Hello, KKN! | [15. Tiba-tiba banget?]

526
137
Deskripsi

“Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!”

Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.

Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.

Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...

Hello, KKN! | [15. Tiba-tiba banget?]

post-image-6772977f78abf.png

Haiii. 🌼

 

 

Seneng nggak update lagiii? 😋

 

 

Harus semangat vote & komennya mumpung aku lagi rajin banget niiih pokoknya mesti dibakar ga mau tauuu karena ini 4000 kata lebih😆🔥🔥🔥

***

 

 

 

Gege harus menginap selama satu malam di ruangan sempit klinik itu untuk beristirahat dan diberikan obat secara intensif. Beruntungnya, kesehatannya membaik pada keesokan harinya dan dia diizinkan untuk pulang. Masih ada Kama dan Yesa yang menjaganya hingga pihak klinik mengizinkan Gege pulang pada pukul sembilan pagi, tentu saja setelah segala urusan administrasinya selesai. 

Tidak seperti biasanya, selama dua laki-laki itu membersamainya dari ruangan hingga melangkah keluar, mereka tidak banyak berbicara. Bahkan, tidak sama sekali? Biasanya, walupun Kama tidak akan begitu menanggapi, Yesa akan selalu mencari perhatian agar bisa mengajaknya bicara hingga Kama mengalihkan fokus padanya. Walaupun leluconnya jarang Kama tertawakan,  Yesa biasanya akan tergelak sendirian. 

Namun kali ini, berada di antara kedua laki-laki itu, terasa sepi sekali. 

Mobil sudah terparkir di halaman klinik, Gege dan Yesa mengikuti langkah Kama yang kini berjalan lebih dulu sambil memegang kunci mobil. “Lo sama Kama lagi ada masalah?” tanya Gege, menoleh, melihat Yesa yang kini baru saja mengalihkan perhatian dari layar ponselnya. Masih ada sedikit terlihat bekas memar di tulang pipi kirinya. “Lo berdua berantem?” 

Yesa menggeleng. “Dikit,” jawabnya.

“Gara-gara gue?” 

Yesa menggeleng lagi, responsnya cepat sekali kali ini, seolah-olah tidak ingin membuat Gege merasa bersalah. “Bukan, bukan gara-gara lo,” ujarnya. Akhirnya dia bicara juga. “Gue dan Kama memang berantem, tapi nggak ada hubungannya sama lo. Ini karena ... sikap Kama yang nyebelin dan keras kepala,” jelasnya.

“Tapi pemicunya tetap gue, kan?” 

“Bukan gue bilang, bulan karena lo.” Yesa lagi-lagi meyakinkan. “Ini cuma karena sikap dia yang konyol dan gue yang udah muak banget. Jadilah ... tragedi semalam.”

Mereka telah tiba di dekat mobil, di mana langkah Kama terhenti. Sehingga, percakapan di antara Gege dan Yesa juga harus berhenti. Di sana, Kama sudah lebih dulu membukakan pintu penumpang di samping jok pengemudi. 

“Ka, semua biaya administrasi, nanti gue ganti.”

“Nggak usah,” jawab Kama. 

“Tapi masalah Bubu dan Yaya yang—“

“Kalau lo nggak mau Bubu dan Yaya tahu tentang apa yang terjadi semalam, berarti lo harus setuju untuk nurut sama gue selama KKN,” ujar Kama.

Gege mengernyit. Tidak terima, tapi dia belum sempat mendebat karena selanjutnya Kama kembali bicara. 

 “Lo harus dengerin semua yang gue bilang dan nggak punya hak untuk ngebantah-bantah lagi. Kalau ada hal—aturan gue—yang nggak sesuai sama mau lo, tinggal bilang, tapi dilarang untuk ngajak berantem,” lanjutnya.

Gege menghela napas. “Lho, nggak bisa gitu—”

Kama mengeluarkan ponselnya. “Gue telepon Yaya.” 

Gege berdecak, merebut ponselnya. 

“Deal.” Kama mengulurkan tangannya dan Gege hanya menamparkan ponsel milik Kama ke telapak tangannya daripada memilih untuk menjabat tangan. Lalu, “Naik.”  Tangan Kama membuka pintu mobil lebih lebar. “Duduk di depan, gue nggak mau jadi sopir,” ujarnya.

Gege mengernyit. Melihat Kama yang kini berlalu ke jok pengemudi, sementara Yesa memilih duduk di jok belakang sendirian. Oke. Terlalu cepat untuk mengawali hari dengan perdebatan. Jadi, Gege memutuskan untuk menurut dulu dan  duduk di samping jok pengemudi. Membiarkan perjalanan itu hening tanpa sedikit pun suara. Sehingga, perjalanan itu terasang sangat panjang ... sekali. Gege beberapa kali mencoba mengalihkan perhatian, tapi tetap merasa tidak nyaman. Demi Tuhan, apa yang terjadi di antara dua laki-laki menyebalkan itu sih sebenarnya?

Mereka tiba setelah melalui perjalanan sekitar tiga puluh menit. Mobil memasuki jalan menuju posko, melalui jembatan hingga tiba di halaman posko yang kini diisi oleh orang-orang yang tengah sibuk. 

Saat mobil tiba, Javindra dan anggota laki-laki lain yang tengah mengerjakan program kerja alat bakar sampah, menghentikan kegiatannya. Para anggota perempuan berlarian dari dalam posko. “Gege!” Teriakan disertai langkah-langkah ricuh itu terdengar di lantai kayu beranda. 

“Gimana keadaan lo?” 

“Kok, bisa semalam nggak bangunin kita?!”

“Sekarang udah baikan, kan, Ge?”

“Alergi lo kambuh, ya?”

“Tuh kan, Lo sakit gara-gara alergi, makanya gue nggak percaya waktu Javin bilang lo pingsan karena mabuk Stella jeruk di mobilnya Kang Faldi.”

“Dongo emang Javin,” umpat Keiya. 

“Sak, thanks ya.” Kama mengangsurkan kunci mobil pada Sakala, berlalu begitu saja meninggalkan teras untuk melangkah ke dalam rumah. 

Di sana, Yesa menunjuk mobil yang terparkir di halaman. “Sak, sori ya, kalau ada sedikit lecet atau baret. Semalam gue panik banget dan nggak terlalu merhatiin ranting-ranting pohon yang muncul dari semak-semak.”

“Kalau lo mau minta duit ganti, sama gue aja, Sak,” tambah Gege.

Sakala menggeleng. “Udah si, santai. Lagian, ngapain minta duit ganti? Buat benerin mobil? Yaelah .... Minta ganti baru lah ....” 

Yesa tertawa. Lalu menepuk-nepuk pundak Sakala sambil berlalu. Setelahnya, Yesa melangkah masuk tanpa banyak bicara. Seolah-olah, tatap teman-temannya yang ada di beranda sedang begitu dia hindari sekarang. Tanpa dia sadari, justru tatap semua teman-temannya kini terarah pada kepergiannya. Menyelidiki.

“Menurut gue mah ... Yesa nginep di rumah Mak Wasih dulu nanti malam, melihat keadaan semalam,” ujar Gesang.

“Semalam kenapa, Ges?” tanya Gege. 

“Ada singa.” Javin melotot-melotot. “Ngamuk.” Dua tangannya membentuk cakar, membuat Gege mengernyit. 

Javindra mendapatkan sikutan kencang dari Yash. “Nggak apa-apa, semalam cuma ... pada panik aja, jadi pada nggak santai ngomongnya.” Yash berdeham. 

Javindra mengangguk. “Tapi aman kok semalam di sini, jadi luka memar mereka berdua, kita semua nggak ada yang tahu. Hehe.”

“Eh, udah—ayo siap-siap, pagi ini kan kita udah janji mau bantu rewang di rumah Pak Kades,” ujar Juana berusaha membubarkan kerumunan di beranda. 

“Lo jangan ikut dulu ya, Ge. Lo istirahat aja dulu di posko,” ujar Cleona. “Kita semua bisa handle acara ini kok.”

“Semangat-semangat, numpang makan kita!” teriak Javindra. “Waktunya numpang makan tanpa lauk tempe-tahu seperti biasa,” lanjutnya. Mendengar hal itu, para anggota laki-laki tertawa.

“Bisa-bisa balik ke rumah gue fobia tempe-tahu lah ini anjir,” timpal Rajata.

Gesang mengacungkan jari. “Menu pagi, tempe mendoan. Siang, tempe kecap. Sorean, tempe orek. Makan malam tahu buncis. Besoknya lagi tahu telur, siangnya tempe orek. Malamnya tahu goreng biasa. Terus—“

“Sumpah ya, ini tuh karena pasarnya jauh makanya gue nggak bisa berkreasi selain tempe-tahu!” Juana  tertawa, tapi tiba-tiba melangkah maju di antara kerumunan laki-laki hendak memukul Gesang. “Lo bisa nggak jangan protes?!”

“Lho, bukan gitu, Jua. Kita cuma absen masalah menu makanan. Bukan protes,” elak Javindra. “Kita tahu proker lo untuk anggota KKN lo di posko, Jua. Empat sehat, lima stunting, kan?”

Hal itu membuat Juana berteriak dan hendak berlari ke arah Javindra yang kini melompat dan berlari untuk masuk ke posko. “Besok-besok, lo yang belanja ya, Javinnn!” teriak Juana. 

Kericuhan itu berhenti saat Kama memberi instruksi kepada semua anggotanya untuk bersiap-siap. “Pak Kades udah nunggu kita buat bantu acaranya,” ujarnya sambil mengotak-atik HP. “Barusan telepon.” Hal itu membuat kerumunan di beranda bubar. 

Para anggota perempuan yang sudah selesai mandi menyerahkan kekuasaannya atas kamar mandi kepada para anggota laki-laki. Kini, Gege ikut duduk di antara anggota perempuan yang tengah sibuk bersiap-siap untuk pergi ke rumah Pak Kades, di dalam kamar tidur perempuan. 

Sekarang Hari Minggu, seharusnya mereka punya hak untuk melakukan bebas tugas atas semua program kerja yang mereka emban. Mereka boleh untuk tidak melakukan apa-apa seharian, boleh pergi dari posko untuk cari udara segar, boleh juga pulang ke Jakarta jika sanggup Senin pagi sudah kembali ke posko. Itu kesepakatannya dengan Kama saat pertama tinggal di Welasasih.

Namun, untuk satu hari ini, mereka tidak bisa menolak. Pak Kades meminta bantuan mereka untuk datang ke acara acara khitanan anak laki-lakinya. Jadi pagi itu, keadaan posko sudah ricuh saja. 

“Lo nggak apa-apa kita tinggal, Ge?” tanya Cleona yang tengah menyisir rambutnya. Masih mengenakan tank-top, belum memilih pakaian apa yang layak untuk dikenakan di acara resmi. Lagi pula, siapa yang menyangka mereka akan menghadiri acara kondangan seperti ini, sih?

“Gue nggak apa-apa .... Justru, emangnya nggak apa-apa kalau gue sendiri yang nggak ikut?” tanya Gege.

“Nggak apa-apa lah, lo kan lagi sakit,” balas Juana.

“Obat alergi lo ada?” tanya Samira. “Jaga-jaga kalau nanti kambuh lagi, tapi ya mudah-mudahan jangan.”

“Ada kok.” Gege tidak pernah meninggalkan obat alerginya barang sedikit pun. Selalu tersedia di dalam tasnya, dia bawa ke mana pun dia pergi. Hanya saja, semalam dia tidak bisa mengatakan apa pun untuk memberi tahu Kama atau Yesa, dan dua laki-laki itu terlanjur panik. “Kalian tenang aja.” 

“Eh, gimana semalam jalan sama Kang Faldi?” tanya Cleona. “Lo belum cerita apa-apa ya!” 

“Lo utang banyak cerita sama kita, Ge!” Keiya tidak kalah menuntut.

Gege tertawa. “Cuma gitu doang .... Gue cuma diajak lihat bendungan di atas saung terapung gitu, terus—“

“Iiih, serius? Sweet banget, mana malam-malam lagi! Pasti bagus deh tempatnya!” Sabine cemberut. “Terus, terus, lo ngapain lagi?” tanyanya, wajahnya berubah antusias hanya dalam seperti sekian detik. “Ditembak nggak?” 

“Ish, kecepetan nggak siii?” serang yang lainnya. 

“Baru juga kenal, Bine,” tambah Samira. 

Sabine berdecak. “Lho, ya nggak apa-apa! Lagian kalau sama-sama suka, ya kenapa nggak langsung pacaran? Apalagi yang ditungguin? Waktunya lo balas kelakuan setan tunangan lo itu.” ujarnya. “Ngobrol, cocok, tembak, pacaran, ciuman. Beres. Nikah, pakai piyama Minji—“ 

“Otak lo nggak beres anjir.” Cleona geleng-geleng.

“Kebelet lihat Gege pakai siger Sunda nggak siii?” Sabine tertawa, yang segera dibungkam oleh Samira. 

“Kang Faldi belum tahu ya keadaan lo semalam?” tanya Juana.

“Eh, jangan ada yang kasih tahu, ya!” ujar Gege dengan raut meringis, sedikit memohon. “Gue nggak enak, sumpah deh. Kalau sampai dia tahu gue sakit gara-gara habis jalan sama dia.” Semalam, Gege bilang untuk tidak dipesankan segala jenis makanan ikan laut, tapi dia disodorkan sepiring bola-bola gurih yang dia habiskan bersama Yesa. 

Gege mencurigai makanan itu yang membuat alerginya kambuh semalam. Mungkin makanannya mengandung ikan laut? Yang jelas, Kang Faldi tidak bisa disalahkan saat itu.

“Baiknya sih gitu ya, nggak ada yang bahas masalah ini di depan siapa pun,” ujar Cleona. “Melihat situasi antara Yesa dan Kama yang sepertinya masih panas.” 

“Eh, nah, itu juga yang bikin gue penasaran.” Sabine bergerak maju mendekat pada Gege. “Mereka berantem, ya?” 

“Gue nggak tahu, pas gue bangun mereka udah begitu.” Gege mengangkat bahu. Ternyata, yang menyadari tingkah Kama dan Yesa, juga memar di wajah mereka bukan hanya dirinya. Semua orang bisa melihat hal itu dan berasumsi sendiri. 

“Kenapa mereka harus berantem, ya?” tanya Keiya.

“Ya karena Kama marah lah, Yesa nggak bisa jagain Gege!” Sabine lagi-lagi sok tahu. “Memangnya lo nggak ingat? Kan yang punya ide supaya Yesa ikut tuh Kama.” Dia berdecak. “Sekarang lo semua percaya sama gue? Kalau Kama suka sama Gege? Perhatiannya tuh kentara banget, kayak ... natural aja gitu.” 

“Halah ....” Gege muak sekali dengan dugaan itu.

“Heh, nih anak, malah halah-halah aja!” 

Akhirnya Gege menyerah dan keluar dari ruangan itu. Lama-lama mendengarkan pembicaraan orang-orang yang menjadikannya topik utama, membuatnya khawatir juga. Karena, hubungannya dan Kama harus tetap disembunyikan, tidak boleh ada yang tahu hingga keduanya nanti benar-benar berakhir menjadi sekadar asing, beruntungnya menjadi teman.

Gege melangkah keluar, dia mengenakan cardigan kuning rajutnya, melihat para laki-laki sudah siap dengan kemeja-kemeja batik dan almamater yang mereka jinjing. Penampilan mereka sudah tampak rapi walau menjadi yang terakhir menguasai kamar mandi. 

Mereka tengah menunggu di beranda. Memaksa Zale untuk membuat konten tentang anggota laki-laki KKN 111. “Gue jamin ini bakal ditonton tiga puluh dua juta kali!” ujar Javin. Dia dendam sekali karena konten membuat alat bakar sampahnya tempo hari hanya ditonton sebanyak tiga puluh dua ribu kali. 

Para lelaki itu berbaris rapi di halaman. Dan Gege meminta ponsel milik Jenggala. “Sini gue yang videoin.” Di sana, hanya ada tujuh anggota laki-laki. “Mau nunggu Yash sama Kama nggak?” 

“Yassshhh!” teriak Javindra. Lantang sekali. “Yash buruan jangan galau terus deh! Nanti kita bantu jelasin sama cewek lo kalau lo nggak cinlok di sini!”

“Yash, tuh emang beneran cinlok anjir,” ujar Gesang sambil menoleh pada Javindra. “Sama Sindy.”

Tidak lama, kucing gemuk itu berlari menghampiri para laki-laki yang sudah berbaris. “Tuh kan, datang dia.” Zale tertawa sambil menunjuk Sindy. 

“Cie yang mau dibawa ke Jakarta.” Jenggala membungkuk untuk menyentuh kepala Sindy. “Bentar lagi mau dikenalin ke calon mertua ya kamu?” 

“Kalau udah jadi penduduk Jakarta, kamu mintanya Royal Canin ya, Sindy,” ujar Yesa.

“Iya, lah, udah nggak level sama cue keranjang ya, Sin?” timpal Zale. 

Tidak lama, Yash dan Kama keluar dari posko sambil mengancingkan lengan kemeja batik mereka, satu per satu turun dari beranda untuk berbaris di halaman bersama yang lainnya. Setelah semua bisa dikondisikan, Gege mengambil video sesuai dengan permintaan para laki-laki itu, berkali-kali. 

Karena Javindra atau Gesang beberapa kali akan menyuruhnya mengambil dari sudut berbeda. “Sekali lagi Ge, dari dekat rumah Mak Wasih.” 

“Nah, sekarang dari samping pohon ceremai.”

“Dari teras, Ge.”

“Sekali lagi, Ge. Guenya jelek.” 

Hingga Kama bilang, “Sekali lagi udah. Kasihan dia, masih sakit.”

Namun, Gege melangkah menjauh untuk mengambil video sekali lagi. “Nggak apa-apa, sekali lagi ayo.”

Beberapa video berhasil tersimpan di ponsel Jenggala. Saat Gege tengah memeriksa video itu, Yesa mendekat untuk ikut melihat hasilnya. Dan dari sisi lainnya, Kama juga mendekat.

 “Lo nggak apa-apa sendirian di posko?” tanya Kama. 

Gege mengangguk. Tanpa menoleh, dia masih melihat hasil video yang diambilnya. “Nggak apa-apa.”

Kama berbicara lagi. “Kalau ada apa-apa, nanti lo tinggal—“

“Telepon gue,” ujar Yesa. 

Gege mendongak. Menatap Kama dan Yesa bergantian. “Iya, nanti gue telepon lo kalau ada apa-apa.” Sambil menatap Yesa. 

Kama hanya mengangkat alis, setelah itu langkahnya menjauh, dan di samping Gege kini Yesa tampak puas. 

Keadaan para laki-laki itu kembali ricuh karena Jenggala kembali berteriak. “Bayarin iCloud gueeee wooooiiii!” Dia tampak putus asa. “Rajata? Plis anggarin buat bayarin iCloud Jenggala!” 

Rajata menggedikkan dagu pada Kama. “Lo minta sama Kama lah, kalau permintaan Lo di-ACC, ya gue tinggal nyuruh Keiya ngasih lo duit.”

“KAAA, PLISSS, KAAA.” Jenggala kini memohon pada Kama. “HP gue udah ngek-ngekan karena konten KKN apa lo nggak kasian?” 

“Nanti lah, kita bahas pas eval—wei, ini kita jadi berangkat nggak, sih?” tanya Kama. Para anggota perempuan sama sekali belum ada yang keluar.

“Sayangku? Juaaaa?” Teriakan Zale membuahkan hasil, Juana keluar ruangan dengan langkah setengah berlari. 

“Sayang, aduh.” Juana yang tengah menggunakan eyeliner sambil berdiri berbicara pada Zale. “Tiba-tiba hidungku gatel, garukin.” Dan tentu saja, Pasangan Matahari, atau entah apa kita harus menyebutnya, menurut. Zale menggaruk-garuk kecil hidung Juana dengan telunjuknya.

Cleona menyusul keluar dengan beberapa anggota perempuan lainnya. Hanya Sabine yang masih tertinggal di dalam, membuat semua bertanya akan keberadaan gadis itu. “Masih bingung milih baju dia,” ujar Cleona. “Stres katanya, nggak punya baju, bajunya abis.”

“Bineee, bawa dua koper tetap bilang nggak punya baju?” Rajata berteriak. Oh, anggota KKN 111 memang jagonya kalau masalah berteriak. “Tobat kata gua mah, Bineee.”

Yang diteriaki santai saja, melangkah keluar posko sambil bercermin di cermin saku yang dibawanya. “Sabar, donggg.” Sabine melotot. 

Sementara itu, Cleona yang tengah mengenakan sepatunya, berbicara pada Gege. “Lo nggak apa-apa kan, Ge, sendirian di posko? Kita nggak lama kok,” ujarnya. 

“Iya, nggak apa-apa.” Gege duduk di bangku kayu yang ada di beranda, menyaksikan teman-temannya yang hendak pergi. 

“Atau, lo mau kita teleponin tunangan lo biar dia datang ke sini?” tanya Juana. “Harusnya sih lo kabarin dia ya, tentang keadaan lo yang sakit dan nggak baik-baik aja—“

“Eh iya tuh. Ini bisa ngetes seberapa sayangnya dia sama lo—atau justru seberapa bajingannya dia dalam hubungan ini,” ujar Cleona berapi-api sekali. “Karena kalau dia nggak ke sini setelah kita kasih tahu keadaan lo, fix sih, dia bajingan banget. Gue yang telepon deh! Gue dramatisir sedikit bisa lah. Mana sini nomornya?!” 

***

Untungnya, Gege berhasil meredam ide gila Cleona yang akan menelpon tunangannya itu. Walau setelahnya, umpatan Cleona terdengar. “Gila ya, jadi sekalipun di telepon, tunangan lo itu nggak akan datang? Serius Si Bajingan itu punya cewek lain berarti, Ge. Gue sih kasih tahu ya untuk jangan pikir dua kali buat mutusin dia. Laki-laki nggak tahu diri kayak dia mestinya langsung ditinggalin.”

Yesa diam-diam tertawa.

Gege hanya meringis.

Sementara Kama hanya menyaksikan dan mendengarkan Cleona yang terus mengoceh.

Oke. Sekarang Gege sudah sendirian di posko. Kericuhan dan kebisingan tadi sudah lenyap. Kini, berganti dengan suasana posko yang hening, sunyi, Gege juga sempat membersihkan posko sehingga keadaannya kini cukup rapi. 

Gege duduk di beranda, kakinya terjulur ke tanah, digoyang-goyangkan. Dia melihat ke arah rumah Mak Wasih yang sepi, sejak pagi wanita bertubuh ringkih itu sudah pergi ke ladang, tidak tahu keadaan Gege, tidak ada yang memberi tahunya, dia tidak boleh tahu.  Gege selalu tidak sabar menunggunya pulang. Melihat apa yang dibawanya untuk nanti diolah menjadi makanan. 

Jika duduk di beranda sendirian—tanpa kebisingan, ternyata Gege bisa mendengar suara deras aliran air sungai di depan halaman. Menenangkan. Wajahnya kini menengadah, pada keadaan awan yang mulai bergerak rendah. Sudah memasuki bulan September, mungkin ke depannya sesekali hujan akan datang. 

Gege tengah menatap ke kejauhan saat ponselnya berdering. Di sana, dia melihat nama Kale. Bibirnya tersenyum, gerak tangannya cepat menerima panggilan itu. 

“Halooo?” sapa Kale dari seberang sana. “Katanya sakit ya kemarin?” 

Lho, dia tahu?

 “Kama ngabarin aku semalam, Kak. Katanya alergi kamu kambuh?” 

“Dia bilang sama kamu?” tanya Gege.

“Iya. Sambil panik.” Kale tertawa-tawa. “Katanya, ini pertama kalinya dia lihat kamu nangis lagi, setelah sekian lama. Panik banget dia, Kak. Serius.” 

Gege melepaskan tawa kecil. “Halah, panik karena takut ketahuan Mia-Pia dia, takut disalahin.” 

“Tapi sekarang keadaan kamu gimana, Kak?” 

“Baik. Udah baikan. Aku lagi istirahat di posko sendirian. Soalnya yang lain lagi ada kegiatan.”

“Oh, bagus deh. Istirahat ya, Kak. Jangan kecapekan. Biar aku nggak denger Kama panik-panikan lagi karena jujur, kocak banget dia.” Kale tertawa. “Mungkin selama ini dia berpikir kalau kamu selalu baik-baik aja ya, Kak? Kayak ... nggak pernah kekurangan sesuatu apa pun, ada atau pun tanpa adanya dia, you’ll be fine gitu. Tiba-tiba dia lihat kamu semalam nangis, dia syok. Padahal dia nggak tahu, kamu ya masih Gege yang dia kenal dulu, Gege yang kecil, yang perjuangin Kama sebagai kebahagiaannya di saat Kama yang brengsek itu memilih Laika. DUH KELEPASAAAN. HAHAHA.”

“Masa-masa itu udah lewat ya, Le!”

“Walah serius? Jadi dong move-on sama aku kalau begitu?” Kale kembali tertawa. 

“Nggak usah sok-sokan, nanti aku dilabrak lagi sama cewek-cewek kamu di DM.” Gege memasang wajah sinis seolah-olah Kale bisa melihatnya. “Tapi Le, serius. Aku kayaknya udah berhasil realistis untuk nggak berharap sama dia lagi.”

“Lewat cara membenci? Even deep down nggak bisa seratus persen benci, ya?” tanya Kale. “Karena terakhir kali kita ketemu, kamu masih ngajak buat makan sushi. Hahaha.”

“Itu biar dia berhenti nanya aja sih mau makan di mana.”

“Ya, ya ....” Setelah tawanya reda, Kale kembali bicara serius. “Semalam dia bilang juga, kalau kamu sakit gara-gara habis jalan sama cowok. Memang dia berusaha untuk nggak nunjukin kalau dia tuh ... kesel ya. Cuma aku tahu tuh, hati mungilnya tersentil karena masalah itu. Aku jadi berpikir, justru selama ini yang punya obses cinta masa kecil tuh dia ke Laika, Kak. Bukan kamu ke Kama. Karena dia tuh sampai sekarang kayak belum tahu hatinya sebenarnya mau ke mana.”

“Dia tahu, Le.” Gege berjalan di halaman untuk mengambil sapu lidi.  “Dia tahu hatinya mau ke mana. Berkali-kali dia bilang, dia mau Laika.”

Kale, seperti biasa, hanya tertawa. Sebelum akhirnya percakapan mereka benar-benar berakhir dan membuat Gege memasukkan ponselnya ke saku cardigan, karena kini dia mulai membersihkan daun kering di halaman dengan sapu lidinya. Tidak berlangsung lama kegiatan itu, karena dari kejauhan, dari jembatan menuju posko, Teh Lilih tampak berjalan sambil menjinjing satu kantung yang entah berisi apa, dan Mina yang berada di gendongan kain jariknya.

“Teh Gege, duh, maaf saya ganggu ya?” tanyanya. Teh Lilih selalu bicara dengan nada yang rendah dan penuh rasa bersalah, pandangannya tertunduk saat bicara. “Ini, ada keripik ubi—banyak ubi kemarin baru panen dari kebun. Saya ingat sama A Kama dan A Javin, udah bantuin benerin mesin air, tapi saya belum bisa kasih apa-apa sebagai ucapan rasa terima kasih.”

“Oh—aduh, banyak banget, makasih, Teh.” Gege menerima kantung kresek besar itu “Lagi pada nggak ada di posko Teh, ikut rewang di Pak Kades.”

“Oh .... Iya ....” Teh Lilih tidak lekas pergi saat Gege mengajaknya duduk di beranda rumah, sementara Mina sudah beralih ke pangkuan Gege sekarang. “Terima kasih ya, Teh Gege. Aa dan Teteh KKN di sini banyak sekali membantu warga.” 

“Itu memang tugas yang kami harus kerjakan, Teh.” 

“Saya percaya kok, selain karena memang tugasnya, Aa dan Teteh KKN di sini tulus semua,” ujarnya. “Karena kan ... pasti bantu memperbaiki mesin air saya bukan termasuk ke dalam tugas.” Teh Lilih meringis, lagi-lagi wanita itu memasang wajah merasa bersalah.

Keberadaan Teh Lilih di sana, cukup membantu Gege mengusir kesendiriannya. Karena hingga suasana berubah menjadi sangat gelap walaupun masih siang karena mendung, Mak Wasih belum kunjung pulang. 

Di selang waktu bersama, Teh Lilih mulai nyaman bercerita tentang Welasasih, tentang pendidikannya, tentang kehidupannya sedikit-sedikit. Takjub sekali Gege mendengar wanita itu banyak bicara. Sampai akhirnya, Teh Lilih berkata, “Teh Gege ... pernah kepikiran untuk mengakhiri hidup nggak?” tanyanya. Dia langsung tersenyum pahit. “Aneh ya kalau saya nanya begini?”

“Nggak kok ....” Gege berkali-kali pernah mendengar pertanyaan itu, atau pernyataan semacamnya saat praktek konselor. Gege tersenyum. “Teteh pernah berpikir demikian?” 

“Sering.” Kembali Teh Lilih menyamarkan perihnya dengan seulas senyum. “Kayak ... beban sekali hidup saya bagi orang lain. Nggak ada gunanya juga.” 

“Teteh tahu nggak, hal paling berani yang dilakukan seseorang adalah melanjutkan hidup ketika ingin mati.” Gege tersenyum. “Hebat sekali Teteh, pemberani.”

“Karena ... saya masih berpikir tentang Mina, tentang Emak—ibu saya, yang sekarang sakit-sakitan dan menggantungkan hidupnya pada saya.”

Gege mengangguk. “Semoga Teteh nggak pernah lelah terus mencari alasan untuk hidup, sekecil apa pun alasan itu, ya?”  Gege menunggunya bicara, tapi Teh Lilih masih tampak ragu untuk kembali bersuara. Apa alasan yang membuatnya ingin mengakhiri hidup? Yang membuatnya merasa tidak berguna? “Aku bisa menjadi pendengar yang baik untuk Teteh, kalau Teteh butuh teman untuk bicara.”

“Senang sekali mendengarnya,” ujar Teh Lilih, senyumnya menghasilkan mata yang berkaca-kacam. “Karena selama ini Saya terbiasa baik-baik saja tanpa bercerita.” 

Gege balas tersenyum. “Sekarang Teteh tahu, kalau Teteh punya teman yang akan mendengarkan dan nggak menghakimi.” 

Teh Lilih mengangguk. “Terima kasih ya, Teh Gege,” ujarnya. “Mungkin lain kali ...  saya akan ganggu waktu Teh Gege dengan cerita saya.”

“Dengan senang hati, Teh. Kapan pun, ya.” Gege menyerahkan Mina pada ibunya yang kini sudah mengembangkan payung karena gerimis mulai datang saat dia membawa Mina ke dalam gendongan kain jariknya. “Saya pulang dulu ya, Teh. Kalau ada waktu, Teh Gege main-main ke rumah, ya?”

Gege mengangguk. “Siappp!” Dia senang sekali karena dibukakan jalan untuk berteman. Tangan Gege melambai pada Mina yang kini balas melambai kecil padanya sambil berucap “Tata ....!” [Dadah!”.

“Dah, nanti main lagi, ya!” balas Gege. 

Teh Lilih berjalan tergesa, melintasi halaman luas posko dan naik ke jembatan. Tubuhnya yang kurus dan rapuh itu pergi dengan terburu. Selalu seperti itu caranya bergerak, selalu tampak panik dan tergesa-gesa. Tanpa bicara, dia memberi tahu bahwa dunia terasa berat baginya. 

Gege tersenyum getie saat melihat terakhir kali punggung kecilnya yang hilang ditelan tikungan jalan kecil. Orang-orang seperti Teh Lilih, yang kadang dia temui saat tengah bertugas menjadi volunteer, adalah orang-orang yang banyak membuatnya malu jika terlalu banyak mengeluh. Kerikil kecil kehidupan kadang membuat manusia menangis, tanpa tahu di belahan bumi lain ada manusia yang tetap berjalan kuat walau ditempa bebatuan besar. 

Gege meninggalkan beranda. Menutup pintu dan jendela-jendela karena angin membawa baris-baris air hujan masuk ke rumah. Berjalan ke dapur, dia baru saja mengambil segelas air. Berjalan, hendak minum. Namun, langkahnya terhenti, tubuhnya berhenti bergerak. Dari arah luar ... kini terdengar seseorang tengah berusaha membuka pintu posko.

Seharusnya Gege melakukan gerakan cepat untuk bergerak lewat pintu belakang atau melakukan usaha apa pun untuk menyelamatkan diri dari penyusup yang datang di saat posko sedang sepi dan tidak ada siapa-siapa. Namun, Gege masih membeku, tetap berdiri di dapur sambil memandang ke arah pintu masuk posko. 

Dari pintu yang terbuka itu, kini Gege melihat seseorang bergerak masuk. Kama? Tiba-tiba banget pulang? Kama bergerak masuk sambil membuka kancing-kancing batik di dadanya. Tangannya menjinjing satu kantung kresek. Berjalan mendekat ke arah dapur dengan sesekali menyingkirkan air hujan yang membasahi rambutnya. Dia menyampaikan batik itu di kursi dapur begitu saja. “Gue terpaksa harus balik karena Pak Jafran telepon.” Dia menyebutkan nama dosen pembimbing lapangan. “Laporan mingguan kelompok kita belum di-submit,” ujarnya. Berjalan, melintasi dapur, menghampiri Gege, dengan selembar kaus putih dan jam tangan hitam yang tersisa di pergelangan tangan. Berdiri saling berhadapan, tangan Kama terangkat, menyentuh kening Gege dengan telapak tangannya. “Nggak demam lagi, kan?”

 

***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ini dia bukan alasan doang biar bisa dua-duaan di posko sama Gege kan? 😋

 

 

Siapa yang udah nggak sabar sama kelanjutannya angkat tangan? 😆🙌

 

 

 

Bakar dulu gasiii yang banyakkkk biar cepet ketemu part selanjutnyaa🔥🔥🔥🔥

post-image-6772978d36abe.jpeg

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Hello Kkn
Selanjutnya Hello, KKN! | [Additional Part 15 – Gerimis dan Posko 111]
1.5k
373
Haiii. Ini pertama kali ada momen berdua Kama-Gege setelah sekian lamaaa. Selamat membaca yaaa. XD
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan