Hello, KKN! | [39. Khusus untuk Kama]

531
178
Deskripsi

"Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!"

Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.

Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.

Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...

Hello, KKN! | [39. Khusus untuk Kama]

post-image-67d2d848b8d91.png

Haiii 🌼

 

Kangen nggakkk?

 

 

Beuh mendadak sibuk banget dunia nyataku. Kek aja ada kerjaan Ya Allah. Doakan semua urusanku lancar biar bisa tetap ngelanjutin cerita ini yaaa 🌼

 

Oh, iya. Hari Sabtu dan Hari Senin kemarin aku bikin Additional Part 38 dan Additional Part 38 Vol 2 lhooo di Karyakarsaaa. Puanjaaang part-nya, momen selama di Lembang, bucinnya Kama VS posesifnya Yaya pokoknya gemeys🤏🏻 tapi TIDAK PUASA FRIENDLY ya. Dibaca setelah buka aja. 🙂🙏🏻

post-image-67d2d8581b72e.jpeg

 

Jangan lupaaa voteee sama komen yang ramai yaaa kalau kangeeen. Biar cepet kita ketemu mereka lagi. 5000 kata niiihhhh. 

 

 

Nyalakan apinya di siniii. Yang banyaaak 🔥🔥🔥🔥🔥

***

 

 

 

 

 

 

 

[Ini ada sepenggal narasi dari masa depan ya. Diingetin takutnya nggak ngeuh. wkwk🙏🏻]

=====

Gege duduk bersama kelima teman wanitanya dengan posisi duduk melingkari meja. Di tengah tengah taman dengan dekorasi serba putih, di bawah untaian lampu berwarna oranye yang saling terhubung dari satu tiang ke tiang lain, di antara persiapan pernikahan yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Di antara suasana malam, dari sudut taman yang dinaungi oleh langit pukul sembilan malam itu, lagu jazz diayunkan menemani percakapan mereka yang diselingi tawa. 

Di meja itu mereka isi dengan kenangan-kenangan lucu dan cerita mengesankan selama empat puluh hari KKN yang telah mereka lalui empat tahun silam. Mahasiswa semester lima yang sibuk sekali mengabdi di masyarakat dan menciptakan berbagai program kerja itu, kini telah berubah menjadi wanita-wanuia dewasa di mana salah satunya siap melanjutkan langkah ke jenjang pernikahan.

“Gue nggak nyangka sih lo bakal nikah secepat ini,” ujar Cleona. “Kayak, kecepetan nggak, sih?” tanyanya. 

“Jujur, gue juga nggak nyangka sebenarnya,” balas Gege. “Tapi ya namanya takdir jodoh, harus diterima nggak, sih?” 

“Setelah drama putus-nyambung bertahun-tahun ya, akhirnya lo menemukan titik lelah lo juga dan mau nggak mau, ya sama dia juga.” Keiya tertawa. “Tapi jujur, nikah muda tuh impian gue dari dulu sih.” 

Gege beranjak dari tempat duduknya saat seorang pelayan menghampiri meja mereka, membawakan beberapa gelas cocktail yang mereka pesan untuk malam hari ini, sementara makanan pembuka, makanan utama, hingga makanan penutup telah disediakan di meja yang berada di sisi taman. 

Juana yang sejak tadi hanya tertawa-tawa, kini bicara, “Gue pengen air putih aja deh,” ujarnya menyingkirkan cocktail di hadapannya. Beranjak dari tempat duduknya untuk bergerak ke meja makanan dan mengambil piring kecil berisi potongan buah. 

Sesaat sebelum Juana kembali, Samira berbicara, “Lo semua pada penasaran nggak sih sama Neng Marisa sekarang?” tanyanya. 

“Terakhir kita tahu kabarnya, dia udah nikah nggak, sih?” ujar Sabine. 

“Iya, kan Gege waktu itu yang kasih kabar kalau dia mau nikah.” Cleona menoleh pada Gege yang baru saja menyesap minumannya. 

Gege mengangguk. “Tapi gue nggak sempat dateng waktu itu, gue lagi nggak di Jakarta ....” ingin segera mengganti topik pembicaraan, Gege kembali bicara. “Lain kali kita ke Welasasih lagi nggak, sih? Ngapain kek, kerjasama sama warga untuk ngadain kegiatan sosial ... Atau apa gitu?”

“Sekalian ketemu Mak Wasih ...,” ujar Sabine, dia tersenyum sambil menatap semua teman-temannya. “Lo semua pasti kangen, kan?” 

Gege mengangguk. “Boleh nanti kita rencanakan ke depannya.” 

Percakapan mereka terhenti di titik yang sendu, tapi tidak lama. Karena setelahnya, ponsel Cleona yang berada di atas meja berdering. Saat menatap layar ponselnya, dia tertawa, lalu membuka sambungan telepon dengan antusias. Dengan sengaja dia mengaktifkan speaker ponsel agar semua orang di meja bisa mendengar celoteh Si Penelepon. “Halo?” sapa Juana.

“Lo lagi sama calon bini gue nggak, Na?” tanyanya. “Gue hubungi dia berkali-kali dari tadi nggak diangkat, chat gue nggak dibalas. Padahal sebelumnya gue udah bilang, kalau gue bakal datang telat. Lagi ngumpul dulu nih ... sama anak-anak.” 

“Calon bini lo ada di sini, aman sama gue dan yang lain,” jawab Cleona.

“Titip ya, Na. Sampai gue tiba di sana, lo pastiin dia nggak marah-marah .... Besok mau nikah juga ....” 

“Iyaaa ...,” sahut Cleona lagi, memandang semua wanita yang terkikik geli di meja itu mendengar suara cemas Si Penelepon.

“Ya udah, kalau udah bentar lagi kok ini. Nunggu cowok-cowok kumpul semua. Sekali lagi, titip calon bini gue, tolong lo perbaiki mood-nya jangan sampai dia berubah jadi barongsai waktu gue nyampe nanti.”

=====

 

***

 

Tidak ada yang mengizinkan kelima pria dewasa itu mengunjungi posko. Mereka harus puas bertemu Gege, Kama, dan Yesa di Lembang. Karena setelahnya, ketiga anggota KKN 111 itu kembali ke posko dengan narasi  yang Yesa ciptakan bahwa, “Setelah seminar, Kama dan Gege kehujanan di Lembang, jadi gue nyusul dan berakhir kita semua bermalam di penginapan.” 

Para wanita sirkus yang kemarin datang lebih bisa dipercaya untuk menjaga rahasia jika dibandingkan lima pria dewasa yang lebih sering bicara terang-terangan jujur tanpa ingat situasi itu. 

Namun tentu saja, Yaya menelepon terus dari mulai Gege masih di perjalanan hingga tiba di Welasasih. Memastikan Gege ingat ucapannya. “Bawa Yesa ke mana pun kamu pergi, sekalipun cuma ke dapur. Jangan berduaan sama Kama. Ngerti?”  

Ketiganya tiba di posko saat sore hari. Hari ini tidak ada kegiatan apa-apa, mereka telah sepakat. Namun nyatanya, di halaman posko, ada sekitar sepuluh orang pria paruh baya tengah bekerja untuk membantu Javindra. Di sana, mereka membantu Javindra mendirikan alat pembakar sampah yang kembali dikerjakan setelah sekian lama menjadi proyek mangkrak. 

Gege dan Kama yang baru tiba di halaman segera menyapa warga yang kini memenuhi halaman, Yesa menyusul di belakang. Ada beberapa hidangan yang sengaja disajikan di beranda, beberapa cangkir kopi, camilan dan kue-kue manis. Dan di sana juga, ada Javindra yang tampak semangat bekerja dengan kaus oblong, kacamata hitam, dan satu batang rokok yang terselip dibelakang telinga.

“Bener kata Keiya deh,” gumam Gege, membuat Kama menoleh. “Javin tuh memang lebih mirip sopir truk daripada mahasiswa yang lagi KKN.”

Kama melepaskan tawa, dia tidak lanjut menanggapi ucapan Gege karena sekarang dia melihat Javindra melangkah mendekat ke arahnya. Kama juga merespons Javindra yang kini mengangkat tangan dan menonjok lengannya. “Gimana bisa lo bawa Bapak-bapak ini ke sini?” tanya Kama. 

“Berkat lomba mancing kemarin lah. Ini hasilnya.” Javindra merentangkan kedua tangannya dengan bangga. “Terbukti kan kalau gue beneran jago mancing?” 

Kama mengangguk-angguk sambil menatap orang-orang yang masih bekerja. 

Lalu, Javindra lanjut bertanya. “Gimana umpan dari gue buat lo kemarin?” Kedua alis Javindra terangkat. “Lo gigit nggak?” tanyanya lagi sambil tertawa. 

“Udah gue kunyah,” balas Kama. 

Dan tawa Javindra meledak lebih kencang lagi.

Di tengah-tengah percakapan itu, ada Gege yang menatap kedua laki-laki itu dengan wajah tidak mengerti. “Lo memanfaatkan bapak-bapak itu untuk ngerjain proyek lo?” tanya Gege.

“Meminta tolong.” Javindra meluruskan. “Nggak ada kata ‘memanfaatkan’ karena kita saling membutuhkan, beliau-beliau itu bisa mancing dan dapat ikan gratis kemarin,” jelasnya. 

Karena Kama dan Javindra tampak tengah serius membahas program kerja yang tengah dikerjakan itu, Gege bergerak menjauh. Dia menghampiri teman-teman perempuannya yang tengah duduk di beranda.

“Gimana seminarnya, Ge?” tanya Samira. “Lancar?” 

Gege mengangguk. “Lancar. Seminarnya sebentar sih, cuma ... perjalanannya itu lho yang jauh banget.”

“Gue nggak expect Yesa bakal nyusul o ke sana sih kemarin,” lanjut Samira. “Kayak, dia tuh khawatir banget.” 

“Dia rela ujan-ujanan tahu, berangkat lagi beneran ujan gede,” jelas Juana. “Dia beneran khawatir sama lo, Ge.” 

“Takut kali Gege diapa-apain,” tambah Keiya. “Sama Kama.” 

“Terus lo akhirnya nginep di mana, Ge?” tanya Cleona. 

Nah, ini yang bikin males. Daripada berbohong, Gege lebih memilih untuk memberikan jawaban aman yang tidak terlalu detail. “Ya di penginapan, di Lembang.” 

“Ge, masa Kama bilang dia punya villa di Lembang dan mau ngajak kita ke sana?” ujar Cleona. 

“Oh, seru tuh. Kapan, Na?” tanya Keiya. 

“Nggak tahu, mungkin nanti kalau weekend,” jawab Cleona. 

“Ide bagus sih. Udah hampir tiga minggu kita nggak keluar dari Welasasih, sekalinya keluar cuma buat ngurusin kepentingan desa.” Samira membawa kotak P3K. “Ada yang lihat Gesang nggak? Dia nanyain salep buat dadanya yang kemarin kebesot pohon kelapa.” 

“Dia belum balik deh kayaknya,” jawab Juana. “Gue nggak lihat dia dari tadi.”

“Dia lagi bikin konten di sanggar jaipong Tarantaka yang dikelola sama Ibu-ibu perangkat desa, katanya mau ambil video latihannya gitu sebelum nanti ikut ambil video pas mereka pentas di kabupaten,” jelas Cleona.

“Sibuk banget dia,” gumam Gege. Dia menarik sweter yang dikenakannya dan meloloskannya lewat kepala, menyisakan kaus abu-abu berlengan pendek di tubuhnya. Lalu, dia menatap ke kejauhan ke arah para laki-laki yang kini mulai membubarkan diri karena waktu sudah beranjak semakin sore. 

Laki-laki pertama yang berjalan menjauh dari kerumunan itu adalah Yash, dia tampak lelah, wajahnya kusut, beberapa kali menyisir rambutnya dengan jemari sebelum membenarkan letak kacamata. 

“Yash!” Sabine yang sejak tadi sibuk memainkan tisu, kini mendongak saat Yash mulai melepas sandal dan naik ke teras beranda. “Aku bisa sulap!” ujarnya.

Yash menyunggingkan satu senyum tipis. “Oh, ya?” Responsnya template sekali.

Semua perempuan yang duduk di beranda itu, kini melihat ke arah Sabine. Mereka baru mengerti mengapa Sabine sejak tadi sibuk memainkan tisu dan tidak ikut mengobrol.

Saat Sabine tengah membaca mantra sambil memejamkan mata, anggota laki-laki beranjak melangkah ke arah posko setelah bapak-bapak warga Welasasih sudah bergerak keluar dari halaman dan berpamitan. 

Sabine menggenggam tisu yang sejak tadi dia beri mantra, lalu menatap Yash lagi yang masih berdiri di teras beranda sambil memandanginya. “Aku bisa ubah tisu ini jadi bunga,” ujar Sabine. Lalu, “Satu, dua, tiga! Taraaa!” Sabine memunculkan gulungan tisu di tangannya. “Ini bunga, Yash!”  

Yash mengernyit kecil, setengah meringis di saat teman-temannya tertawa. Lalu, Yash menggumam. “Oh, iya, jadi bunga. Hebat.”

Hal itu membuat Sabine melongo dan tidak terima. “Yash, harusnya kamu bilang ‘Bukan’! Nanti aku bilang, ‘Kalau kamu bilang ini bukan bunga, kamu jadi pacarku!’ Gitu lho cara mainnya, Yash!”

Gege meringis kecil menyaksikan Sabine yang menatap ke arahnya sambil mengangkat satu tangan. Tidak disangka, cerita Gege Kecil yang melakukan aksi sulap di depan Kama akan Sabine lakukan di hadapan Yash—dengan respons yang tidak sesuai ekspektasi. 

“Kayak kenal tuh cara sulap kayak gitu,” ujar Yesa yang kini sudah duduk di bangku kayu yang ada di beranda bersama Kama. “Belajar dari siapa?” 

Masih sewot, Sabine tetap menjawab. “Gege! Gege yang ngajarin.”

“Tapi kan gue cuma cerita, Bine?” Gege merasa tertuduh. “Bukan ngajarin lo.”

“Tapi gue terinspirasi,” balas Sabine. “Lo bilang, cinta pertama lo itu nge-notice lo sejak aksi sulap abal-abal itu, kan?” 

Bukan nge-notice sih, lebih tepatnya Kama malas menanggapi dan iya-iya saja saat harus menganggap sendok berubah menjadi bunga. 

Ada Kama yang beradu tatap dengan Gege di sana, di dalam ingatan laki-laki itu, pasti terlintas Gege kecil yang memaksa bahwa sendok di tangannya berubah menjadi bunga dan Kama harus mengakuinya. 

Sementara Yash yang seolah-olah tidak pernah melakukan kesalahan apa pun, kini hanya bergerak masuk untuk mengambil segelas air minum sebelum kembali ke beranda dan bergabung dengan yang lainnya.

Tidak lama, sua motor Gesang membelah kesunyian sore. Dia datang saat sore sudah turun lebih gelap. Wajahnya tampak semringah, sebuah pertanda bahwa dia berhasil mengerjakan prokernya hari ini. “Gue punya banyak konten,” ujarnya sambil cengar-cengir. “Tinggal tolong bantu edit.” Perkataan terakhirnya membuat Jenggala dan Zale pura-pura tertidur di lantai kayu itu. “Sialan,” umpat Gesang. Senyum cerahnya lenyap.

“Jadi ke Tarantaka, Ges?” tanya Kama.

“Jadi dong, lo harus lihat rekaman video gue, Ka. Keren mereka,” ujar Gesang dengan suaranya yang antusias. “Eh, tadi gue ketemu Pak Ruhyat, besok katanya bakal ada kerja bakti. Bersihin sampah di sungai dekat jembatan Cimacan.” 

“Jam berapa?” tanya Sakala. “Gue ada janji dulu sama Ibu-ibu PKK besok buat bahas progres UMKM mereka.”

“Pagi sih kalau bisa,” jawab Gesang.

“Lo selesaiin aja dulu, Sak,” ujar Kama. “Kalau masih ada waktu, lo nyusul ke sana.”

“Yash ikut?” tanya Sabine.

Yash yang baru saja meminum air di gelasnya, malah planga-plongo. Karena pertanyaan itu mungkin terkesan tiba-tiba. “Ikut aja gue ...,” jawabnya. Lalu, “Yang duluan bangun pagi, besok bangunin. Takutnya kesiangan.”

“Hah? Kesayangan?” sahut Sabine, yang membuat Cleona mengguncang pundaknya agar dia menghentikan tingkah memalukan itu.

Sementara itu, para laki-laki yang duduk di sana hanya memandangi Sabine dengan iba—sekaligus heran. “Urat respons Yash udah putus sebagian, Bine. Lo nyerah aja kata gue sih,” ujar Javindra. 

“Kenapa Yash?” tanya Sakala. “Kenapa harus ‘Yash’orangnya  maksud gue?” 

“Bukan lo aja gitu ya, Sak, yang dipilih?” tanya Zale sambil tertawa-tawa, sementara Sakala hanya mengernyit mengabaikan cibiran itu.

Sabine menggumam lama, memandangi Yash seolah-olah tatapnya tidak memengaruhi manusia patung itu. 

Namun, Javindra lebih dulu memiliki jawabannya. “Ya sengaja Sabine milih Yash, biar suatu saat nanti dia nggak usah bangun dapur kalau punya rumah.” Memang Javindra ini hasil berpikirnya selalu berada di luar nalar manusia normal. “Kalau Sabine beneran jadi sama Yash, mereka nggak perlu punya dapur.”

Gesang menjentikkan jari. “Setuju gue. Tempe kremasi featuring ati ampela rasa tai, apa jadinya?” 

“Gue tuh sejak awal nggak ada kepikiran buat suka sama Yash,” jelas Sabine. Seolah-olah Yash tidak ada di sana dan tidak bisa mendengar suaranya. “Gue nggak suka tipe cowok yang di-chat Senin, balasnya di akhirat kayak Yash gini.” Dia menunjuk wajah Yash.

Sementara semua sudah melepaskan tawa. 

“Tapi setelah gue pikir-pikir, ngapain harus nge-chat? Kan, nyamperin dia terus ngomong langsung juga bisa?” lanjut Sabine sambil mengangkat bahu.

Di sana, Cleona sudah tampak muak dan segera menyembunyikan Sabine di belakang tubuhnya. “Yash, kalau lo kosong, plis lah tembak temen gue ini sekarang juga, yakin dia nggak bakal nolak. Tiap hari dia ceritain lo sampai kita-kita ini muak banget dengernya.”

Di posko itu, masih terdengar tawa yang belum reda dan Sabine yang prengat-prengut saat sebuah motor kembali memasuki halaman posko KKN. Anggota KKN sudah lengkap berada di posko, sehingga seharusnya tidak ada lagi yang datang kecuali warga atau tamu yang ingin bertemu dengan salah satu di antara mereka. 

Dan ya, benar saja. Seorang gadis yang kini mengendarai motor matic putihnya sendirian, menghentikan motor di dekat rumah Mak Wasih dan berjalan mendekat ke posko sembari membawa tas jinjing di satu tangannya. “Sore, Aa, Teteh,” sapanya. 

Saat Gege menatap wajah gadis itu, rasanya familier.  Seperti sebelumnya mereka pernah bertemu, tapi entah di mana. Mungkin secara tidak sengaja saat ada kegiatan di desa?

“Sore, Teh.” Orang pertama yang membalas sapaan itu adalah Gege, sebelum akhirnya suara-suara lain saling bersahutan. Setelahnya, Gege juga yang menjadi satu-satunya bangkit dan turun dari beranda untuk menghampiri gadis itu. “Ada keperluan apa, Teh? Atau ... mau ketemu siapa?”

“Mau ketemu A Kama ...,” ujar gadis itu sambil menatap ke arah Kama yang tengah duduk di bangku beranda.

Dan Gege juga melakukan hal yang sama. Ikut-ikutab menatap ke arah Kama. 

“Saya Marina, Teh. Anaknya Bu Bidan Eti, dari desa sebelah .... Kakaknya Icha,” jelasnya. “Saya ... disuruh Ibu untuk anterin makanan ini ke posko, katanya ... ada beberapa makanan yang khusus dititipkan untuk A Kama.”

“Oh ....” Gege mengangguk-angguk. Lalu menoleh pada Kama yang kini sudah bangkit dari kursinya dan bergerak menghampiri keduanya. “Ka—ini ....” Gege bingung sekali dengan posisinya sekarang, dia bahkan sedikit menyesal menjadi orang pertama yang menghampiri gadis itu. 

Kama berdiri di samping Gege. Namun, Gege lebih dulu meraih tas jinjing yang diangsurkan oleh Marina. Kama yang tampak bingung di sana segera bicata. “Makasih ya, Neng”—panggilan ‘Neng’ itu membuat Gege menoleh dan menatap Kama dengan raut wajah yang menuntut penjelasan—“sampaikan sama Ibu juga, terima kasih” 

“Sama-sama, A.” Marina hanya menggumam, tampak gugup. Beberapa kali bahkan dia menunduk untuk mengindari tatapan Kama.

Sebagai seorang perempuan, Gege mengerti sekali bahwa gestur yang ditunjukkan oleh gadis itu adalah caranya menyembunyikan rasa sukanya pada Kama. Sebelumnya Kama dan Marina pernah bertemu, dan mungkin saat ini Marina yakin bahwa dia menyukai Kama? 

“Silakan ngobrol dulu,” ujar Gege. Lalu dia melangkah mundur. “Terima kasih ya, Neng Marina.” Gege menekan ucapan ‘Neng Marina’ di kalimatnya. “Saya pindahkan dulu makanannya, tempatnya mau dibawa lagi, kan?”

Neng Marina mengangguk. “Pesan Ibu begitu Teh, untuk kirim makanan ke sini lagi lain kali katanya.”

Gege mengangguk. “Saya cuci dulu, ya?” ujarnya sebelum berbalik dan berjalan meninggalkan Kama dan gadis itu di halaman. 

Drama itu, tentu saja disaksikan oleh para anggota KKN yang kini duduk di beranda. Sebagian yang mengetahui fakta tentang hubungan Kama dan Gege hanya saling lirik, sementara yang lainnya menampakkan sikap bingung. 

Gege melewati beranda, lalu berjalan masuk ke posko. 

Dan Samira adalah orang pertama yang menyusul langkahnya. 

Saat tiba di dapur, Samira membantu Gege memindahkan makanan ke piring, sementara Gege mulai membasuh kotak-kotak makan itu. “Padahal, selama khitanan masal kemarin, gosip Kama yang ngaku kalau dia udah tunangan itu udah nyebar banget lho, Ge,” ujar Samira sambil sesekali menoleh pada Gege. “Memang sih, Bu Bidan Eti nggak ada di acara kemarin ....”

“Bisa aja menang Bu Bidan Eti nggak denger gosipnya.”

“Tapi masa sih nggak ada yang kasih tahu?” gumam Samira.

“Nggak sih, Miw. Walaupun dia tahu, ya hak dia juga buat tetap maksain anaknya mau jadi jodoh siapa.” 

“Tapi ... lo cemburu nggak? Kesel?”

Gege menggeleng. “Nggak, sih.” Mungkin dia sudah terlatih sejak lama mengelola rasa cemburunya? “Cemburu itu kan salah satu bentuk dari rasa takut kehilangan, sementara gue udah kehilangan dia sejak lama.” 

Samira tidak merasa lelucon itu bisa ditertawakan. 

Percakapan mereka terhenti karena kini, keempat perempuan lainnya menyusul ke dapur. Duduk-duduk di meja makan, salah satu dari mereka mencomot tempe mendoan yang dikirim Bu Bidan Eti. Belum ada yang bicara, tampak kebingungan untuk menanggapi keadaan itu. 

Tentu saja, karena yang mereka tahu, Kama dan Gege tidak memiliki hubungan apa-apa. Jika Gege menunjukkan sikap cemburu, akan lebih aneh juga untuk ditanggapi. “Neng Marina udah dianterinmpulanh sama Javin,” ujar Keiya. 

“Jadi, yang sebenarnya pengen dikenalin ke Kama itu, Neng Marina, bukan Neng Marisa .... Gitu, ya?” tanya Cleona bingung.

Juana mengangguk. “Neng Marisa itu kemarin baru nyoba-nyoba doang kali, mancing, eh lumayan dapet cowok dua miliar. Nah, Bu Eti keluarin lah jagoannya untuk narik mangsa yang lebih gong.”

“Kasihan ya, Yesa ...,” ujar Gege. Maksudnya, kasihan sekali dia sudah berkorban untuk Kama, rela disukai oleh Neng Marisa, padahal Bu Bidan Eti belum benar-benar melancarkan usahanya. 

Gege masih berada di depan bak cuci piring saat satu per satu anggota laki-laki bergerak ke dapur. Benar, saat Gege menoleh, Javindra tidak ada, mungkin masih mengantar Marina.

 Justru saat ini, Kama yang datang menghampirinya dan berdiri di dekatnya. “Mau gue bantuin nggak?” Dia sadar tingkahnya tengah diperhatikan, tapi tidak bisa menahan diri untuk memastikan Gege yang sekarang tengah marah atau tidak atas kedatangan Marina? 

“Nggak usah, ini udah mau selesai,” jawab Gege. “Neng Marina udah pulang ya diantar Javin? Terus kotak-kotak makanannya ini gimana?” 

“Biar Javin besok yang kembaliin,” jawab Kama. 

“Javin, Javin ..., mau-mauan kena eksploitasi Kama,” gumam Yesa, yang tengah sama-sama menikmati tempe mendoan dengan yang lainnya di meja makan.

“Oh ....” Gege mengangguk. “Nggak kamu aja yang anterin?” Gege menoleh singkat, hal itu membuat sendok yang baru saja selesai dicuci terjatuh ke lantai dapur. 

Saat Gege membungkuk, hendak mengambilnya, Kama ikut-ikutan bergerak membungkuk juga. Namun, daripada memilih untuk mengambilkan sendok yang terjatuh tadi, Kama malah memilih untuk melindungi kaus Gege  yang bergerak lebih rendah saat bergerak membungkuk. Kama menutup kancing di bagian dada Gege dengan satu telapak tangannya. 

Hal itu jelas membuat keadaan menjadi ... hening sekali. Semua melongo atas tindakan berani Kama itu. 

“Awas kelihatan,” ujar Kama. Lalu, hal lain yang lebih mengejutkan terjadi. Saat ponselnya berdering, Kama mengeluarkan benda kotak pipih itu dari saku celananya. Sebelum dia menempelkan ponsel ke telinga, dia lebih dulu sadar benda lain yang keluar beriringan dari dalam saku celananya dan jatuh ke lantai. 

Semua menatap ke arah benda yang kini tergeletak tidak berdaya di atas lantai kayu itu. Satu kemasan alat kontrasepsi berupa karet elastis berwarna biru. Yang membuat semuanya menahan napas dan membungkam kata. 

***

Malam itu, tidak cukup hanya mengajak Gege bicara di kamar, seluruh anggota perempuan mengusir semua laki-laki dari dalam posko dengan alasan, “Kita mau meeting penting!” Namun, saat semua anggota laki-laki sudah berhasil dikeluarkan dari posko, mereka bergerak melepas bra dan hanya memakai piyama dengan clay mask yang membuat wajah mereka terlihat menjadi abu-abu. 

Oh, ya. Keiya tidak ikut-ikutan melakukannya karena Alvin akan menjemputnya malam ini untuk makan di luar. Jadi, saat semua teman-temannya merebahkan tubuh di ruang tengah dengan posisi terlentang, menatap langit-langit posko, Keiya hanya duduk bersila dengan cermin kecil dan pouch berisi peralatan make-up. 

“Besok jadwal Senam di balai desa,” ujar Sabine. 

“Mm.” Semua hanya menggumam, mengiyakan.

“Ya ampun, gue merasa terbebas bisa kayak gini,” ujar Cleona seraya merentangkan tangannya. “Jujur aja, pakai bra seharian bikin kepala gue sakit.” 

“Kepala lo sakit mah karena banyak pikiran,” tuduh Juana. Lalu, tubuhnya berbalik menjadi menelungkup, tapi dua lengannya bertumpu pada sikut agar wajahnya tetap tegak. “Lo kebanyakan mikirin Gege.”

Gege yang mendengar hal itu, ikut-ikutan mengubah posisinya menjadi menelungkup. “Mikirin gue?” tanya Gege. 

“Iya,” sahut Sabine. Matanya terpejam, posisinya masih terlentang. Dia bicara, “Ona khawatir banget sama lo dari kemarin, Ge. Gara-gara lo bilang nggak bisa balik dan bakal nyari penginapan sama Kama. Ona juga yang nyuruh Yesa buru-buru nyamperin lo di Lembang.” 

“Uuuutututu ....” Gege menyeret tubuhnya untuk menghampiri Cleona yang masih terlentang dan merangkul dadanya dengan satu tangan. 

Cleona menjerit, tapi selanjutnya malah tertawa-tawa. “Sembarangan nih nyentuh-nyentuh tete gue!”

“Gede juga Ona,” ujar Gege sambil tertawa.

“Mana, Na, coba pegang?” Sabine bergerak mengulurkan tangannya, tapi Cleona menepis cepat.

“Pada sinting, ngeri banget!” umpat Keiya.

Sementara itu, mereka hanya tertawa-tawa. Untuk melindungi asetnya, Cleona ikut menelungkup, bertumpu pada dua sikut sambil menatap semua teman-temannya di sana. “Sumpah ya, Kama tuh ... ngeri banget. Gue nggak bisa berkata-kata lagi pas lihat kejadian tadi. Bisa-bisanya ... dia simpan kondom di saku celana?” 

“Itu artinya udah jadi kebiasaan nggak, sih?” tanya Juana.

“Gue serius deh, Ge. Kalau seandainya lo sama tunangan lo itu beneran udah selesai, gue nggak menyarankan banget lo sama Kama.” Sabine ikut-ikutan berguling dan menelungkup, kini mereka berbicara dengan posisi saling berhadapan. “Ih, Ona, punya Lo beneran gede!” Sabine malah salah fokus.

“IH, PADA KENAPA SIH?!” Cleona menarik kausnya hingga merapat ke leher. “Ayo balik lagi nasehatin Gege dong! Fokus!” 

“Tapi Kama nih kayaknya memang ngincer Gege banget nggak, sih?” tanya Keiya. Dia baru saja selesai memakai eyeliner di salah satu kelopak matanya. “Kayak ... kelihatan banget lah dia. Dan nggak keberatan juga semua orang tahu.” 

“Gue harap lo mikir sampai lima juta kali sih, Ge. Seandainya dia nembak lo nanti.” Juana menatap Gege serius. “Ngeri banget—Eh, sama ceweknya itu kayaknya udah putus deh? Zale bilang, dia udah nggak pernah lihat Kama teleponan sama ceweknya, dia juga kayak berada di fase butterfly era gitu kalau deket lo, Ge.” 

“Miw, lo kan kenal tuh sama Laika, lo nggak tahu mereka udah putus atau belum?” tanya Cleona. Dia seperti sengaja membuat Samira yang sejak tadi diam saja, ikut berkomentar.

“Gue nggak kenal baik sih sama dia, kita cuma saling tahu aja. Jadi gue nggak tahu apa-apa.” Samira masih terlentang sambil memainkan ponselnya. 

“Ge?” Tiba-tiba Sabine menatap Gege dengan serius. “Dari kejadian tadi, di mana dia tanpa segan megang dada lo dan satu bungkus kondom yang jatoh ... lo pernah mikir nggak? Jangan-jangan sebelumnya dia pernah pakai tuh barang laknat sama ceweknya?” 

Di saat itu, semua menjadi hening. Gerak Keiya yang tengah menepuk puff ke pipinya terhenti, jemari Samira di layar ponselnya juga hanya mengambang di udara, sementara ketiga teman perempuan yang lain hanya memandangi Gege dengan saksama. 

“WEEEI! UDAH BELOM MEETING-NYA?!” Suara gedoran di pintu luar membuat para perempuan itu terkesiap, mereka terkejut bersamaan. “CEPET DONG, DI LUAR BANYAK NYAMUKKK!” Itu suara Gesang, terdengar beriringan dengan pintu yang diketuk.

“Belum! Sabar kenapa, sih? Belum ada sejam!” balas Cleona. 

“Gue buka, ya?” Itu suara Yesa. “Satu, dua, tiii—”

“AAA!!!” Jeritan histeris dari para perempuan itu malah membuat Yesa dan yang lainnya tertawa-tawa.

“Sabar dulu kenapa, sih?” Sabine balas berteriak. 

Lalu, suara Zale menyahuti. “Buka nggak? Kedinginan ini! Kalau nggak dibuka sekarang, gue bakal—“

“KALAU NGGAK DIBUKA SEKARANG, KAMU BAKAL APA?” Suara Juana lantang sekali. Membuat suara Zale di luar berubah lembut. 

“Kalau nggak dibuka, ya kita bakal tungguin sampai dibuka dong, Sayang ....” 

“Halah, halah. Bisa begitu,” ejek Rajata.

“Angin tornado bisa berubah jadi angin sepoi-sepoi gitu ya kalau ngadepin Jua?” imbuh Javindra. 

Suara di luar menjadi sedikit lebih tenang, entah para laki-laki itu sedang membahas apa sekarang. Sehingga kini, mereka yang berada di dalam posko bisa kembali mengobrol. “Lo sejauh ini, gimana ke Kama, Ge?” tanya Juana hati-hati.

“Suka, ya?” tembak Sabine, yang segera mendapatkan pelototan dari Cleona. “Habisnya, Kama tuh kayak beneran effort banget bikin Gege baper. Kelihatan.” 

Mendengar pembahasan itu, Samira yang sejak tadi pura-pura cuek, kini bangkit dari posisinya dan duduk bersila. “Kalau pun Gege suka, itu hak Gege lho?” ujarnya. “Kita nggak punya hak apa pun untuk menghalang-halangi. Lagian, selama Gege angap kebersamaan mereka baik-baik aja dan nggak menyakiti siapa pun, menurut gue ya ... nggak apa-apa.”

“Tapi kan—“ 

Saat Sabine hendak bicara lagi, Samira lebih dulu menyela. “Kita nggak punya hak untuk ngatur perasaan Gege.”

Semua gadis di sana saling pandang, termasuk Gege dan Samira yang tadi saling bertukar tatap dalam waktu yang lama. Rumit sekali memang jika segala hal diawali dengan ketidakjujuran. Kamu akan terus berbohong untuk menutupi kebohongan lain yang terungkap. 

Dan hal itu ternyata melelahkan sekali. 

Pintu terdengar kembali diketuk dari arah luar. “Kei, ini Alvin udah datang nih!” Suara itu terdengar saling bersahutan. 

Sehingga kini, mau tidak mau kelima gadis yang mengenakan piyama itu berlarian ke kamar untuk mengenakan bra dan pakaian hangat lain untuk melindungi tubuh mereka sebelum membuka pintu. 

Ternyata, para laki-laki di luar itu tidak berbohong. Alvin benar-benar sudah datang dan duduk di tepi teras beranda. Saat kelima perempuan itu keluar dari dalam rumah untuk melepas Keiya, mereka tampak iba dengan Alvin yang kini seperti tengah diospek oleh Kakak tingkat. 

Alvin duduk dengan wajah menunduk, sementara Javindra berjalan sambil melipat lengan di dada. “Jangan malam-malam pulangnya.” 

“Iya,” sahut Keiya. Suaranya tidak pernah ramah saat menanggapi ucapan Javindra. 

Lalu, saat Keiya sudah turun dari beranda dan mengenakan sepatu, Alvin kembali bicara. “Saya pinjam dulu Keiya-nya, A,” ujarnya pada Javindra. “Ng—nggak apa-apa naik motor kan, A?” Sopan sekali suaranya.

Namun, Javindra tentu saja menghadapinya dengan angkuh. “Memangnya kamu punya mobil?” 

“Nggak sih, A.” Alvin tersenyum kaku. 

“Ya udah, ngapain bilang begitu?” Javindra mengernyit dengan lengan yang masih dia lipat di dada. “Pergi tinggal pergi.”

Alvin tersenyum, masih berusaha bersikap sopan. “Nggak, A. Maksudnya, saya Cuma takut Keiya nggak biasa naik motor jauh-jauh—“

“Terus kamu pikir selama ini dia naik apa? Naik burok?” balas Javindra.

Mendengar Javindra yang sejak tadi sewot, Keiya segera menarik tangan Alvin. “Ayo udah! Jalan! Nggak usah didengerin!” Keiya mendelik pada Javindra sebelum menerima helm dari Alvin dan melangkah menjauh. “Kama, gue pergi dulu ya. Jagain Javin tuh selama gue nggak ada.”

Kama hanya mengangguk kecil. “Jangan malam-malam.”

“Iya,” sahut Keiya. Setelahnya, Alvin benar-benar membawa Keiya pergi dengan motornya. 

Di posko kini, sebagian anggota KKN sudah masuk ke rumah. Sebagian lagi masih bertahan di luar. Kama yang hendak menghampiri Gege tadi, tertahan oleh Javindra yang mengajaknya bicara di bangku kayu yang berada di beranda. Sehingga kini, Gege lebih dulu didekati oleh Gesang yang langsung bicara padanya, “Lo jadi kan ngeditin videonya kan, Ge?” tanya Gesang, kembali memastikan. “Zale sama Jenggala sibuk edit buat daily content, sementara gue lagi fokus untuk edit Tarantaka. Lagian gue percaya editan lo tuh bakal lebih smooth.”

Progam kerja Gesang adalah pelestarian budaya. Sehingga dia banyak berinteraksi dengan warga sekitar dan merekam banyak hal unik entah itu berbentuk kegiatan atau karya tangan warga. 

Gege mengangguk. “Mana gue lihat videonya dulu.” 

Gesang menyerahkan ponselnya pada Gege, menunjukkan video yang harus Gege kerjakan. Di sana, ada video berdurasi lama yang diambil di dapur Mak Wasih saat Mak Wasih tengah membuat wajit. Ada beberapa video, dan Gege memilih video yang diambil dari atas sehingga semua keadaan dapur dan kegiatan Mak Wasih terekam seluruhnya. “Ini gue sengaja taro HP di bilik dapurnya, terus gue keluar biar Mak Wasih berasa nggak lagi gue tontonin.” 

Gege mulai memutar video. Lalu tersenyum ketika melihat kegiatan yang Mak Wasih lakukan di dalam dapurnya yang sebagian berlantaikan tanah, tapi bersih dan rapi itu. 

“Lo tonton dulu deh semua, kalau lo sanggup buat editnya, lo bilang gue,” ujar Gesang. “Sementara gue mau mandi dulu. Walau dingin, gue belum mandi dari pagi.”

Gege mendorong lengan Gesang agar menjauh. “Bau! Ya udah sana!” Gege membiarkan laki-laki itu berlalu, sementara kini dia mengambil posisi duduk di tepi teras beranda agar bisa lebih fokus menonton, Gege bahkan memakai airpods-nya agar bisa mendengar suara dari video dengan lebih jelas. Gege mendengar suara-suara yang dihasilkan oleh kegiatan Mak Wasih. Langkah kakinya, beradunya semua peralatan di dapur, suara kokok ayam, dan suara lain yang khas.

Gege menggulirkan layar ponsel, membuatnya memutar video lain. Di sana Mak Wasih tampak direkam di depan rumahnya, menyusun wajit yang dibuatnya di atas nampan lebar dengan rapi.

Namun, di tengah video, Gege mendengar suara lain di luar kegiatan Mak Wasih.

Sebuah percakapan.

Antara seorang laki-laki dan perempuan. 

“Laika dengar ....” Suara laki-laki. 

“Kapan sih kamu bisa memutuskan hal ini, Ka? Kapan kamu bisa tinggalin Gege demi aku supaya hubungan kita bisa tenang?” Suara perempuan.

Suara keduanya,  sangat Gege kenali.

“Laika .... Kalau aku punya cara untuk melakukan itu, aku akan lakukan sejak lama.” Suara laki-laki itu, adalah suara Kama. 

Dan tangan Gege mulai terasa kaku saat mendengarkan ucapan itu. 

Suara Kama terdengar lagi. “Tapi masalahnya nggak sesederhana itu. Aku akan kehilangan banyak hal saat memutuskan untuk meninggalkan Gege. Dia justru alasan mengapa aku masih diterima di keluargaku sekarang.”

Gege melihat jemarinya gemetar. 

“Dia hanya alat bagi kamu untuk mendapatkan segalanya?” Itu suara Laika.

Setelahnya, di dalam video Mak Wasih terlihat mengusir ayam yang datang ke halaman rumahnya, suara kokok ayam membuat suara percakapan dua manusia yang tengah Gege dengarkan dengan saksama itu tidak terdengar jelas. Hanya saja, ada kalimat terakhir yang membuat sekujur tubuh Gege gemetar sekarang. “Gege adalah kunci hidup aku sekarang. Laika, aku nggak bohong saat aku bilang, aku harus memikirkan banyak hal saat meninggalkan Gege. Aku harus memikirkan bagaimana perasaan orangtuaku, orangtuanya—“

“Ge?” Suara itu datang dari arah belakang tubuhnya, membuat Gege terkesiap dan menjatuhkan ponselnya ke tanah. Gege menoleh, melihat Kama tengah berdiri di sana. “Masih ngapain? Ke dalam sana. Udaranya udah mulai dingin,” ujar Kama. Laki-laki yang baru saja mengakui bahwa ... Gege tidak lebih dari sekadar kunci sekaligus alat agar dia tetap mendapatkan segalanya yang dia miliki dari orangtuanya. Oh, Demi Tuhan, Kama. Dia picik sekali .... 

***

 

 

 

 

 

 

 

Jeandru Kama

Ini kapan masukinnya?

Pia 

HEH? JANGAN MAIN MASUKIN-MASUKIN AJA?! 🏻

Jeandru Kama

MAKSUDNYA, KAPAN PIA MASUKIN KE SAKU CELANAKU? 

KOK AKU BISA NGGAK TAHU?! 

Pia 

Diem-diem, pas kamu pamit tadi. 

Jeandru Kama

Bikin ribet aja. 

Pia 

Kenapa? 

Jeandru Kama

Ini maksudnya apa? 

Aku nggak ngerti. 

Pia 

Itu yang tipis dan flexible, Ka. Pokoknya premium. Nanti juga kamu ngerti  

Jeandru Kama

Bukan itu. 

Tujuan Pia ngasih ini tuh apa? 

Pia 
Nggak ada tujuan apa-apa, Ka.

Nggak usah dipakai. 

Maksudnya kalau ga kepepet jangan. 

Tapi.

Ya gitu lah. 

Jangan kalau ga terpaksa.

Ngerti, kan?

Jeandru Kama

Nggak. 

Nggak ngerti. 


 

Janari Bimantara

Nggak ngerti cara makenya?

Jeandru Kama

Bang? 


 

***

 

 

 

 

Singkat, padat, Bang?

 

 

Okay. Jadi setelah baca part ini, udah ngerti bakal gimana ke depannya nasib hubungan Kama dan Gege ini kan? 

 

Ayok kasih aku semangat banyak-banyak dong biar cepet updateeee.

 

 

Spam ‘Next’ banyaaak boleh di siniii 🏻

post-image-67d2d9a2eff72.jpeg

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Hello Kkn
Selanjutnya Hello, KKN! | [40. Sikap Baik di Balik Rencana]
510
104
Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak terima saat banyak laki-laki yang mendekat pada Gege dan menyatakan suka. Ternyata, usaha Gege sia-sia saat diingatkan bahwa cinta pertamanya adalah Kama.Ketegangan terus berkembang, hingga semua masalah bermunculan dengan sembarangan. Jadi, bagaimana Kama? Kamu tetap pada Laika atau memutuskan kembali pada Gege dan menyatakan suka? 24/11/24
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan