Hello, KKN! | [32. Posko Tanpa Kama]

632
125
Deskripsi

"Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!"

Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.

Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.

Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...

Hello, KKN! | [32. Posko Tanpa Kama]

post-image-67b8847bb7c0d.png

Haiii. 🌼

 

Kita LDR-an dulu niyyy sama Kamaaa. 

 

Selamat membaca ya. Jangan lupa voteee, terus komen yang banyaaak. 🌼🌼🌼

 

 

Kasih apiii. 🔥🔥🔥🔥🔥

 

***

 

Siang itu, semua mengeluh lelah. Jenuh. Bahkan sebagian ingin pulang saja. Semangat anggota KKN 111 mendadak luruh hingga semua kembali ke posko dari kegiatan masing-masing di saat waktu masih terang. Para laki-laki berkumpul di halaman tanpa melakukan apa-apa. Menatap mangkraknya proyek pembakar sampah yang diketuai oleh Javindra. Dan para anggota perempuan satu per satu muncul di halaman posko. 

Sementara itu, Gege yang kini datang lebih dulu, segera meneliti wajah-wajah di hadapannya. Dia memperhatikan gestur dari satu per satu yang datang dan menyapanya. Adakah perbedaan dari kebiasaan sebelumnya? 

Gege masih meneliti. 

Masih menilai. 

Masih menebak-nebak. Tentang siapa seseorang yang menutup pintu dapur pagi tadi, di saat Gege dan Kama tengah ... berciuman. [Additional Part 30]. 

Namun, tidak ada yang berubah dari seluruh gelagatnya, semua tampak normal, semua tampak biasa saja. Seseorang yang menutup pintu itu, entah memang sekadar melindunginya dari anggota KKN lain, atau memang ... dia tengah menciptakan bom waktu bagi Kama dan Gege untuk diledakkan di waktu yang dia inginkan? 

“Teh Gege!” Suara teriakan itu membuat Gege menoleh. Ada Hasna, bocah perempuan yang sering datang ke posko untuk bermain atau sekadar memberi sepucuk surat untuk Kama. “Aa Kama mana?” 

Gege menghampiri gadis kecil itu, “Aa Kama lagi ke Jakarta, pulang dulu. Ada urusan yang harus diselesaikan.”

Gadis kecil itu mencebik. “Masa Aa Kama nggak bilang sama aku?” 

“Coba chat aja deh,” ujar Rajata. “Tanyain, kapan Aa Kama pulang?” Padahal Kama baru saja berangkat tadi pagi. 

Karena Aa kesukaannya tidak ada di sana, gadis kecil itu kini berbaur dengan Aa-aa yang masih duduk di halaman sambil membahas alat pembakar sampah minim asap yang menjadi topik pembicaraan mereka sejak tadi.

Sesenyap itu pergerakan program kerja para anggota KKN ketika Kama tidak ada. Bahkan, Sabine kini tengah pergi bersama Sakala, memenuhi ‘janji nyalon’ yang diucapkannya kemarin-kemarin. Sakala benar-benar mewujudkannya. Mengajak Sabine pergi bertepatan di hari piketnya, entah sengaja atau tidak, karena hari itu seharusnya Sabine bertugas bersama Gege di dapur untuk menggantikan Juana dan Samira yang baru saja pulang mengikuti kegiatan ibu-ibu PKK. 

Melihat para anggota laki-laki tampak begitu serius, para anggota perempuan yang baru kembali dari kegiatan luar mereka kini langsung menuju rumah Mak Wasih ketika pintu rumahnya terbuka pada siang hari. Hal itu di luar kebiasaan, karena pintu Mak Wasih yang terbuka di siang hari jarang sekali terjadi jika dia sedang tidak sakit. Biasanya, rumah itu akan tertutup hingga sore, dan terbuka saat Mak Wasih kembali dari ladang.

Ternyata, siang itu Mak Wasih tengah membongkar isi lemarinya. Kayu bagian belakang lemari yang sudah lapuk dan dimakan rayap membuat sebagian pakaiannya rusak, sehingga kini beliau harus mengeluarkan semua pakaian dan merapikannya di lantai.

Ada Gege, Cleona, Samira, Keiya, dan Juana yang kini membantu Mak Wasih melipat banyak pakaian kebaya berjenis kutu baru milik Mak Wasih. Dulu, pakaian dan kain-kain batik itu menjadi kebanggaannya. Satu kain batik berwarna hijau pupus dengan corak merah muda yang diusapnya kini, memiliki banyak kenangan. 

Mak Wasih bilang, Itu pakaian pertama Mak pertama kali bertemu Abah.

Gege tersenyum, beliau masih menyimpan kenangan-kenangan itu di dalam rumahnya. Hal itu mengingatkan Gege pada pernyataan Pak Sekdes, saat pertama kali mereka datang. Beliau bilang, Mak Wasih menolak pemilik vila—yang kini menjadi posko KKN—membeli rumahnya. Karena, di rumah itu, pasti menyimpan banyak sekali kenangan bersama mendiang suami dan anak laki-lakinya. Dan Mak Wasih adalah wanita yang pandai merapikan kenangan di dalam hidupnya dan menyimpannya dengan baik. 

Gege mau coba? Tanya Mak Wasih sembari menyerahkan kebaya dan kain batik hijau pupus yang baru saja dilipatnya. Pasti cantik. Pakai ini.

Awalnya, Gege menolak, tapi teman-temannya yang lain memaksa Gege untuk melakukannya. Menyuruh Gege berganti pakaian dengan kebaya dan kain batik milik Mak Wasih yang ternyata pas dikenakan di tubuhnya.

Lebih dari itu, Cleona meminta Gege melakukan beberapa pose di depan rumah Mak Wasih. Mengambil foto, merekam video. Dia memuji. “IHHH CANTIIIK. LAGI, LAGI!” 

Hal itu disambut oleh respons antusias yang anggota perempuan lainnya. 

“Gue up di akun KKN ya!” ujar Cleona setelah puas dengan konten yang didapatkan di kameranya. 

Gege masih mengenakan pakaian itu, dan Mak Wasih menghampirinya. Tangan wanita lanjut usia itu bergerak, memuji, Cantik, katanya. 

“Makasih,” balas Gege. Lalu, tangannya menunjuk pakaian yang dia kenakan. “Pakaiannya juga cantik.” 

Mereka membantu menyelesaikan pekerjaan Mak Wasih hingga seluruh pakaiannya berhasil dikeluarkan dan disimpan sementara di luar lemari. Kata Mak Wasih, besok Mang Sunar akan datang untuk membantunya membenarkan bagian belakang lemari yang rusak. 

Setelahnya, mereka meninggalkan rumah itu, sementara Mak Wasih sudah bergerak ke dapur dan menyalakan tungku api. 

Gege sudah berganti pakaian dengan kaus putih yang dia kenakan semula saat keluar dari rumah kayu itu. Dia berjalan mengikuti keempat teman perempuannya, kembali dia perhatikan satu per satu sikapnya. Tidak yang berubah. Benar-benar seperti tidak terjadi apa pun. 

Sementara itu, Gege masih penasaran pada sosok yang menutup pintu dapur.

Gege memasuki posko, disusul oleh yang lainnya. Di luar, suasana sore tampak lebih gelap dari biasanya. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun di lagi? 

Gege mendengkus. Menatap Yesa yang masih meringkuk di balik selimutnya, di ruang tengah. Laki-laki yang sejak pagi tidak bergerak dari tempatnya jika bukan untuk ke kamar mandi dan ke dapur mengambil minum. Dia masih marah? 

Saat Gege masih memandanginya, tiba-tiba suara Gesang terdengar untuk mengomentarinya. “Ya ampun, kerjaan Neng Marimas ini, Yesa sampai nggak bangun-bangun saking syok fotonya jadi baligo.”

“Neng Marimas rasa pisang pagi tadi udah datang padahal, nganterin bubur. Tapi Yesa-nya nih, masih jual mahal.” 

Di antara komentar-komentar itu, Yesa hanya bergerak menarik selimut untuk menutupi kepalanya. Dia tidak membalas semua suara itu dan hanya menutup pendengarannya lalu kembali tidur. 

Gege melangkah mundur, lalu meninggalkan ruangan itu dan bergerak ke dapur. Di sana, mulai ramai karena Juana dan Samira sudah membongkar dan mengeluarkan sayuran yang dikirim oleh warga pagi tadi. Sepertinya proyek memasak sayur nangka akan direalisasikan sore ini. 

Gege baru saja hendak bergabung, tapi ponselnya yang kini bergetar panjang, membuatnya mengalihkan perhatian. Digit-digit nomor baru muncul di layar ponselnya, tidak membuat Gege menunggu lama untuk membuka sambungan telepon. Karena, bisa saja itu adalah nomor warga yang membutuhkan bantuannya? Perangkat desa? Atau anggota karang taruna dan—

“Halo?” Suara yang terdengar dari balik speaker ponsel yang kini menempel ke telinganya itu, membuat Gege tertegun. “Halo? Ini Gege?” tanyanya. 

Gege mengamati sekitar, kebisingan yang terjadi di depannya, membuat mereka menyadari saat langkahnya bergerak mundur dan keluar dari pintu dapur. Di lorong itu, sore yang mendung membuat kesan lebih gelap dan sunyi karena lampu belum dinyalakan, Gege bergerak, bersuara. “Ya, halo?” 

Suara perempuan dari seberang sana terdengar lagi. Suara Laika. “Sudah mendapatkan kabar dari Kama?” tanyanya. 

Belum. Sejak terakhir kali mengabarinya, Gege belum mendapatkan kabar lagi dari laki-laki itu. Namun, tentu saja Gege tidak akan menjelaskannya pada perempuan itu, kan? Hanya akan membuat Laika besar kepala dan bersemangat mencemoohnya.  

“Kamu tahu siapa orang pertama yang Kama temui pertama kali saat datang ke Jakarta?” tanya Laika, yang tentu saja bisa Gege terka jawabannya dari suara pongahnya sekarang. “Aku,” ujarnya. “Dia datang ke sini. Dan baru saja pulang.”

Sementara itu, Gege belum mendapatkan kabarnya. 

Apakah Kama akan mengabarinya sepulang dia bertemu Laika? 

Brengsek sekali. 

“Menunggu kabarnya hari ini?” tanyanya. 

Gege menggumam kecil, berhadapan dengan Laika, membuatnya harus ekstra berusaha mengumpulkan energi positif ketika hendak bicara. “Nggak sih .... Karena aku tahu dia akan memberi kabar dengan sendirinya jika dia mau.” 

“Wah .... Bangga sekali rupanya ketika tahu bahwa kamu berhasil memghancurkan hubungan kami?” Laika tertawa. “Selama ini, aku salah sekali menilai kamu.”

“Suatu kebanggaan karena selama ini aku berhasil mengelabui kamu,” ujar Gege. “Apa yang kamu pikirkan tentang aku memangnya? Cewek malang yang hanya akan diam saja saat tunangannya memilih gadis lain?” 

“Kamu benar-benar merencanakan semua ini?” tanya Laika. “Merebut Kama di momen KKN ini?” 

Tentu saja tidak. Namun untuk sebuah kemenangan, Gege menjawab, “Aku hanya mengembalikan sesuatu yang aku miliki ke tempatnya semula.” 

Di seberang sana, Laika mengumpat pelan, sebelum kembali bicara. “Aku nggak akan membuat semua yang aku lakukan selama ini sia-sia.” 

“Lebih tepatnya, kamu nggak akan membuat ‘sandiwara menjadi perempuan lemah yang selalu butuh perlindungan’ itu sia-sia?” tanya Gege. Tentu saja dia tahu hal itu akan memancing emosinya. Tentu saja menang atas seorang laki-laki bukan hal yang patut dia banggakan, tapi akhir-akhir ini dia tahu bahwa Laika adalah lawan yang harus dia tunjukan bagaimana dia bisa lebih hebat daripadanya. 

Kama mencintai aku,” balas Laika. 

“Bukan. Kama hanya tidak bisa berpikir benar tentang siapa yang dia cintai saat kamu tiba-tiba datang. Dan kamu berhasil memanipulasi segalanya,” ujar Gege. “Kamu banyak membuat kesalahpahaman hingga mampu memukul mundur aku yang saat itu tengah terpuruk. Dan seiring berjalannya waktu, kamu sadar ... kamu hanya hancur sendirian karena hal-hal kecil nggak pernah Kama tunjukkan tulus untuk kamu.”

“Wah, merasa bisa menilai aku dengan begitu hebat?”

“Tentu, kamu yang kerap menunjukkan segalanya tentang Kama di hadapanku berulangkali adalah bukti bahwa kamu benar-benar merasa nggak aman dengan posisimu sendiri.” Gege mendapatkan hening dari seberang sana. “Laika .... apa yang Kama akui pada kamu hari ini?” 

Laika lama terdiam. Lalu mendecih untuk menyingkirkan kesan kalah. “Asal kamu tahu, aku sama sekali nggak peduli dengan pengakuannya. Saat ini, semua menjadi nggak ada artinya.”

“Laika, katakan ..., apakah ini bukan sekadar tentang Kama?” tanya Gege. Hal yang baru dia sadari saat benar-benar menatap mata perempuan itu. Ada dendam yang gelap di sana, ada obsesi yang mengerikan mengiringi setiap kata yang dia ucapkan pada Gege.

“Benar .... Ini bukan sekadar tentang cinta—yang tolol itu, bukan sekadar tentang Kama ....,” ujarnya. “Lebih dari itu. Ini lebih mengerikan dari apa yang kamu pikirkan,” ujarnya penuh dendam. “Kamu tahu, dulu aku hanya gadis kecil yang bisa menangis—“

Suara itu terputus saat ponsel Gege terlepas dari genggaman tangannya. Di depannya sekarang, berdiri seorang laki-laki dengan wajah pucat dan kantung mata berat tengah menempelkan ponsel yang direbutnya itu ke telinga. Yesa, laki-laki itu mendengar Laika berbicara di seberang sana yang entah tentang apa. Lalu, dia berbicara pada perempuan itu, “Laika .... Lo kalau lagi insecure, patah hati, dan sumuk kayak gini tuh ... tahan sendiri kek, nangis kek, ngapain kek? Kenapa selalu melimpahkan kesedihan lo ke orang lain?” tanyanya. 

Kemudian, Yesa terdiam. Dia mencoba menahan diri dan mendengarkan Laika bicara lagi. 

“Kama yang kasih setengah tempat Gege untuk lo, itu urusan lo sama Kama, Gege nggak harus tahu apa-apa—apa?” Kening Yesa mengernyit. “Risiko lah, dari awal lo harusnya tahu apa konsekuensinya ketika lo memilih masuk ke hubungan orang lain. Cih, menangin hati Kama, berasa udah bisa menguasai dunia dan seisinya aja? Berharap apa lo dari laki-laki pengecut yang menyembunyikan hubungan gelap lo ini?” 

Walau tampak tidak sabar untuk kembali bicara, Yesa tetap mendengarkan Laika berbicara. Dia terdiam, mendecih berkali-kali. 

Yesa berdecak. “Overclaim banget lo tuh gue lihat-lihat ya,” gumamnya. “Nggak tahu aja kelakuan bangsat Kama di sini kayak apa.” 

Gege menarik tangan Yesa, memintanya berhenti bicara. 

Namun, siapa yang bisa menghentikan Yesa selain dirinya sendiri? “Restu tuh penting, Laika .... Minimal lo sadar dari sana lah, restu orangtuanya bukan buat lo, semaksa apa pun—lah, lo nggak takut pernikahan lo nanti bakal kayak di neraka karena nggak dapat restu orangtua? Kama jadi pemabuk, ekonomi berantakan, belum lagi datang pelakor—karma dari kelakuan lo ini. Lo mau kayak begitu?” 

Tuh, kan .... Genre-nya berubah kalau Yesa sudah angkat bicara. 

“Iya. Gue belain Gege. Kenapa?” tanyanya. “Nggak usah ngeribetin Gege lagi lah. Kalau lo merasa bisa dapetin Kama, ya lo lakuin. Kalau nggak, nggak usah ganggu Gege lagi. Cari gih yang lebih dari Kama, minimal yang bisa menerima lo dengan baik. Lagian gue bilangin nih, Kama tuh manusia plin-plan, nggak rugi-rugi banget lo putus sama dia.” 

Lalu, Yesa mematikan sambungan telepon tanpa menunggu Laika bicara lagi dari seberang sana. Kini, dia berkacak pinggang dengan ponsel Gege yang masih berada dalam genggaman. Menarik napas, kesan konyol yang tadi ditunjukkannya saat berbicara dengan Laika seketika hilang. 

“Lo masih marah sama gue ...?” tanya Gege dengan kesan ragu saat menatap Yesa. Hari ini, dia terus mengalami penolakan saat hendak mendekatinya. 

Yesa menghela napas. Seolah-olah dia lelah sekali menghadapi seseorang yang bebal. “Mungkin in another life gitu ... gue nih polisi di sinetron-sonetron yang kerjaannya datang terlambat terus, sampai ... gue nggak tahu lo udah sejauh apa sama Kama di belakang gue,” ujarnya. 

Lawak lagi dia. 

Yesa kembali bicara. “Hak lo .... Gue tahu, itu hak lo. Tapi Ge ... kok mesti gampang banget lo luluh?” tanyanya. 

Kalau Gege mengakui tentang perasaannya pada Kama masih tersisa banyak, bahkan mungkin tidak berubah, apakah hal itu akan membuat Yesa semakin marah?

“Dengar Ge ....” Tangan Yesa turun, tidak lagi berkacak pinggang. Dia mengembalikan ponselnya pada Gege. “Selama ini lo tahu, gue selalu menganggap Kama keren. Gue akui Kama hebat dalam hal apa pun. Dia selalu bisa diandalkan. Gue juga memercayakan banyak hal sama dia,” ujarnya. “Kecuali satu .... usaha dia buat lo. Nol. Bahkan minus.” 

Gege melihat seseorang di depannya tampak serius meluapkan apa yang selama ini dia simpan sendiri. 

“Kama selalu menggampangkan segala urusan tentang lo. Menganggap lo kecil—oh, oke, kita salahkan keadaan karena selama ini dia menganggap lo sangat menyukai dia sejak lama. Karena hal itu, dia merasa aman. Belum lagi orangtua kita yang selalu mendukung jalannya untuk selalu terarah ke lo. Bahkan mereka bikin jalannya sangat mulus sampai kalian bisa tunangan.” Yesa menjeda kalimatnya, memberi waktu Gege untuk mencerna. “Orangtua kita bahkan sampai meng-highlight masalah saudara ‘sepersususan’ yang jelas-jelas dalam aturan agama aja hal itu berlaku minimal ‘lima kali disusuin dalam keadaan kenyang’. Tapi mereka bikin keadaannya seolah-olah gue dan lo ini terlarang, supaya Kama nggak cemburu, supaya dia tetap merasa aman, dan nggak punya saingan.”

Gege tertegun mengetahui fakta itu. 

“Kama terbiasa menganggap lo mudah, sejak dulu, sejak lama .... Dan di titik ini, di saat dia sadar bahwa dia menginginkan lo, gue pengen dia—sedikitnya—berusaha.” Volume suara Yesa melemah. “Gue sayang sama lo, Ge .... Gue cuma pengen lo dicintai sama cowok yang effort-nya sebanding sama cinta lo ke dia ....” 

***

Turun hujan malam itu di Welasasih. Deras, tidak reda dalam waktu yang lama. Keadaan posko tidak seramai biasanya karena tugas-tugas yang terbengkalai kini membuat mereka sadar bahwa ... mereka berada di titik muak. Mereka sudah duduk melingkar di ruang tengah, menunggu Yash datang membawa berbagai catatan evaluasi hari ini. 

Rapat dibuka oleh Yash, dia membacakan berbagai keluhan warga tentang bantuan yang bisa mereka lakukan. Lalu menghela napas sambil menatap semua anggotanya. “Ini nih, yang mungkin bikin proker kita banyak yang keteteran. Karena kita keenakan jadi people pleasure tanpa mempertimbangkan hal-hal apa yang justru lebih penting dan harusnya kita dahulukan. Kita sepakat untuk membantu sebisanya, tapi akhir-akhir ini kita kayak terlalu effort untuk melakukan semuanya sampai ... ada di titik jenuh ini.” Yash menjadi lebih banyak bicara saat Kama tidak di sana. 

“Kita bisa sih ngelakuin semuanya seirama seandainya ... nggak banyak melakukan hal yang bikin buang-buang waktu,” ujar Keiya. Dia tidak menatap siapa pun, tapi terus bicara. “Kayak, nongkrong sama nyebat tuh harus ya selama itu? Kenapa nggak pake waktunya untuk—“

“Lo langsung bilang aja lah kalau orangnya tuh gue,” ujar Javindra. Menatap sengit adiknya. “Nyebat, nongkrong. Itu yang gue lakuin seharian, terus kenapa? Salah? Lo mau pala gue meledak?” 

Entah mengapa, hubungan kedua kakak-beradik itu akhir-akhir ini kelihatan sangat tidak harmonis. Maksudnya, mereka memang tidak pernah ‘damai’, tapi justru hal itu yang menjadi pertanda hubungan keduanya baik-baik saja, kan? 

Javindra kembali bicara. “Lain kali lo bantu nge-las lah, jangan cuma nonton. Lo bantu mikirin jalan keluar alat pembakar itu supaya bisa kelar dalam bentuk yang dirancang, jangan cuma bisa komentar. Diem-diem gini juga gue sambil mikir. Nyebat memangnya ngapain kalau bukan sambil cari jalan keluar? Bakar rokok doang?”

Samira angkat bicara. “General sih maksud Keiya sebenarnya. Kebiasaan nyebat lama-lama sambil nongkrong kalian tuh ... jujur menghambat segalanya. Bukan cuma untuk proker lo, Vin. Kayak kejadian kemarin ... Pas mau pergi Cleona nangis-nangis, harus hapus make-up karena udah waktu masuk solat, itu karena Gesang telat bangun dan berangkat jauh sebelum dia siap. Semalamnya ngapain? Main remi.”

“Oh, tapi lo serta-merta melupakan kita yang akhirnya nggak jadi berangkat ninjau ke desa sebelah, keburu hujan karena nungguin lo semua kelamaan make-up?” tanya Gesang. “Kenapa ungkit nyebat sama remi doang?”

Samira hendak membalas lagi ucapan itu, tapi Yash lebih dulu menengahi. “Oke, jangan melebar ke mana-mana. Kita mulai satu per satu proker yang harus diselesaikan dalam waktu dekat.” 

Cleona mengangkat tangan. “Ini bukan masalah proker sih, tapi ini jobdesk yang udah disepakati sebelumnya,” ujarnya. “Gue dan Sabine setuju untuk gantian posisi Humas dan logistik, tapi akhir-akhir ini gue baru sadar kalau Sabine nggak aware banget masalah laporan logistik.”

“Tapi kan tetap gue kerjain, Na,” potong Sabine.

“Lo kerjain setelah gue minta sama lo berkali-kali bahkan sambil mohon-mohon?” balas Sabine. “Tolong dong, Bine. Kita kan udah setuju untuk bagi tugas.” 

Sabine berdecak. Dia hendak bicara, tapi Cleona lebih dulu melanjutkan ucapannya. 

“Hari ini gue tanya, laporan yang gue minta tadi pagi, udah lo kerjain?” tanya Cleona. Melihat Sabine tidak bisa menjawab, Cleona kembali bicara. “Belum?” Dua tangannya terangkat. “Terbukti, kan?”

“Hari ini kan gue baru pulang malam, Na. Gue pasti kerjain kok.” 

“Apa yang bikin lo pulang malam? Nyalon? Urgensinya apa, Sabine?” tanya Cleona. “Karena kuku lo patah? Setelah kemarin-kemarin lo sibuk bereksperimen dengan masakan lo dan menunda-nunda untuk nyerahin laporan?” 

Sabine menatap kukunya. Yang sudah rapi, ukirannya indah, Gege sempat melihatnya tadi saat Sabine datang padanya untuk memamerkan nail art dengan glitter merah muda itu. Saat bicara, suara Sabine berat, seperti menahan tangis. “Lo tahu nggak sih kenapa hari ini Sakala ngajak gue pergi?” tanya Sabine. “Sengaja, mereka semua”—tangannya menunjuk semua anggota laki-laki—“merencanakan ini supaya gue nggak masak lagi di posko. Gue sengaja disuruh pergi seharian biar di posko cuma ada Gege. Mereka lebih milih Gege yang masak daripada gue. Gue tahu. Tapi ... gue pura-pura nggak tahu. Pura-pura bego untuk menghargai itu. Terus sekarang, lo nyalahin gue—kayak .... Kenapa sih, Na? Kesannya gue yang paling nggak ada gunanya di sini?” 

“Gue nggak pernah bilang gitu.” Cleona mencoba meluruskan, tapi nada suaranya yang tinggi tentu membuat Sabine salah paham. 

“Tapi lo bicara seolah-olah begitu keadaannya, kesannya gue yang paling nggak ada effort di sini. Padahal gue—sumpah lho, gue masak tuh bukan untuk dipuji, tapi gue mikirin perut kalian saat sore Juana dan Samira belum balik.” Sabine menatap punggung tangannya yang masih terlihat memerah, kulitnya mengelupas akibat luka terkena minyak panasnya. “Gue nggak apa-apa nggak dapat apresiasi atau ucapan terima kasih ... sampai makanan gue diejek-ejek—“

“Bine ...?” Yash berusaha menengahi.

Namun Sabine masih belum puas dan terus menatap Cleona. “Tapi seenggaknya Na, lo ada di pihak gue.” 

“Bine, beda konteks. Ini tentang laporan logistik. Ini tentang komitmen yang udah kita setujui—“

“Lo tadi nyinggung-nyinggung ‘ekspresimen’ seolah-olah ya memang iya, lo sama aja.” Sabine menatap semua pasang mata, dia sudah menangis. “Kayaknya bener deh .... Di sini cuma gue yang berusaha menjaga perasaan orang lain. Sementara—lo semua nggak pernah komentarin Jua, Zale, yang bikin Jenggala telat upload konten juga. Ini kan tentang komitmen?”

“Kok, gue sih, Bine?” tanya Juana. “Jadi selama ini lo berpikir gue menghambat konten KKN?” tanyanya.

“Udah, stop.” Yesa mulai angkat bicara. “Kenapa jadi merembet ke mana-mana?” 

Sabine mengusap sisa air matanya. “Udah lah, muak gue.” 

“Bine.” Gege ikut bangkit saat Sabine bergerak berdiri. Sebelum tangannya mencegah Sabine pergi, Yash lebih dulu menghalangi langkah gadis itu. 

“Duduk, Bine,” ujar Yash. “Evaluasi tuh bukan untuk saling menyalahkan kayak gini.” 

Javindra berdecak. Dia yang sejak pagi tampak putus asa dengan program kerjanya, kini bangkit dari tempat duduknya. “Lucu bener evaluasi kayak begini. ” 

Gege hendak mencegah orang-orang yang perlahan terurai dari ruangan. Karena keadaannya sama sekali belum membaik. Oh, sangat buruk malah. Bahkan kini, terdengar cekcok Juana dan Zale yang seharusnya tidak perlu terjadi. Keiya dan Javindra yang sudah saling tunjuk dengan nada suara yang tinggi. Sabine yang sudah meninggalkan ruang tengah. Cleona yang tampak masih sangat marah. 

Dan ponsel Gege yang berdering. Yang kini tidak bisa dia tolak setelah melihat nama penelepon di layar ponselnya. Mia menelepon dalam keadaan yang tidak tepat. Kericuhan tengah terjadi di ruangan itu saat Mia menyapa, “Halo? Gege, Sayang? Maaf Mia ganggu.”

“Nggak Mi, ada apa?” tanya Gege dengan suara berbisik.

Sementara itu, Yash bangkit dengan wajahnya yang tampak sangat muak. Baru kali ini Yash tampak sangat marah begitu, sehingga Gege mengambil ancang-ancang menutup ponselnya saat Yash berteriak. “NGGAK ADA YANG KELUAR DARI SINI SELAMA URUSAN KITA BELUM KELAR!”

Teriakan itu, membuat semua kicep. Orang pendiam, kalau marah memang sekaligus meledak. 

“Oh, nggak, nggak apa-apa. Mia cuma mau tanya ....” Suara Mia masih Gege simak dengan benar di samping telinganya, tapi tatapnya kini tertuju pada Sabine yang masih berani berusaha melangkah keluar dari posko. Gege hendak mengejar, tapi ponselnya terjatuh di ruang tengah dalam keadaan speaker telepon yang tiba-tiba aktif. Sehingga, suara Mia dari seberang sana terdengar jelas oleh semua penghuni posko yang tengah hening. “Kamu butuh test pack nggak, Sayang?” 

 

***

 

 

 

 

 

 

 

KKN 111 Welasasih

 

Jeandru Kama

Posko aman?

Javindra Madana

Aman.

Soalnya nggak ada lo. 😋

Rajata Suma Pragia

WKWKWK. 

Abang jagooo.

Ngomong langsung. 

Jenggala Narapati

Wiiiihhhh.  

Liat VT terakhir deh. 

Fyp anjir. 

Wkwk. 

Arkayesa Pilar

VT apaan?

Kanigara Zale

Gege pake kebaya. 

Jeandru Kama

Siapa yang nyuruh? 

Javindra Madana

Mak Wasih. 

Mau apa lo? 

Jeandru Kama 

Nggak usah bikin konten di luar konteks lah. 

Rajata Suma Pragia

Kenapa si Aa? Marah-marah terus?

Di sana nggak tenang kah hidup Aa? 

Gesang Radengga

Neng Marisa depaaan tuuuh. 

YESAAA. TEMUIN DULU. 

Kanigara Zale

Buru, Yes. 

Sakala Dananjaya

Yesa. 

Arkayesa Pilar

Kenapasi. 

Pusing. 

Lagi sakit. 

Diem. 

Jenggala Narapati

Yeuuu. 

Itu di depan, udah dandan cantik-cantik juga tuh kembang desa.

Javindra Madana

Kembang kol.

Kanigara Zale

Kerudungnya warna kuning tuh Yesa. 

Bajunya udah nggak pisang tapi bintang-bintang warna emas. 

Sakala Dananjaya

Buru, Yes. 

Touch-up mulu ini. 

Rajata Suma Pragia

Abis entar Yes, lipensetipnya. 

Arkayesa Pilar

ANJIIING. 

Mahasagara Yash

Sabar. 

Arkayesa Pilar

Kesabaran gua udah melebihi batas musola ya. 

Lo pada bantu lah.

Menyadarkan dia.

Jangan malah sengaja digodain begitu. 

Gesang Radengga

Lho.

Udah dandan. Effort banget biar kelihatan cantik maksimal di depan Aa Yesa. 

Kita harus menyadarkan gimana?

Arkayesa Pilar 

Tai lah. 

Kanigara Zale

Ihiwww. 

Ditemuin juga sama Aa Yesa.

Gue fotoin jangan nih?

Arkayesa Pilar

Jangan ya monyet. 🏻

Javindra Madana

Lucu banget. Momen malu-malu Yesa-Marisa.

Kayak lagu, kisah-kasih di selokan. 

Gesang Radengga

Dikata encu kali. Di selokan.

 Sakala Dananjaya

TAMUUU DEPANNN. 

Mahasagara Yash

Siapa lagi?

Gesang Radengga

Raka. 

Anaknya Bu Hj Marwah.

Bawain ikan cakalang katanya tuh. 

Javindra Madana

Cakalang atau lima puluh tahun lagi~

Rajata Suma Pragia

Nyariin Gege nih. 👀

Yang deket sama Gege tolong bilangin. Dicariin Raka.👀

Duh takut beneran gue anjir ngetik begini lah anjir sebenernya. 👀

Javindra Madana

Lo japri lah bego. 👀

Ngapa di sini. 👀

Ada yang gerah entar. 👀

Jeandru Kama

Gege dari tadi nggak bales chat gue. 

Sampein.

Gue butuh datanya sekarang.

Rajata Suma Pragia

Tuhkan. 👀

Panas. 👀

Mahasagara Yash

Udah gue cari. 

Gege nggak ada.

Jeandru Kama

Ke mana?

Javindra Madana

Nemuin Raka. 

Tuh. 

Duh. 

Jeandru Kama

Ya lo sampein lah pesen gue. 

Rajata Suma Pragia

👍🏻

Javindra Madana

Cmbru. Mntp. 👍🏻

Rajata Suma Pragia

WKWKWK. 

Gesang Radengga

Minimal jadian lah kalau mau cemburu.

Jenggala Narapati

YTTA. 

Yang Tunangan Tunangan Aja.

Kanigara Zale

Tim Istri Sah. 👍🏻

Javindra Madana

WKWKWK. 

NILAI KKN LO.

KEPANGKAS ABIESSS. 

Rajata Suma Pragia

Panas nggak Ka di Jakarta?

Jeandru Kama

G

Javindra Madana

Ka?

Kasihan dehhh. 😋

Rajata Suma Pragia

WKWKWK. 

BAJINGAN. 

Mahasagara Yash

Jangan gitu lah .... Kasihan.

Javindra Madana

Iya juga ...

Kasihan banget, open donasi yuk, Guys? :(

Rajata Suma Pragia

Tiba-tiba donasi. 

Dikata kitabisa. 

Jeandru Kama

Jadi nggak ada yang mau bantu?

Gue butuh file-nya, ditanyain Pak Jafran. 

Gue lagi di kampus. 

Mahasagara Yash

Ayo cari.

Bercanda ada waktunya.

Javindra Madana

Dan sekarang lah waktunya. 😋

Jenggala Narapati

Gege udah nggak ada di depan.

Jeandru Kama

Ke mana? 

Javindra Madana 

Ke rumah Bu Haji lagi mantau tambah ikan. 😋

Mahasagara Yash

Ada tuh. 

Di kamar. 

Jeandru Kama

Bilangin. 

Periksa HP.

Mahasagara Yash

Bentar. 

Belum dibuka pintunya. 

Rajata Suma Pragia

Lagi sibuk kali. 

Sibuk ngempanin tokek pake kelopak bunga mawar. Xixixi. 

Samahita Ghea

Kenapasiii?

Cleona Kagumi

Kama. 

Ribet banget hidup lo. 

Kalau kangen Gege tinggal bilang lah. 

Jeandru Kama

Lah.

 

***

 

 

 

Singkat. Padat. Lah. 

WKWKWK. 

 

ADA YANG KANGEN KAMA NGGAKKK? 

 

SIAPA TAU BESOK BISA UPDATE TAPI VOTE DULU AAAH. 

 

KOMEN DULU YANG BANYAAAK. 

 

ABIS ITU TEKAN NEXT DI SINI BUAT TEMU KAMA GEGE🤚🏻😋

post-image-67b884941165f.jpeg

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Hello Kkn
Selanjutnya Hello, KKN! | [33. Chat-an sama siapa kamu?]
590
100
Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak terima saat banyak laki-laki yang mendekat pada Gege dan menyatakan suka. Ternyata, usaha Gege sia-sia saat diingatkan bahwa cinta pertamanya adalah Kama.Ketegangan terus berkembang, hingga semua masalah bermunculan dengan sembarangan. Jadi, bagaimana Kama? Kamu tetap pada Laika atau memutuskan kembali pada Gege dan menyatakan suka? 24/11/24
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan