
"Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!"
Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.
Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.
Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...
Hello, KKN! | [27. Salah Paham yang Tidak Terurai]

Haiii. 🌼
Udah baca Additional Part 26 kemarin di Karyakarsa? 😋

Wattpad lagi BENER-BENER menguji kesabaran ya. Setelah tragedi followers ilang banyak, sekarang tiap update notifnya nggak ada terus 😡🏻 tapi gimana ini aku dah kecintaan nulis di sini. Love-hate relationship banget sama Wattpad tuh 😭🏻
Yang nggak mau ketinggalan update cerita Hello, KKN! follow akun instagramku yaws: citra.novy
Jangan lupa juga gabung di broadcast-nya biar kita bisa ghibah bareeeng.
Okedeee. Mau kasih emot apa dulu nih sebelum melepas kangen sama Kama? 🤣🤣🤣
Selamat membacaaa. Jangan lupa vote dan komennya dibakar yaaa. Kasih apinyaaa. 🔥🔥🔥🔥🔥
***
“Mereka udah sampai ciuman???” Yesa mengusap wajahnya yang memerah. “Ah, Lo yang bener?”
Sementara Kama hanya mengangkat bahu. Respons yang sungguh tidak berarti. Kama tahu itu.
“Lo jangan bercanda, Ka. Ulang sekali lagi, mereka beneran ciuman?” Selain terkejut, Yesa juga tampak marah. “Kalau beneran ... bisa-bisanya lo diem aja Kamaaa? Monyeeettt?”
Kama berdecak. “Kalau mereka udah jadian, dan Gege nggak keberatan atas hal itu, apa hak gue nonjok Axel? Babi?”
Kama dan Yesa saling memalingkan wajah. Saat ini, mereka tengah berada di samping posko, lorong panjang yang berada di antara rumah posko dan rumah Mak Wasih itu sepertinya memang diciptakan agar mereka mereka bisa mendiskusikan hal yang bersifat rahasia, menguping, atau hal-hal lain yang tidak bisa dilakukan secara terang-terangan di hadapan banyak orang.
Yesa masih bersandar ke bangunan kayu posko sambil memegangi dadanya saat Kama berlalu meninggalkannya ke arah belakang rumah. Dengan pemandangan sawah, juga jemuran anggota KKN 111 pagi ini yang masih menetes-neteskan air, Kama duduk di bangku kayu itu.
Tidak lama, Yesa menyusulnya.
“Ini urusan Gege yang dikejar-kejar sama Ibu-ibu se-Welasasih buat dijadiin mantu aja belum kelar,” ujar Yesa menggebu-gebu. Selalu berlebihan.
Nggak se-Welasasih juga?
Pagi ini, posko memang kebanjiran kiriman berupa camilan, makanan daerah, sayuran, hingga bermacam buah-buahan. Dan semua itu diantarkan oleh ibu-ibu yang mencari Gege. Ketika datang mereka akan bertanya, “Teh Gege-nya ada?”
Apalagi Bu Haji Marwah itu, yang kata Cleona adalah juragan ikan di Welasasih. Wanita itu bersemangat sekali meminta Gege untuk datang ke rumahnya agar bisa bertemu anak laki-lakinya.
Hal itu terjadi akibat kegiatan PMI kemarin, Gege banyak sekali bertemu dan membantu para wanita paruh baya itu, dia membantu menenangkan para wanita itu saat hendak masuk ke ruang pemeriksaan dan pengambilan darah. Gege juga menenangkan beberapa orang yang terlihat gugup hingga tensi darahnya naik sehingga tidak bisa lanjut mengikuti kegiatan itu.
Yesa bangkit dari bangku kayu yang semula dia duduki bersama Kama. Lalu, dia berjalan mondar-mandir menghalangi pemandangan sawah di hadapan Kama. “Lo bayangin jadi gue, Ka. Kemarin, waktu Laika datang, dan Gege dijemput Axel, gue sampai bingung sendiri mesti jagain siapa—kayak, anjir apa gue harus jadi amoeba biar bisa membelah diri?” Dia tampak frustrasi.
Kama mengembuskan napas kasar. Dia mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya. Akhir-akhir ini, kenapa dia sering sekali mencari rokok dan pemantik apinya, ya?
Belum sempat Kama melakukan apa pun pada kedua benda itu, Yesa terlebih dulu merebutnya. “Lo nggak usah sok stres, yang harusnya stres di sini tuh gue,” ujarnya. “Lihat dong kehidupan gue sekarang semenjak jadi orang kepercayaan bokap lo, kacau banget.”
Lah?
“Sibuk banget gue jadi pakar cinta dari kisah rumit sepupu gue dan tunangan brengseknya sampai nggak mampu ngurusin kisah cinta sendiri.”
“Sampai nyokap lo ngadain sayembara dua miliar itu, ya?” tanya Kama. Mencibir. “Jadi sayembara itu dilakuin juga gara-gara tunangan Gege yang brengsek itu?”
“IYA LAH!” Yesa melotot. “Khawatir kali nyokap, gue nggak punya cewek mulu sejak putus terakhir kali.”
“Mana nggak laku lagi ...,” ujar Kama sambil sedikit mengernyit. “Walaupun udah dikasih cashback dua miliar, tetap nggak ada yang mau.”
Yesa tidak menanggapi cibiran itu. Dia berhenti bolak-balik, kali ini langsung berhadapan dengan Kama, menutupi pemandangan pesawahan itu seluruhnya, membuat Kama yang duduk di bangku kayu harus mendongak untuk bisa menatapnya yang kini berdiri di hadapannya.
“Tugas yang Om Ari kasih tuh bikin hidup gue akhir-akhir ini kayak naik roller coaster tahu nggak? Naik-turun, naik-turun, naiiikkk-turuuun. Sampai tiap hari gue bertanya-tanya, ‘Hari ini ada kejadian apa lagi nih? Hari ini tugas baru gue ngapain nih? Hari ini Lo ngelakuin hal bangsat apa lagi nih?’” Setelahnya, dia mendengkus. “Lo serius, Ka. Nggak mau bantu gue sedikit ... aja? Serius lo pengen banget lihat gue mati berdiri?”
“Kok, gue ...?”
Yesa tidak terima dengan respons singkat dan sekenanya itu. “Kok gue?” Dia mengulang kalimat Kama dengan suara berapi-api. “Orang pertama yang bakal dijambak sama geng emak-emak sirkus seandainya masalah Laika dan Axel terungkap, adalah gue.” Dia menunjuk dadanya.
Dramatis sekali.
“Bayangin lo jadi gue,” pintanya. “Coba deh ... kalau memang lo mau hubungan lo sama Gege membaik, lo juga jujur sama perasaan lo sendiri. Baca tuh perasaan lo! Baca .... Sekolah berapa tahun lo baca aja masih tolol?”
Wow, beruntung sekali Kama tidak menonjok wajahnya.
“Selama ini udah gue jejelin fakta-fakta, tinggal lo-nya aja, mau makan nggak tuh fakta yang gue kasih.” Kali ini suaranya memelan. Tidak semenggebu-gebu sebelumnya. “Jangan terus-menerus nungguin Gege duluan yang jujur. Jangan minta disuapin terus sama kejujuran Gege.”
Kama terdiam. Memangnya, masih ada gunanya untuk memgkaji perasaannya sendiri setelah begitu banyak kesalahan yang dia lakukan? Setelah begitu banyak keputusan salah yang dia pilih?
“Lo sadar nggak sih, Ka? Kayaknya gue lebih paham tentang perasaan lo daripada diri lo sendiri?” Yesa sudah kelihatan lelah. Tentang Axel, tentang Laika, mungkin membuatnya putus asa untuk bisa meraih Land Cruiser impiannya.
Yesa meninggalkan Kama terlebih dahulu. Sehingga, Kama hanya bisa terdiam di sana selama beberapa saat tanpa melakukan apa-apa karena rokok dan korek pemantik tidak dikembalikan. Di sana, dia memandangi pintu dapur Mak Wasih yang tertutup. Mak Wasih benar-benar mengerjakan proyek yang Kama berikan tadi pagi dari Kama. Mereka bekerja sama untuk—
“KAMAAA!” Suara teriakan Keiya terdengar. “KAMAAA!”
Kama mendengkus kecil, bangkit dari tempat duduknya dan bergerak ke arah pintu bagian belakang dapur karena itu adalah akses paling dekat untuk bisa masuk ke posko.
“KAMAAA!”
“Apa sih—astaga, kenapa harus teriak-teriak?” Kama menggerutu saat sudah berjalan di lantai kayu dapur. “Ada apaan?”
Keiya bergerak ke arah bak cuci piring sambil meraih sarung tangan, dia sedang piket mungkin hari ini. “Itu, kata Javin, HP lo dari tadi bunyi terus. Ada telepon kali!”
“Oh ....” Kama mengucapkan kata ‘terima kasih’ sambil berlalu. Dia bergerak ke arah kamar, melihat ponselnya menyala-nyala, menunjukkan digit-digit nomor tidak dikenal.
Akhir-akhir ini, banyak sekali nomor baru mampir ke ponselnya, hampir seluruhnya berhubungan dengan warga Welasasih. Entah itu untuk meminta bantuan, memintanya untuk ikut dakam kegiatan rapat desa, atau ikut dinas ke luar bersama Pak Kades.
Kama membuka sambungan telepon itu. Lalu, “Halo, A Kama? Bisa bantu nggak A, ada kegiatan di daerah Ciheuleut. Aa sendiri juga nggak apa-apa, ini saya share lokasi sekarang kalau Aa bisa.” Ucapan di sana, begitu terburu-buru sehingga Kama tidak banyak berpikir untuk menyetujuinya.
Setelah itu, orang tersebut benar-benar mengirimkan lokasi yang akan menjadi titik temu. Kama mengenali lokasi itu, pernah bersama Pak Kades berkunjung ke desa itu. Ciheuleut, desayang sulit sekali Kama sebut namanya, untuk melakukan kegiatan usaha bersama.
Saat itu, waktu masih menunjukkan pukul delapan pagi, tapi tentu saja sebagian anggota KKN 111 sudah bersiap dengan tugas dan mengerjakan program kerjanya masing-masing. Bahkan, Kama sudah mandi sejak pagi dan sudah bisa untuk langsung pergi.
Setelah mengambil jas almamater, Kama bergerak ke beranda untuk melihat keadaan yang ... selalu ramai itu. Di sana, sudah ada Juana dan Samira yang bersiap pergi bersama Ibu-ibu PKK untuk demo memasak di daerah Bendungan Saguling. Mereka membawa serta Zale dan Rajata sebagai tim dokumentasi, sementara Jenggala bertugas di desa.
“Hati-hati,” ujar Kama. Katanya Juana dan Samira akan ikut menaiki mobil pick-up bersama ibu-ibu lain, sementara Zale dan Rajata mengikuti perjalanan itu dengan motor masing-masing. “Jalan ke arah bendungan agak rusak, jadi lo harus hati-hati banget.”
“Siap!” Kedua laki-laki itu sudah menaiki motor mereka. Sementara Juana dan Samira masih bicara dan mewanti-wanti anggota KKN untuk masak sendiri di posko selama mereka tidak ada.
“Ada, mi instan. Ada telor. Bikin yang gampang aja!” ujar Juana. “Nggak usah ngide bikin makanan kremasi lagi!”
“Yash itu,” tuduh Gesang. Sementara Yash belum terlihat sejak pagi. Biasanya dia masih tidur.
Tidak lama, Javindra keluar dari posko dengan kaus tanpa lengannya sambil menguap lebar-lebar. “Widih, ikut dong!” serunya. “Konten masaknya pasti fyp kalau ada gue.”
“Halah, pikirin tuh Brownies sampe sekarang belum ngundang lo juga?” suara Keiya menyambar dari arah dalam.
“He? Brownies tuh pasti udah mikir-mikir buat nelepon gue, cuma lo tahu lah ... pasti terkendala di budget,” balas Javindra, sombong.
Tidak lama, sebuah toyoran di kepalanya datang dari arah belakang. “Ngelem ya lo?” Itu suara Keiya.
Juana dan Samira naik ke boncengan motor Zale dan Rajata. Dua perempuan itu, akan diantar sampai balai desa untuk bergabung dengan Ibu-ibu yang sudah berkumpul lebih dulu. Sebelum mereka berangkat, Jenggala yang berada di dekat rangkaian tempat pembakar sampah bicara, “Miw, lo nggak ninggalin lauk mateng apa?” tanyanya. “Buat pagi ini doang.”
“Ada, tuh. Goreng tempe.” Samira menunjuk ke arah dalam posko setelah mengenakan helm.
“Goreng tempe ...,” gumam Gesang. “Tempe lagi. Tempe terus. Tempe saja. Tidak ada yang tahu ....”
Untung suara Gesang samar terdengar karena bertepatan suara deru motor Zale yang sudah dinyalakan. Padahal Sakala dan Javindra yang duduk di beranda sudah cekikikan. “Berisik, Gesang, Bego.” Javindra mengumpat masih sambil menahan tawa. “Kedengeran Jua, mogok masak dia.”
“Tahu ....” Sakala mendelik. “Lo mau mataharinya Zale terbit dari barat?”
“Anjir .... Mataharinya udah bukan kena gerhana lagi ....” Javindra tertawa lepas saat kedua motor itu menjauh, membawa Juana dan Samira pergi. “Tapi udah terbit dari barat aja, ngeri banget.”
Kama melangkah turun dari beranda dan hal itu membuat tawa Javindra reda. “Mau ke mana, Ka?” tanyanya.
“Mau ke desa sebelah, ada yang minta tolong. Kayaknya ini ada hubungannya sama rencana pembuatan jalan yang annti bakal tembus ke Welasasih. Terus ... paling kita diminta sebarin informasi dan mengerahkan swadaya masyarakat buat bantu-bantu pas proyeknya berjalan,” jelas Kama. Dia sudah mengenakan sepatu, lalu mengambil helm dan duduk di jok motor. “Kalau Yash tanya, bilang aja gue ke Ci-heu-leut.” Dia mengeja nama desa yang sulit disebutkan itu.
“Kalau Yesa nanya?” tanya Javindra. “Dia lagi pergi nganterin Gege untuk layanan konseling. Nanti balik-balik pasti nyariin lo, dia kan suka banget tuh ngintilin lo.”
“Kalau Yesa yang nanya, nggak usah dijawab, bilang aja lo nggak tahu. Ribet dia,” jawab Kama.
“Oke,” sahut Javindra.
“Hati-hati, lo kan belum bener-bener sembuh.” Sakala melipat lengan di dada sambil berdiri di tepi teras beranda. “Udah selesai, langsung balik, Ka. Kalau lo kecapekan dan sakit lagi, kita semua lagi yang repot.”
“Iya.” Tanpa banyak bicara. Sebelum Yesa datang dan memaksa ikut lalu kembali memberikan ceramah panjangnya, Kama bergegas pergi. Dia melajukan motornya dengan terburu, meninggalkan posko dan menggilas jalanan Welasasih yang basah sisa hujan saat dini hari tadi.
Angin Welasasih tidak pernah gagal mengantarkan sejuk. Kama biarkan udara menerpa langsung tubuhnya karena dia sengaja membuka kancing-kancing jas almamaternya. Masih ada tersisa demam di tubuhnya, sedikit pusing di kepalanya dan hidungnya yang belum bisa menghela napas dengan lega. Segala keadaan buruk itu, dia harapkan bisa membaik seiring angin Welasasih menerpanya.
Lagi, dia selalu banyak bicara dengan dirinya sendiri saat tengah berada di atas motor begini. Tentang Laika, yang kedatangannya ke posko dengan tiba-tiba malah memperburuk hubungan keduanya. Tentang Gege, yang semalam tiba-tiba saja dia temukan di dalam mimpinya. Tentang laki-laki brengsek itu, yang Kama lihat mencium Gege semalam.
Penuh. Sesam. Dia sedang mencari cara untuk mengurai satu per satu masalah. Dia kadang rindu menghadapi isi kepalanya yang tenang dan kosong. Ini semua, berawal ketika idenya untuk meminta maaf dengan sengaja bergabung ke kelompok KKN Gege tercetus.
Benar. Sebenarnya dia sendiri yang merencanakan kepindahan kelompok KKN ini. [Additional Part 26]
Kama mulai meninggalkan desa Welasasih, menuju sebuah desa kecil dengan jalanan penuh batu yang dirungkup oleh pohon-pohon besar berdaun rimbun di setiap sisinya. Walau siang hari, melaju di jalanan berbatu menuju ke Ciheuleut itu sedikit gelap karena cahaya matahari tidak bisa tembus dengan bebas.
Kama kembali pada isi kepalanya yang berkecamuk. Ide konyolnya untuk bergabung dengan kelompok Gege dia persiapkan matang sekali. Termasuk semua ide tentang program kerja yang membuatnya begadang semalaman setelah merayu orangtuanya agar bisa ditempatkan di desa yang sama dengan Gege.
Namun, hingga saat ini, ketika hari-hari kebersamaan mereka berlalu, hubungan keduanya tidak kunjung membaik. Masalah berputar disitu-situ saja sampai Kama merasa ... sedikit putus asa.
Sebuah jalan berlubang membuat Kama menghindar. Laju motornya melalui sebuah jembatan yang katanya, sungai di bawahnya itu terhubung ke sungai Cimacan. Lalu, berhasil dia melewatinya, kembali jalanan berbatu dia temukan.
Isi kepalanya masih penuh. Tentang Gege, yang dia pikirkan tentang ide permintaan maaf apa lagi yang akan dia lakukan selanjutnya?Karena, benar, dia sudah kehabisan ide untuk—BRAK!
Satu benturan kencang sebuah benda keras dan berat menabraknya dari sisi kanan. Motor yang tengah melaju cepat itu terjatuh, membuat tubuhnya terpental hingga jatuh di jalanan berbatu dan helmnya terlepas. Tubuhnya berguling-guling selama beberapa saat, hingga sebuah benturan di kening merenggut cepat kesadarannya.
***
Gege terkejut saat jam kecil yang berada di atas mejanya terjatuh. Benda itu tanpa sengaja tersenggol oleh tangannya sendiri saat dia hendak meraih bolpoin di laci meja. Saat Teh Lilih membungkuk untuk mengembalikan jam itu ke tempat semula, Gege mengucapkan terima kasih.
Teh Lilih mengangguk. Kembali dia duduk dengan benar di kursinya. Sejak pagi, Gege berada di ruangan itu, dan kursi di hadapannya tidak sempat kosong sampai waktu beranjak sore seperti ini. Hari ini, Gege mengajak bicara seorang anak SMA yang kedua orangtuanya baru saja bercerai, seorang gadis yang menangis-nangis karena putus dari kekasihnya. Lalu, teman bicara terakhir di penghujung harinya sekarang, adalah Teh Lilih. Siapa sangka dia akan datang dan duduk di balik meja layanan konseling itu?
“Teh Gege. Saya mau mengakui sesuatu.” Teh Lilih mengangsurkan selembar foto. Foto yang pernah Gege lihat tergeletak di rumahnya tempo hari. Foto pernikahan sederhana saat Kang Faldi berada di depan penghulu. “Dia ayahnya Mina.”
Gege meraih foto itu. Setelahnya, tersenyum karena dia tentu saja tidak berhak menghakimi Teh Lilih. Sikap, gaya bicara, sampai wajah Kang Faldi mudah sekali mengelabui banyak orang. Jadi, Teh Lilih dan beberapa gadis lainnya adalah korban. Oh, bahkan Gege sempat tertipu dengan sikap baiknya.
“Kemarin saya bertemu dengan Kang Faldi, membicarakan tentang Mina,” ujar Teh Lilih. Kini, cara bicaranya sudah tidak tampak takut-takut seperti sebelumnya.
Gege mengangguk. “Lalu, menghasilkan keputusan apa?”
“Dia menawari saya beberapa aset berharganya. Katanya, bisa dijual untuk masa depan Mina. Tapi saya menolak, Teh ....” Teh Lilih menggeleng. “Saya tidak mau menengadahkanmenengadahkan seorang pria yang sudah menyia-nyiakan Mina .... Nanti, jika memang dia ingin ikut andil dalam hidup Mina, saya ingin dia datang sendiri untuk melakukan hal itu. Untuk memberi tahu Mina tentang siapa dirinya ....”
Gege tersenyum. Mencoba mengerti keputusan itu. “Mengingat apa yang telah terjadi sebelumnya, pasti luka teteh masih sangat membekas sampai sekarang, ya? Dia menyia-nyiakan Teteh dan Mina , lalu kini datang hanya untuk membantu finasial tanpa memperbaiki hubungan atau menunjukkan komitmen yang lebih besar pada Mina .... Wajar kalau Teteh menolak.”
Teh Lilih menatap Gege lurus. “Menurut Teh Gege ... keputusan saya ini ... bagaimana? Benar atau salah?”
“Saya nggak berhak menilai benar atau salah, Teh. Tapi saya sangat mengerti perasaan Teteh. Apalagi ... tidak dipungkiri, saat menerima bantuan finansial itu, pasti akan muncul rasa utang budi dari Teteh .... Dan tentu Teh Lilih tidak mau hal itu terjadi?”
Teh Lilih mengangguk.
“Jika teteh merasa siap dengan masa depan Mina, Teteh mungkin lebih baik tanpa bantuan itu. Namun, jika Kang Faldi ingin memperbaiki hubungan emosionalnya sebagai ayah ... mungkin suatu saat Teteh bisa beri kesempatan ...?”
Teh Lilih tersenyum, lalu mengangguk. “Benar, Teh Gege.” Dia tampak lega setelah bercerita. Lalu tangannya terulur untuk menangkap tangan Gege. “Terima kasih sudah mendengarkan saya dan menjadi satu-satunya teman yang bisa saya ajak bicara ya, Teh Gege.”
Gege mengangguk. “Senang sekali bisa menjadi satu-satunya yang Teteh percaya untuk mendengar cerita ini.”
Lalu, Teh Lilih menggumam lagi. “Oh iya .... Kemarin Kang Faldi juga bertanya terkait pengacara Neng Diana, yang berhasil menjebloskannya ke penjara. Dia berkata bahwa pengacaranya itu dari Jakarta, lalu ... tiba-tiba dia meminta saya untuk menanyakan hal ini pada Teh Gege, apakah Teteh dan anggota kelompok KKN lain kenal pada pengacara itu?”
Gege tertegun. Tiba-tiba saja dia menjadi sangat cemas. “Ng-nggak, Teh.” Semoga jawaban gugupnya bisa dipercaya.
“Ah, lupain Teh Gege, lagian apa hubungannya dengan Teteh dan teman-teman di KKN ya?” gumam Teh Lilih.
Itu adalah percakapan mereka sebelum Teh Lilih lebih dulu pulang sementara Gege membereskan sedikit barangnya dan mengunci pintu ruangan pada pukul empat sore. Di luar, Yesa ternyata sudah menunggunya. Duduk di atas motor sambil melambaikan tangan. “Ojek, Teh?” tanyanya, membuat Gege tertawa.
Gege menghampiri laki-laki itu. Naik di boncengan motornya. Tidak seperti biasanya, selama di perjalanan, Yesa hanya bicara sesekali dan itu pun tentang hal tidak penting. Oh, padahal Yesa memang jagonya berbicara tentang hal tidak penting, kan?
Sementara Gege, memikirkan percakapannya dengan Teh Lilih tadi. Apakah Faldi mencurigai akhir yang dilakukan Kama dan yang lainnya?
Saat tiba di posko, Yesa menarik tangan Gege yang baru saja mau melaluinya begitu saja dan mengucapkan terima kasih setelah turun dari boncengan. “Gue mau ngomong dulu dong ....”
Wow, lihat dari raut wajah Yesa, kayaknya serius banget?
“Lo kemarin ... jadi jalan sama Axel?”
Gege mengerjap-ngerjap. Tiba-tiba banget? “Nggak jalan .... Gue kan izin ke lo cuma mau ke klinik. Habis dari klinik, gue pulang.”
“Gue pikir lo jadi diajakin ke Bandung, gue sempat denger dia ngajak lo soalnya waktu acara PMI kemarin.” Yesa menumpukkan dua tangannya di atas speedometer motornya.
Gege menggeleng kecil. “Nggak lah .... Kemarin Kama kan sakit—”
“Lah, kirain serius PDKT sama Axel? Kok, masih mikirin Kama aja?”
“Nggak .... Maksud gue, aneh nggak sih kalau gue pergi having fun sementara ketua KKN gue sakit?” Gege mengernyit. “Gue memosisikan diri jadi Kama aja sih. Pasti eneg banget tuh ....”
“Iya sih ....” Yesa mengangguk dan menganggap jawaban Gege masuk akal.
“Terus?”
“Terus apaan?” Gege mengernyit sekali lagi. Dia merasa Yesa sedang mengorek sesuatu hal yang ingin dia ketahui darinya.
“Ya terus, masa ke klinik doang?” Tuh kan, mancing-mancing. “Habis itu ....” Kedua alisnya terangkat. “Ngapain?”
Gege melepaskan napas berat. Dia tahu Yesa akan terus mencari tahu sih. Jadi, “Axel nembak gue semalam .... Kaget nggak lo?”
“Lah, ngapain kaget? Dia kan memang kelihatan deketin lo banget? Ya tujuannya itu nggak, sih?” Yesa kini sampai menegakkan punggungnya untuk bertanya. “Eh—terus lo terima?”
Gege menggeleng. “Nggak lah ....”
Wajah Yesa berjengit mundur, tampak terkejut. “Lo tolak?” Suara itu beranda. Khas Yesa. “Kama bilang semalam dia lihat lo sama Axel ciu—“ tiba-tiba suaranya terhenti. Seperti ada yang menginjak pita suaranya.
“Kama bilang apa?”
Yesa menggeleng. “Nggak .... Nggak apa-apa,” gumamnya. Lalu, “Eh, iya. Kemarin lo bilang sama gue kalau Laika ngajak lo ngobrol?” Lihat, cepat sekali kan cara dia mencari informasi dengan mengalihkan topik pembicaraan?
Gege mengangguk. “Biasa lah .... Dia protes, kenapa akhir-akhir ini Kama berubah.”
“Lah ....?” Bola mata Yesa membulat, seperti hendak menelan seseorang. “Apa hubungannya sama—Lo kok nggak bilang gue kemarin sih? Tahu gitu, gue betot dulu bibirnya sebelum balik dia. Berubah, berubah. Dia tanya tuh kenapa cowoknya bisa sampai berubah; kirim bunga, nidurin lo—Eh? Terus. Apa lagi dia bilang?” tanyanya.
Gege hanya mengangkat bahu. Malas sekali sebenarnya kembali mengulang percakapanmya dengan Laika kemarin.
“Lo tahu nggak sih, Ge? Kenapa Laika selalu menekan lo kalau Kama kelihatan perhatian sedikit aja?” tanyanya. “Buat ngeyakinin diri dia sendiri, dia sadar kalau Kama tuh nggak jelas dan nggak bisa ditebak.” Dia berdecak.
“Emang ... Nggak jelas dia.”
“Emang. Sok-sokan mau jadi pelindung Laika, nolongin Laika, biar jiwa heroiknya terpenuhi. Lo suruh lah kali-kali Kama jadi volunteer kalau pengen jiwa heroiknya terpenuhi. Bukan malah selingkuh sama tuh cewek.” Dia berdecak.
“Nggak ngerti gue .... Mana Laika terang-terangan banget lagi, nyeritain kelakuan piciknya—manfaatin hal itu buat bikin Kama tetap sama dia.” Gege bisa bebas berbicara pada Yesa tentang apa pun. Dan tanggapan Yesa selalu di luar prediksi.
“Sumpah? Dia mengakui kekurangannya itu sama lo secara terang-terangan?” Yesa melepaskan tawa sinis. “Padahal selama ini, kita pikir prasangka kita yang berlebihan, tapi anj—begini banget ceweknya Kama? Rebut aja nggak sih, Ge? Selamatkan Kama?”
“Selamatkan Land Cruiser kali maksud lo?” Gege menatap Yesa sinis.
“Gini.” Yesa menarik tangan Gege yang hendak menjauh. “Lo sekali-kali nggak apa-apa lho kalau mau lawan Laika, tunjukin lah lo bisa dengan mudah rebut Kama seandainya lo tampakkan taring lo sebagai wanita—ini gue bukan ngajarin lo buat binal ya—“
Gege menggeplak kepalanya.
“Siapa tahu Laika-laika itu kesurupan kalau kehilangan Kama. Setelahnya, gue dapat Land Cruiser, kan?” tanyanya. “Nah, habis itu, lo bebas lah mau ninggalin Kama kek ..., mau Lo apain aja bebas.”
“Dih, Si Brengsek,” umpat Gege.
Yesa memasang wajah sedih, dia seperti anak kecil yang mau menangis. Lalu, “Tolongin gue lah kali-kali, ini usaha gue belum ada hasilnya dari awal, lo berdua malah tambah ngadi-ngadi makin hari!”
“Gini deh, Yes ....” Gege melipat lengan di dada. “Lo kan nggak laku ya sama cewek mana pun walaupun Mbun mau ngasih cashback dua miliar? Menurut gue, mending lo minta uangnya, terus lo beliin Land Cruiser.” Gege benar-benar mengutarakan idenya yang dia simpan sejak sayembara dua miliar itu tercetus. “Kan, enak tuh, lo nggak harus kerja, nggak harus memaksakan hubungan gue sama Kama. Lo dapat Land Cruiser impian lo secara cuma-cuma dan—“
“Dan Mbun ngawinin gue sama kuda?” Laki-laki itu melotot, dan Gege tertawa.
Gege pergi dari sisi Yesa, mulai naik ke teras kayu di beranda. Namun nyatanya, Yesa masih mengejar langkahnya. “Ge, coba deh .... Lo sadarin Kama, secara verbal. Nggak pakai kode, jujur-jujuran aja. Bisa jadi Kama cepet sadarnya kalau lo yang ngomong langsung .... Dia lebih leluasa juga ngeluarin perasaannya—sementara gue dan Kale nggak akan ikut campur. Gue yakin sih setelah sadar, dia bakal balik ngejar lo karena gue tuh yakin perasaan dia ke Lo kayak—ANJIR YA MAKIN KENCENG LAH DIA NGEKEPIN LO DAN TUGAS GUE MAKIN BERAT YAAA?” Dia malah histeris sendiri.
Jadi lupakan saja, Gege meninggalkan cowok dramatis itu ke dalam posko setelah melepas sepatunya. Di sana, di ruang tengah, para laki-laki terkulai lemas dan saat Gege datang, keempat laki-laki itu—Javindra, Gesang, Sakala dan Jenggala—langsung seperti menyembah Gege.
“Ge, tolong ....” Javindra bahkan memelas sekali. “Tolong jangan biarin Sabine masak lagi. Tolong banget ini mah ....”
“Javindra habis kelolodan kangkung yang dimasak Sabine, Ge,” jelas Gesang. “Sabine masang kangkung nggak dipotongin dulu.”
“Lagian Javindra makan kangkungnya diseruput kayak makan udon.” Sakala menggeleng, tidak habis pikir. “Ya kelolodan lah, susah dikunyah. Sampai susah napas tadi dia, Ge.”
“Gue takut meninggal karena kelolodan kangkung terus viral. Nggak keren banget,” keluh Javindra. Bisa-bisanya.
Gege melirik Jenggala yang diam saja. “Lo kenapa, Ngga? Kelolodan juga?”
Jenggala menggeleng.
“Jenggala habis makan ati ampela ayam yang nggak dibuang isinya,” jelas Gesang lagi. “Dia makan sama tai-tainya, Ge.”
“Yash doang tadi yang makan tanpa protes,” ujar Javindra. “Itu juga, dia mah makan sambil mimpi kayaknya, soalnya baru bangun tidur udah nyaup nasi. Nggak Sadar apa yang dia makan. “Ini sumpah Ge, kita makan jeroan ayam sekandang-kandangnya.” Javindra makin berlebihan.
Gesang mengangguk. “Soalnya kan isi ampela tadi pakan ayam semua, kulit padi, terus tai—”
“Jangan ingetin dong, gue mau—Hueghhh.” Jenggala berlari keluar. Entah kenapa dia memilih berlari keluar daripada ke kamar mandi yang jaraknya lebih dekat.
Ternyata, saat Gege melangkah ke dapur dan memeriksa keadaan di sana, ada Sabine yang tengah duduk bersila dengan Mak Wasih di lantai. Mak Wasih tengah mengobati tangan Sabine yang dengan salep.
“Lo kenapa, Bine?” Kekhawatiran Gege makin banyak hari ini.
“Kena minyak panas. Hehe. Tadi habis masak soalnya.”
“Nggak apa-apa tapi?”
Sabine menggeleng. “Aman lah, cuma ya gitu tangan gue agak melepuh ....”
Gege berdecak. “Hati-hati dong, Bine ....” Gege beralih pada Mak Wasih. “Mak, makasih ya, udah obatin Sabine.”
Mak Wasih mengangguk. Balas tersenyum.
“Anak-anak pada belum balik, ya?” tanya Gege.
“Belom, yang pada ke Bendungan Saguling belum balik. Cleona sama Keiya katanya disuruh bantu ngedata pertanian penduduk atau apa gitu ....”
Kama?
“Kama belum balik dari pagi, disusulin Yash sih dari siang, tapi malah keduanya nggak balik-balik,” lanjut Sabine.
“Mm ....” Gege masih diam di dapur ketika Sabine bangkit dari tempat duduknya dan bergerak ke kamar mandi.
“Gue mandi dulu ya. Lo nggak akan pakai kamar mandinya dulu, kan?” tanyanya.
Gege menggeleng. Membiarkan Sabine masuk ke kamar mandi. Tersisa dia dan Mak Wasih berdua di dapur itu sekarang. Lalu, seperti menunggu tidak ada siapa-siapa di sana sejak tadi, Mak Wasih cepat-cepat bicara dengan gerakan tangannya. Mak mau kasih sesuatu.
Gege tersenyum lebar. Tiba-tiba sekali mau kasih sesuatu? “Sesuatu apa, Mak?”
Mak Wasih bergerak mengunci mulutnya. Rahasia.
Dan Gege melepaskan tawa.
Tangan Mak Wasih bergerak lagi. Tunggu di sini.
Gege hanya mengangguk. Lalu, dia melihat wanita lanjut usia itu kini keluar lewat pintu belakang dapur untuk kembali ke rumahnya. Terdengar suara Yesa di ruang tengah, yang semakin lama semakin jelas terdengar karena laki-laki itu bergerak ke dapur bersama Javindra.
“Serius Kama nggak bisa dihubungi dari pagi?” tanya Yesa. Dia menempelkan ponselnya ke telinga, seperti tengah menghubungi seseorang.
“Serius. Dia pergi tuh tadi cuma bilang mau ke Ciheu-leut—eh, desa apa dia bilang?” Jawab Javindra. “Udah kita wanti-wanti tuh, jangan pulang kesorean karena dia masih sakit kan. Tapi nggak nurut—karena pawangnya lagi nggak ada.” Javindra melirik Gege takut-takut.
Dan Gege menghampiri dia laki-laki itu.
Javindra lanjut bicara. “Dia pergi buru-buru banget. Gue nyangkanya dia sengaja matiin HP karena mau me-time karena seharian kemarin dia ketempelan lo terus.”
Yesa menggerutu. “Anjir, emang gue jin? Pakai bahasa ketempelan segala.”
“Udah ada yang nyoba cari dan nyusul Kama belum, Vin? Ke Ciheuleut itu?” tanya Gege.
“Udah,” jawab Javindra. “Yash pergi dari siang, katanya mau nyusul Kama, tapi sampai sekarang dia belum balik dan belum kasih—“
“Yesa!”
Suara itu mengalihkan tatap Gege dan dua laki-laki yang tengah bersama dengannya.
Tampak Yash melangkah dengan terburu dari arah luar dengan raut cemas. Laki-laki itu melintasi ruang tengah diikuti oleh Jenggala, Sakala, dan Gesang. Mereka ikut panik saat melihat wajah Yash yang kelelahan dan putus asa. “Kama belum ketemu .... Udah dicari seharian, dibantuin sama warga sana juga,” ujarnya dengan napas sedikit terengah. “Kami cuma berhasil nemuin motornya hanyut di sungai dalam keadaan rusak .... Kama-nya ... nggak ada.”
***
Kama nggak akan hilang ingatan habis ini. TENANG AJA. Karena ini bukan skenario series India 😭🏻
TUNGGU AJA DEH PART DEPAN. KAN KITA MAU JEDAR JEDER JEDAG JEDUG BARENG 😋🏻
POKOKNYA SABAR YA NUNGGUNYAAA. VOTE DULU YANG RAMEEE. KOMEN DULUUU YANG BANYAKKK. UDAHHH?
TERUS KASIH APIIII AGAR SEMANGAT NYARI KAMA MENYALA 😋🔥🔥🔥🔥🔥

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
