Hello, KKN! | [28. Berbagai Pengakuan yang Terungkap]

928
313
Deskripsi

"Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!"

Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.

Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.

Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...

Hello, KKN! | [28. Berbagai Pengakuan yang Terungkap]

post-image-67a5fcc004c77.png

 

Haiii. 🌼

 

Aku mau absen duluuuu angkat tangannya coba yang kangen Kamaaa? Wkwk 🙌🏻

 

Lucu bener komen-komennya deh. 😭 Katanya, nggakboleh ada yang nyakitin Kama kecuali readers. Wkwkwklove-hate banget dah sama Kama 😭

 

 

Karena notif Wattpad masih belum normal kayaknyaniii, Yang nggak mau ketinggalan update cerita Hello, KKN! follow akun instagramku yaws:  citra.novy

Jangan lupa juga gabung di broadcast-nya biar kitabisa ghibah bareeeng.

 

 

 

 

 

Selamat membacaaa. Jangan lupa vote dan komennyadibakar yaaa. Komen yang banyak biar kubaca satu-satuhehe. Kasih apinyaaa. 🔥🔥🔥🔥🔥

 

***

 

 

“Kama belum ketemu .... Udah dicari seharian, dibantuinsama warga sana juga,” ujar Yash dengan napas sedikitterengah. “Kami cuma berhasil nemuin motornya hanyut di sungai dalam keadaan rusak .... Kama-nya ... nggak ada.”

Semua yang mendengar informasi itu, tentu saja tidak bisa langsung mencernanya dengan benar. Butuh satu-dua detik terdiam untuk berusaha mengerti. Kama tidak ditemukan. Dan motornya hanyut di sungai dalam keadaan rusak?

Ada denging kecil yang mengganggu di telinga, sakit mencengkram pundak dan dada, dan sekujur tubuhnya kakusaat informasi itu mulai diterima oleh kepalanya. Tangannya yang gemetar, kini terangkat, menyentuh lengan almamater Yesa dan mencengkeramnya.

Saat menyadari hal itu, Yesa menoleh. Dia raih tanganGege, menggenggamnya kuat. Oh, tentu tidak ada yang menyadari hal itu, karena semua anggota KKN 111 itu kini panik.

“Lo kenapa nggak ngabarin ke posko kalau lo nggak bisa nemuin Kama seharian?” tanya Yesa.

“Gue nggak tahu kalau kejadiannya seburuk ini. Gue awalnya hanya keliling di desa Ciheu—apasih namanya anjing—“Yash mengumpat, mungkin ini untuk pertama kali selama dia tinggal di posko. “Gue nyari ke balai desa di sana, cuma keliling di sekitar rumah warga. Sampai akhirnya ada warga yang nemuin pecahan helm Kama di jalan. Dari situ gue panik dan langsung minta bantuan warga untuk cari tanpa ingat apa yang harus gue lakukan lagi.”

Suara deru motor di luar terdengar, Zale dan Rajata datang, disusul oleh Juana dan Samira. Mereka yang tampak kelelahan itu, kini menghampiri kerumunan di dapur. Tidaklama, Keiya dan Cleona menyusul kemudian. Sabine yang baru keluar dari kamar mandi juga melangkah mendekat dengan ragu, wajahnya tampak bingung.

Zale yang pertama kali bertanya di antara semua rautwajah penuh tanya itu. “Ada apaan?” Mungkin dia menangkap raut wajah panik dan cemas dari teman-temannya.

“Kama hilang,” jawab Yash. Kentara sekali dia yang terlihat paling panik di antara anak laki-laki lainnya.

Keenam anggota KKN yang baru saja bergabung itu, terdiam. Responsnya sama seperti yang pertama kali ditunjukkan anggota sebelumnya.

“HP-nya nggak bisa dihubungi?” Rajata merogoh saku celananya, meraih ponsel.

“Motor Kama hanyut di sungai dalam keadaan rusak, sementara Kama nggak ditemukan.” Javindra yang paling terlihat tenang di sana, dia mampu menjelaskan saat semua teman-temannya tampak kacau.

Rajata urung menelepon. Dia masih belum bisa mencerna informasi itu dengan baik, sehingga lama sekali terdiam.

“Polisi?” tanya Zale. “Udah lapor polisi?”

“Udah gue coba, gue datang ke kantor polisi, tapi banyak syarat administrasi yang harus dipenuhi. Kartu identitas Kama, surat keterangan hubungan keluarga pelapor, dan bukti-bukti pendukung lain yang bisa menjadi alasan kuat kalau Kama benar-benar hilang.”

“Kan, jelas, Yash. Motornya hanyut di sungai dalam keadaan rusak?” Rajata tidak terima sekali dengan jawaban itu.

“Belum dua puluh empat jam,” jawab Yash lagi. Dia menggeleng, tampak pasrah.

Hampir semua laki-laki di sana mengumpat, Yesa bahkan mengusap kasar wajahnya.

“Orangtua Kama harus tahu,” ujar Cleona.

Yash kembali bicara, “Gue sempat bilang begitu, tapi Pak Kades ngelarang, katanya, dia minta waktu sampai nanti malam untuk mencari Kama, dia yang akan bertanggung jawab. Setelah nggak ditemukan baru—“

Ucapan Yash membuat Gege semakin kalut. Sehingga dia harus menyela pembicaraan. “Setelah ditemukan dalamkeadaan apa?” tanyanya. “Ini nyawa orang, Yash?”

“Tenang, Ge. Gue tahu kita nggak mungkin diam aja.” Yesa menggenggam tangan Gege lebih erat, seolah-olah berusaha membuat Gege percaya.

“Benar. Kita nggak mungkin diam aja.” Sakala menyetujui itu. “Kita cari Kama.”

Gege menoleh pada Yesa. Berbisik, “Yes, hubungi Om Ari dan Tante Chia sekarang,” pintanya.

“Nggak, Ge. Gue yakin akan temuin Kama, gue yakinKama bakal balik.”

“Gue juga yakin Kama bakal balik, tapi balik dalam keadaan gimana?” Gege menggeleng. “Yesa, kita punya banyak orang yang bisa dimintai tolong. Om Kalil, Om Arjune, kita bisa—“

“Percaya sama gue. Kama nggak kenapa-kenapa.” Yesa mengambil jaket motornya. “Gue akan cari dia sekarang sama yang lain. Lo tunggu di sini.”

Gege memegangi keningnya. Paniknya tidak bisa lagi dia sembunyikan. Tahu bahwa saat ini mendebat Yesa adalah kesalahan besar. Namun, dia masih belum terima jika harus diam dan tidak melakukan apa-apa.

“Sekarang Yash, lo balik temuin Pak Kades, tanya terkaitsolusi dari masalah ini karena dia menjanjikan hal itu, kan? Desak. Kalau memang dia melarang kita hubungin keluargaKama, apa jaminan yang bisa dia kasih?” ujar Yesa. “Dan yang lain, ikut gue untuk balik ke desa itu, kita pastikan kalaupencarian ini dilakukan dengan serius dan juga minta bantuanwarga setempat sebanyak-banyaknya.”

Saat semua hendak bergerak, Yesa menoleh ke belakang. “Cewek diam di posko,” ujar Yesa, tegas. “Siapa tahu adawarga yang datang ke sini dan menyampaikan informasitentang Kama. Semua HP harus nyala, semua harus bisadihubungi, kita koordinasi terus sampai menemukan titikterang tentang Kama.” Kali ini, tatapnya tertuju pada Gege.“Lo juga—“

“Nggak.” Gege menggeleng. “Gue ikut.”

“Lo baru balik dari pagi, Ge. Mending sekarang lo istirahat.” Yesa menghela napas. “Lo mandi, terus makan. Lalu—Tenang, oke? Gue pasti bisa nemuin Kama. Gue nggakmungkin biarin Kama kenapa-kenapa,” ujarnya.

Yesa menepuk-nepuk lengan Gege sebelum akhirnya lari keluar, segera menaiki sepeda motornya, dan pergi.

Teman perempuan pertama yang menghampiri Gegesekarang adalah Samira. Lengannya bergerak merangkul, mengusap lengannya. “Kama pasti ketemu kok. Dia kan hebat, gue yakin dia baik-baik aja.”

Gege mengangguk kecil. Saat ini, Gege tidak punya kesempatan untuk berpikir lebih banyak. Kenapa Samira harus menenangkannya di saat Kama menghilang?

“Gue masakin mi instan, ya? Udah lama kita nggak makan mi bareng, kan?!” Samira mencoba membuat cemas Gege memudar. “Mumpung nggak ada anak-anak cowok! Kita bisa makan mi dengan tenang.”

Namun, dalam keadaan seperti saat ini, siapa yang bisa merasakan duduk tenang di meja lalu menyuapkan barang sesendok makanan ke mulut? Gege hanya mampu meminum air putih, terdiam, sesekali mengecek ponsel, kembali cemas.

Hingga dia tidak bisa untuk tetap duduk di dalam posko dan bergerak keluar. Dia harus menjadi orang pertama yang tahu tentang kabar Kama. Jika Kama datang, dia harus menjadi orang pertama yang menyambutnya dan mengatakan bahwa ... dia adalah orang yang paling khawatir, dia orang yang paling menunggunya kembali.

Gege melangkah ke teras beranda. Di sana dia melihat Mak Wasih tengah duduk di teras kayu rumahnya. Saat menyadari kehadiran masing-masing, mereka saling menoleh. Mak Wasih diam saja, wajahnya turut cemas karena anak laki-laki menjelaskan tentang Kama pada Mak Wasih sebelumpergi. Akhirnya, Gege melangkah mengakhiri wanita lanjut usia itu.

Lalu, duduk di sisinya. Dia lihat ponselnya menyala, nama Laika muncul untuk sekian kali menghubungi, bertanya tentang Kama, menuntut penjelasan kabarnya. Namun, tentu saja hal itu Gege abaikan.

Gege dan Mak Wasih sam-sama terdiam, pada hari yang semakin larut dan gelap. Suara binatang malam mulai nyaring terdengar di antara deras air sungai di depan halaman rumah.

Mak Wasih menyentuh tangan Gege. Lalu, dia memberikan isyarat dengan kedua tangannya yang menempel di dada, lalu mengayunkan ibu jari ke depan. Kama baik-baiksaja, ujarnya. Mungkin tengah mencoba menenangkan, padahal Gege tahu, bahwa dia juga tampak cemas dan kebingungan dalam keadaan ini.

Gege mengangguk. “Iya.”

Mak Wasih kembali bicara. Mengepalkan dua tangan dengan ibu jari mengacung ke atas. Kama hebat, ujarnya. Kemudian, dua tangan itu dia acungkan ke atas. Kama kuat. Melanjutkan lagi, Dia akan kembali. Karena dia punya janji.

Gege mengernyit samar. “Janji apa?”

Mak Wasih bangkit dari tempat duduknya, lalu bergerak masuk ke rumah. Saat memperhatikan bagaimana wanita lanjut usia itu bergerak, Gege melihat bel lampu yang berada di sisi pintu rumah Mak Wasih. Lalu berpikir, tentang Mak Wasih yang ikut cemas dan takut kehilangan tadi, tapi tetap dia tunjukkan bahwa dia baik-baik saja agar Gege tidak semakin panik.

Sesaat kemudian, Mak Wasih kembali. Dia membawa satu buket bunga yang bagian plastiknya sudah rusak, buket yang sempat Gege buang ke tempat sampah karena semua mahkota bunga sudah rontok. Apakah ... Kama kembali meraihnya dari tempat sampah hari itu?

Ternyata, bunga itu begitu penting untuknya.

Mak Wasih memberikan buket itu pada Gege, bagian plastik yang robek dia benarkan dengan perekat, lalu tangkai-tangkai tidak berbunga itu kini dihiasi oleh bunga kertas marun yang dibuat seperti bunga mawar asli. Dari Kama, ujar Mak Wasih.

Gege menatap bunga itu, dia paksakan seulas senyum walau sesak sekali menghimpit dadanya sekarang.

Lalu, Mak Wasih kembali bicara. Kama meminta Mak Wasih memperbaiki. Menambahkan bunga .... Kemudian, tangannya bergerak menyilang di dada, satu mengepal dan merekah terayun ke bawah. Jangan dibuang lagi, pintanya. Bergerak lagi tangannya menguncup di depan bibir, lalu diayunkan merekah. Kemudian ibu jari dan telunjuk yang saling menyentuh, disimpan di depan pipi. Ini Bunga Maaf, kata Kama.

Gege melepaskan tawa. Yang segera lenyap karena kembali dia ingat sosok menyebalkan itu di kepalanya.

Kama, selain pintar, dia juga picik. Dia tahu titik lemahGege di Welasasih adalah Mak Wasih, jadi dia memanfaatkan wanita lanjut usia itu dalam permintaan maafnya.

Lama keduanya terdiam di teras rumah itu. Kabar tidak kunjung datang, orang-orang yang mencari Kama juga tidak kunjung kembali. Sesaat, Gege meninggalkan Mak Wasih untuk menuju posko dengan cara diam-diam lewat pintu belakang, setelah menyimpan bunga kertas pemberian Mak Wasih itu di lemari pakaian, Gege langsung melangkah ke beranda, teman-teman perempuannya sudah berkumpul di sana.

“Ada kabar tentang Kama?” tanya Gege. “Gue ngehubungi Yesa daritadi nggak bisa.”

“Mungkin sinyal di sana jelek,” ujar Samira.

“Atau bisa jadi Yesa lagi di jalan balik?” tambah Cleona.

Semuanya semakin panik saat waktu beranjak semakin larut sementara tidak ada satu pun kabar yang datang tentang Kama. Pukul sebelas malam, mereka masih menunggu di beranda. Sementara, Gege sudah turun dari teras kayu itu dan mondar-mandir di halaman.

Deru suara motor terdengar dari kejauhan. Dan hal itumembuat Gege segera melangkah menghampiri motor para laki-laki yang kini sudah kembali. Satu per satu melintas di halaman, Gege perhatikan semua motor itu dan menghitung jumlah anggota KKN laki-laki yang datang.

Hanya delapan orang.

Kama tidak ada.

Orang pertama yang Gege incar kedatangannya adalah Yesa. Gege menghampirinya bahkan di saat laki-laki itu tengah melepas helm dan masih duduk di atas jok motornya. “Yes. Mana Kama?” tanyanya tidak sabar. “Yesa!”

“Kita ngobrol di dalam,” ujar Yesa sambil menarik tangan Gege.

Namun, Gege menepisnya. “Kama mana?” Dia menatap kedua mata Yesa bergantian. “Jawab! Mana Kama?” Diaberharap Yesa akan berkata bahwa Kama telah ditemukan danmasih harus diobati di klinik sehingga tidak bisa ikut pulangke posko, atau alasan apa pun. Namun dari raut wajahnya dangestur yang menunda-nunda jawaban, Gege menemukanfirasat buruk.

“Belum ada hasilnya pencarian kami—“

Gege mendorong dada Yesa, membuat laki-laki itu berhenti bicara. “Apa gue bilang ...?” Suaranya mendesis kecil, rasanya sesak sekali. Sampai dia harus menghela napas berkali-kali saat hendak kembali bicara. “Hubungi orangtuanya!”

Yesa turun dari motor saat Gege sudah bergerak meraih ponselnya di saku dan mengotak-atik layarnya. Tangan Yesa menahan gerakan jemari Gege yang baru saja menemukan nomor telepon Om Janari, ayah Kama. “Semua bakal kacau, Ge,” ujar Yesa sambil merebut ponsel dari tangan Gege. “Semuanya bakal kacau kalau sampai Om Ari tahu keadaan ini. Semua kerjaan kita, anak-anak yang udah rela nyelesaiin semua proker—“

“Lo masih mentingin proker dalam keadaan kayak gini?” tanya Gege, tidak habis pikir. Dia tidak segan lagi berdebat di antara semua pasang mata anggota KKN-nya yang kini masih berkumpul di halaman rumah.

“Kama juga nggak akan setuju kalau kita langsung hubungi orangtuanya.” Yesa mengusap kasar wajahnya. “Ge, kita tunggu sampai—“

“Sampai kabar buruk selanjutnya datang?” tanya Gege. Dia merebut kembali ponselnya. Sesaat, tangannya mengotak-atik ponsel, kembali mencari nomor kontak Om Janari. Sesaat sebelum Gege menekan menu panggil, suara deru motor tua terdengar dari kejauhan, nyaring, mendekat ke arah posko. Seorang pria melajukan motor itu dan terhenti di ujung jembatan.

Dan kini, seorang laki-laki dengan jas almamater marunnya yang lusuh, turun dari boncengan motor. Sosok itumemberikan beberapa lembar uang pada pengendara motor, lalu berbalik dan melangkah lunglai ke arah posko.

Dia Kama, laki-laki berkemeja biru yang kini tampaksangat lelah dengan rambut berantakan, bagian keningnyaterluka, beberapa lebam tampak di wajah. Celana jeans danjas almamater merah yang melindungi bagian tubuhterluarnya robek di beberapa bagian. Dia melangkah menuju posko, melewati jembatan, melintasi halaman.

Ujung bibirnya yang lebam itu bicara. “Sori gue pasti bikin kalian panik banget seharian,” ujarnya. Dia melangkah menghampiri Yesa dan Gege yang masih mematung, berdiri saling bersisian. “Gue berhasil kabur setelah disekap di suaturuangan yang tempatnya nggak gue tahu ada di mana,” ujarnya. “Ge ....” Napasnya terengah. “Lo nggak ngehubungi bokap gue, kan?”

Lihat? Dia masih memikirkan hal itu di saat keadaannyalebih menghkawatirkan.

Gege tidak menjawab. Tidak berhasil menjawab lebihtepatnya. Karena, isak lebih dulu lepas dari bibirnya. Dua tangannya menangkup wajah, menyembunyikan tangisnya di sana. Namun, sesaat sebelum Gege jatuh terperenyak di atasrumput, Kama lebih dulu menahannya. Dua tangan Kama merengkuh tubuhnya, menahannya dalam pelukan,memasukkannya dalam dekapan. Tangan itu mengusappunggung Gege, menenangkan. Lalu dia bergumam, “Gue baik-baik aja .... Maaf udah bikin lo khawatir seharian ini, ya?”

***

Selain luka robekan di bagian kening yang harus mendapatkan tiga jahitan. Kama juga memiliki luka sayatan di punggung yang harus mendapatkan lima jahitan. Tidak sempat dibawa ke klinik, seorang mantri yang bertugas di Welasasih datang ke posko untuk melakukan tindakan itu pada Kama.

Kehilangan Kama menggegerkan satu desa. Warga berbondong-bondong datang untuk melihat keadaannya. Selama beberapa waktu, posko ramai, hingga lepas tengah malam, para warga mulai terurai dan pulang.

“Ini gue kebentur batu,” ujar Kama menjelaskan luka di keningnya. “Kalau ini ....” Kama berusaha menyentuh bagian punggungnya. “Gue nggak inget, tapi kayaknya kena kayu yang tajam atau apa waktu gue jatuh karena dipukuli di sebuah ruangan.”

Kini, semua anggota KKN 111 berkumpul di ruangtengah. Terus mengorek informasi dari keadaan Kama tersebut. “Awalnya? Lo bisa jatuh dari motor tuh gimana?” tanya Javindra.

“Ya galau lah dia, banyak ngelamun, nggak hati-hati,” sahut Yesa.

Kama menggeleng. Tangannya mengibas-ngibas kecil. “Nggak. Gue yakin ada orang yang sengaja, seseorangngelempar kayak ... balok kayu dari sisi kanan motor guesampai akhirnya gue bisa jatuh.”

“Wah .... Berarti ini bukan cuma orang iseng sih, inimemang udah direncanakan.” Rajata menerka demikian. “Selama disekap dan di pukulin, mereka nggak bilang apa-apa?”

Kama menggeleng.  “Nggak .... Mereka nggak ngomong apa-apa. Dan mata gue ditutup sama—semacam—kain gitu.”

“Terus gimana cara lo kabur?”

“Saat gue sadar bahwa yang jagain gue cuma satu orang, nggak seramai sebelumnya. Di situ gue berani duel sih.” Kama mencoba mengingat-ingat. “Daerahnya dekat Ciheuleut, tapi masuk ke perkebunan kayu gitu, karena dekat rumah pemotong kayu juga tempatnya.”

Semua masih menyaksikan cerita itu. Dan sepertinya semua setuju bahwa keadaan itu tidak bisa dibiarkan. Namun, Kama menolak saat Yesa terus mendesaknya untuk melaporke polisi. “Andai polisi ikut campur, berantakan semua yang udah kita kerjain di desa ini.”

Yesa berdecak. “Kenapa sih masih harus selalu mikirinproker daripada diri lo sendiri?” Padahal, tadi hal itu yang dia debatkan dengan Gege.

“Yes, nggak cuma waktu yang kita buang percuma kalau itu terjadi, tapi pikiran, tenaga, usaha .... Semuanya.”

“Lo semua ingat nggak ...?” tanya Javindra tiba-tiba. “Lo ingat-ingat tentang kunci motor yang sempat kita buang ke sungai. Pelaku kali ini, seolah-olah lagi balas dendam daningin nunjukin kalau kita ini nggak ada apa-apanya dan dia bisa melakukan hal yang lebih mengerikan.”

“Jadi secara nggak langsung, menuruto, kejadian ini adahubungannya sama Faldi?” tanya Kama.

“Iya lah ...,” jawab Yesa, menduga, tapi terlihat begituyakin. “Walaupun ya, mungkin lewat orang lain. Bukan dialangsung yang melakukannya.”

Cleona mendengkus, helaan napas kasarnya itu mengalihkan perhatian semua pasang mata. “Lagian, bisa-bisanya lo coba-coba ngebegal warlok, ini riskikonya, beruntung Kama masih hidup.”

Juana menyetujui hal itu. “Ini tuh hukum sebab-akibattahu nggak?” tambahnya.

Bukan karena tidak berempati dengan keadaan itu, tapi semua pasti setuju bahwa aksi penghakiman sepihak pada Faldi dulu adalah bukan hal yang benar. Setelah memastikan bahwa Kama baik-baik saja dengan lukanya, para perempuan beranjak ke kamarnya masing-masing.

Termasuk Gege. Perempuan itu juga menghilang di kamar tengah.

Tersisa para laki-laki yang mulai ikut terurai dari ruang tengah. Pada pukul dua malam, hanya tersisa Kama dan Yesa di ruangan itu. Yesa menatap Kama dengan serius. “Lo yakin, nggak mau ngasih tahu orangtua lo?”

Kama mengangguk. “Yakin.” Dia memikirkan banyak hal; kegiatan KKN-nya, hubungannya dengan Gege yang masih dirahasiakan, juga keberlangsungan hidup Welasasih yang damai. Ayahnya tidak akan membiarkan keadaan tersebut berjalan sama seperti semula.

Yesa hanya menggeleng heran. “Lain kali, lo jangan gampang percaya sama orang dong, Ka ....” Lalu bergumam. “Pantesan banget dikibulin Laika mulu.” Yesa beranjak dariposisi duduknya. “Ya udah, istirahat sana di ruang kerja biarnggak ada yang ganggu. Gue mau tidur juga, udah malam, capek banget.”

Kama hanya mengangguk, membiarkan pemuda itu berjalan lebih dulu. Sementara Kama yang kini terduduksendirian di ruang tengah itu bangkit, bergerak menuju dapuruntuk mengambil air minum.

Derit-derit kayu terdengar seiring dengan langkahnya yang kini menjejak lantai. Wajahnya menunduk, dan mendongak saat tiba di ambang pintu dapur. Lalu, perhatiannya langsung tertuju pada seseorang yang kini tengah duduk sendirian di meja makan.

Dia Gege, yang kini berbicara padanya. “Duduk, Ka ....”

Kama mengikuti perkataannya.

Sedangkan Gege bangkit dari tempat duduk dan beranjakmengambil wadah saat Kama mengikuti permintaannya. Saat kembali, Gege menyimpan wadah berisi air dingin di meja, dan satu handuk kecil di tangannya.

Gadis itu duduk di sisinya, satu tangannya ditaruh di dagu Kama, menarik wajah Kama agar menghadap ke arahnya. Tidak ada suara, Gege hanya mengonpres lap yang basah olehair dingin itu ke lukanya.

Dan Kama bisa menatap puas wajahnya.

Dan entah datang dari mana, tiba-tiba saja Kama ingin bertanya. “Lo serius, Ge, semalam nggak datang ke ruang kerja?”  Dia masih memikirkan mimpi mendapatkan pelukanGege di dalam tidurnya.

Kama risau sendiri. Bertanya-tanya, tapi Gege tidak pernah menjawab.

Mungkin menurut gadis itu, pertanyaan Kama tidakpenting juga? Gadis itu hanya bergumam. “Lo masih ngerasademam nggak?”

“Sedikit.” Karena Kama rasakan meriangnya masih ada, dia tidak ingin berbohong. “Tapi nggak usah ngide buatmanggil Axel ke sini untuk ngobatin gue ya, yang ada sakitgue tambah parah,” ujarnya terus terang.

Tidak ada suara, Gege lagi-lagi tidak menanggapiucapannya. Dan Kama melihat gadis itu meringis saat melihat lukanya. Lucu sekali ternyata. Lalu, saat bicara, dia hanya berkata, “Makasih ya ... bunganya. Bunga dari Mak Wasih, udah gue terima.”

Di titik ini. Kama sulit sekali menahan senyumnya. Bangga pada Mak Wasih yang bisa diajak kerjasama. “Dibuang lagi nggak?” tanya Kama.

“Gue simpan di lemari.”

Kama terdiam, hanya memperhatikan bagaimana wajah itu kini menunduk dan memainkan handuk di dalam wadah. Sebelum akhirnya, kembali mendongak, berhadapan dengan wajahnya. “Lo masih benci banget ya, Ge, sama gue?” Dia mencari jawaban dari mata itu.

Namun tentu saja. Jawaban yang Gege punya selalu berhasil dia sembunyikan.

Gege menghela napas lelah. “Ini lo masihmempermasalahkan bunga yang lo temukan di tempat sampahitu, ya?” tanyanya.

Kama tidak menjawab. Mungkin iya. Itu sangat mengganggunya. “Gue banyak berpikir seharian ini, Ge. Setelah gue ingat-ingat, gue sebrengsek itu ya buat lo?” tanyanya.

Gege enggan menjawab.

“Dari awal, gue selalu mempertanyakan hubungan kitadan perasaan lo.” Dia perlahan mengeluarkan sedikit demi sedikit sesak di kepalanya. “Padahal ... gue yang ragu, gue yang nggak berusaha, gue yang mencari cara agar hubungan ini berakhir, gue juga yang menganggap hubungan ini membosankan sementara ... saat itu mungkin lo merasa hubungan kita baik-baik aja?”

Gege terdiam, gerakan tangannya saat membenamkanhanduk kecil di wadah itu melambat.

“Gue sadar, ternyata banyak banget keputusan salah yang gue ambil Ge ....” Lalu ...,  “Maaf.”

Gege tertegun, menatap Kama, tampak takjub denganucapan dan permintaan maaf tulus yang tidak pernah diadengar sebelumnya. “Dan ini, bukan tentang kenapa lo buang bunga pemberian gue lagi, karena gue tahu ... banyak hal, pemberian lo, yang gue buang; usaha, hati lo, ketulusan lo, harapan yang mungkin pernah lo sampirkan ke gue .... Pasti lo muak banget karena selama itu lo terlalu kenal sifat gue sementara gue ... nggak tahu apa-apa tentang lo.”

Gege belum bersuara hingga jemarinya kembali menarik wajah Kama dan mengompres bagian kanan rahangnya. Kama menilik wajah di hadapannya yang sesekali akan meneleng ke satu sisi saat memperhatikan luka, lalu meringis kecil ekspresinya.

Di kepalanya tersirat. Cium kali?

“Ge ...?” Dari tadi, gadis itu belum bersuara.

Dan kini, Kama melihat Gege menaruh handuk di tangannya. Melepaskan semua usaha mengobati Kama. Lalu, satu tangannya merogoh saku dan menyimpan satu botol kaca kecil berisi penuh mahkota mawar dengan tutup berpita merah. “Gue sering melakukan ... berbagai usaha untuk melindungi diri gue sendiri, dari perasaan berlebih terhadap lo, walau di beberapa waktu gue akan lengah juga,” akunya.

Lengah gimana?

“Bunga dari lo dirusak tokek, berantakan di lantai, seluruhmahkotanya rontok ....”

Pengakuan itu membuat Kama tertegun. Bukan Gege yang merusak bunga hingga harus membuangnya. Kama tidak tahubahwa usahanya tidak direstui oleh semesta. Sampai tokek di posko KKN-nya pun berusaha menggagalkannya.

“Dan gue memasukkan satu per satu mahkotanya dalambotol kaca ini.”

Ucapan itu membuat Kama melihat mahkota-mahkotabunga yang sudah layu.

“Bunga dari Axel ... Mak Wasih suka ....” Ucapan itu membuat kening Kama mengernyit. “Gue pernah bilang, kan? Gue nggak pernah menerima dua bunga sekaligus dua laki-laki berbeda. Gue akan memilih satu.”

Kama perlu satu-dua detik untuk mengerti ucapan itu.

Memilih satu?

Sedikit menggeragap, Kama kembali bicara. “Axel? Bukannya Axel ngajak lo ....”

“Gue menolak ajakan seorang laki-laki untuk keliling Bandung, karena sebelumnya, ada yang berjanji sama gue untuk ajak gue jalan-jalan keliling kota Bandung dan gue lebih dulu menyukai janji dari laki-laki itu ....”

Gege menunduk setelah mengakui semua hal itu. Dan kini, wajahnya kembali mendongak saat hendak bicara. Kama temukan mata bulatnya yang menatapnya lurus, seluruh yang ada di wajah itu, akhir-akhir ini menjadi menarik sekali di matanya, terutama senyumnya, tahi lalat di bawah matanya—di tengah pipinya.

Bagaimana bisa Kama mengabaikan makhluk ini seusia hidupnya di dunia?

Bagaimana bisa Kama tidak menemukan apa-apa yang istimewa dari gadis itu selama ini?

Apa yang Kama lakukan selama ini di sepanjang usianya?

Kembali gadis itu berbicara, menatap Kama, dan berbahaya sekali saat binar itu Kama temukan di matanya.“Gue nggak pernah menerima janji dari dua laki-lakisekaligus.”

Apakah ini artinya Kama kembali diakui?

Gege menghela napas panjang. Lalu, “Dan gue berpikir kalau—”

Suara Gege tidak terdengar lagi karena kini, Kama baru saja meraih bagian sisi wajahnya, merendahkan kepalanya. Merapat, mendekat wajahnya ke arah wajah gadis itu. Untuk pertama kali, dalam kesadaran yang penuh, Kama menciumnya, tepat di bibirnya. Seperti ada sesuatu yangmendorong kuat, membuat dadanya nyeri hingga sesak. Dia tidak mengerti itu perasaan apa, tapi tolong beri Kama waktu untuk mengerti. Sesaat wajahnya menjauh, hanya untuk menatap kedua mata itu bergantian. Binar itu kembali dia temukan. Sebelum kembali bibirnya mendarat, pada tanda titik hitam di pipinya yang akhir-akhir ini dia sadari begitu membuat tatapnya terikat. Bergerak menjauh, lalu mendarat lagi pada lembut, manis, basah, bibir kecil yang kini kembali dia beri jejak.

 

***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Cukup nggak?

 

Kalau nggak cukup kita ke Karyakarsa 👀

 

Tapi kuingin lihat, sebesar apa semangatnya untuk membakar lapak ini 😋 Coba mau kasih api segimanaaa🔥🔥🔥🔥🔥

post-image-67a5fcceb8ea4.jpeg

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Hello Kkn
Selanjutnya Hello, KKN! | [28 Additional Part 28 – Posko, Gege, dan Kama]
1.9k
667
Banyak kunci-kunciii dari POV nya Kama terkait sikap Kama selama ini. Disambung dengan manis-manis yang bikin halahhhh. WkwkwkSelamat membaca yaaa ❤️
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan