Divorced with Benefits | [48. Diabadikan dengan Sempurna]

624
113
Deskripsi

[TSDP #7]

Gista Syaril  merasa hidupnya sudah berada di titik yang diimpikan: menjadi wanita mandiri, sibuk, mapan, hebat, sesuai dengan checklist yang sejak dulu tersemat di balik notes kecilnya.

Namun menurutnya, pencapaian tertinggi yang berhasil dia gapai dalam hidupnya adalah bercerai dengan Kalil Sankara, pria kaya raya yang posesif dan manipulatif. Pencapaian terbesar dalam hidupnya adalah berhasil meninggalkan Kalil Sankara, Si Pengekang yang mencintainya seperti orang gila.  

Namun siapa sangka,...

Divorced with Benefits | [48. Diabadikan dengan Sempurna]

 

Haiii. Ketemu lagi.

 

 

 

Akhirnya! Kita ketemu di part ending niwww. Terima kasih banyak sudah mengikuti Kalil dan Gista di mana pun mereka berada—Karyakarsa dan Wattpad dikejar juga Luar biasaaa sekali. Pokoknya terima kasih terima kasih terima kasihhh banyak. ❤️

 

Oh iyaaa ada cerita baru lhooo. Ssiapa tau mau nebak  ada kisah siapa di siniii? Jangan lupa masukin library yaaa  🖤

post-image-6645cd53018e3.jpeg

 

Spam love sama api boleh ga nih buat terakhir kali di lapak ini 🔥❤️

***

 

 

“Kalian ... ngapain?” 

Di depan pintu. Keduanya menemukan Gracia Sankara yang tengah ternganga menatap dengan raut wajah tidak percaya atas apa yang baru saja dilihatnya. 

Hari itu, wanita itu datang dalam keadaan masih sangat pagi. Menangkap basah apa yang tengah Gista lakukan bersama Kalil di kediamannya. Dalam keadaan saling memeluk dengan Kalil yang tengah menciumi pundaknya. Tidak bisa dipercaya. Memalukan sekali.

Perlahan, Gista menggerakkan tangannya untuk membenarkan tali pakaian yang sudah luruh di pundak. Kemeja Kalil yang kini dia kenakan dengan asal-asalan juga dia rapikan di tubuhnya, kedua sisi kemeja dia rapatkan tanpa mengancingkannya. Walau Gista tahu penampilannya kini tidak layak untuk berhadapan dengan mantan ibu mertuanya itu, tapi tatap penuh selidik wanita itu padanya, membuat Gista sadar dia tidak punya banyak waktu untuk membuat Gracia Sankara menunggunya memberikan penjelasan.

Tentang kenapa doa berada di apartemen Kalil dalam waktu sepagi ini.

Tentang posisi keduanya yang tidak senonoh.

Juga tentang pakaiannya yang berantakan.

“Tidak ada yang mempersilakan Mama duduk?” tanya wanita itu sambil melirik ke arah sofa. 

Dan jelas, yang merespons hal itu lebih dulu adalah Kalil. Dia mengulurkan tangan, lalu menyusul duduk berhadapan dengan ibunya. Dengan tanpa perasaan bersalah dan tanpa beban di raut wajahnya, Kalil melirik ke arah Gista. “Sini,” pintanya, seraya menepuk-nepuk ruang kosong di sisinya.

Dan tidak ada pilihan lain. Selain harus mempertanggungjawabkan apa yang dia lakukan pagi ini, Gista juga harus menepati janjinya pada Kalil. Gista yang akan berhadapan dengan Gracia Sankara sekarang untuk meluruskan semuanya. 

Untuk memperjuangkannya?

“Mama pagi-pagi sekali ke sini?” Kalil mulai bertanya.

“Kamu tidak bisa dihubungi. Gista pun begitu, Mama bingung sekali. Makanya Mama ke sini dan ....” Gracia menarik napas. Lalu menggeleng lemah. “Apa yang Mama lihat tadi?” 

“Maafkan aku, Ma. Pasti Mama terkejut pagi ini karena—“

“Oh, ya tentu. Mama terkejut.” Gracia memegangi dadanya. Seolah-olah ingin melindungi jantungnya yang hampir dirusak karena baru saja diberi kejutan hebat. “Kalian ini ....” Wanita itu menggeleng. “Ada apa sebenarnya?” Pasti pikiran buruk sedang berlarian di kepalanya. “Kalian mabuk semalam? Lalu apa yang bisa kalian pertanggungjawabkan dari pagi hari ini?”

Kalil melirik Gista, seolah-olah dia menyerahkan seluruh penjelasan yang ingin ibunya dengar.

“Kami tahu risiko dari perbuatan kami,” ujar Gista. Meluruskan, bahwa pagi ini, tentang apa yang dilihatnya, bukan sekadar hal buruk dipikirkan oleh ibu mertuanya itu. “Aku ingin mengatakan hal ini ... jauh sebelum Mama mengundangku makan malam.” Gista memejamkan matanya. “Namun semalam aku bingung akan memulainya dengan kalimat apa karena ....” Ada Caroline yang tiba-tiba saja hadir di tengah-tengah mereka.

“Mama nggak akan melibatkan wanita mana pun seandainya tahu bahwa kalian memiliki hubungan semacam ini. Yang tidak pernah Mama ketahui ini ....” Mama mengangkat kedua tangannya.

Gista menunduk. “Maaf.” 

“Kenapa minta maaf?” tanya Kalil. Dia tidak terima dengan ucapan itu. “Apa yang kita lakukan bukan kesalahan.” 

“Maaf karena ... aku terlalu lama untuk jujur dan mengatakan yang sebenarnya pada Mama sejak awal hubungan kami dimulai.” Gista menggigit kecil bibirnya. “Butuh waktu bagiku untuk mengumpulkan keberanian ini. Karena ... aku tahu nggak akan mudah bagi Mama untuk menyerahkan kembali anak laki-laki Mama pada wanita yang pernah sangat mengecewakannya.” 

“Benar.” Gracia menyetujui hal itu. “Kamu tahu itu? Kamu sadar berapa banyak pengorbanan yang anak Mama lakukan dan kamu sia-siakan? Namun nyatanya dia tetap menunggu.”

Gista mengangguk. “Aku menyadari hal itu,” akunya. “Tapi Ma, hari ini, aku meminta izin kepada Mama untuk kembali memiliki anak Mama. Tanpa alasan apa pun selain cinta.” Gista memainkan cincin di jari manisnya, cincin yang dia temui tersemat di jarinya saat bangun dari tidurnya pagi ini. “Aku berjanji untuk menjadi yang terbaik bagi anak Mama.” 

Mama mendecih. “Apa-apaan ini?” gumamnya. “Kenapa jadi kamu yang memohon-mohon begini?” 

“Karena aku sudah melakukannya lebih dulu,” ujar Kalil. 

“Apakah ini alasan Caroline tiba-tiba membatalkan keikutsertaannya di kegiatan sosial kita nanti?” tanyanya pada Kalil. “Tiba-tiba dia melakukannya tadi pagi.” 

Kalil memgangkat bahu. “Mungkin ...,” gumamnya. “Tadi malam aku bilang sama dia kalau aku masih mencintai Gista.” 

Gracia mengangkat satu tangan. Dia kehabisan kata. Kembali tatapnya tertuju pada Gista dan Kalil bergantian. “Kalian saling mencintai,” ujarnya. Dia tidak sedang bertanya. Dia hanya mengatakan hal yang diketahuinya. “Kalian hanya perlu berhenti untuk salah paham. Jadi Mama mohon, berhenti untuk saling diam dan saling menyakiti. Jika kalian bersama sekarang, dan kembali melakukan kesalahan untuk sekian kali, tidak hanya kalian yang patah, tapi juga Raga dan Raja akan ikut hancur.”

Gista menatap wanita itu lama. Dia menyimak, tapi belum menangkap jelas tanggapan dari pengakuan cintanya pada Kalil tadi. “Aku mengerti, Ma ....”

Gracia mengangguk. “Segera menikah, kalau begitu. Mama mau cepat-cepat melihat kalian kembali hidup bersama di sini.”

***

Gracia sudah tiba di mobilnya. Duduk di jok penumpang ketika sopir sudah mulai menggerakkan mobilnya untuk berbaur bersama kendaraan lain di jalan raya. Namun, senyumnya yang mengembang di wajahnya tidak kunjung hilang. Mobilnya bergerak, melaju meninggalkan tempat di mana dia meninggalkan Kalil dan Gista. Rencananya mulus sekali, dan dia puas akan hasilnya.

Caroline, juga wanita-wanita lain yang dia kenalkan berhasil memancing Gista untuk sadar bahwa dia tidak punya banyak waktu lagi untuk diam dan menyembunyikan lagi hubungan keduanya. Kalil adalah pihak yang selalu kalah atas alasan cinta, sementara Gista adalah wanita yang rumit. Jadi, perlu sebuah desakkan agar keduanya cepat-cepat bergerak dan berusaha.

Dan terbukti. Gracia berhasil. 

Kini, di perjalanannya. Gracia meraih sebuah amplop putih yang tadi disimpannya di dalam tas. Itu adalah surat, yang Raga titipkan pada Gista untuk disampaikan padanya. Di bagian depan amplop, ada tulisan, Dari Raga, Untuk Nena. 

Lalu, ada kalimat tambahan, Raja ikut nulis juga. Ribet. 

Gracia tersenyum. 

Dia membuka amplop itu, melihat selembar kertas tertulis deretan kalimat di dalamnya. 

Mulai membacanya.

 

Nena. Ini Raga. (Dan Raja)

Nena, maaf surat ini harus ditulis karena ini bukan hari Minggu jadi nggak boleh pegang HP buat telepon Nena.

 Aku mau menagih janji Nena waktu itu. Nena bilang aku dan Raja bisa secepatnya datang ke hari pernikahan Papi dan Mima. Kapan itu, Nena? Aku dan Raja ingin ada di foto pernikahan, karena di foto pernikahan Papi dan Mima yang dulu aku dan Raja nggak ada. 

Mima sekarang sudah mau bicara sama Papi. Tidak marah-marah lagi. Mima sudah mau peluk dan pegang tangan Papi.

Aku lihat Mima cium Papi juga. -Raja

Jadi kapan Nena? Aku dan Raja bisa datang ke pesta pernikahan Papi dan Mima? 

 

Gracia tersenyum membaca tulisan tangan yang ... ditulis oleh anak berusia lima tahun itu. Di beberapa bagian, Gracia memang harus mengernyitkan kening untuk mengerti huruf atau kata apa yang tertulis. Namun, dia tetap bisa mengartikan kalimat itu secara utuh.

Dia menutup kertas surat itu. Namun, ternyata dia mengabaikan sesuatu yang menyelip di balik surat sehingga kini dia menjatuhkannya. Gracia membungkuk, meraih sebuah kertas putih yang lebih tebal daripada sekadar kertas surat.

Ternyata, itu adalah selembar foto. Yang membuat senyumnya mengembang lebih lebar dan sempurna. Di sana, di dalam selembar foto itu, ada sebuah pemandangan hijau, ada Kalil yang tengah tertawa, kakinya menjejak sebuah potongan kardus. Memeluk Gista, sementara dua kakinya dipeluk oleh Raga dan Raja yang juga ikut tertawa. Di dalam foto itu, mereka tampak bahagia. 

post-image-663235f7cd67d.jpg

***

 

Kalil melihat Gista membereskan semua perlengkapan di hotelnya. Gista pikir, saat melihatnya bangun pagi-pagi sekali dan mandi, pria itu akan segera meninggalkannya dan berangkat kerja. Namun, lihat, pria itu sengaja membatalkan semua janjinya hari ini hanya demi bisa mengantar Gista pulang ke Bandung. 

Bahkan dengan yakin, Kalil sudah meminta Gista untuk menyuruh sopir kantornya pulang lebih dulu. Lalu, Gista bertanya padanya berkali-kali. “Serius kamu mau anterin aku ke Bandung? Capek lho?” 

“Serius lah.” Kalil menghampiri koper yang sudah Gista jadikan tempatnya mengemasi pakaian dan semua barangnya. “Ini udah semua, kan? Nggak ada yang ketinggalan?” tanyanya. 

Gista mengangguk. Setelahnya, dia mengikuti langkah Kalil. Mereka keluar dari hotel sebelum tiba jam makan siang. Jadi, setelah tiba di mobil, Kalil mulai bertanya, “Kita mau makan siang di mana? Kamu punya rencana mau ke mana dulu gitu nggak?”

Gista menggeleng. “Nggak sih ...,” jawabnya. “Jadi kalau mau makan siang dulu, ayo aja.”

“Ya udah, berarti aku yang pilih tempatnya ya. Kamu nggak boleh protes.” Kalil menoleh, menurunkan sedikit kacamata hitam yang bertengger di hidungnya. 

Gista mengangguk sambil tersenyum. Perjalanan diisi oleh percakapan tentang reaksi Mama yang tadi berkata, “Segera menikah.”

“Jadi, kapan kamu siap untuk kembali nikah sama aku?” tanya Kalil. Dia melirik cincin di jemari Gista yang sejak tadi tanpa sadar Gista mainkan. “Cincin udah, kamu juga udah setuju buat nikah sama aku, orangtua kamu udah setuju, orangtua aku pun begitu. Kalau anak-anak ya jangan ditanya.”

“Aku tinggal nunggu kamu ngajak aja nggak, sih?” tanya Gista.

Kalil melepaskan tawa dengan nada rendah. “Serius nih?”

“Serius lah. Aku rasa nggak ada yang harus kita urus lagi, kan?”  Kecuali keputusannya setelah menikah nanti. Gista tidak mungkin meninggalkan Bandung dalam waktu dekat. Ada Ishwari yang sedang berada dalam persaingan tidak sehat, ada waktu sekolah Raja dan Raga yang masih belum usai hingga akhir semester, ada ayahnya yang tidak mungkin dia tinggalkan begitu saja. 

“Nah, masalahnya ada di kamu berarti.” Ucapan Kalil membuat Gista menoleh. “Malah ngelamun aku ajak ngobrol dari tadi.” Kalil meraih satu tangan Gista, menggenggamnya, lalu mencium punggung tangannya. “Semuanya akan kita diskusikan kok, aku nggak akan egois meminta kamu untuk menyelesaikan ini dan itu secara tiba-tiba. Semua akan kita cari jalan keluarnya sama-sama,” ujarnya, seolah-olah mengerti tentang apa yang tengah Gista pikirkan. 

Gista tersenyum, dia raih tangan pria itu ke pipinya. Membiarkannya menempel di sana, lama. Lalu, pandangannya kembali menatap lurus, ke depan, pada jalan yang kini mereka lalui. Dan Gista terperangah.

Gista menoleh pada Kalil. Sesaat melihat Kalil terkekeh. 

Gista mengenali jalan yang kini mereka lewati itu. Di sana, beberapa hal sudah banyak berubah. Namun, pohon-pohon ketapang kencana yang membuat jalan itu teduh tidak ada bedanya sama sekali. Dia menemukan jalan yang lurus, hijau, lalu tiba pada sebuah gerbang. Di sana, tulisan ‘Candani’ menyapanya. 

Hatinya mencelus, semua kenangan menyerbu cepat. Mengingat bagaimana dia pertama kali memiliki Candani, tertatih-tatih mempertahankannya, sampai akhirnya dia harus melepasnya di akhir harinya meninggalkan Jakarta.

Gista menoleh saat Kalil keluar dari mobil lebih dulu. Lalu pria itu bergerak ke sisi lain untuk  membukakan pintu di sisi Gista. “Ayo,” ajaknya. 

Dan Gista melakukan hal yang sama. Langkahnya bergerak keluar. Berdiri di sisi mobil seraya memandangi gerbang itu dan membiarkan Kalil menutup pintu mobil di belakangnya. Lama dia terdiam, memandangi Candani yang sama sekali tidak berubah semenjak terakhir kali dia meninggalkannya. 

“Mau masuk?” tanya Kalil. 

Gista menoleh. Lama hanya menatapnya. Dan hal itu membuat Kalil tersenyum.

“Ayo.” Kalil memegangi tangannya, lalu menariknya agar ikut melangkah bersama. Di sana, mereka menemukan gerbang yang terbuka, lalu lahan yang serba hijau menyambut kehadiran keduanya. Mereka berjalan di antara batu-batu datar menuju ke plataran. Semua hal, isi dan bentuknya, masih sama persis seperti saat terakhir kali Gista tinggalkan.

“Sama sekali nggak ada yang berubah,” gumam Gista. Dia menatap ke arah kolam, pada patung yang meluncurkan air dari mulutnya. Suara percikan air yang datar dan monoton selalu mampu menciptakan ketenangan.

“Semua nggak akan ada yang berubah,” ujar Kalil. “Kamu tahu kan ... setelah kamu pergi, aku membeli hak milik Candani?” tanyanya. “Aku membelinya, bukan untuk memiliki. Tapi untuk menjaganya. Karena aku tahu, kamu sangat mencintai Candani, mencintai tempat ini.” Kalil menunjuk ke kejauhan. “Semua, adalah sentuhan tangan kamu. Aku hanya meminta orang-orang di sini merawatnya, mengganti dan memperbaiki apa-apa yang rusak.”

Gista mengamati tempat itu, tatapnya tertuju pada rumah joglo yang terawat dan bersih. 

“Semua yang ada di sini, adalah ciptaan kamu. Semuanya nggak akan berubah sampai kamu sendiri yang menyentuhnya.” 

Entah mengapa kata-kata itu terdengar manis sekali, sampai Gista tanpa sadar meneteskan air mata. Gista mengusap sudut matanya dengan jemari sebelum menoleh untuk kembali menatap pria di sisinya. “Kenapa kamu nggak pernah berhenti membuat aku berterima kasih?”

“Karena itu kebahagiaan buatku juga.” Kalil tersenyum, membalas tatapa Gista. “Lihat kamu seneng kayak gini, bikin aku juga jadi seneng banget tahu.”

Gista meraih tubuh pria itu, hal yang jarang terjadi. Gista memeluknya lebih dulu, lalu menemukan Kalil mencium pundak kepalanya dan mereka sama-sama berdiri hanya untuk memandangi air jernih di kolam dengan gemercik bunyinya.

Lalu, “Jadi udah siap kan kalau aku nikahin sekarang?” Pertanyaan itu terdengar tiba-tiba sekali.

Gista mendongak. “Maksudnya?” 

“Kamu kan bilang tadi, katanya kamu cuma nungguin aku ngajak nikah aja. Nah sekarang, aku ngajakin kamu nikah,” ujar Kalil, membuat Gista menjauhinya. “Sekarang ya. Jangan nanti-nanti lagi.”

“Sekarang?”

“Iya. Sekarang.” Kalil mengangguk yakin. “Sebelum kamu berangkat ke Bandung.”

Bola mata Gista membulat. Yang benar saja? 

Kalil hanya mengikuti bagaimana tingkah Gista, matanya ikut melebar, alisnya terangkat. Dan dia melepaskan tawa saat Gista tampak terkejut dengan kedatangan segerombolan orang yang tiba-tiba dari arah pintu masuk.

Orang-orang itu adalah tim dari MUA yang Gista kenal dulu. Dalam beberapa acara mereka sering bekerja sama, tiba-tiba saja, Gista digiring masuk untuk menuju ke vila pengantin di mana tempat itu adalah ruangan yang  disediakan khusus untuk para pengantin mempersiapkan segala penampilannya hingga menginap di sana.

Gista tidak menyangka, dia akan menjadi salah satu pengantin yang memiliki kesempatan menikah di Candani. Gista didandani, benar-benar menjadi seorang pengantin, dengan kebaya yang dia sangat ingat serupa dengan kebaya yang dulu pernah dipilihnya ketika menikah dengan Kalil. Kebaya itu, Gista menyukainya, menutup pundak, menutup dada, tapi tetap menonjolkan lekuk tubuhnya yang indah.

Dia masih bertanya-tanya sampai di mana rencana Kalil di hari pernikahannya itu. 

Sampai akhirnya, setelah hampir dua jam berada di dalam ruangan, dia melangkah keluar dengan buket bunga di tangannya. Kini, di selasar menuju Plataran Candani, dia menemukan ayahnya yang sudah berdiri hendak menjemput. Pria paruh baya itu tersenyum takjub melihat kedatangannya.

Lalu. “Mima!” Dua bocah laki-laki dengan jas hitam menghampirinya. 

“Kalian kapan sampai?” Benar-benar di luar nalar rencana Kalil ini. 

“Tadi pagi. Papi bilang, Mima dan Papi mau menikah,” jawab Raga. “Jadi kami datang.” 

“Akhirnya aku dan Raga ada di foto pernikahan Mima,” tambah Raja. 

Dan hal itu membuat kakeknya tertawa. Harja Wirawan, iya, ayahnya itu datang menghampirinya, membuat Gista segera meraih tangannya. “Pa ....”

“Papa sangat percaya pada Kalil,” gumamnya dengan suara bergetar. “Tidak ada pria yang Papa percayai melebihi Papa memercayai Kalil. Jadi, jangan khawatir, Papa sangat merestui.” Pria itu tersenyum, tulus ikut bahagia. “Papa hanya akan melihat kamu menangis karena bahagia setelah ini,” ujarnya. “Tidak boleh sedih lagi. Kamu tidak boleh kecewa lagi.” 

Setelahnya, mereka melangkah menuju plataran, karena di sana, para tamu ternyata sudah menunggu. Sebuah kotak kaca tersedia di antara lahan yang luas itu. Ide Gista direalisasikan untuk pernikahannya sendiri.

Kotak kaca itu, menyerupai aula luas yang penuh bunga. Ah, ya .... Bunga-bunga itu pasti dipesan khusus agar alergi Kalil dan Raja tidak kambuh. Tampak indah, tampak seperti berada di negeri dongeng. 

Gista berjalan, melewati tamu-tamu yang ternyata sudah hadir di sana. 

Ada seluruh keluarga Sankara, semua teman-temannya. Jena, Chiasa, Alura, Davi, Rui, Favita, dan mereka jelas saja dstang bersama pasangan masing-masing. Yang membuat Gista tidak kalah terkejut, Alya juga ada di sana, dia kini tampak sibuk, selalu sibuk. Dari kejauhan, Gista melihat Agma, juga Shaza dan putri kecil mereka yang cantik. 

Beberapa orang, tidak bisa Gista lihat lagi dengan jelas. Karena kini pandangannya berubah menjadi sangat berkabut. Dia duduk di samping Kalil Sankara. Yang selanjutnya, mengucapkan ikrar pernikahan yang diiringi doa-doa baik dari semua tamu yang hadir. 

Dua manusia, dalam kesempatan kedua yang kembali mereka coba. 

Semoga, tidak ada lagi akhir. Mereka hanya akan hidup bahagia sampai tua. Tangis hanya karena bahagia, begitu harap dan semua doa-doa melambung di sana. 

“Foto dulu dong pengantinnya!” ujar seseorang pemandu acara di sana setelah Gista berganti pakaian dengan gaun pengantin yang kini dia kenakan. “Raja dan Raga boleh ikut juga!” ujarnya.

Hal itu, membuat Raja dan Raga bersemangat sekali. Mereka berlarian menghampiri Kalil dan Gista, lalu seruan-seruan terdengar. “Cium dong! Sambil cium!” 

Hal itu membuat Raja dan Raga menutup wajah mereka dengan malu-malu, karena dua anak laki-laki itu sudah melihat Kalil meraih wajah Gista, tapi karena mencium tidak mungkin dilakukan di hadapan banyak orang, Gista hanya membiarkan Kalil mencium pipinya.

Dan, foto itu diabadikan. Dengan sempurna. 

post-image-6632360752e03.jpg

 

~Selesai~

 

 

 

 

 

 

 

 

Waaaaah.

 

Akhirnya kita bisa mengakhiri segala masalah di cerita yang semua pemerannya toxic ini wkwkwk. Seneng kaan? Mereka happy ending niiiih. Ayok tagih extra part yang banyak sama dua manusia iniii!!! Wkwk. 😆😆

 

Terima kasih banyaaak atas semua cinta, kasih sayang, dan dukungannya untuk Kalil dan Gista (ditambah Raja dan Raga juga) selama ini ya. Semoga mereka tetap menjadi keluarga kecil yang dicintai oleh Tim Suksesnya. ❤️ 

Ada yang mau disampaikan untuk :

Kalil

Gista

Raja

Raga

Alya

Dipta

Kaezar

Jena

Janari

Chia

Favian

Alura

Arjune

Davi

Sungkara

Rui

Hakim

Favita

Kaivan

Dan AUTHORNYAAA? XD

 

Sampai ketemu di cerita selanjutnya ya. Semoga nggak bosen ngikutin terus nih huhu. Sampai ketemu di extra part Kalil & Gista jugaaaa. Bahagia selalu kita semuaaaaa.   ❤️💋

 

 

MAU DAPET BERAPA EXTRA PART NIIIH? 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Divorced with Benefits | [Extra Part 1 : Janari Bilang]
1.1k
204
Kita akan memasuki Waktu Bagian Kalil Bucinin Gista Mampusss. WKWKWKWK. Dibakar sama kompornya Janari emang paling nggak ada lawaaan. Selamat membaca yaaa. Jangan lupa berburu kode voucher potongan 2000 di instagram story citra.novy [voucher terbatas untuk 300 orang pertama yaaa]Selamat membacaaa <3
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan