Hello, KKN! | [10. Pertengkaan Pertama]

515
136
Deskripsi

“Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!”

Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.

Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.

Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...

Hello, KKN! | [10. Pertengkaan Pertama]

post-image-67655ba377710.png

 

Haiii🌸

 

 

Aku senang sekali bisa update lagiii dan mempersembahkan Kama Meheheh. 

 

 

 

Selamat membaca Si Ada Aja Tingkahnya ini yaaa. Jangan lupa vote dan komen yang banyaaak biar lancar updatenyaaa. 😆🌸

 

Tau nggak ini tuh ampir 4rb kata lhooo. jadi tolong banget ini mah harus dibakar 🔥🔥🔥

 

***

[uname dan posting-annya fake ya jangan dicari]


 

Sore itu, ada Mak Wasih yang berkunjung ke posko membawakan satu baskom pisang bungkus kukus. Suara sandal jepitnya saat melangkah terdengar mendekat, khas sekali, kali ini beliau mengenakan sandal baru, pemberian Gege. Saat menaruh wadah yang dibawanya di teras beranda, ucapan terima kasih terdengar saling bersahutan. Mereka tengah berkumpul setelah melaksanakan tugas-tugas dari rencana program kerja yang sudah disetujui oleh desa. Dan Mak Wasih masih ikut duduk di beranda menikmati keramaian di sana.

Kama baru saja kembali dari jogging sorenya sambil keliling desa. Kini, dia tengah melakukan sit-up dengan dua anak kecil yang kini memegangi lututnya. Mereka adalah Ana dan Nida, dua anak perempuan yang paling sering datang ke posko untuk bermain, terutama dengan Kama. 

Yash tengah berdiri di depan kran yang berada di depan posko. Membersihkan tangannya dari noda cat, hari ini pengecatan masjid sudah berjalan. Di sampingnya, ada seekor kucing yang mengikutinya sepulang dari masjid. Katanya, kucing itu tidak bertuan, dan para laki-laki di posko memanggil kucing itu dengan nama ‘Sindy’. 

Soalnya, “Betina nih kucing gue rasa, bulunya cantik banget,” ujar Gesang sok tahu. 

Yesa dan Javin sedang mengobrol berdua, membicarakan peogram kerja keduanya. Green House sudah mulai didirikan berkat bantuan beberapa warga. Sedangkan Javin, akan mulai membuat alat bakar sampah besok karena semua alat dan bahan yang dibutuhkan baru tiba. 

Zale dan Jengga, seperti biasa, sibuk dengan footage yang mereka pilih. Sakala dan Rajata baru selesai mandi dan bergabung di beranda. Hanya Gesang yang kini bergabung dengan para perempuan, duduk mengelilingi Mak Wasih. 

“Menurut Mak Wasih dia ganteng nggak?” Cleona menunjukkan foto Kang Faldi di ponselnya. Seperti biasa, setiap berkomunikasi dengan Mak Wasih, setiap anggota posko otomatis akan menoleh pada Gege, memintanya untuk menerjemahkan. 

Gege menunjuk Cleona. “Kata Ona”—kemudian satu telapak tangannya berputar di wajah, setelahnya mengacungkan ibu jari—“ganteng nggak?”

Mak Wasih terkekeh tanpa suara. Lalu mengangguk sambil memberikan gestur malu-malu,  memberikan gerak yang sama dengan yang Gege lakukan. Ganteng, jawabnya. Lalu, dua telunjuknya saling bertemu dan bergerak-gerak. Pacar Ona? tanyanya. 

Gege tertawa. “Mak Wasih tanya, itu Pacar Ona?” 

Dengan gerak cepat, Cleona mengibas-ngibaskan tangan. “Bukan, Mak.” Dari gerak tangannya, Mak Wasih mengerti karena kini Cleona menunjuk Gege. “Calon pacar Gege.”

Gege mengernyit, tapi juga ikut tertawa karena kini serbuan ‘Cieee’ dari teman-temannya terdengar. 

“Mak Wasih setuju nggak?” Cleona bertanya dengan gerak seadanya, dia hanya mengacungkan ibu jari sambil menunjuk Gege. “Kalau ini jadi pacar Gege?” 

Mak Wasih menatap Gege. Lalu tertawa sambil menutup wajahnya, hal itu membuat Gege ikut tertawa juga sambil memeluknya. Lucu sekali. 

“Mak Wasih setuju, kan?” tanya Cleona. Dia tiba-tiba menunjuk Kama, lalu mengacungkan dua ibu jarinya. “Kama aja setuju banget sampai ngasih jempol dua kali,” ujarnya. 

Suara itu membuat Kama menoleh. Dia baru selesai berolahraga dan kini tengah duduk di rumput dengan dua anak perempuan yang masih memegangi masing-masing satu lututnya. 

“Cowok-cowok di sini nggak ada yang bisa dipilih, Mak,” tambah Keiya. 

Gesang yang tengah duduk bersila sambil makan pisang kukus itu menyahut. “Nggak jadi pilihan juga nggak apa-apa, orang kita-kita lagi nggak nyaleg.”

“Eh, tapi lo semua menggilai Kang Faldi itu serius apa bohongan si?” Javindra sampai mempertanyakan ke-cegil-an para perempuan di posko. “Perasaan gantengan gue, kalau gue liat-liat. Dia berbalik, dan melihat pantulan bayangannya yang samar dari kaca jendela rumah. 

Tidak ada yang menanggapi ucapan para laki-laki itu, karena kini Cleona tengah mengajak semua teman perempuannya, termasuk Mak Wasih, untuk melakukan salah satu gerakan dari trend di TikTok. Tawa riuh sekali terdengar, sambil mencium tangan Mak Wasih berkali-kali, mereka meminta Mak Wasih untuk ikut bergerak sekali lagi. 

Itu adalah kegiatan mereka saat rehat sejenak di beranda sore hari. Karena pada malam hari, mereka memiliki jadwal rapat di balai desa untuk ‘rewang’. Rewang ini adalah tradisi gotong-royong yang dilakukan oleh masyarakat desa untuk membantu salah seorang warga yang akan memiliki acara besar. 

Kebetulan, Pak Kades akan membuat acara sunatan untuk anak laki-laki keduanya, sehingga mereka menggunakan balai desa sebagai tempat berkumpul. Pak Kades dan masyarakat Welasasih sudah banyak membantu program kerja yang dijalankan oleh KKN 111, jadi tidak ada salahnya mereka membalas kebaikan itu dengan ikut kegiatan rewang ini. 

Sore sudah berubah semakin gelap. Di beranda posko itu, ramai sudah lenyap. Hanya Yash yang kini tampak duduk sendirian di beranda untuk meladeni telepon pacarnya. Dari raut wajahnya, sepertinya dia tidak sedang menemukan kabar baik. Karena berkali-kali dia berbicara di telepon, “Oke. Jadi mau kamu sekarang gimana?”

Wow. Genting.

Para penghuni posko sudah antre mandi, sebagian lagi sudah bersiap untuk menuju balai desa. Keenam anggota perempuan sudah mengunci diri di kamar saat tengah berpakaian dan berdandan. 

“Zale ngambek sama gue sampai nggak mau bantu pasangin regulator gas gara-gara kita bahas Kang Faldi di grup,” ujar Juana sambil menepuk-nepuk make-up puff ke wajahnya. Dia sedang neratakan foundation. “Aneh, padahal responsnya harusnya biasa aja nggak, sih? Orang gue juga nggak tertarik.”

“Matahari Zale sedang terik-teriknya,” ujar Cleona. “Jadi panas banget.” 

Dan kata-kata itu membuat seisi kamar terkekeh. 

“Ego para cowok itu tersentil sekali sepertinya, tapi yah ... biasanya gitu nggak sih? Cowok tuh sensitif banget kalau dibandingin sama cowok berseragam?” tanya Cleona. “Tapi serius deh, tujuan gue bahas Kang Faldi di grup tuh cuma buat seru-seruan aja, sekalian bikin tuh cowok-cowok KKN untuk berhenti sok kegantengan anjir sampai nggak mau ditebengin motor segala.”

“Gue juga sih,” ujar Sabine. “Sejauh ini gue nggak tertarik pacaran sama Nanuna atau semacamnya .... Serius. Cuma seru aja nggak sih? Apalagi lihat Javin sewotin Keiya?”

“Ya kaaaannn ....” Cleona menunjuk semua wajah teman-temannya. “Gue yakin lo semua juga b aja sama Kang Faldi ini.” 

“Gue juga cuma iseng nyahutin gombalan Sabine sih,” ujar Samira. 

“Gue juga ....” Keiya mengangguk. “Eh, Javin sewot banget dong sampai sengaja telepon nyokap buat ngadu. Orang gila emang.” Keiya dengan kesal menutup pouch yang berisi alat make-up-nya. “Sampai nyokap gue telepon balik, katamya, Kei, kalau bisa sih ... nggak usah lah mengagumi cowok yang bahkan belum kamu kenal. Pokoknya, siapa pun cowokmya, harus kamu kenal baik-baik dulu orangnya.” Ucapan Keiya membuat semua orang di ruangan itu tertawa. “Javin nih kerjaannya nyari ribut doang.” 

Setelah tawa di ruangan itu mereda, Cleona kembali bicara. “Eh, tapi beneran lho, Ge, dia nanyain lo tadi siang!” Ucapan Cleona menghentikan gerakan tangan Gege yang tengah mengusapkan brush perona pipi. “Dan kalimatnya beneran sama kayak gitu. Teteh lucu yang giginya kayak kelinci. Dia kayaknya beneran naksir lo—seenggaknya, nandain lo lah.”

“Bilangin dong sama dia, Gege udah tunangan,” ujar Juana. 

“Iya lho, kayaknya kita harus berhenti cie-cie-in deh, nanti Gege baper beneran gimana?” tambah Sabine. “Harus hargain perasaan tunangannya Gege.”

Gege lanjut mengusapkan brush ke pipinya. “Tunangan gue brengsek kok.” Ucapan Gege membuat suara di kamar itu lenyap, para perempuan di sana tengah menatap ke arahnya sambil melongo mungkin. “Tunangan gue juga punya cewek lain. Jadi santai aja.” 

Satu hingga tiga detik, ruangan itu senyap sekali. Dan akhirnya. “Anjing.” Makian Juana terdengar. 

 ***

Saat para anggota perempuan baru keluar dari kamar, kesembilan laki-laki menyambut mereka dengan sorot mata yang gerah. Semua laki-kaki itu tampak sudah lama menunggu dengan jas almamater yang sudah dipakai, mereka  hanya duduk-dudul di ruang tengah. 

Gesang bahkan sudah membuka almamaternya dan menyampirkannya di pundak sambil main game. Tampak pasrah saja menunggu. 

Zale sudah tidur menelungkup di lantai kayu. 

“Haduh, Princess. Udah dandannya?” tanya Yesa dengan suara mencibir. 

Javin berjalan dari luar dengan Jenggala. “Kita nih udah habis rokok tiga batang buat nungguin kalian dandan doang tahu nggak?” Dia terlihat paling sewot. “Coba tanya Kang Faldi Kang Faldi itu, apa bisa dia sesabar kita?” 

“Kenapa bawa-bawa Kang Ganteng gue, sih?” Cleona senang sekali membakar sumbu pendek para laki-laki di sana. 

“Sayaaang.” Suara Jua membuat Zale bangkit dan duduk. 

Wajah Zale ditekuk. Benar, dia tampak kesal. Selanjutnya, Juana merayu, mengatakan banyak hal yang entah tentang apa karena kini suasana di ruang tengah itu menjadi sangat riuh. 

“Gue lagi nggak mau bawa motor Javin. Lagi males bawa motor gede. Tapi nggak mau juga dibonceng sama Gesang,” ujar Cleona. “Motor KLX-nya nggak ramah buat tete gue.” Kali ini dia berbisik, hanya bisa didengar oleh para perempuan. 

Sabine mengernyit. “Apa hubungannya motor Gesang sama tete lo sih, Na?” 

“Tete gue sakit tiap nemu polisi tidur sama jalanan jelek. Gue lagi haid soalnya.” Cleona meringis, mengeratkan jas almamaternya. 

“Tapi naik motor Aerox Jenggala juga nggak enak tahu,” ujar Samira. “Gue pernah nebeng, kan. Tinggi banget joknyaaa. Buat yang kentang kayak gue, bikin berasa duduk di atas awan. Berasa deket ke surga gue.” 

“Iya, mana susah banget naiknya kayak mau panjat pinang,” tambah Sabine. 

“Terus joknya lebar banget. Itu memang konsepnya begitu, ya? Pas turun paha gue berasa long distance relationship,” tambah Samira. 

Gege tertawa. “Paling aman naik Vespa matic Yesa sih emang.” 

“Nah, mana motor yang aman tuh Cuma punya Yesa!” Sabine mencebik. 

“Waduuuh.” Yesa bertepuk tangan sambil menatap ke arah Gege. Sengaja melirik Kama yang berdiri di sisinya, dia kembali berbicara. “Gege udah siap banget, mau ke mana sih, Ge?” Dia memang rajanya masalah mencibir orang. “Biasanya nggak setebel itu blush on-nya, Ge? Eyeliner-nya juga sengaja dipanjangin gitu, ya, biar cetarrr?” 

Kening Gege mengernyit. “Ih, emang begini biasanya, bego.” Suaranya pelan, tapi wajahnya pasti tampak mengerikan sekali sekarang. 

“Nggak, nggak.” Yesa menyikut Kama. “Biasanya nggak se-dangdut itu dandanan lo.”

“IH, APANYA YANG DANGDUT, SIH?” Gege tidak terima. 

“Gue lihat juga tadi lo sampai mangap-mangap sambil pakai maskara.” Padahal pintu kamar perempuan ditutup saat dia berdandan, mana bisa Yesa lihat? Kompor banget memang dia tuh. “Tuh, Ka. Lihat lipstick-nya merah banget beda dari biasanya. Semangat banget mau ketemu Kang Faldi.”

Gege sudah bersiap mengejar Yesa, tapi Yesa berlindung di balik tubuh Kama. 

Dan di saat yang tengah ribut itu, Kama menepuk tangan dua kali. Dan ajaib sekali, karena tingkahnya itu bisa membuat riuh di ruangan itu reda. “Evaluasi hari ini kita lakukan setelah pulang rapat dari desa ya, jadi nanti nggak ada yang pergi ke mana-mana dulu atau tiduran di kamar karena alasan capek. Balik dari balai desa, semua langsung ngumpul di ruang tengah.”

“Oke.” Sahutan-sahutan itu terdengar patuh. 

“Gege nyahutnya kenceng banget, deh. Paling semangat,” celetuk Yesa lagi.

Kali ini tidak ada ampun, saat Yesa lengah Gege merenggut kerah kemejanya, membuat laki-laki itu keluar dari tempat bersembunyinya di belakang tubuh Kama. 

Ribut lagi keadaan di sana sebelum mereka berangkat. Yesa sempat kabur, dan Gege mengejarnya keluar pintu. 

Langkah temannya yang lain kini ikut terayun ke arah luar diiringi tawa. Namun suara Juana terdengar menahan langkah-langkah mereka dan membuat semua menoleh ke belakang, pada Juana dan Zale yang masih duduk bersila di lantai kayu, saling berhadapan. “Aduh, Sayang. Zale. Mataku sakit!” Hal itu membuat Zale panik, raut marahnya tiba-tiba hilang digantikan cemas.

Silent treatment Zale runtuh. “Mana sini aku tiupin?” 

Saat wajah Zale mendekat, Juana sengaja mendekatkan wajahnya pada bibir Zale hingga sebuah kecupan mendarat di pipinya. Juana menunjuk wajah Zale. “Cieee. Udah nggak marah. Udah cium aku.” 

***

“Neng Onahhh.” 

“Neng Oon.”

“Neng Oon Onahhh.” 

Suara itu menyambut kedatangan mereka yang baru saja memarkirkan motor di depan sebuah warung di balai desa. Para warga tengah berkumpuk dan duduk-duduk di balai bambu di depan warung yang bangunannya terbuat dari kayu. Ada satu lampu yang pendarnya temaram menerangi mereka, ibu-ibu yang tengah menggunting kertas warna-warni itu. 

Neng Onah bade ka desa?” 

[Neng Onah mau ke desa?]

Muhun, Ibu.” Cleona mengangguk, menyalami ibu-ibu itu, diikuti yang lainnya. “Lagi pada bikin apa ini?” 

“Lagi guntingin kertas wajit. Besok mau bikin buat hajatan Pak Kades, jawab salah satu ibu. “Nanti Neng Onah ke sini ya buat nyobain wajitnya.”

“Boleh, Bu.”  Tidak lama, Cleona berbalik, sengaja melihat ke arah salah seorang pria sepuh yang tengah duduk bersandar di balai bambu itu. Memanggil namanya, tampaknya mereka sudah saling mengenal. “Pak Tata,” panggil Cleona. 

Pria sepuh itu menegakkan tubuhnya, menoleh dengan pecinya yang agak miring. “Kenapa, Neng Onah?” 

“Munduran duduknya, Pak,” ujar Cleona. Dan pria sepuh itu menurut, tidak lagi bersandar pada tiang. “Nah gitu, munduran ya, Pak. Gantengnya kelewatan.”

Suara riuh tawa terdengar, sementara Cleona hanya cekikikkan melihat Pak Tata melepas peci dan mengggaruk-garuk rambutnya yang hampir seluruhnya memutih itu. 

“Pesona pria matang,” ujar Juana sambil tertawa.

“Kematengan gasi?” balas Zale.

“Pria overcooked dong,” tambah Javindra. 

Anggota KKN 111 yang paling dikenal oleh warga adalah Aa Lesang dan Neng Onah. Gesang dan Cleona. Gesang sejak awal memang memiliki tugas untuk membangun hubungan yang baik dengan seluruh warga dari berbagai kalangan, mulai dari petani hingga preman bertato. Dan Cleona, menjadi kecintaan ibu-ibu sejak menggantikan Sabine untuk mendampingi Gesang. 

Ona lebet heula nya, Bu,” ujar Cleona, dengan logat sundanya yang kaku. Dia banyak diajari oleh Gesang sepertinya. 

[Ona masuk dulu ya, Bu.]

Setelah berjalan, memunggungi ibu-ibu di balai bambu itu, mereka terkikik. “Cleona Kagumi sejak kapan jadi Oon Onah anjir?” 

Cleona berdecak. “Bebas lah manggil apa pun. Yang penting kiriman makanan ngalir ke posko.” 

Mereka mulai memasuki balai desa. Di sana, lebih ramai dari saat pertama kali mereka datang. Di gedung olah raga yang berada di samping balai desa, semua perangkat desa, karang taruna, juga warga Welasasih sudah berkumpul. Para mahawasiswa dan mahasiswi KKN tidak disediakan kursi khusus, sehingga kini mereka duduk menyebar di antara orang-orang yang datang lebih dulu.

Sementara itu, seperti biasa, Gege akan menemani Kama untuk duduk di bagian depan ruangan, menghadap kepada seluruh peserta rapat bersama Kepala Desa Welasasih dan jajarannya. 

Siapa sangka, Kang Faldi ada di sana. Pria jangkung berkulit cokelat itu sengaja memberikan kursi di sampingnya untuk Gege duduki.  Namun, sebelum Gege sampai, kursi itu sudah lebih dulu diduduki oleh Kama.

Langkah Gege terhenti, sesaat hanya menatap Kama, tapi Kama tidak kunjung berdiri. Jadia dia memilih kursi di samping Kama yang lain. 

Saat baru saja duduk, Gege merasakan sebuah getar singkat di ponselnya. Cleona mengirimkan pesan ke grup. 

KKN 111 Welasasih

Cleona Kagumi

Kenapa lo nggak duduk di pangkuan Kang Faldi aja, Geee?

Kayaknya dia nggak akan keberatan dehhh.

Arkayesa Pilar

Diidungnya gue rasa gapapa dudukin aja.

Rapat itu berjalan dengan kondusif. Para warga mendengarkan dengan saksama rencana rewang yang akan dilakukan di rumah Pak Kades dua hari ke depan. Pembagian tugas sudah dilakukan secara terstruktur. Anggota KKN 111 juga diberi tugas yang sama dengan warga, ada yang menjaga di bagian depan untuk menerima tamu, ada yang bertugas membantu di dapur, ada yang bertugas membantu sekuriti desa di bagian lahan parkir, dan lain-lain. 

Mereka menerima tugas itu dan menyanggupinya. Kama juga berbicata bahwa, “Saya akan kembali membagi tugas teman-teman  yang lain dengan lebih spesifik.” 

“Untuk keamanan nanti, akan dikoordinir oleh Kang Faldi ya, A,” ujar Pak Kades. 

Ucapan itu membuat Kama menoleh, dan melihat Kang Faldi yang kini tengah berbicara pada Gege melalui belakang tubuhnya—karena Kama duduk di antara keduanya, sehingga posisinya menghalangi percakapan dua orang itu. 

Lagian, suruh siapa dia duduk di antara Gege dan Kang Faldi? Jadinya kan harus menyaksikan segala gerak-gerik Kang Faldi saat tengah sengaja mencari perhatian Gege.

“Bisa ya Teh Gege bantuin?” tanya Kang Faldi, suaranya ditekan rendah, tidak ingin mengganggu pembahasan rapat. “Pulang dari sini aja, nggak akan lama kok.” 

“Boleh, Kang. Nanti saya bilang teman-teman dulu, ya,” ujar Gege dengan suara pelan yang sama. 

“Minta nomornya dong, Teh .... Biar gampang kalau ada apa-apa,” ujar Kang Faldi lagi. 

“Ng ....” Selama beberapa saat, Gege bingung. Namun, Kang Faldi ini, selain perangkat desa dan karang taruna, dia juga kan seorang petugas kepolisian yang mengayomi masyarakat, jadi tidak apa-apa sepertinya? “Nol, delapan, dua ....” Gege mulai menyebutkan nomor ponselnya.

Namun belum selesai Gege menyebutkan semua digitnya. Tubuh Kama bergerak ke belakang, punggungnya bersandar ke sandaran kursi, membuat pandangan Gege pada Kang Faldi tertutup oleh wajahnya.

Saat Kang Faldi mencondongkan tubuhnya ke depan, Gege ikut bergerak ke arah yang sama. Jadi sekarang, Gege berbicara dengan Kang Faldi di depan wajah Kama. Walau begitu, Kama memilih untuk tidak ikut berbincang, dia lebih senang memainkan ponsel di atas pangkuannya.

“Nol, delapan dua ...,” ulang Kang Faldi. “Terus ...?”

“Satu, satu ....”

Kang Faldi menyela. “Satu, satu, aku sayang Ibu?” 

Gege tertawa kecil, disambut tawa yang sama dari pria itu. Namun, Kama hanya menghela napas. Dia jatuhkan ponselnya di pangkuan, wajahnya berpaling ke arah pintu keluar. 

Selama rapat berjalan, Kang Faldi mengajak Gege bicara dengan cara seperti itu, di hadapan Kama, dengan suara pelan. Bahkan, saat membicarakan masalah keamanan di Welasasih dan meminta seluruh warga untuk bekerja sama, sambil memegang microphone Kang Faldi menoleh pada Gege. Lalu bertanya, “Ngerti ya tugasnya, Teh Gege?” 

Tingkah itu, tentu saja mengundang kericuhan. Lima orang teman perempuan Gege mampu memancing seisi ruangan untuk ikut bertepuk tangan dan menjodoh-jodohkan. Sementara Kama adalah orang yang paling tidak terpengaruh oleh hal itu, dia tetap menatap lurus ke depan tanpa menunjukkan raut wajah tertarik. 

Setelah acara rapat selesai, mereka disuguhi oleh hidangan makan malam. Tentu saja dengan hidangan khas Desa Welasasih. Ikan goreng, lalapan, sambal, kerupuk, juga buah-buahan yang disediakan di meja lain. 

Hal itu, membuat anggota KKN 111 kini bisa duduk berkumpul di salah satu sudut ruangan. Menyeret bangku-bangku plastik berwarna hijau untuk duduk saling berdekatan. “Coba sering-sering begini, biar gue nggak sering masak,” ujar Juana. 

Saat Kama menghampiri Gege, dan duduk di sisinya, hal itu membuat Gege otomatis menggeser kursinya. Seolah-olah, Kama baru saja melanggar batas suci. 

Dan tiba-tiba saja. “Wei!” Teriakan Cleona membuat semua menoleh. Dia menunjukkan ponselnya. “Konten yang sama Mak Wasih tadi fyp di akun KKN!” Cleona memamerkan layar ponselnya pada semua pasang mata. “Baru beberapa jam udah satu juta aja viewers-nya.” 

“Itu mah karena kalian bawa-bawa Mak Wasih aja,” ujar Jenggala. 

Keiya membaca salah satu komentar. “Kok, bisa semu cewek-cewek KKN-nya cantik begitu?” Dia melepaskan tawa pelan sambil memegangi wajahnya. “Aduh, malu.”

Ucapan itu membuat Javindra menoleh dengan kening mengernyit. “Lo punya malu?” 

“Sesekali boleh tuh ngajak Mak Wasih ngonten lagi,” seru Juana. “Siapa tahu fyp lagi.”

“Boleh, nanti aku bantu bikin kontennya,” ujar Zale. Semangat sekali. Senyum cerahnya sudah kembali.

Di saat yang lain ribut sekali. Kama hanya duduk bersandar ke kursi sambil makan dengan tenang. Sesekali, tatapnya menerawang jauh, sebelum menunduk dan menatap nasi di piringnya. 

“Ka?” panggil Yash, dia yang pertama menyadari tingkah Kama. “Aman, kan?” 

Kama mengangguk. “Aman.”

“Tenang, Ka. Kita sambil bercanda-bercanda gini juga, proker tetep jalan,” ujar Samira. “Taman baca udah dibersihin areanya, di sini, di samping desa. Tinggal nunggu donasi buku sama dua PC untuk nyimpan data dan bantu literasi digital itu datang.” 

Yash menepuk pundak Kama. “Walau kayak orang nggak bener semua, lo punya anggota yang bertanggung jawab, Ka. Jadi santai, nggak harus terlalu dipikirin.”

Kama mengangguk. “Gue percaya kok.” Namun ucapannya tadi berbanding terbalik dengan ekspresi wajah yang dia tunjukkan setelahnya. Dia memilih untuk lebih banyak diam dan duduk di kursi daripada bergabung dan mengobrol dengan perangkat desa seperti biasanya. 

Sampai Samira bertanya, “Lo sakit, Ka?” 

Kama menggeleng. “Nggak. Gue oke kok.”

Gege hanya memperhatikan keadaan itu. Dia merasa semua rasa penasarannya sudah tersampaikan oleh teman-temannya. Ah, atau mungkin sebenarnya Kama baik-baik saja, dia hanya sedang ada masalah di luar KKN?

Mungkin dengan kekasihnya? Karena sejak tadi fokusnya berkali-kali terganggu oleh layar ponselnya yang menyala. 

Saat para peserta rapat sudah terurai dari ruangan, seperti biasa para Anggota KKN 111 akan menjadi yang terakhir pergi karena ditahan oleh Bu Kades. “Bawa makanannya Teh Miwa.” Tradisi ‘Berangkat tangan kosong, pulang gotong royong’ tiap ada kegiatan di balai desa. Makanan yang disediakan malam ini cukup banyak. 

Dan seperti biasa juga, di tas Samira, selalu tersedia beberapa kantung kresek untuk mengantongi semua makanan tersisa.

“Samira Si Gadis Kresek,” ujar Gesang.

“Kretek dooong itu mah.”

Samira dan Juana tengah membungkus makanan, dibantu oleh keempat temannya yang lain. Lalu, Bu Kades kembali bertanya, “Hayu atuh Teteh ih, janji ya Hari Minggu senam hamil?” Dia menagih janji. 

Keenam anggota KKN itu saling berpandangan. Tidak ada yang menyanggupi rencana itu. Namun Sabine tiba-tiba berkata, “Boleh, Bu. Ibu kumpulin aja ya ibu-ibu hamilnya, tempatnya di sini aja, Bu. Biar leluasa.”

Sabine mendapatkan pelototan dari berbagai arah. Bisa-bisanya dia menyanggupi rencana itu. Menjadi instruktur senam hamil di Hari Minggu. Sabine menenangkan dengan kedipan matanya. “Tenang .... Itu urusan nanti.” 

Tuh, kan. Sabine tuh kadang-kadang.

“Siap, nanti Ibu kumpulin semua ibu-ibu hamil di sini. Pokoknya yang usianya di atas tujuh bulan kan, Teh?” 

“Betul, Bu.” Sabine mengangkat jempol. 

Oke. Semua makanan sudah masuk ke beberapa kantung plastik yang Samira bawa. Mereka keluar dari gedung olahraga, para laki-laki sesekali masih mengobrol dengan perangkat desa sebelum menuju sebuah lahan parkir yang berada di depan warung balai bambu. Warung yang tadi ramai itu, kini sudah sunyi senyap. Tempat itu kosong, hanya tersisa satu lampu bulat yang menggantung dengan pendarnya yang temaram, menerangi motor-motor anak KKN yang terparkir di sana. 

“Lo nggak usah video call cewek lo ya, Ges!” ujar Sabine. “Sumpah gue males banget ngomong sama cewek lo—eh, HTS-an lo itu. Pokoknya lo mesti yakin deh, gue nggak akan ngapa-ngapain lo, apalagi meluk lo dari belakang—yang dikhawatirkan cewek lo itu, itu nggak akan pernah terjadi.” 

Gesang memasukan kembali ponselnya. “Ya udah, iya. Lagian Nana lagi ngambek, jadi nggak gue hubungi dulu,” jawabnya. 

“Ayo, Ge,” ajak Yesa seraya menghampiri motornya. 

Namun, langkah Gege terhenti, sementara semua teman-temannya terus berjalan menuju lahan parkir. “Gue dimintain tolong tadi sama Pak Kades untuk cetak nama di kartu undangan,” ujar Gege. “Sebentar doang kok, cuma—“

“Gue kan bilang sekarang ada eval malem.” Kama yang langkahnya tertinggal, berjalan dari arah belakang bersama Yash, menghampiri Gege dan Yesa.

Sedangkan Yash tampak tidak mau ikut campur, dia melanjutkan langkah untuk menghampiri motornya, bergabung dengan anak-anak yang lain. Jadi, Kama, Gege, dan Yesa kini terpisah dari rombongan. Namun, jarak mereka tidak jauh sih, jadi semua Anggota KKN 111 tetap bisa mendengar percakapan ketiganya. 

“Sebentar doang kok, nggak enak kalau gue nolak. Soalnya tadi gue udah menyanggupi karena—“

“Karena Kang Faldi yang minta?” potong Kama. 

Gege menarik napas, dia sedikit muak karena tatap Kama yang baru saja berpaling dan bibirnya yang mendecih itu terkesan meremehkan. “Nggak,” sangkalnya. “Pak Kades minta gue buat bikin format list nama tamu untuk di-print di label undangan. Besok undangannya udah jadi, biar pagi-pagi bisa langsung ditempel sama orang-orang yang bantuin. Nggak banyak, ini buat kolega dekatnya aja, supaya rapi nggak ditulis tangan katanya. Terus—“

Tatapan tajam Kama pada Gege, membuat ucapan Gege terhenti. Selalu begitu, bahkan saat Kama tidak mengatakan apa-apa, dia mampu mengintimidasi orang lain. “Kita nggak punya kewajiban untuk bantuin mereka di luar waktu kerja kayak gini. Kecuali urgent banget, kayak ada yang sakit, atau ada orang meninggal. Ge, kerjaan sepele kayak gini bisa lo—“

“Iya, ini memang sepele. Sepele banget malah buat kita!” Suara Gege mulai meninggi, membuat semua teman-temannya yang sudah bersiap di atas motor menoleh. “Tapi nggak ada yang bisa. Dan gue udah janji. Masa gitu aja lo nggak punya toleransi? Kapan sih lo belajar toleransi sama keinginan dan perasaan orang lain, Ka?” 

“Jangan cari ribut.” Lihat, Kama bahkan tidak ingin mendengar perkataan Gege. “Balik sekarang.” Tangannya merenggut lengan jas almamater Gege. 

Gege sedikit terseret, di sana Yesa tampak menengahi. Dan, Gege, sialnua, dia malah bicara sambil menahan tangis. “Jangan ngerasa lo tunangan gue ya, sampai lo merasa punya hak untuk ngelakuin apa pun,” ujar Gege, dia pastikan suaranya tidak bisa didengar oleh teman-teman KKN-nya yang masih memperhatikan perdebatan itu.

“Gue punya hak. Gue juga bertanggung jawab atas lo, karena orangtua lo nitipin lo ke gue,” balas Kama, masih enggan melepaskan cengkramannya di lengan jas yang Gege kenakan. 

Tangan Gege menepis kencang. Membuat Yesa yang sejak tadi menengahi, terkejut dan melangkah mundur. “Di sini. Lo cuma temen KKN gue dan pacar Laika. Nggak lebih!” Gege masih menahan suaranya agar tidak berteriak. “Jangan merasa punya hak dan tanggung jawab—“ Suara Gege terhenti karena Kama kembali mencengkram lengan jas almamaternya. 

“Pulang.” Kama tampak tidak ingin lagi dibantah. 

Namun, Gege melakukan hal yang di luar nalarnya sendiri. Dia melepaskan jas almamater dari tubuhnya sehingga satu ujung jasnya jatuh ke tanah sedangkan ujung yang lain masih Kama pegang. 

Dan tentu saja, hal itu menyulut amarah Kama. Karena kini, tangan Kama yang lain,  menarik ujung kemeja yang Gege kenakan. Saat Gege hendak menepis, Kama kembali bicara.  “Kenapa? Mau lo lepas juga kemeja lo?” Cengkraman Kama di ujung kemejanya membuat tubuh Gege terhuyung dan menabrak tubuhnya. “Sini sekalian gue yang buka.”

***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Serem bener buset anak laki-lakinya Janari kalau perintahnya dibantah ternyata 😳

 

 

 

 

 

Besok aku mau kasih POV Kama ah di KK. 😋

 

 

MAU NGGAK? 

 

Bakar dulu tapi 😋🔥🔥🔥

post-image-67655bf9e49f8.jpeg

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Hello Kkn
Selanjutnya Hello, KKN! | [Kama’s POV-Lenyap Sejak Malam Itu]
1.5k
723
Kupersembahkan Jeandru Kama untuk ditampol-tampol isi kepalanya sama haters-nya semuaaaa. Selamat membaca yaaa <3
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan