
“Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!”
Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.
Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.
Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...
Hello, KKN! | [21. Mia dan Rombongan Sirkusnya]

Haiii.🌼
Kangen siapaaa di siniii???
4600 kata lagi 🥲 mau spam emot apa?
Udah siap baca ADITIONAL PART DI KARYAKARSA SETELAH INIII??? 🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼
Aku suka banget bacain komentar karena jujur itu menghibuuur bangettt. Jadi jangan lupa bakar vote dan komennya yaaa. Kalau bisa mah komennya tiap paragraffffff wkwkwkwkwk. Jangan lupa juga kasih api duluuuu yang banyaaak 🔥🔥🔥
***
Ke depannya, sepertinya Gege harus kembali melakukan sosialisasi ulang terkait layanan konseling yang dia terima di Welasasih. Warga Welasasih setidaknya harus tahu bahwa Gege hanya akan membantu masalah seseorang dalam kerahasiaan mengenai hal yang tengah dihadapi kliennya.
Karena kini, di ruangan kecil yang biasa dia gunakan untuk menerima satu klien itu, berkumpul begitu banyak orang hingga ruangan itu terasa sesak. Mungkin ada sepuluh orang? Atau dua belas? Atau mungkin lebih karena orang-orang di dalamnya datang silih berganti dan membuat keadaan menjadi sangat chaos.
Ada Teh Yani, yang pertama datang, mengaku sebagai menantu yang setiap hari selalu merasa disudutkan. Seorang wanita dengan rambut dicepol asal dan daster bunga-bunga hijau yang setengah basah itu datang sambil menangis. Mungkin dia sedang mencuci, atau beres mencuci sebelum datang ke ruangan itu?
Tidak lama kemudian, datang Bu Tati, yang merupakan mertua Teh Yani untuk melakukan klarifikasi. Wanita berjilbab cokelat yang senada dengan gamis yang dikenakannya, tampak sudah siap untuk pergi pengajian dengan tas tangan yang dijinjingnya.
Dan beberapa saat kemudian, hampir seluruh kerabat dekatnya datang ke ruangan itu untuk memberikan pembelaan pada masing-masing pihak.
Teh Yani menunjuk dadanya. “Coba Teh Gege bayangkan, kurang apa saya sebagai menantu? Saya rela setiap bulan gaji suami saya dibagi dua dengan ibu mertua—“
“Yani, tong rasa maneh pang benerna jadi jelema, lalaki mah milik indungna tepi ka iraha wae oge. Najan boga pamajikan, Rahmat tetep anak kami.” [Yani, jangan merasa paling benar jadi orang, laki-laki itu tetap milik ibunya sampai kapan pun. Walaupun ada istri, tapi Rahmat tetap anak saya.]
“Bu, tenang ya, Bu.” Gege berdiri dari kursinya, mencoba menengahi keadaan ricuh itu, karena setelahnya semua orang di ruangan ikut bicara.
“Kami ge apal, didinya sok ngulah-ngulah Rahmat datang ka Imah indungna. Ulah kitu jadi pamajikan teh, Yani.” [Saya juga tahu, kamu suka melarang Rahmat untuk datang ke rumah ibunya. Jangan begitu jadi istri tuh, Yani.] Itu merupakan salah satu suara yang membela Bu Tati, saling tunjuk dua kubu itu dengan kata-kata yang kadang tidak Gege mengerti.
“Ibu-ibu. Mohon tenang.” Gege menggerakkan kedua tangannya. Namun siapa yang mau dengar jika keadaannya sudah sangat kacau seperti itu?
Gege sampai memejamkan mata sambil memegangi kepalanya akibat kebisingan itu. Sebenarnya, apa yang mereka harapkan dari layanan konseling seorang mahasiswi KKN? Apakah mereka menganggap Gege seperti ketua rukun tetangga yang bertugas membantu mereka untuk memelihara kerukunan hidup warga?
Benar-benar, keadaan di dalam ruangan itu sulit dikondisikan. Hingga akhirnya, Pak Sekdes menyadari hal itu dan bergerak masuk untuk membantu Gege. “Ibu-ibu, harap tenang. Tenang dulu.” Kedua tangannya terangkat, meminta perhatian, tapi tentu saja berakhir diabaikan.
“Yani!” Bu Tati kembali berteriak. “Saya yang ngurus Rahmat dari kecil! Saya yang mengandung dia, saya yang menyusui dia sampai—“
“Tapi sekarang saya yang nyusuin anak Ibu!” teriak Teh Yani.
Dan semua orang di ruangan itu tiba-tiba bungkam, mengerjap-ngerjap, menatap Teh Yani yang kini kembali bicara.
“Saya yang nidurin dia tiap malam, Bu. Dan ini akan saya lakukan berpuluh-puluh tahun lamanya selama Kang Rahmat hidup. Jangan membahas masalah jasa, karena saya juga punya andil hingga Kang Rahmat ada di posisi sekarang.”
Gege menghampiri Teh Yani, memegangi tangannya. “Teh Yani, tolong dijaga nada suaranya,” ucap Gege pelan. Mengangguk kecil saat mengatakan hal itu sambil tersenyum. “Bu Tati dan Teh Yani hebat tanpa perlu berteriak.”
Suara Gege menghasilkan keadaan yang hening. Selama beberapa saat, orang-orang di dalam ruangan itu hanya saling lempar pandang.
“Mari ikut saya, Ibu-ibu. Kita selesaikan masalah ini di ruangan Pak Kades,” ujar Pak Sekdes Welasasih itu. “Kalau misalnya, masih ada hal yang mengganjal dan ingin diungkapkan, merasa ada yang masih tidak selesai, boleh kembali membuat janji dengan Teh Gege. Tapi, satu-satu datangnya, tidak boleh seperti ini,” ujarnya.
Gege menatap Teh Yani, lalu tersenyum. “Teh Yani boleh kok cerita sama saya kalau masih belum lega,” ujarnya sebelum melepaskan wanita itu pergi.
Akhirnya, orang-orang di dalam ruangan itu menurut. Gege sampai melepaskan napas lega saat sesak di ruangan itu terurai keluar dan udara yang masuk lewat daun jendela yang terbuka bisa kembali dia kuasai sendirian.
“Punten ya, Teh Gege,” ujar Pak Sekdes.
“Nggak apa-apa, Pak. Kalau ada apa-apa, saya siap membantu.”
“Baik, terima kasih. Biarkan masalah ini diselesaikan oleh Pak Kades dulu, karena menyangkut dua keluarga besar, yang pasti melibatkan banyak orang.”
Gege mengangguk, melepaskan kepergian Pak Sekdes yang mengejar ketertinggalan langkah Ibu-ibu yang berjalan menuju ruangan Pak Kades. Tubuh Gege berbalik, dia melihat jam dinding masih menunjukkan pukul dua siang.
Biasanya, layanan konseling akan tutup pada pukul empat sore. Namun, mengingat kericuhan baru saja terjadi, sepertinya Gege harus menutup layanan itu lebih awal. Dia bergerak keluar setelah menyampirkan rompi KKN 111 di sikut. Lalu mengunci pintu dari arah luar.
Kedua tangannya masih terangkat untuk membenarkan pita merah yang sudah melorot dan tidak mampu lagi menggenggan rambutnya saat tubuhnya berbalik. Kini, dia temukan seorang perempuan tengah berdiri di luar ruangan sambil memberikan cengiran lebar.
“Hai,” sapanya. Dia Cleona. “Gue sengaja datang buat ikut layanan konseling padahal. Udah tutup, ya?” Dia memasang raut wajah kecewa yang dibuat-buat.
Gege berdecak. Melangkah meninggalkan pintu ruangan itu sambil mengamit lengan Cleona. “Udah, yuk balik. Lo bisa pakai jasa konseling gue kapan aja di posko,” ujarnya, membuat Cleona tertawa.
Mereka berjalan kaki menuju posko, tapi tentu saja tidak lagi melewati kebun bambu rimbun yang tempo hari pernah mereka lalui. Walaupun Gege tidak pernah bisa sepenuhnya percaya pada apa yang Kama katakan, tapi masalah musim hujan dan sarang ular itu adalah pengecualian.
Jadi kini, Gege dan Cleona rela berpanas-panasan melewati jalan desa beraspal dengan jarak yang lebih jauh untuk tiba di posko. Namun, siang itu mereka memang memerlukan rute yang memiliki waktu tempuh lebih lama agar Cleona bisa menceritakan tentang apa yang terjadi padanya hari kemarin. Ini ada hubungannya dengan tangisannya di ruangan kerja itu.
Mereka berjalan bersisian, berjalan di tepi kiri untuk mendapatkan teduh dari rimbun pohon-pohon tanjung yang ditanam di sepanjang jalan. Welasasih, selalu tampak sepi saat siang hari begini. Sedikit ramai akan ditemukan di hari Jumat atau Minggu. Karena jika kebetulan tidak ada hal mendesak yang harus mereka kerjakan di ladang, kebanyakan warga akan mengambil waktu di rumah antara dua hari itu.
Jadi sekarang, aman saja mereka berjalan sambil saling bicara tanpa perlu menganggukkan kepala dan menyapa setiap melewati rumah warga.
“Awalnya, gue pikir kalau ... cowok gue memang benar-benar sibuk di tempat KKN-nya. Kayak ... kita. Banyak kegiatan, banyak proker, banyak bersosialisasi dengan warga,” ujar Cleona. “Tapi makin hari, kok komunikasi gue dan dia makin buruk aja?” lanjutnya.
Gege masih mendengarkan, sambil berjalan di sisi Cleona.
“Memang biasanya juga begitu sih. Gue tuh sama dia kalau lagi nggak ketemu, komunikasinya jelek. Padahal kalau ketemu langsung ... ya biasa aja. Malah gue nggak pernah menemukan perubahan apa pun dalam setiap perilakunya. Giliran jauh lagi, sikapnya dingin lagi,” jelas Cleona. “Gesang bilang, itu tuh karena, kalau lagi ketemu cuma ada gue yang difokusin, makanya sikapnya tetap ngutamain gue. Tapi kalau lagi jauh dan komunikasi via handphone, banyak cewek yang harus dia urus.”
Gege melepaskan tawa kecil. Berharap itu sekadar lelucon. “Gesang lo dengerin.”
“Tapi ternyata memang benar Ge. Baru seminggu, cowok gue udah cinlok sama temen KKN-nya.” Ucapan Cleona membuat Gege menoleh.
Langkah keduanya terhenti.
Cleona mengangguk. “Gue dapet info dari temen satu jurusan yang KKN di dekat desanya. Bukti-bukti dia selingkuh juga udah banyak. Mulai dari bonceng motor—“
“Kita juga suka nebeng motor cowok-cowok di kelompok kita nggak, sih?” Gege berusaha membuat Cleona berpikir baik.
“Awalnya gue berpikir begitu juga. Lagian gue bukan tipe cewek yang cemburuan—yang bakal ngelarang cowok gue ditebengin cewek sekelompoknya. Jadi gue cuek aja kan tadinya. Tapi makin lama kok makin janggal? Nebeng ya nebeng, tapi nggak sambil meluk dan nempelin dagu di pundak, kan?” Cleona mengambil langkah lagi, membuat Gege kembali menyejajari langkahnya. “Nggak juga sambil cium pipi lagi boncengan?” Cleona tertawa. “Berani banget deh si Bayu tuh.” Dia menyebutkan nama laki-laki yang merupakan kekasihnya itu.
Gege meraih tangan Cleona, menggenggamnya saat berjalan bersisian.
“Kemarin-kemarin, gue ngerasa baik-baik aja sih, karena cuma dengar kabar-kabar burung, tapi setelah dikasih bukti-bukti fotonya, gue ... sakit lah. Manusia, wajar kan, ya?” Cleona menoleh, dan Gege mengangguk. “Biasanya, kalau habis sosialisasi sama warga bareng Gesang, perasaan gue bakal baikan. Tapi sekarang ... nggak berubah, Ge. Tetap buruk.”
“Hubungan lo dan dia ... sekarang gimana?”
“Dia mutusin gue kemarin ...,” aku Cleona. “Dengan alasan, hubungan kita tuh ... datar banget. Udah hambar. Udah berubah. Dia memaksa gue untuk kalah, di saat gue masih punya perasaan sama dia.” Cleona tertawa kecil untuk menutup ekspresinya yang getir. “Sakit ya Ge ternyata ... terlalu suka dan sayang sama orang yang udah lebih dulu milih orang lain?”
Gege mengangguk. “Karena terlalu suka, kadang kita lupa ... bahwa dia juga bisa melakukan hal yang sama ke orang lain.”
Cleona mengangguk lagi. “Terus sekarang, gue harus apa, Ge?”
“Lo nggak harus ngapa-ngapain, Na. Waktu akan membawa luka lo sembuh dan membuat lo kembali menjadi baik-baik aja.”
“Kalau ketemu dia? Gimana?” tanya Cleona.
“Pura-pura lost feeling.”
“Itu pasti sakit banget, kan?” Cleona kembali bertanya.
“Lebih sakit lagi, saat dia tahu kalau lo masih sayang dia, tapi tetap milih cewek lain, Na,” jawab Gege. “Jadi pilihan terbaik, ya ... begitu.” Gege hanya menggumamkan jawabannya barusan.
“Harus usaha untuk cepat move-on kah biar nggak dipandang iba?”
“Jangan berusaha terlalu kuat untuk sembuh di saat kayak gini, Na. Biarin aja dulu. Sakit ... ya nggak apa-apa. Karena, berusaha untuk move-on di saat tahu bahwa kita masih berharap sama dia tuh ... bakal sia-sia. Beberapa orang bilang, ‘Move-on lah!’ atau ‘Nyoba membuka diri untuk yang lain, cari yang lebih baik dan lain-lain’. Tapi nggak ada yang ngerti, bahwa ... di saat kayak gini tuh, kita nggak lagi peduli tentang ‘mendapatkan yang lebih baik’, tapi kita hanya mau dia. Kita tuh maunya tetap dia, tapi udah berubah menjadi orang yang lebih baik untuk kita .... Gitu, kan?” Gege mengusap pundak Cleona. “Lo pasti bisa. Gue yakin Lo pasti bisa.”
***
Sore itu, di posko ribut sekali karena Kama baru saja datang dari kabupaten. Dia diminta untuk menemani Pak Kades rapat bersama Bupati di balai kabupaten. Sehingga, Kama bisa menemukan setidaknya ayam goreng tepung dengan saus keju yang biasanya bisa mereka temukan outlet-nya setiap beberapa meter di Jakarta.
Sementara kali ini, makanan yang biasanya tampak ‘biasa’ itu, jadi terkesan sangat istimewa dan langka sekali di Welasasih. Semua anggota KKN 111 berkumpul di ruang tengah, kekenyangan dengan makanan yang Kama bawa.
“Apa kita udah jadi orang yang terpelosok sampai lihat ayam goreng tepung aja kayak orang kesurupan begini?” tanya Javindra. Dia membawa segelas kopi di tangannya. “Sampai kopi pun roasting sendiri, tumbuk sendiri, sedih sendiri.”
Di ruang tengah itu, kini berkotak-kotak kemasan ayam goreng masih dibiarkan berantakan karena mereka kekenyangan. Kama membeli puluhan kotak ayam untuk dibawa ke posko, sebagian sudah dia berikan pada warga katanya, terutama bocah-bocah yang sering datang ke posko. Mereka tampak senang sekali, berteriak memanggil ibunya untuk menunjukkan ayam goreng pemberian Kama.
“Ka, lo kapan ke kabupaten lagi?” tanya Juana dengan wajah cemberut. “Bilang-bilang dong biar bisa nitip.”
“Kabupaten tuh jauh ya ....” Sabine cemberut. “Andai gue bisa nitip muka gue aja Ka, buat lo bawa treatment ke klinik kecantikan.”
“Titipin aja, Bine, satu muka lo,” ujar Gesang. “Kan, punya dua?”
Sabine melempar sisirnya ke arah Gesang, sedangkan laki-laki itu hanya tertawa-tawa.
“Tadi kebetulan aja bawa mobil Sakala, jadi sekalian beli banyak,” ujar Kama. Dia baru saja menggantungkan almamaternya di kamar, hanya mengenakan selembar kaus putih di tubuhnya sebelum bergabung di ruang tengah. “Udah lo kerjain sampai mana hari ini, Vin? Alat pembakar?”
Lihat? Kama baru saja tiba di posko. Masih tampak kelelahan. Bahkan wajahnya belum kering oleh air yang dia gunakan untuk cuci muka saat baru tiba tadi, tapi dia sudah menanyakan tentang progres proker yang rumit itu saja.
“Rumit banget makin sini gue rasa, Ka. Tapi tetap gue kerjain kok, ini habis ini gue mau lanjut lagi,” ujarnya.
“Gue bantuin nanti, makan dulu ya.” Itu suara Kama.
Gege tidak terlalu memperhatikan karena dia tengah membaca pesan singkat di ponselnya.
“Oke, santai. Yang lain juga pada bantu kok tadi pas balik ke posko,” ujar Javindra.
Setelahnya, entah percakapan tentang apa lagi yang terdengar, karena Gege kini sudah fokus sekali pada layar ponsel, membaca pesan-pesan singkat yang Axel kirim. Dia menceritakan kegiatannya hari ini.
Axel
Banyak pasien di klinik sore ini. Ketemu banyak orang dari desa, ada dari Welasasih juga. Terus tiba-tiba ingat kamu. Haha.
Eh, besok aku balik dulu ke Jakarta karena ada jadwal di RS kampus.
Tapi.
Bisa ketemu dulu nggak?
Duh canggung banget nih ngajaknya. Hahaha.
Gege tersenyum sendiri membaca pesan itu. Bukan, bukan karena dia terlalu senang dan senyum itu muncul dari perutnya yang menggelitik. Dia hanya merasa, pesan itu lucu? Kedua ibu jari bergerak di atas layar ponsel, tengah membalas pesan. Namun,
“Ge?”
“Gege?”
“Gege?!”
Wajah Gege mendongak. Meninggalkan pesannya pada Axel yang belum terkirim. “Kenapa?”
“Kama tuh ..., dari tadi nanya nggak lo sahutin.” Samira menunjuk ke arah Kama, yang kini tengah memainkan ponselnya.
“Kenapa, Ka?” tanya Gege.
Kama melepaskan napas kasar, seolah-olah dia begitu kesal. “Tentang PMI, Pak Ruhyat udah ada hubungi lo lagi? Warga udah dikasih tahu masalah ini? Udah coba disosialisasikan? Waktunya kan sebentar lagi. Kayaknya kerja agak serius dikit nggak masalah. Fokus.”
Kening Gege mengernyit. Kenapa, sih? Dia nih sewot terus setiap kali bicara padanya hari ini? “Oh .... Itu. Udah kok, Pak Ruhyat udah menyampaikan ke setiap ketua RT sekalian bantu membagikan kupon PMI-nya ke setiap warga. Jadi ... aman,” jelas Gege. “ Kerja gue tetap serius. Tetap fokus, kok.”
Orang-orang di ruangan itu saling lempar pandang, menyadari ketegangan antara Gege dan Kama. Dan seolah-olah ingin melunakkan keadaan itu, Cleona menjadi orang pertama yang membawa topik lain di tengah hening. “Keiya tetap nggak mau makan?”
Gege menatap semua orang yang berkumpul di ruangan itu. Benar. Dia baru sadar bahwa Keiya tidak terlihat sejak tadi. “Vin?” Gege menatap Javindra yang tengah menyesap kopinya.
Javindra berdecak. “Biarin aja, nanti juga dia keluar sendiri.”
Tidak lama kemudian. Pintu ruang kerja terbuka, Keiya keluar dari ruangan itu dengan wajah tidak ramah. Orang yang pertama ditatapnya dengan tajam adalah Javindra.
“Kei .... Makan dulu?” Samira menjadi orang pertama yang menyapa Keiya.
Keiya menggeleng. “Nggak. Males. Gue pengen balik!”
“Kei!” Gege bangkit dari tempat duduknya, tapi batal bergerak ke arah Keiya karena Javindra lebih dulu melakukannya.
Javindra menaruh kopi yang belum selesai dia nikmati, lalu bangkit dari posisi duduk bersilanya di lantai kayu tadi. “Lo masih marah sama gue?” tanya Javindra.
Dan Kama merasa harus ikut campur atas keadaan itu. “Ada apa lagi, sih?” Dia bertanya dengan suara yang lelah. Lihat, bahkan Kama belum sempat membuka kotak makanannya. Dia ikut bangkit untuk menengahi Javindra yang sudah berhadapan dengan Keiya.
“Gue diajakin jalan sama cowok warlok habis rapat di balai desa tadi.” Keiya menggedikkan dagunya pada Javindra. “Tapi kata Javin nggak boleh.”
Javindra memalingkan wajahnya, tampak kesal. “Lo tuh .... Nggak bisa dibilangin, ya?”
“Kenapa, sih?” Keiya masih tidak terima dilarang. “Dia tuh anggota karangtaruna, baik kok. Masih mahasiswa juga, kuliah di Tamansari, Bandung. Gue mau ikut ke kampusnya doang. Sekalian jalan, karena—sumpah, sumpek banget gue di sini terus dan nggak keluar-keluar tahu nggak?!”
“Oh, lo pikir, lo aja yang sumpek?” tanya Javindra. “Semua sama kok, sumpek, penat, capek. Tapi mau gimana lagi? Lagian kalau lo mau pergi keluar dari Welasasih, gue bisa anter. Lo mau ke mana, sih, ha?”
Lihat. Kakak-beradik itu malah berdebat sekarang.
“Nggak. Gue nggak mau lo anter!” tolak Keiya. “Gue tuh cuma mau main ke kampusnya, ke kosannya. Terus Alvin juga—“
“Ke kosan?” Jenggala tampak tidak setuju dengan ide itu. “Kei, yang bener aja?” Dia ikut ikutan bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Keiya.
Hal itu, membuat para laki-laki lain ikut melakukannya. Sudah ada Javindra, Kama, dan Jenggala yang berdiri di hadapan Keiya lebih dulu. Disusul Sakala, Yesa, dan Rajata. Sedangkan Zale dan Yash hanya menonton di paling belakang.
Lihat. Siapa yang tidak ngeri jika berada di posisi Keiya sekarang?
“Denger, kan? Seceroboh apa nih anak?” Javindra menatap semua teman laki-lakinya. “Naif banget dia.”
“Siapa namanya?” tanya Kama. “Cowok itu?”
“Alvin,” jawab Keiya ketus.
“Albin,” ulang Kama. “Suruh dia datang ke sini,” ujarnya.
Tampaknya, para laki-laki itu benar-benar mengalami trust issue akibat kelakuan Faldi. Mereka berubah menjadi over protektif.
“Lagian, Kei. Mikir dong, cowok macam apa yang baru kenal udah ngajak ke kosannya? Dan cewek macam apa yang baru kenal udah mau diajak ke kosan?” Javindra kembali bicara. “Gimana kalau lo diapa-apain? Gimana kalau lo dijual?”
Yesa berdecak. “Jangan macam-macam Kei, tangan Kama masih memar abis nonjokin Faldi, jangan sampai bikin dia nonjokin Alvin-Alvin itu juga,” imbuhnya.
“Suruh dia ke sini aja lah .... Kalau mau PDKT.” Rajata menganggap enteng. “Ikut main Remi kek, ngapain kek ....”
“Kalian tuh ngerti nggak, sih? Intinya bukan gue mau PDKT, gue cuma mau menghirup udara di luar Welasasih sebentar! Masa nggak boleh?”
“Boleh. Gue yang antar, gue bilang!” Javindra tetap mengecam ide itu. “Mau ke mana? Ke kampusnya? Ke kosannya? Gue anter.”
Yash yang sejak tadi tampak muak dan lelah dengan perdebatan itu, melerai. “Udah, udah,” gumamnya pelan. “Udah Kei, gue harap lo nggak keras kepala dan bikin keadaan di sini makin kacau.”
“Kok, jadi menyudutkan gue gini sih lo semua?” tanya Keiya. “Jangan mentang-mentang Faldi brengsek, lo semua jadi meng-generalisir semua cowok Welasasih dong? Aneh banget.” Kemudian dia menatap ke arah teman-teman perempuannya yang terhalang oleh para lelaki jangkung itu. “Lo semua nggak ada yang mau bantu bela gue?”
Namun, semua terdiam. Karena diam-diam mereka setuju pada apa yang diungkapkan oleh anggota laki-laki walau caranya kasar sekali.
Gesang menggeleng heran. “Lo mau ngomong apa pun, kita tetap nggak akan ngizinin lo pergi, Kei. Udah deh, jangan ngeyel.”
Sakala menjadi orang yang mundur duluan dari kerumunan. “Udah deh, Kei .... Nurut kenapa sih?” Dia kembali ke tempat duduknya, disusul oleh Yash dan Zale. Sementara itu, keenam laki-laki lainnya masih mengerumuni Keiya.
“Jangan coba-coba kabur dan pergi diam-diam ya, Kei.” Kama memperingatkan. Seolah-olah bisa membaca rencana Keiya. “Gue beneran nggak akan tinggal diam kalau hal itu sampai terjadi.”
Di sana, para anggota perempuan tidak ada yang berniat bicara. Selain yakin bahwa mereka akan kalah, sepertinya mereka juga sama-sama mengalami taruma pada sosok laki-laki Welasasih. Sehingga, hanya bisa menjadi penonton tanpa memihak pada siapa-siapa.
Termasuk Cleona, gadis yang hari ini sedang patah hati itu hanya duduk bersandar ke dinding kayu sambil memainkan kuku.
Keiya mengentakkan satu kakinya ke lantai kayu. Berdecak. Tampak kesal sekali dengan kekangan itu. Namun, sebelum keenam laki-laki di hadapannya bubar, ponsel yang berada dalam genggamannya berdering. Pasti telepon itu datang dari laki-laki itu, Alvin. Karena kini Keiya lama hanya menatap ponselnya.
Belum sempat Keiya memberi keputusan atas deringan ponsel di tangannya, Javindra lebih dulu merebut ponsel itu. Keiya menjerit, tapi kelima laki-laki di hadapannya, karena Yash memutuskan untuk tidak ikut-ikutan, kini mendorong tubuh Keiya untuk kembali masuk ke ruang kerja.
Tidak peduli Keiya menjerit dan menggedor pintu. Para laki-laki itu dengan kurang ajar mengunci Keiya di dalam ruangan. Sementara itu, Javindra berhasil membuka kunci layar ponsel Keiya dan berbicara pada seseorang di seberang sana.
“Halo?” Javindra berdecak karena suara Keiya mulai terdengar dari balik pintu, kembali berteriak. “Oh, ini Alvin. Iya nih, Keiya nggak bisa keluar. Lagi sibuk banget, ada tugas yang mau dikerjain—Oh, saya kakaknya. Iya. Kalau mau Alvin-nya aja main ke sini. Iya, sama-sama, A.”
Setelah kejadian itu, tentu saja Cleona mencoba menyelamatkan Keiya yang terkunci di ruang kerja. Sementara Gege masih terduduk di ruang tengah dengan gamang. Dia belum membalas pesan dari Axel yang hendak mengajaknya pergi. Melihat kejadian Keiya yang baru saja berlalu di hadapannya, dia jadi ngeri sekali untuk minta izin pergi.
Pergi diam-diam juga tidak mungkin karena akibatnya akan lebih fatal.
Di saat Gege masih terdiam di sana dan menimbang-nimbang segala hal, ponsel dalam genggamannya bergetar panjang. Axel menghubunginya dan dia tahu bahwa untuk menerima telepon itu, dia harus menghindari keramaian.
Gege melangkah keluar dari posko, duduk di sisi teras beranda dengan dua kaki terjulur ke rumput. “Halo, Xel?”
Wajah Gege mendongak, melihat para anggota KKN laki-laki keluar dari posko untuk melakukan kegiatan sore seperti biasa, menyelesaikan proker pembakar sampah minim asap yang ternyata rumit sekali. Para laki-laki itu berkumpul di bawah pohon ceremai mulai mengambil alat-alat pertukangan.
“Gimana? Bisa jalan sore ini?” tanya Axel dari seberang sana.
“Kayaknya aku nggak bisa deh ....” Gege menggigit kecil bibirnya. “Aku .... Ng .... Lagi ada kegiatan di posko, jadi nggak enak kalau mendadak izin pergi. Sori ya, Xel?”
“Yah .... Oke, nggak apa-apa deh,” ujarnya. “Tapi aku kebetulan udah di Welasasih nih, di depan posko kamu. Dan aku lihat kamu lagi duduk di teras sendirian.” Informasi itu membuat wajah Gege mendongak, mencari. Dia temukan Axel bersama motornya berdiri di seberang jembatan. Laki-laki itu melambaikan tangan. “Eh, pita merahnya kok lucu banget?”
***
“Lucu banget pita merahnya.” Itu adalah suara Axel yang terdengar saat pertama kali menemui Gege.
Nyali Axel untuk langsung datang ke posko perlu diacungi jempol. Dia membawa beberapa kotak makanan yang segera diterima oleh para perempuan seperti Cleona dan Samira. Mereka sempat berbicara dengan Axel saat laki-laki itu pertama kali tiba.
Axel memperkenalkan diri, sebagai mahasiswa kedokteran yang tengah ikut kegiatan sosial di sebuah klinik milik seniormya di kampus. Lalu, tidak ada respons berlebihan dari para anggota perempuan itu yang biasanya akan menggelinjang-gelinjang menjodohkan Gege.
Kali ini, mereka tampak kalem. Atau ... mereka juga mengalami trauma yang sama karena Faldi? Pasalnya, di kasus Keiya tadi mereka juga tidak terlalu agresif. Mereka hanya menerima makanan yang Axel berikan sambil berbicara. “Ini kita simpan buat makan malam, soalnya tadi udah pada makan,” ujar Samira. L
“Terima kasih ya, Axel,” ujar Juana.
Kalem sekali.
Tidak agresif.
Kini, para anggota laki-laki sudah berkumpul di bawah pohon ceremai, mulai mengerjakan program kerja rumit mereka. Kama mencoba mengabaikan Gege dan Axel yang tengah duduk berdua di beranda sambil mengobrol, tapi sial sekali, ujung matanya mampu menangkap pemandangan itu.
“Selain bakar sampah, ini alat bisa bakar perasaan orang juga?” tanya Yesa. Melirik Kama, lalu tertawa-tawa dengan yang lainnya
“Cowok yang patut diacungi jempol nyalinya itu Ka, berani apel ke posko,” ujar Rajata.
“Artinya, udah serius banget itu sama Gege sukanya,” tambah Javindra.
Kama hanya memberi komentar singkat. “Baguslah ....”
“Memar di tangan masih ada .... Saingan baru udah datang aja ....” Ucapan Gesang membuat laki-laki di sana cekikikan.
Kama berdecak, mulai menyalakan mesin potongnya yang berisik. “Saingan apaan?” Dia masih tidak terima.
“Tuh, kan? Ngambek dia?” Rajata menyikut lengan Yash. “Taruhan sama gua Yash, habis ini ada yang meledak lagi nggak?”
“APAR, kasih APAR,” ujar Gesang.
“Kalau gua mah, tuh cowok macam-macam gua tonjok lagi lah.” Zale malah menyalakan api. “Lagian kelihatannya cewek-cewek juga biasa aja, kapok jodoh-jodohin sih ini kayaknya.”
“Begal newbie, kemarin pukulin oknum aparat. Masa sekarang pukulin calon dokter?” tanya Jenggala. “Nggak usah dengerin Zale. Masuk penjara beneran lo entar, Ka. Lagian lo kan bukan siapa-siapanya Gege, cuma korban cinta nggak berbalas di KKN.” Ucapan itu menghasilkan cekikikan menyebalkan yang membuat isi Kama mendecih sinis. “Ka, jangan terlalu diseriusin. Cinlok saat KKN itu akan selesai ketika KKN usai.”
Kama menaruh peralatan yang dipegangnya, yang terdengar nyaring hingga bunyinya membuat teman-temannya berjengit menjauh. Padahal, Kama tidak sengaja membantingnya. Serius. Apalagi saat Gege tersenyum sambil memandangi Axel, dia menaruh peralatan itu dengan gerak biasa saja. Mungkin angin yang membuatnya menghasilkan suara berisik itu.
“Nggak sengaja,” gumam Kama. Padahal, dia merasa gerah sekali hari ini sampai ingin membuka kausnya.
“Eh, tapi ini baru selang beberapa hari, Gege udah dipepet lagi aja sama cowok berbeda ya.” Jenggala menggeleng takjub. “Ada aja lagi, jalannya buat ketemu cowok ini-itu. Dia ketemu tuh calon dokter waktu antar Mak Wasih ke klinik, kan?”
“Sebelumnya mereka memang udah kenal kok,” jelas Yesa. “Ya kan, Ka?” Dia menyeringai jahil.
“Mana gue tahu ...?” Kama menjawab ketus. Argh, kenapa dia ingin membanting barang sekarang?
“Lah, ya kalau gue bisa tuh .... Dari kemarin gue juga udah pepet dia.” Javindra menggedikkan dagu ke arah Gege. “Cuma ya, mau dibongkar semua aib gue di sini sama Keiya kalau gue nekat salah satu anak perempuan itu?”
“Bener, Kama aja suka tuh. Cuma nggak berani bilang aja kayaknya karena sadar diri punya cewek.” Sakala berdecak, sengaja sekali mengejek.
“Jangan nangis dong, Ka ....” Rajata menatapnya iba.
Sumpah bangsat-bangsat itu berisik sekali.
“Yang gue heran tuh, bisa-bisanya cewek kayak begitu dapat penolakan dari tunangannya sendiri?” Gesang menggeleng bingung. “Diselingkuhin pula.”
“Tunangannya tuh, udah bego, brengsek pula ya,” tambah Rajata.
“Tuh, lo semua setuju kan sama gue?” Yesa menunjuk semua wajah teman-temannya. “Memang agak perlu ditampol dikit otak tunangannya tuh.” Lalu, tanpa abal-abal, tangannya menampar pelan pipi Kama.
“Gue harap urusan Gege sama tunangannya cepet selesai deh.”
“Bener. Karena nggak enak banget mempertahankan hubungan cuma karena nggak enak sama keluarga.”
Yesa mengangguk. “Kalau bukan saudara gue, udah gue amanin tuh Gege dari dulu, gue kekepin buat gue sendiri.”
Dan ucapan Yesa tadi mampu membuat Kama menghentikan suara bising mesin pemotongnya hanya untuk memelototi laki-laki yang kini menatapnya dengan tampang selengekan itu. Kama menghentikan kegiatannya, dia melepaskan kacamata dan sarung tangan.
“Kok, berhenti, Ka?” tanya Yash.
“Nanti aja ngerjainnya, berisik.” Kama bergerak menjauh.
“Bukannya lebih berisik hati lo dari tadi?” tanya Yesa saat Kama sudah mengambil langkah keluar dari halaman posko menuju ke jembatan.
“Lho, mau ke mana, Ka?” tanya Rajata.
“Menyerahkan diri ke damkar?” Javindra menambahkan.
Tawa itu belakangnya meledak lagi.
Memang seharusnya Kama melakukannya sejak tadi. Karena kalau dia diam di sana, dia benar-benar akan semakin terpengaruh oleh semua perkataan teman-temannya. Bisa-bisa, bukan sekadar bangku yang berniat dia bantingkan ke wajah Axel. Namun, dia tidak punya alasan untuk melakukannya lagi. Dulu Axel mengganggu Gege sampai menangis, kali ini laki-laki itu justru hanya mengajak Gege bicara dan membuatnya sesekali tertawa.
Namun, Kama justru merasa lebih marah dibandingkan saat sekolah dasar dulu. Beruntungnya, kali ini dia memiliki pengendalian diri yang cukup bagus.
Kama berjalan di jembatan, melaluinya begitu saja sambil merogoh saku dan menemukan pemantik api serta rokok di sana. Dia harus mencari tempat untuk dirinya sendiri agar berhenti berpikir membantingkan bangku kayu ke wajah Axel.
Langkah Kama baru saja menjejak jalanan di sisi sungai saat ponsel di saku celana lain bergetar. Kama merogohnya, melihat nama penelepon.
Mia❤️
Tanpa banyak berpikir, Kama membuka sambungan teleponnya. “Halo, Mi?”
“Ka, Mia punya kabar mengejutkan!” Mendengar suara Mia, Kama hanya mengenyit. Padahal Kama belum menjawab pertanyaannya tadi, tapi Mia dengan cepat bicara lagi menjelaskan maksud ucapannya. Suara Mia yang terdengar bahagia itu, membuat kepala Kama semakin sakit saja.
Kama sampai memegangi kepalanya saat di seberang sana Mia tengah menjelaskan keberadaannya sekarang sebelum sambungan telepon terputus begitu saja. Bergegas tubuh Kama berbalik, kembali ke posko dengan langkah-langkah lebarnya yang terayun cepat.
Kemunculan Kama di halaman posko mengalihkan perhatian semua pasang mata. Langkah gegasnya membuat Yesa yang tengah membantu Javindra kini berdiri dan waspada. Sementara itu, Kama menghampiri Gege yang baru saja menoleh padanya setelah tertawa bersama Axel.
“Gue mau ngomong. Penting,” ujar Kama
Gege tidak langsung menjawab. Dia menoleh pada Axel. “Bentar ya, Xel.”
Axel mengangguk, membiarkan Kama membawa Gege melangkah ke sisi posko, ruang serupa lorong di antara dua bangunan posko dan rumah Mak Wasih. Membawanya ke area belakang dapur. “Kenapa, sih?” tanya Gege. “Ada apa?”
“Suruh cowok itu balik sekarang.”
Mata Gege membulat, jelas dia tidak terima dengan perintah itu. Wajahnya kini mendongak, menantang. “Apa hak lo nyuruh Axel pergi?”
“Mia dan Bubu udah dalam perjalanan ke sini sekarang.”
***
SIAPA MAU IKUT KE VILA LEMBANG KERAMAT MILIK JANARI? WKWKWK.
ADDITIONAL PART TENTANG VILA LEMBANG INI UDAH ADA KHUSUS DI KARYAKARSA YAAA. SAMPAI BERTEMU DI KARYAKARSA BERSAMA PARA IBU REMPONG DI SANA DAN KAMA GEGE JUGA YESAAA 😋

SAMPAI KETEMU DI PART 22 SEMOGA BISA UP CEPETTT 🔥🔥🔥

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
