus,” ujar Jenggala. 

“Pantes Kale kenal banget sama Gege,” tambah Zale. “Tapi ... sumpah, gue nggak habis pikir. Bisa-bisanya lo—astaga, lo  nyembunyiin hal ini gunanya apa?” 

“Biar dia nggak ketahuan punya tunangan lah,” sahut Yesa. Si kompor itu. 

“Dan bebas pacaran sama Laika?” tanya Gesang.

Yesa berdecak. “Jangan sebut nama tuh cewek gue bilang!” Yesa selalu bisa mewakili perasaan Gege, dan kali ini dia juga melakukannya.

Terdengar Zale melepaskan napas kasar. “Bentar deh ....” Dia masih tampak syok sekali. Mungkin karena selama ini Zale adalah orang yang paling emosi ingin bertemu tunangan Gege dan memberikan pukulan di wajahnya? Sebagai laki-laki setia dan mudah menampakkan cinta untuk pacarnya, pasti sosok tunangan Gege itu sangat mengganggunya. “Gue pengen banget nonjok lo, tapi—ah, gila. Apa-apaan sih, ini?” Dia masih tampak tidak percaya. 

Saat Zale tengah mengusap wajahnya, Javindra datang menenangkan sambil membawa teh hangat. “Minum dulu Zal, minum,” ujarnya. “Kaget, ya?” tanyanya. 

Zale menurut, dia benar-benar tampak syok hingga meminum banyak air yang Javindra bawa. “Sumpah siapa yang sangka? Aduh, jantung gua.” 

Javindra menepuk-nepuk punggungnya. “Gapapa, gapapa. BPJS nge-cover penyakit jantung untuk perokok kok.”

Cleona yang sempat terdiam, kini kembali bicara. “Lo serius, Ka .... Cowok yang jahat itu lo?” tanyanya. “Ini serius gue—“ Cleona melepaskan napas kasar. “Gue sampai bingung mau maki lo kayak gimana. Sumpah ....” 

“Gue pengen jelasin yang sebenarnya, tapi ... gue lagi nggak punya energi.” Kama memegangi kepalanya, yang berat itu. “Besok-besok mungkin.” Dia melepaskan napas kasar. “Lo bisa nggak cari Gege dan pastiin dia—“

“Nggak usah sok peduli sama dia deh. Di saat sebenarnya lo adalah orang yang paling nyakitin dia. Muak gue,” umpat Cleona. 

“Sumpah, di dunia ini kayaknya lo cowok paling brengsek yang pernah gue temuin, Ka.” Juana menggeleng pelan, ternyata diamnya tadi hanya untuk mengingat bagaimana tingkah Kama selama di posko. “Maafin gue karena gue bakal jadi pembenci utama lo.”

“Gue juga,” sahut Keiya.

“Gue juga,” sambung Sabine. 

Kemudian, mereka menoleh pada Samira. Karena gadis itu tidak bersuara.

“Gue udah lebih dulu benci Kama,” ujarnya. Lalu menatap Kama dengan ekspresi wajahnya yang datar. Setelah menghela napas, dia berkata, “Cowok brengsek.”

Kama menyisir rambutnya dengan jemari. Menjambaknya sesaat untuk meredakan pusing di kepalanya. “Gue sadar gue brengsek, itu alasannya kenapa gue ada di kelompok ini, kenapa gue ngejar Gege ke sini. Gue sadar gue udah banyak nyakitin dia.”

“Oh, jadi maksud dari sikap lo selama ini, lo berniat ngejar balik Gege dan pengen hubungan kalian kembali?” tanya Juana, menahan tawa. “Luci banget, lo kemarin ke mana aja, Ka? Pingsan? Mati suri? Dan sekarang baru sadar?”

“Gue nggak tahu ya, lo dan Gege ke depannya bakalan kayak gimana, tapi gue bener-bener berharap Gege bahagia dan ... dapetin yang lebih baik.” Emosi Cleona tersulut lagi. “Gue bahkan sekarang ngerasa bersalah banget karena nggak jambak cewek lo itu saat datang ke sini untuk membersamai perasaan Gege yang selama ini—Astaga, Ka. Sumpah gue kehilangan kata-kata buat ngatain lo!” 

“Gege kurang apa sih, Ka?” tanya Keiya.

“Buta lo, ya?” Sabine menggerakkan dua jarinya ke depan.

“Gue doain karma buat lo nggak sakit-sakit banget sih, Ka.” Cleona kembali bicara. “Lo nyakitin cewek sebaik Gege selama bertahun-tahun dan sekarang lo balik, minta maaf, terus mau memiliki Gege dan berharap Gege nggak ingat kesalahan lo, itu konyol sih.”

“Gue tahu. Makanya gue berusaha untuk—“ Kama tiba-tiba mendapatkan satu kilat cepat menyambar di depan wajahnya, karena sebuah tamparan kencang baru saja mendarat di wajahnya. 

Semua menganga. Melihat Cleona yang kini berdiri dan berhadapan dengan Kama. “Gue udah janji ke diri gue sendiri untuk nampar tunangannya Gege ketika ada kesempatan untuk ketemu,” ucapnya. “Anggap aja ini tamparan dari Gege yang nggak pernah berani dia lakuin ke lo.”

***

Gege tahu bahwa pertengkarannya dengan Kama tadi membuatnya harus melakukan sebuah pengakuan, minimal sebuah klarifikasi kecil. Tentang hubungannya dengan Kama, juga Laika. Tentu saja dia tidak akan menceritakan semuanya, dia hanya akan membagikan kisahnya secara sederhana tanpa menyudutkan siapa-siapa. 

Jadi, saat waktu telah beranjak larut dan dia sudah kelelahan menangis di rumah Mak Wasih, dia kembali ke posko. Gege temukan wajah-wajah kesal, marah, tapi tetap tulus peduli. 

“Jadi sebenarnya ini adalah kesepakatan kami berdua.” Di dalam kamar itu, Gege menatap empat pasang mata di hadapannya, karena Samira kini tengah memisahkan diri, duduk di sisi jendela. “Gue yang salah sih, nggak bisa mengendalikan diri dan  tiba-tiba meledak kayak tadi. Pertengkaran yang nggak seharusnya jadi tontonan banyak orang.”

“Ini bukan masalah lo yang nggak bisa mengendalikan diri sih. Memang timing-nya aja. Lo nggak salah. Jangan pernah merasa bersalah lagi karena masalah ini, gue nggak rela.” Cleona menggeleng. “Laika yang salah di sini.” 

“Dan Kama,” tambah Juana. “Kalau Kama nggak pernah buka kesempatan untuk Laika, dia nggak akan bisa masuk ke dalam hubungan lo berdua.” 

“Emang brengsek tuh cowok.” Keiya melipat lengan di dadanya, berpaling sambil mengumpat kecil. 

Sejak dulu, Gege tidak masalah saat Kama lebih memilih mencintai gadis lain dan dimiliki oleh orang lain. Walau berusaha untuk melupakannya, diam-diam Gege tetap suka. Yesa, Kale, dan semua orang yang mencoba menasehatinya, dia abaikan karena dalam hatinya diam-diam dia masih berharap kesempatan bersama itu masih ada. Sebodoh itu. Sebebal itu. 

Namun, nyatanya dia kalah, saat ucapan itu benar-benar keluar dari mulut Kama.

“Bisa-bisanya saat Laika ke sini, gue nggak jambak rambutnya,” ujar Sabine. “Itu yang gue sesalkan dari tadi tahu nggak?” 

“Bisa-bisanya dia ada di dalam hubungan orang lain, yang udah jelas-jelas dia tahu,” tambah Keiya. 

“Tapi lo pernah curiga nggak sih, Ge?” Tiba-tiba Samira bicara, dia berjalan mendekat. “Gue ... setelah tahu fakta tentang hubungan lo dan Kama, jadi nggak yakin kalau Laika tuh beneran cinta sama Kama. Mana ada cewek yang mau sama cowok yang nggak menjanjikan apa-apa?” 

“Banyak, Miw,” balas Juana. “Cewek kayak gitu, banyak.”

“Oke, yang jelas kita harus konsisten untuk tetap ada di pihak Gege,” ujar Cleona. Dia tampak menggebu-gebu. “Enak aja, Kama ngejar Gege buat minta maaf. Habis itu dia merasa berhak untuk kembali sama Gege setelah sadar sama perasaanya? Ngejar Gege dan minta maaf tuh nggak ada apa-apanya kalau dibandingin sikap brengseknya yang bawa masuk Laika ke hubungan lo berdua.” 

“Tahu! Mana sok posesif banget lagi.” Keiya mendecih. “Lucu aja pas tahu fakta sebenarnya, dia bilang sejak awal nggak ada yang berubah ‘Lo tetap tunangan gue’. Kalau dia sadar punya tunangan, dia nggak akan bawa Laika.” 

“Dua tahun ini Kama amnesia gue rasa,” tambah Juana. 

“Iya, sampai nggak sadar kalau selama ini dia nggak mau hubungan pertunangannya diketahui banyak orang demi menjaga perasaan ceweknya.” Sabine mengusap dadanya. Asumsi itu semakin liar saja. “Maaf ya, tapi setelah mendengar kenyataan ini, gue nggak bisa lagi berpikiran positif sama tuh orang.”

“Dulu, gue lihat dia deketin lo tuh kayak buat lucu-lucuan aja deh. Kerjaannya cemburuan, tiap Gege deket sama cowok padahal nggak ngapa-ngapain, dia blingsatan.” Cleona yang paling terlihat marah di sana. “Nggak sadar dia, bolak-balik dia bikin Gege lihat kebersamaan dia sama Laika.” 

“Gue menyesalkan sih Ge, lo nggak pernah ngungkit kesalahan Kama setiap kali Kama meledak karena cemburu gitu.” Juana menyipitkan matanya. “Harusnya tuh dia ada bersyukurnya dikit, masih diterima dengan baik sama lo selama oni.”

“Memangnya lo masih nerima, Ge?” tanya Keiya.

“Lo nerima dia karena lo tutup mata sama kelakuannya selama ini dengan alasan ... Lo bingung sama perasaan lo sendiri.” Samira, tumben sekali dia ikut menghakimi. “Kali ini, lo buka mata lo lebar-lebar ya, Ge? Kalau Kama bilang dia bakal berubah, lo harus pastikan itu benar, jangan jadi orang pemaaf lagi.”

“Iya ...,” balas Gege. 

“Gue harap selama ini, lo cuma kebawa suasana aja sih. Suasana posko, banyak waktu berdua sama dia. Gue harap lo nggak mencintai Kama sebagai tunangan lo, tapi sebagai teman KKN yang ... semua perasaanya akan berakhir seiring KKN ini selesai.” Cleona merangkul Gege dan memeluknya. “Tenang, kita ada di pihak lo.”

Namun, di tengah-tengah percakapan itu, Sabine bicara lagi. “Kita ada di pihak lo walau Kama terus ngasih rayuan untuk liburan di vila gratis.” 

“Bentar.” Cleona menjauh dari Gege. “Liburan ke Lembang kita batal dong besok?” tanyanya dengan wajah gamang.

“Ya kan kita lagi marah sama Kama, gimana sih lo?” balas Sabine. “Biarin lah, liburan ke Lembang bisa kapan-kapan.”

Lihat, kan? Kama selalu punya cara untuk merayu semua orang agar berada di pihaknya. Atau setidaknya goyah ketika berada di pihak lawan. Seperti yang dia lakukan sekarang, laki-laki itu memenuhi chat di grup KKN untuk menunjukkan villa miliknya di Lembang dengan narasi yang berusaha memengaruhi pendirian teman-temannya. 

Di tengah kebimbangan teman-temannya itu, Gege tertawa. “Serius deh, gue nggak akan marah kalau pun lo semua nerima ajakan ke Lembang itu.” 

Namun, perdebatan terjadi di dalam kamar, hal itu membuat Gege melangkah keluar dan diam-diam duduk di meja makan sendirian. Para laki-laki tengah duduk-duduk di beranda, sehingga tidak ada yang menyadari keberadaan Gege kini.

Kecuali Yesa. 

Yesa datang ke dapur dengan alasan mengambil air minum. Namun, dia tidak langsung pergi dan duduk di samping Gege sambil memperhatikan bagaimana Gege yang kini tengah mengobati luka di punggung kakinya. 

Yesa menanggalkan gelas di atas meja. Lalu menarik napas panjang sambil menatap Gege. 

Hal itu membuat Gege mendongak. “Kenapa?” tanyanya.

Padahal, Gege tahu, pasti melelahkan sekali menjadi Yesa melihat bagaimana tingkah Gege dan Kama hingga membuatnya membuat surat pengunduran diri, tapi tidak lama setelahnya dia melihat dua manusia itu bertengkar lagi.

“Luka lo belum kering?” tanya Yesa.

“Udah. Ini udah mendingan.” Gege kembali membungkuk untuk mengoleskan gel ke lukanya.

Dan di selang waktu itu, Yesa kembali bicara. “Lo tahu kan alasan Kama marah?” tanya Yesa, tiba-tiba sekali. “Lo tiba-tiba ngilang, nggak ngasih kabar lagi di mana. Tapi tiba-tiba bilang di tambak, terus diantar laki-laki lain,” jelas Kama. “Dia khawatir banget sama lo, Ge. Dia panik banget waktu tahu lo ngilang.” 

“Gue nggak ngilang, Yes.” 

“Lo ngilang ke tambak ikan.”

“Ke tambak ikan doang—“

“Nggk ‘doang’, Ge. Kama tuh cemas. Sebelumnya dia diceritain sama Javin waktu nganter dia beli ikan ke tambak, kalau di sana pernah ada kasus pemerkosaan dan pembunuhan.” Cerita itu membuat Gege terdiam. “Lo lihat kan di sana? Banyak bangunan-bangunan kayu di atas air yang nggak berpenghuni? Di sana jauh dari rumah warga. Kalau ada orang yang jahat sama lo, nggak akan ada yang tahu, nggak akan ada yang dengar, nggak akan ada yang bisa nolong kalau nggak kebetulan lewat. Bahaya, Ge.” 

“Gue nggak tahu ....”

“Makanya gue kasih tahu sekarang. Biar lo paham sama khawatirnya Kama.” 

“Lo belain dia terus ....” 

Yesa menggeleng. “Nggak. Gue Cuma mencoba membawa sudut pandangnya Kama .... Dia ngerjain laporan semalaman biar lo bisa istirahat, berujung dia nggak tidur sampai pagi. Coba, dengan sikap lo yang kayak tadi, lo pikir siapa yang nggak bakal mendidih?” tanyanya. “Lo bayangin semumet apa dia, habis begadang dua belas jam, kedatangan Pak Jafran, habis itu lihat lo dibonceng cowok.” 

“Berarti dia marah karena gue nggak nurut, kan? Bukan semata-mata karena gue ke tambak ikan?” 

“Ya sama ,itu juga.”

“Tapi dia nggak marah ke Ona?” 

Yesa terdiam. “Ya oke, terlepas dia marah karena cemburu, tapi lo ngerasa bersalah nggak? Tiba-tiba pergi tanpa kabar?” 

Gege terdiam, dia tengah menggunting kain kasa. 

“Nggak boleh diulangi, ya?” lanjut Yesa. 

Membuat Kama kesal? Tidak boleh dia ulangi? 

“Emang bener lo berdua cocoknya kokopan aja, nggak usah berantem gini. Bikin ribet satu posko kan akhirnya?” 

Gege masih diam. Dia sudah selesai menggunting kain kasa, tapi lama dia hanya memainkannya. 

“Lo kenapa sih sebenarnya, Ge?” tanya Yesa.

Gege mengangkat kedua pundaknya. “Mungkin gue lagi capek aja.” Jawaban template. 

“Capek sama Kama?” tanya Yesa lagi. “Karena kalau capek sama proker, lo nggak pernah mengeluhkan itu. Dan gue tahu lo bukan tipe orang yang akan mengeluhkan hal itu.” 

“Yah ....” Gege melepaskan napas kasar. Tidak menjawab pertanyaan itu. Sesaat sebelum dia membungkuk untuk menutup lukanya dengan kain kasa, Yesa lebih dulu merebutnya. 

Yesa duduk bersila di depan kakinya, di atas lantai kayu itu. Meraih plester yang telah diguntingnya untuk merekatkan kain kasa. “Seenggaknya dia mulai berubah, Ge,” ujar Yesa. “Gue benci sama dia karena dia terlalu gampang dapetin lo. Tapi gue ngerti akhirnya. Kama udah berusaha menyadari perasaan dia ke lo dan mencoba menolak Laika yang manipulatif itu. Itu juga butuh effort, Ge. Ya ... walaupun memang effort-nya nggak terlalu kelihatan.”

Kenapa Yesa selalu berusaha membuat Gege bimbang seperti ini? 

“Jadi, pertengkaran tadi yang salah ya ... lo berdua. Kama cemburuan banget, lo juga salah persepsi terus dan kadang nggak mau terbuka.” Yesa selesai mengobati lukanya, wajahnya mendongak. “Makanya, ngobrol, Ge. Bikin komunikasi yang baik sama Kama. Ngobrol. Bukan kokopan terus.” 

Gege menampar punggung laki-laki itu, membuat Yesa berjengit ke belakang seraya mengaduh sambil memegangi punggungnya. 

“Tapi gue pengen ketawa juga semalam, waktu dia bongkar rahasianya sendiri,” ujar Yesa lagi. Kembali dia menggunting plester. “Beruntung keadaannya kebongkar pas lo sama Kama lagi emosi gini, jadi lo masih punya harga diri. Seenggaknya, beberapa orang di posko tahu, kalau lo masih benci sama tunangan lo yang brengsek itu. Coba kalau ketahuannya lagi ciuman kayak kemarin—“

“Ya nggak lah! Gue nggak akan gegabah lagi!” 

“Halah.” Yesa menirukan gaya bicaranya. Kemudian, laki-laki itu memasangkan satu pelster lagi ke lukanya. “Ini, lo selalu ngobatin lukanya sendiri?” tanya Yesa. “Kenapa nggak bilang gue?” 

“Biasanya Kama yang bantu ngobatin.” 

Jawaban Gege membuat Yesa mendongak. “Oh ....” Dia menggumam kecil. “Ya syukur lah, lukanya di punggung kaki, bukan di punggung badan. Bisa bahaya kalau Kama yang ngobatin, bisa jadiin alesan buat dia lucutin semua baju lo—“ Yesa tertawa karena Gege kembali menampar punggungnya.

***

“Jadi lo udah tahu, Vin, sebelum ini?” tanya Gesang. 

“Bukan cuma gue.” Javindra menunjuk Yash dan Rajata. “Kita diketuai oleh Yesa.” 

Setelah makan malam, semua anggota laki-laki berkumpul di dapur sambil menikmati tahu goreng Sumedang yang dikirim oleh Bu Weni, salah satu anggota PKK yang baru saja mudik dari kampung halamannya. Dia membawakan dua keranjang tahu sumedang. Satu keranjang dinikmati di dapur oleh para laki-laki, satu lagi dinikmati oleh para perempuan di teras beranda sambil mengobrol dengan Bu Weni yang belum pulang. 

Bangku-bangku dapur terisi sepenuhnya dengan tahu goreng tersisa beberapa. “Lagian, Yesa nih ketua, tapi tugasnya nge-framing tunangan Gege supaya kelihatan brengsek banget. Jangan salahin kita lah kalau kita jadi ikutan benci.”

“Kan skenarionya memang begitu.” Yesa menunjuk Kama. “Dia nih pengen deketin Gege, tapi kadung nyembunyiin hubungannya sama Gege. Jadi, dia bikin seolah-olah tunangan Gege—yang nggak diketahui itu—jelek banget image-nya dan cuma dia yang dianggap pantes berdampingan sama Gege.”

“Anjiiirrr, ribet banget hidup lo sumpah.” Zale menggeleng heran sambil menatap Kama. 

“Makanya nggak usah sok jagoan lah, pakai ngedua segala, giliran Gege deket sama cowok lain, lo ribet.” Jenggala mengambil tahu dari tengah meja. “Perkara Gege dianterin Raka, sambil bilang ‘Makasih, Ka.’ Langsung meledak dia,” tuduhnya.

“Karena sama-sama dipanggil ‘Ka’ gitu maksudnya?” tanya Sakala. “Harga diri kamu terluka?” 

“Yakali Raka harus dipanggil apa? Rak? Rak sepatu?” timpal Javindra. 

“Pake muter-muter segala lagi, bikin evaluasi segala, cemburu mah tinggal bilang ‘Abang cemburu sama adeeek’,” tambah Rajata. 

“Tahu, cemburu lo tuh kelihatan banget. Gege ngeuh kalau lo ngomelin dia doang, nggak ngomelin Ona juga.” Zale kembali bicara. “Bikin simpel aja, ‘gue cemburu, gue pengen lo kasih kabar, gue khawatir’. Selesai, Gege juga ngerti.” 

“Gengsi lah .... Kemarin-kemarin kan dia bilang sama Gege, kalau dia ngizinin Gege punya cowok lain. Tapi tiap kali Gege dideketin cowok, dia tantrum sendiri.” Yesa baru saja lapor diri bahwa dia sudah bicara dengan Gege. “Lo udah ngajak dia ngomong belum, Ka?” tanyanya. 

Kama menggeleng. “Belum.” Kama melongokkan wajah ke depan. Sejak siang, Gege dijaga ketat oleh kelima teman perempuannya. Jadi Kama belum punya waktu untuk mengajaknya bicara.

“Minta maaf sana,” suruh Zale. “Walaupun bukan sepenuhnya lo yang salah.” 

“Lagian, ribet banget ribut-ribut mulu, kayak yang nggak pernah ciuman aja.” Javindra menghabiskan tahu terakhir, yang dihadiahi oleh tatapan bingung teman-temannya.

“Lo pernah lihat sendiri?” tanya Gesang.

Javindra menelan makanannya dengan tergesa. “Ya Lo pikir aja, kenapa sampai saat ini gue masih trauma untuk nggak nyebat di lorong?” 

“Anjing, di lorong, Ka?” Jenggala mengumpat. “Lo yang bener aja.” 

“Berantem, ciuman, berantem, ciuman. Gitu aja terus nih si setan nih.” Yesa menunjuk wajah Kama. “Mana ngeribetin satu posko pula tiap kali berantem.” 

“Tapi kalau gue lihat-lihat, Gege tuh memang beneran benci sama lo, Ka. Lo-gue-nya itu dari hati banget, udah bukan kayak lagi nutupin hubungan lo berdua yang aku-kamu.” Rajata sok menganalisis. “Iya, nggak?” 

“Udah muak kali dia sama lo, Ka,” ujar Sakala. 

“Nggak apa-apa lah, habis lo-gue juga besok ciuman lagi kayak—“ Suara Javindra terhenti karena tiba-tiba Gege melewati pintu dapur, bergerak masuk setelah melewati kerumunan laki-laki yang masih duduk di bangku-bangku kayu itu. “Eh, Gege .... Mau ngapain, Ge? Hehe.”

“Cuci piring,” jawabnya. Singkat sekali. Mereka tidak tahu bahwa sebelum bergerak masuk, Gege sudah mendengarkan percakapan itu dan menyiapkan diri menghadapi ucapan-ucapan sampah di sana. 

Dari ujung matanya, Gege bisa melihat bagaimana Kamar berbalik dari kursinya dan menatap ke arahnya sekarang. 

“Rajin banget cuci piring, Ge?” goda Rajata. “Habis makan siang cuci piring, habis makan malam lo cuci piring lagi. Piket hari ini?” 

“Mm.” Gege mulai membuka kran air. 

“Nggak apa-apa ya, Ge? Siapa tahu masuk surga jalur cuci piring,” timpal Javindra.

Kama  masih menatap Gege yang tampak tidak terpengaruh oleh ocehan teman-temannya itu. 

“Ge, masih marah sama Kama?” Lihat Yesa, berani sekali dia bertanya demikian pada Gege di depan Kama langsung. 

“Marah kenapa?” tanya Gege. “Gara-gara cuma dimanfaatin buat ciuman selama di posko KKN doang?” tanya Gege.

“Anjayyy ....” Javindra berseru, berusaha mencairkan suasana yang sejak kedatangan Gege menjadi tegang itu. “Bangga banget gue dengernya. Velocity dulu, Ge.” Dia menggerakkan tangan. “Dung, Tek, dung, dung, tek, dung, tek.”

“Ka, hari ini lo piket, kan?” tanya Yash tiba-tiba, dia berhasil menarik tangan Javindra dan menghentikan tingkahnya. Dia menggedikkan dagunya ke arah Gege. “Bantu cuci piring sana.” Lalu, dia bergerak bangkit dari bangku.

“Oh, iya. Gue juga harus telepon bokap hari ini.” Javindra mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Lalu berjalan mengikuti Yash. 

Yang lainnya juga mengatakan banyak alasan untuk bisa meninggalkan dapur—sekalipun alasan yang tidak masuk akal. Mereka sengaja meninggalkan Gege dan Kama berdua di sana. Sial sekali, padahal Gege sengaja ke dapur sekarang, agar Kama tidak punya kesempatan untuk menghampirinya di saat banyak orang. 

Gege berusaha tidak terpengaruh saat Kama bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Gege yang tengah berdiri di depan bak cuci piring. Saat tangan Kama hendak mengambil gelas dari tangannya, tangan mereka tanpa sengaja bersentuhan. 

Gege segera menarik mundur tangannya. 

“Hari ini capek banget. Baru sempet tidur satu jam tadi. Susah tidur karena ... bingung.” Ucapan Kama sama sekali tidak membuat Gege tertarik untuk menoleh. “Mikirin kamu, kenapa.” 

“Nggak kenapa-kenapa. Bukannya lo yang marah-marah duluan?” Gege sedang tidak ingin ramah hari ini. 

Kama mengernyit. “Lo?” 

Kali ini, Gege menoleh. “Iya, lo yang marah-marah. Kan?” 

“Apa?” Kama mengernyit. “Ngomong apa tadi?” 

“Lo yang marah-marah.” Gege mengulang kalimatnya, tapi dengan suara yang ditekan lebih rendah.

“Sekali lagi.” Kama menelengkan kepala. Dia selalu mampu mengintimidasi orang lain tanpa perlu banyak usaha. “Ulang .... Siapa yang marah?”

Gege memutuskan untuk menyerah. Mereka tidak boleh bertengkar lebih dari satu kali dalam sehari dan merepotkan satu posko. “Kamu, yang marah.” 

“Kamu cuekin aku dari kemarin.” 

Gerakan tangan Gege terhenti. Dia menghela napas. Tangannya mematikan kran. Sehingga tidak ada lagi suara yang mengganggu percakapan keduanya. “Kayaknya kita harus berpikir ulang deh, tentang hubungan kita ini,” ujar Gege, akhirnya dia berani mengeluarkan isi hatinya yang sejak kemarin hanya tersimpan di pangkal lidahnya. “Kayaknya kita emang ... nggak tepat aja. Hubungan kita, nggak tepat.”

“Ngomong apa sih?” 

“Ya kita pikir ulang.” Gege mengulang kalimatnya dengan suara lebih lantang. Dia kembali menyalakan kran air, tapi Kama segera menutupnya, dan Gege berdecak sambil menatapnya. “Kita balik lagi ke rencana semula. Buat bicarain sama orangtua kalau kita—”

“Kenapa kamu mendadak kayak gini?”

“Nggak mendadak. Ini tuh ... akumulasi dari semua hal yang udah aku jalanin.”

“Tapi kemarin kita baik-baik aja.”

“Aku nggak.” Gege menggeleng. “Aku nggak baik-baik aja.”

“Alasannya?”

“Ya itu tadi, aku capek .... Aku capek harus terus-terusan cemas, khawatir, sama hubungan yang aku jalanin. Aku pengen berhenti.” 

Kama terpaku, kata-kata itu ternyata mampu membuatnya tidak mampu berkata apa-apa selama beberapa saat.

“Kamu bisa kembali sama Laika,” lanjut Gege. 

“Kenapa harus sama Laika?” tanyanya.

“Ya kalau kamu mau sama cewek lain juga boleh. Sana cari.”

“Besok aja, sekarang udah malam.” 

Jawaban Kama mampu membuat Gege menoleh cepat, memberinya tatap sinis. Ingin sekali dia mengumpati laki-laki itu.

Kama melanjutkan kalimatnya. “Lagian jam segini disuruh nyari cewek, nyari ke mana?” 

“Terserah lah ....” Gege kembali menyalakan kran air. “Jangan ganggu, mau cuci piring.” 

“Besok anak-anak ngajak ke Lembang.” 

“Aku nggak ikut.” 

“Aku nggak ngajak kamu, sih.”

Ucapan itu berhasil membuat Gege menoleh, menatapnya sinis. Lagi. 

Kama bicara lagi. “Aku kan cuma bilang, besok anak-anak ngajak ke Lembang. Kalau kamu nggak mau ikut, ya nggak apa-apa.” 

Gege menghela napas.  Kenapa malah Kama yang berhasil memancing emosinya? “Kamu pikirin ya, tentang ini.”

“Apa?” 

“Hubungan kita.” Suara Gege agak ngegas. “Udah sana pergi, aku mau cuci piring. Aku lagi nggak mau ditemenin sama siapa pun! Lagian—“ 

PLOK!

Gege tertegun, karena kini, ada sebuah benda dingin, kenyal, kasar, keras, berat, yang menimpa kepalanya. Tubuh Gege membeku lama.  Benda yang berat itu, yang entah apa, perlahan bergerak, bergeser, lalu terjatuh dan menggantung di punggungnya.

“TOKEK!”

Suara itu, jelas saja membuat Gege menjerit. Sesuatu yang terjatuh tadi, yang kini dia rasakan mencengkram rambutnya, adalah seekor tokek. “Ka! Kamu kok diem aja!” Gege berteriak histeris. 

“Tadi kamu bilang kamu lagi nggak mau ditemenin,” ujar Kama. Tenang sekali. Bahkan sekarang laki-laki itu malah berbalik. 

“KAMAAA!” Gege menjerit histeris sekali lagi.

Kama menoleh, menatap Gege gerah. “Tadi kamu sendiri yang nyuruh aku pergi?” Lihat, dia pura-pura tidak mengerti tentang apa yang harus dia lakukan. 

“Ka, demi Tuhan—YESAAA!” Gege menjerit lagi, tapi tidak ada yang mendengar.

“Lagi pada ngerjain proyek Javin, soalnya Javin disuruh pulang besok sama orangtuanya.” Mesin-mesin potong alat bakar sampah yang bising jelas membuat mereka tidak akan mendengar suara apa pun. “Jadi dia bakal ke Jakarta sama Keiya besok.” 

SIAPA YANG PEDULI TENTANG JAVIN SEKARANG?! 

“KAMU BANTUIN AKU DONG KALAU GITU!” Gege kembali berteriak, tapi dia tidak berani bergerak. “INI TOKEKNYA MASIH NEMPEL DI PUNGGUNG AKU—GIMANA SIH KAMU TOLONGIN DONG!”

“Jadinya aku pergi apa jangan?”

“Ya—sekarang jangan lah! Gimana, sih?!” 

“Janji dulu nggak nyuruh aku pergi.”

“Iya janji!” Ini karena Gege panik sekali.

“Janji nggak nyuruh-nyuruh aku cari cewek lain.”

“Iya!”

“Janji juga—“

“IYA! IYA! AKU JANJI! KAMU BISA NGGAK TOLONGIN AKU DULU?! NANTI KITA JANJI LAGI! KEBURU TOKEKNYA GIGIT AKU KAMU NGGAK KASIHAN APA?!” Gege hampir menangis. 

Namun akhirnya Kama menghampirinya. Kama begerak merapat ke tubuhnya, wajahnya melewati pundak Gege untuk melihat sesuatu di punggungnya. “Tokeknya gigit kaus kamu.” 

“Terus?” 

“Bentar aku ambil gunting—“

“Jangan digunting! Ini baju kesayangan aku! Hadiah dari Yaya!” 

Kama mencebik. Tanpa persetujuan, dua tangan Kama kini meraih ujung kaus Gege dan menariknya ke atas. 

Gege panik atas tindakan itu. “KAMU MAU NGAPAIN?!”

“Buka bajunya lah. Katanya nggak boleh digunting?” 

“IHHH! YA NGGAK BOLEH LAH!” 

Dan lihat, Kama malah melepaskan tawa singkat di saat Gege sudah mulai menangis. 

“Kamu bisa nggak sih tolongin aku? Kalau nggak bisa, aku mau minta tolong  damkar aja!” Gege mengusap pipinya, dia benar-benar menangis. Dia merasakan tokek di punggungnya bergerak-gerak dan dia tidak bisa melakukan apa-apa selain berharap pada laki-laki brengsek di hadapannya. 

“Jangan nangis.” Kama menghampirinya lagi, dua tangannya terulur. “Sini. Kamu jangan banyak gerak nanti tokeknya gigit.” Kama Merengkuh tubuh Gege. Sementara itu, Gege menurut untuk tetap diam. Kedua tangannya terulur dan tanpa sadar Gege memeluknya. Sementara, di belakang tubuhnya, Gege rasakan tangan Kama bergerak-gerak. Lama, cukup lama. Lalu, Gege rasakan dua tangan Kama tidak lagi melakukan apa-apa dan hanya melingkar di tubuhnya. 

“Udah belum sih?” tanya Gege. 

“Tokeknya udah. Tapi meluk kamunya belum.”

Gege hendak mendorong tubuh Kama, tapi laki-laki itu memeluknya lebih erat. “Jangan ngomong kayak tadi lagi ya .... Please ....”

Gege belum menanggapinya dengan ucapan apa pun. Dia juga tidak lagi mendorong tubuh laki-laki itu agar menjauh. Di tengah hening dapur tanpa suara kran air yang terbuka, mereka mendengar suara tokek itu bersuara lagi. Suaranya sudah terdengar jauh, yang artinya tokek itu benar-benar sudah berhasil Kama lepas dari punggungnya.

Selanjutnya, kembali keduanya mendengar suara. Kali ini, bukan, bukan suara tokek.

Namun suara percakapan di lorong samping. 

Antar laki-laki dan perempuan. Suara yang awalnya berbisik-bisik, tapi kemudian menjadi lantang saat keduanya berdebat. 

“Lo tuh egois.” Suara perempuan. “Lo Cuma berusaha ngerusak kebahagiaan mereka.” 

“Gue egois?” Suara laki-laki. “Sejak awal, kalau gue egois, gue udah berhasil bikin pernikahan mereka berantakan. Gue udah mengalah, sekarang apa lagi? Siapa yang nggak ngerti di sini?” tanyanya. “Sampai kapan gue harus ngertiin bokap gue dan nyokap lo?” 

***

 

 

 

 

 

 

Nah lhooo. Siapa yang di lorong itu? 👀

 

WKWKWK DARI KEMARIN BANYAK YANG MERASA BERSALAH NGESHIP MEREKA DAHHH. 😭🙏🏻

 

Ada yang mau disampaikan kepada tokek? 🦎🦎🦎

 

BTW KALAU BESOK KE KARYAKARSA MAU NGGAK? MAIN-MAIN KE LEMBANG APA KE MANA KEK 😋 MEHEHEHE. 

 

ITU JUGA KALAU AKU NGGAK LUPA NGETIK YA. XIXIXI👀

 

MAKANYA SEMANGATIN AKU DOOONG KASIH APINYAAA YANG BANYAK DULUUU 😡🏻🔥🔥🔥🔥🔥

post-image-67dec4c9d91dd.jpeg

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Hello Kkn
Selanjutnya Hello, KKN! | [Additional Part 42 – Kama dan 1001 Akalnya]
1.5k
456
Mari kita saksikan bagaimana cara kerja 1001 akal bulusnya Kama wkwkwk Selamat membacaaa. Selamat senyum-senyum. Selamat kegerahannnn  :P
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan