
“Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!”
Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.
Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.
Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...
Hello, KKN! | [4. Kunjungan Pertama]

Jadi, kemarin aku udah bikin satu part khusus di Karyakarsa Gege’s POV. Itu nyeritain kenapa Gege berhenti untuk berharap sama Kama dan malah balik benci. Ini buat yang penasaran banget aja. Kalau mau langaung baca Part 4 ini juga gapapaaa. Hehe.

Selamat membaca yaws. 🌸
***
Hari ini, Kama dan kedelapan laki-laki lainnya di dalam kelompok 111 itu melakukan survei ke lokasi KKN. Di Kabupaten Bandung Barat, Kecamatan Sindangsono, Desa Welasasih, mereka tiba setelah melakukan perjalanan selama lebih dari lima jam dengan mengendarai motor.
Pukul satu siang mereka tiba di balai desa. Jika saja janji temu subuh sesuai yang mereka rencanakan tidak mereka ingkari, maka bisa dipastikan mereka bisa tiba lebih awal. Ini, pukul tujuh pagi saja Yash masih harus menelepon Javindra berkali-kali.
Desa Welasasih benar-benar definisi desa terpencil dengan jarak lima kilometer dari alun-alun kecamatan. Siapa sangka, setelah melewati jalanan tanpa penghuni seperti bukit hijau, lembah, kebun kayu jati yang rimbun, dan pesawahan, mereka akan menemukan sebuah desa. Desa Welasasih ini.
Mereka duduk di dalam balai desa dengan suguhan teh manis hangat. Tidak ada yang menunda-nunda untuk langsung menikmati air yang uapnya masih tampak mengepul itu. Perjalanan dari alun-alun kecamatan cukup memacu adrenalin. Mereka melewati gapura tua yang posisinya miring dan hampir terjungkal pada ujung jembatan yang menyambungkannya dengan Desa Welasasih. Karena, Desa itu dipisahkan oleh sebuah sungai besar dari desa lainnya. Selain aspal rusak dengan lubang-lubang—yang tidak layak juga disebut lubang, karena semua bagian rusak, mereka juga harus hati-hati sekali saat melewati perkebunan kayu karena perjalanan terus menanjak menaiki bukit dengan jurang di sepanjang sisi jalan.
“Meleng dikit udah langsung bisa tahu kedalaman jurang kita, Ka,” ujar Yash di boncengannya, orang sedingin dan selalu tampak tidak tertarik pada apa pun itu bahkan ikut berkomentar.
Mereka mengendarai lima motor, berpasang-pasangan kecuali Sakala.
“Ya nggak lah, kalau pun nih motor oleng, kita bakal nyangkut dulu di batang kayu.” Kama melirik pohon-pohon kayu yang sengaja ditanam di sisi-sisi jalan. “Itu juga kalau nasibnya lagi baik.” Lalu mereka cekikikkan.
Udaranya masih terasa dingin saat siang hari begitu untuk ukuran manusia yang selama hidupnya tinggal di sekitaran Jabodetabek.
Mereka temukan Desa Welasasih sebagai daerah serupa cekungan. Kepala Desa yang mereka temui menjelaskan bahwa bentuk desa yang dipimpinnya itu seperti mangkuk. Pemukimam warga menempati bagian dasar dan lereng-lereng bukit, beberapa berada di puncak seperti balai desa ini.
Awal mereka tahu bahwa Kabupaten Bandung Barat itu berada di pinggiran Cianjur dan jauh dari Kota Bandung, mereka sangat syok. Dan saat mengetahui langsung keadaannya, Javin hampir pingsan. Tidak ada coffee shop yang mereka jumpai sepanjang jalan menuju kecamatan. Bahkan tidak ada angkutan umum yang bisa mereka tumpangi dari alun-alun kecamatan untuk tiba di desa.
Setiap warga Welasasih harua menggunakan kendaraan pribadi untuk tiba di kecamatan, akses menuju ke kabupaten.
Jangan harap ada mal, minimarket saja tidak ada, warung paling besar di Welasasih adalah KUD, Koperasi Unit Desa, yang bentuknya mirip warung kelontongan. Mereka sempat nongkrong di sana sebentar, merokok sambil minum kopi instan, sebelum kembali menanjak menuju balai desa yang bertepat di puncak bukit.
Ini akan menjadi kabar paling buruk bagi para perempuan. Jasa pesan antar sama sekali belum ada akses masuk ke Welasasih. Sabine yang paling mengkhawatirkan hal ini, pasti akan menangis karena tidak bisa memesan Sophee-Food, Maxim Food, atau yang lainnya.
“Jadi, akses menuju rumah-rumah warga nggak bisa dilalui dengan kendaraan ya, Pak?” tanya Yesa.
“Ya, begitulah .... Jalan aspal hanya dibuat untuk akses ke balai desa ini,” jelasnya. Sisanya hanya jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan motor dan pejalan kaki.
“Tapi semua jalannya dipastikan bisa dilalui kendaraan motor ya, Pak?” tanya yang lainnya, sedikit cemas.
Kepala Desa yang memperkenalkan diri bernama Pak Karja itu mengangguk. “Bisa. Tapi ya itu tadi, sebagian sudah kami cor tipis, sebagian lagi masih jalanan tanah dan berbatu. Selain anggaran dari desa, swadaya masyarakat juga aktif membantu kami. Entah dengan materi atau pun tenaga, kami mengerjakannya dengan cara bergotong royong.”
Semua mengangguk-angguk.
Setelahnya, mereka diajak makan siang, walaupun berkali-kali sudah menolak, Pak Karja tetap membawa mereka menuju gedung serbaguna desa yang ternyata sudah disiapkan meja-meja prasmanan dengan beberapa ibu-ibu yang menjaganya dan menutup makanan dengan kertas koran agar tidak dihinggapi lalat.
“Mangga taruang heula, Kasep,” ajak seorang wanita paruh baya.
[Ayo makan dulu, Anak Ganteng.]
“Aya pepetek geura ka dieu, Bageur.”
[Ada goreng anak ikan sini deh, Anak Baik.]
Kesembilan laki-laki itu selalu bergerak refleks untuk saling berpandangan saat mendengar bahasa daerah, mereka merasa langsung dimasukkan ke lorong gelap karena tidak tahu artinya. Oh, kecuali Gesang dan Yash tentu saja, mereka anak Bogor dan Bekasi, jadi setidaknya pasti mengerti.
Makan siang yang disediakan memang tidak mewah, mereka menyediakan satu wadah nasi, goreng ikan-ikan kecil yang dibuat garing sekali, sambal goreng terasi dan daun singkong rebus. Setelah menikmati makan siang yang ternyata dengan menu seadanya bisa membuat Zale tidak tahu malu sampai nambah dua kali itu, mereka kembali melakukan survei bersama Pak Ruhyat, selaku sekretaris desa.
Mereka berjalan kaki, melewati jalan tanah yang lebarnya hanya bisa dilalui oleh dua motor. Melewati kebun bambu yang daunnya menaungi jalan, suara gemeresak daun dan serangga terdengar nyaring sekali saat mereka berjalan.
Pelepah-pelepah batang bambu yang lepas dan berserakan di jalan baru saja membuat Sakala terpeleset.
“Duh, maaf ya, A. Kebetulan agenda kami untuk bersih-bersih kampung itu hari Jumat, jadinya daun-daun bambu masih berserakan begini.”
“Nggak apa-apa, Pak. Santai. Hehe.” Padahal di belakang sana, Sakala mengumpat pelan sambil memegangi bokongnya.
“Astaga ini mah bener kita ada di daerah Bandung sebelah Laklakan Naga,” gumam Javindra, membuat Rajata yang berjalan disisinya bergerak menyikut perutnya.
“Dingin ya Pak, walau udah siang.” Yash memberikan komentar.
“Iya, dingin banget di sini. Siang hari itu udaranya nggak akan lebih dari dua puluh dua derajat akhir-akhir ini. Kalau malam hari menjelang subuh apalagi, bisa mencapai enam belas derajat.”
Semua melotot sambil saling berpandangan. Itu bukan kabar baik untuk anak Jabodetabek seperti mereka.
“Kasih tahu teman-temannya yang lain untuk banyak bawa baju hangat,” lanjut Pak Ruhyat.
Setelah melalui kebun bambu, akhirnya mereka menemukan pemukiman warga. Terasa sepi, karena dari pagi hari hingga sore, biasanya warga menghabiskan banyak waktu di ladang. Di sana, hanya akan ditemukan beberapa Ibu muda, lansia, atau anak-anak SD yang berada di pekarangan, membuat kesembilan mahasiswa itu berkali-kali melirik ke kanan dan kiri sambil menganggukkan kepala. “Punten, Bu .... Ngiring ngalangkung.”
[Permisi, Bu. Ikut lewat.]
Dan yah, tiba mereka di sebuah rumah yang disediakan untuk mereka huni selama empat puluh hari ke depan. Rumah itu memiliki akses keluar-masuk mobil walau berada di pinggiran sungai. Jalannya juga bagus, cornya kuat.
“Ini jalan menuju rumah mantan Pak Kades tahun lalu. Jadi dibuat lebar untuk keluarganya, agar bisa keluar-masuk dengan menggunakan mobil.” Pak Ruhyat menunjuk ke ujung jalan. “Rumah mereka di sana, hari ini sedang tidak ada di rumah sepertinya.”
Ada “Oh ....” yang miris terdengar. Pasalnya mereka baru saja melewati jalanan tanah dan berbatu saat melewati pemukiman warga.
“Silakan, dilihat-lihat rumahnya.” Pak Ruhyat mengulurkan tangan.
Dari jalan umum itu, mereka harus melewati satu jembatan untuk menuju rumah dengan halaman luas dan hijau yang akan mereka tempati nanti. Rumah itu terbuat dari kayu dengan lantai rumah yang dibuat lebih tinggi. Rumah panggung orang-orang sini menyebutnya.
Di bagian belakang rumah, membentang sawah dengan beberapa pohon kelapa. Halamannya teduh karena ada satu pohon ceremai di pojok kanan dan pohon sawo walanda di pojok kiri—ini menurut penjelasan Pak Ruhyat, karena mereka tidak melihat buahnya sama sekali. Dua pohon tinggi itu memiliki daun yang rimbun, tapi halamannya sangat terawat.

“Rumah ini Milik Pak Darmawan, beliau mau pindah dan menetap di sini rencananya setelah pensiun nanti. Tapi, takdir berkata lain, saat masih bertugas di luar pulau, beliau meninggal dunia. Sementara Bu Darmawan dirawat oleh anak-anaknya. Jadi, rumah ini dibiarkan kosong,” jelas Pak Ruhyat. Dia membuka kunci rumah, dan membawa kesembilan mahasiswa itu masuk.
Siapa sangka, rumah panggung yang tampak sederhana itu memiliki bagian-bagian yang memperhatikan estetika di dalamnya. Perabotannya lengkap, walau memiliki kesan tua mereka terlihat terawat, sama seperti ketika ... memasuki rumah seorang mendiang nenek.
“Tidak usah bawa barang apa pun ke sini, semua sudah disediakan. Anak-anak Pak Darmawan mengizinkan semua fasilitas di rumah ini untuk digunakan. Hanya, pesannya, mohon dijaga.”
“Tentu, Pak.” Kama menyahut cepat.
“Ada tiga kamar berukuran besar, ruang tengah. Lalu di bagian belakang ada ruangan luas yang menyatu dengan dapur dan kamar mandi.” Semua bangunan terbuat dari kayu kecuali kamar mandi.” Tampak bersih, tampak terawat, kayu-kayunya bahkan tampak mengilap. “Jadi, ada yang ingin kalian tanyakan setelah ini?”
“Apa ada orang yang tinggal di sini, Pak?” tanya Jenggala. “Keadaan halamannya terawat sekali.”
Pak Ruhyat menggeleng. “Nggak ada. Hanya rumah dan halaman ini selalu dibersihkan oleh salah satu warga yang sukarela melakukannya. Namanya Mak Wasih—oh, orangnya mungkin sedang ke ladang kalau siang-siang begini. Nanti klian pasti bertemu dengan beliau.” Pak Ruhyat menunjuk jendela lebar di salah satu sisi kiri rumah. “Itu rumah Mak Wasih, rumahnya ada di sisi tanah Pak Darmawan. Beliau tidak mau menjual tanah dan rumahnya pada Pak Darmawan walau ditawar dengan harga tinggi dan tahu tidak memiliki akses untuk menuju jalan keluar. Jadi, demi bisa menggunakan jalan melewati bagian depan rumah ini, Mak Wasih memberikan penawara untuk merawat halaman rumah ini sebagai gantinya. Padahal Pak Darmawan dan keluarganya mengizinkan dan tidak meminta timbal balik, tapi namanya orangtua, kalau keinginannya dilarang pasti kecewa sekali.”
Mereka sudah selesai melihat keadaan rumah dan isinya. Lalu bergerak keluar, ke bagian teras rumah yang disebut dengan golodog.
“Masih banyak sekali rumah panggung di sini ya, Pak?” tanya Kama.
“Iya.” Pak Ruhyat mengatakannya dengan suara tenang seolah-olah hal itu adalah hal biasa. “Kami sengaja membuat rumah jadi lebih tinggi. Soalnya kalau di dekat sawah dan sungai begini biasanya rawan ular.”
***
Para laki-laki itu tiba di Jakarta pada pukul sepuluh malam. Total lebih dari sepuluh jam mereka melakukan perjalanan mengendarai sepeda motor untuk melakukan survei lokasi. Bersama lima anggota KKN perempuan, mereka membuat janji di salah satu coffee shop dekat kampus.
Berkumpul di area outdoor, tapi tidak ada yang berani menyalakan rokok karena Cleona baru saja memberi pelototan. Para laki-laki itu mulai menjelaskan.
“Gue videoin mulai dari gapura sebelum jembatan masuk desa kalau kalian mau lihat,” ujar Yash. Lalu, ponslenya ditaruh di tengah meja, para kepala perempuan membuat kerumunan untuk menyaksikan video itu.
“Astaga ....” Sabine menggumam.
“Ini jangan-jangan Desa Penari,” ujar Cleona.
“Kalian nggak ketemu Badarawuhi?” tanya Juana.
Sementara itu, Samira dan Keiya tidak mampu bicara.
“Sepanjang perjalanan dari kecamatan menuju desa, nggak ada pemukiman warga sama sekali?” tanya Gege.
Kesembilan laki-laki itu mengangguk. “Cuma ada sawah, kebun kayu, sama jurang,” ujar Sakala.
Semua perempuan menahan napas.
“Nggak ada mal, nggak ada coffee shop, nggak masuk ojol, nggak—“
“Stop!” Sabine menghadapkan telapak tangannya pada Yesa yang tadi mencoba menjelaskan. “Stop dulu. Gue masih syok.”
“Tapi bonusnya, di sana masih hijau banget. Warganya ramah, kita bahkan disuguhin makanan tiap datang ke rumah warga.” Zale menoleh pada Juana. “Terus udara di sana dingin banget, Sayang! Kamu bisa jadi Teteh Bandung beneran yang jaketan dan pakai knit kamu setiap hari!”
Juana menghela napas.
“Jaket KKN kita bakal jadi minggu ini kan, Ja?” tanya Kama pada Rajata.
“Aman, kayaknya besok juga udah jadi sih.”
“Oke. Kita butuh banyak baju hangat selama di sana.” Kama mulai mengambil alih diskusi untuk kembali pada apa yang seharusnya mereka bicarakan. “Memang nggak ada mal, nggak ada akses jasa antar yang bisa masuk, lokasinya benar-benar ada di pelosok, banyak jalan bertanah dan berbatu. Tapi fokus kita bukan ke sana. Tujuan kita mengabdi.” Kama menatap semua pasang mata para perempuan.
Termasuk Gege.
Saat tatap mereka bertemu, Gege segera menghindar.
“Oke?” Kama memastikan keadaan para perempuan yang masih terdiam. “Balik lagi, kita fokus sama proker.”
Salah pilih ketua kita nih. Itu yang digumamkan oleh semua anggota. Saat semua kelompok KKN tampak santau-santai saja dan menjadikan KKN ini sebagai ajang liburan karena bisa terbebas dari tugas kampus sejenak, Kama mengajak mereka untuk serius sekali ‘mengabdi kepada masyarakat’.
“Setelah survei yang kita lakukan tadi, gue rasa kita harus fokus sama beberapa aspek aja. Nggak harus banyak proker, tapi semua proker udah harus mencakup di bidang ekonomi, pendidikan, sosial-budaya, kesehatan, informasi, lingkungan, dan keagamaan. Kita bagi masing-masing aspek ini, untuk bikin proker dan nentuin siapa penanggung jawabnya, lalu tentukan anggota. Tapi tentu aja, setiap proker berjalan, kita kerjain semuanya bareng-bareng.”
Semua mengangguk setuju. “Kita pilih penanggung jawab masing-masing kegiatan, untuk bikin rancangan prokernya,” lanjut Yash. “Minggu depan proposal harus udah jadi untuk diseminarkan di depan LPM sama Pak Jafran.” Dia menyebutkan nama dosen pembimbing lapangan.
“Oh, ya .... Dan gue minta itu—Ge ....” Seperti biasa, Kama berbicara pada Gege sambil mengotak-atik ponselnya, alasan untuk tidaj menatapnya. “List barang yang lo bikin, mau gue periksa. Mungkin ada banyak barang yang nggak harus dibawa, karena di rumah yang kita jadiin posko nanti, fasilitasnya udah lengkap banget dan bisa kita pakai.”
Gege menyerahkan iPad-nya pada Kama. “Lo cek di sana.”
“Oke.” Kama menerimanya dan langsung mengecek satu-satu. “Seperti pesan Pak Jafran, di sana kita harus jaga sikap,” lanjut Kama.
“Dan benar, warga menganggap kita ini adalah makhluk yang bisa melakukan segalanya. Di desa tadi, Jenggala sempat bantuin administrasi online sekdes.” Yesa menunjuk Jenggala. “Mahasiswa adalah manusia serbabisa, mereka menganggap kita sehebat itu.”
“Di sana pendidikan mereka kebanyakan ... apa?” tanya Samira.
“Mungkin sebenarnya ada banyak mahasiswa, anak-anak dari warga. Tapi pasti nggak tinggal di sana sih. Soalnya aksesnya jauh. Di Welasasih, cuma ada satu sekolah SD. Untuk ke SMP rsn SMA mereka harus pakai kendaraan pribadi untuk menempuh perjalanan yang kami lewati tadi sejauh lima kilometer, karena sekolah SMP dan SMA adanya di wilayah kecamatan,” jelas Yash. “Untuk universitas ... kita belum tanya sih, bisa jadi mereka ngejar langsung ke Bandung kota? Dan itu jauh banget.”
“Oh iya. Kita masing-masing beneran harus bawa tumbler ke mana-mana. Karena kalau ketemu warga, kita pasti disuguhin teh manis anget. Gawat banget, gula darah bisa-bisa naik selama empat puluh hari minum teh manis mulu,” tambah Gesang. “Dan satu lagi, harus berusaha belajar mengerti bahasa daerah mereka.”
“Bahasa Sunda, ya?” tanya Keiya.
“Kan ada lo, Ges?” tunjuk Javindra pada Gesang.
“Lo nggak mungkin bawa gue ke mana-mana sebagai kamus, kan?” Gesang mengernyit.
“Iya, sih.”
Helaan napas yang berat terdengar.
“Oke. Udah gue tandain.” Kama memberikan iPad milik Gege. “Mana aja barang yang harus dibawa dan mana yang nggak. Ada yang optional juga. Sebisa mungkin pokoknya bawa barang yang benar-benar akan dibutuhin aja.”
“Yah, oke, selanjutnya, semangat proker-an!” Yesa mengulurkan tangannya ke depan. Para laki-laki tampak bersemangat, giliran perempuan yang ogah-ogahan. “Yok, semangat!”
Tangan-tangan itu terulur, telapak tangan mereka saling tumpuk di tengah meja. “Semoga seminar proposal kita lancar,” ujar Kama.
“Aamiin!”
“Semua proker disetujui,” tambah Kama.
“Aamiin!”
“KKN kita lancar.”
“Aamiin!”
“Nggak ada yang cinlok!” tambah Gesang.
“Aam—eh?”
“Masa nggak boleh?”
“Dih? Kenapa begitu dah? ” Sebagian orang protes, entah siapa saja, yang jelas para laki-laki.
“Lho, banyak yang udah punya pacar di sini. Masa yang empat tahun kalah sama empat puluh hari, ya Yash?” Gesang menyenggol teman yang duduk di dekatnya itu.
“Udah, udah, wei ini KKN bukan take me out.” Sakala melerai.
“Tapi kalau sama-sama mau, ya nggak apa-apa nggak, sih?” tanya Javindra. “Ya, Ge?”
Yesa berdecak sambil mendorong wajah Javindra yang condong ke depan. “Gege udah tunangan gue bilang.”
Javindra menyunggingkan satu senyum sinis. Kembali menatap Gege. “Jangankan tunangan, gue pernah hampir berhasil menggagalkan pernikahan orang malahan. Tanya Keiya kalau nggak percaya.”
***
Wadu. Wadu. Wadu.
Apa nggak kita bakar ini? 😋Mangat nunggu part depan yaaa. 😋🔥

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
