Divorced with Benefits | [44. Video Call]

753
200
Deskripsi

[TSDP #7]

Gista Syaril  merasa hidupnya sudah berada di titik yang diimpikan: menjadi wanita mandiri, sibuk, mapan, hebat, sesuai dengan checklist yang sejak dulu tersemat di balik notes kecilnya.

Namun menurutnya, pencapaian tertinggi yang berhasil dia gapai dalam hidupnya adalah bercerai dengan Kalil Sankara, pria kaya raya yang posesif dan manipulatif. Pencapaian terbesar dalam hidupnya adalah berhasil meninggalkan Kalil Sankara, Si Pengekang yang mencintainya seperti orang gila.  

Namun siapa sangka,...

Divorced with Benefits | [44. Video Call]

 

 

 

Haiii

 

Ternyata kemarin nggak selesai ngetiknya wkwk. Jadi hari ini gapapa yaaa. 

 

Oh iga, sebelum part ini, aku mempublish Additional Part 43 dan Additional Part 43 : Vol. 2 khusus di Karyakarsa. Siapa tau mau baca? 😋

post-image-661fcc1e92c51.jpeg

Ini nggak sempet kuedit ya. Maafkan kalau berantakan dan banyak typo Tandain ajaa hehe 🙏Kalil-Gista nih update di wp  biasanya 3000 kata lebih dan ini tuh hampir 3500 kata. Jadi aku bakal nangis bangettt kalau sepi nih 😡Penuhin vote sama komennyaaaa yaaa. Janjiii. 

 

Jangan lupa bakaaar 🔥🔥🔥🔥

 

***

 

 

 

 

“Ide kita ‘Work from Hotel’ yang digagas tiga bulan lalu sudah lebih dulu diluncurkan oleh pihak lain, Mbak,” lapor Alya.

Alya berkata ketika Gista baru saja  bergerak keluar ruangan selepas mengadakan pertemuan bersama beberapa tim dari Cluster Marketing Ishwari dan calon vendor yang akan menjadi suplier di Ishwari. Ishwari adalah salah satu resort yang mengandalkan lebih dari lima puluh persen kebutuhan groceries dari beberapa petani lokal Lembang. Dan kali ini, mereka akan mencakup lebih luas lagi untuk memberdayakan petani sekitar.

Saat langkah Gista terhenti dan berbalik, Alya kembali bicara. “Ide ini sama persis seperti yang kita miliki, Mbak. Mbak mau baca?”

Dan Gista melepaskan napas kasar. Dia memiliki tim yang solid dan kaya ide, untuk mengakali grafik menurunnya jumlah tamu di luar pekan liburan, mereka mencetuskan satu ide. WFH yang mereka artikan sebagai work from hotel, di mana, mereka akan beradaptasi menjadi tempat yang menunjang kebutuhan bekerja setiap tamu yang datang, salah satunya adalah menyediakan ruang meeting untuk tamu dan berbagai kebutuhan kantor. Termasuk juga, layanan food delevery dari restoran yang mereka miliki.

Gista mengulurkan tangan, meminta iPad yang baru saja Alya angsurkan.

Agak ragu, Alya memberikan benda itu pada Gista. “Mbak mungkin akan sedikit terkejut, tapi ... ini mungkin kebetulan? Atau ....” Alya berkata untuk menenangkan Gista sebelum Gista memberikan reaksi apa-apa dari layar yang kini tengah dia perhatikan.

Gista melihat layar iPad yang menyala di tangannya itu memunculkan sebuah laman berita online. 

Catra Resort : Let your deadline be pampered by our fabulous facilities.

Lalu, Gista menemukan artikel berupa penjelasan tentang sebuah fasilitas baru yang dutawarkan berupa work form hotel dengan detail yang sama persis seperti apa yang Ishwari miliki. Rencananya, fasilitas baru itu akan mereka luncurkan awal bulan depan, tapi Catra Resort lebih dulu melakukannya.

Carta Resort, adalah sebuah tempat yang dimiliki oleh Arbinawa dan keluarganya. Entah bagaimana caranya pria itu bisa tahu tentang ide-ide mereka. Gista memberikan iPad ke tangan Alya. “Kita meeting sore ini, Al.”

“Baik, Mbak.” Alya mengangguk patuh.

Setelahnya, mereka berpisah. Gista mengambil jalan menuju lobi, melangkah keluar. Dia perlu sedikit-banyak menghirup udara bebas setelah lama sekali tertahan di ruangan tertutup bersama beberapa peserta meeting.

Gista tiba di lantai kayu serupa dermaga yang menghubungkannya pada danau buatan di depan kantor ishwari. Di sana, dia menghela napas panjang. Memejamkan mata saat angin menerpa wajahnya. 

Dia berharap kebodohan-kebodohan segera enyah dari kepalanya. 

Karena, setelah menerima kabar dari Alya barusan, Gista tiba-tiba mengingat kalimat yang Kalil ucapkan padsnya ketika mereka tengah berdebat. 

“Jangan lalai. Jangan terlalu naif untuk membiarkan siapa pun mendekat pada Raja dan Raga.” Saat itu, Kalil menatapnya tajam. “Agma harus menjadi yang terakhir yang membuat kamu tampak bodoh. Tidak ada lagi Agma-Agma lain.” 

Saat itu pula, mereka tengah bersitegang karena Arbi. Kalil memberinya peringatan, dan Gista malah balas mendebatnya, berkata bahwa dia jauh lebih tampak tolol saat bersama Kalil. Padahal, mungkin saja Kalil memang sudah menemukan gelagat tidak baik dari seorang Arbinawa Kartama?

Dan terbukti benar, dia benar-benar sudah berada di titik paling tolol di dalam hidupnya sekarang. Gista masih diam di sana, di tempatnya, di depan danau, saat ponselnya kembali bergetar.

Sebuah pesan singkat datang, dari Alya lagi.

Alya Mediawati

Mbak! Baca iniii.

Catra Resort : Berminat menjadi Suplier Kami? Catra Hotel membuka kerjasama dengan seluruh petani lembang dan ....

***

Sore itu menjadi sangat melelahkan. Ishwari harus segera menyelesaikan masalah yang Alya temukan. Karena, mungkin saja ada seseorang yang berada di dalam Ishwari yang sengaja Arbi kirimkan untuk mengetahui ide-ide Ishwari lebih banyak lagi. Dan mereka jelas harus menemukan itu, menghentikannya.

Hari itu, Gista bahkan harus mengingkari janjinya pada kedua anak laki-lakinya untuk menjemput mereka pulang dari les karate. Gista masih bertahan di Ishwari sampai pukul tujuh malam. Dia tiba di rumah saat hari sudah benar-benar gelap. Biasanya di jam-jam itu dia akan menemukan dua anak laki-lakinya tengah berada di dalam kamar, entah sedang mengerjakan PR atau sekadar membaca.

Dan benar, saat bergerak masuk. Di ruang tengah, Gista menemukan Raga tengah berada di depan tumpukkan buku yang berada di atas meja ditemani oleh Mbak Dwi, sementara  Raja tengah menyusun lego di atas karpet seraya memegang ponsel dan mengarahkan ke wajahnya.

“Malam ....” Gista melangkah masuk. 

Mendengar suara ibunya, Raga hanya menoleh dan menyahut pelan sebelum kembali fokus pada buku bacaannya. Sementara Raja bergegas menjelaskan. “Aku pinjam HP Bi Rifah cuma untuk telepon Papi, tadi ada lego yang susah aku pasang, Mim.” Raja melakukan klarifikasi. Karena, Gista memberlakukan aturan pada kedua anaknya, mereka hanya bisa memainkan ponsel milik mereka sendiri pada akhir pekan. “Aku ngerjain PR dan baca lebih cepat, jadi Mbak Dwi izinin aku main lego.” 

“Tapi bukan berarti kamu bisa pinjam terus HP Bi Rifah kan, Ja?” Gista menanggapi sembari melangkah menuju pantri. Dia mengambil gelas, mengisinya dengan air. Lalu duduk di stool sembari mengumpulkan energi untuk naik ke lantai dua, ke kamarnya.

Di sana, Gista baru melepaskan kedua sepatunya, kakinya bergerak naik, menginjak penyangga di lingkaran bagian bawah stool. Gista menoleh ke belakang, melihat Raga tampak sudah membereskan bukunya dibantu Mbak Dwi. Sementara Raja masih berbicara pada seseorang di telepon.

Gista sedang tidak ingin melarang dan memerintah, hari ini dia sudah banyak melakukannya di Ishwari. Jadi, dia biarkan Raja berada di ruangan televisi lebih lama sementara adiknya sudah beranjak ke kamar. 

“Udah jadi nih, Pap. Keren, kan?” tanya Raja.

Samar-samar, Gista bisa mendengar suara Kalil di seberang telepon, pria itu menanggapi. Setelahnya, entah apa yang mereka bicarakan. Gista hanya menghabiskan air putihnya lalu meraih seluruh rambutnya yang terurai dan menyatukan dalam satu genggaman, sementara tangan Gista yang lain masih mencari-cari ikat rambut di dalam tas. 

Dan bertepatan dengan hal itu, Raja tiba-tiba saja berlari ke arahnya. Ponsel milik Bi Rifah yang masih menyala, dia taruh dengan posisi berdiri, bersandar pada gelas di hadapannya.

“Titip, Mim—Aduh, aku nggak tahan mau pup.” Lalu, langkah cepat Raja segera menghilang di balik pintu kamarnya.

Satu tangan Gista masih terangkat untuk memegang rambut, tangan yang lain refleks membenarkan ponsel yang hampir jatuh karena ditaruh asal bersandar pada gelas kosong. Namun setelahnya, dia membeku. Diam. Layar ponsel di depannya masih menyala. Di sana, dia menemukan wajah Kalil tengah menatap ke arahnya.

Ternyata Raja sedang melakukan video call dengan papinya sebelum menaruh ponsel itu di hadapan Gista. Anak itu, benar-benar! 

“Udah pulang, Neng?” tanya Kalil. Pria itu seperti sengaja menaruh ponselnya bersandar pada benda di hadapannya, sehingga Gista bisa melihat bagaimana pria itu masih berada di balik meja kerjanya. Di kantor. Cahaya laptop di hadapannya memapar wajah. 

Kenapa Gista harus terjebak dalam keadaan seperti ini di saat masih sangat menghindari pria itu? Gista menoleh ke arah pintu kamar anak-anaknya yang masih tertutup. Ke mana Raja?

“Tumben pulangnya malam banget?” Kalil bertanya lagi, santai sekali, padahal Gista sudah sangat kikuk. 

“Mm ....” Gista menggumam. Dia tidak jadi mencari ikat rambut, hanya mencepol rambutnya itu secara asal. Pasti tampak berantakan, tapi ... itu adalah usaha terakhirnya saat salah tingkah. “Tadi ada ... sedikit masalah di Ishwari.” 

“Oh .... Tapi aman?” tanya Kalil. 

Gista mengangguk kecil. “Aman ... kok,” gumamnya. Walau sebenarnya, semua sedang tidak baik-baik saja. Hari ini, pekerjaannya kacau, bahkan dia meninggalkan Ishwari saat belum menemukan jalan keluar. Arbinawa keterlaluan, dia mengorek banyak hal tentang Ishwari ternyata. Gista ingin mengadukan hal itu, entah pada siapa, tapi pasti terdengar bodoh sekali. 

Setelahnya, Gista melihat pria itu menggeser laptopnya agak menjauh. Lalu kini, dia memutar sedikit posisi duduknya menjadi menghadap sepenuhnya ke arah kamera ponsel. Di layar itu, hanya tampak sisa-sisa penampilan rapi di saat malam hari. 

Kalil jelas sudah menarik longgar simpul dasinya, satu kancing kemejanya terbuka. Wajahnya kelihatan lelah, rambutnya kini tidak bisa dibilang rapi. Penampilan itu, dipapar oleh cahaya dari layar laptop dari sisi kanan. Sehingga, di wajahnya ada bagian yang terang, ada bagian yang gelap.

Dalam keadaan apa pun, pria itu sangat tahu bahwa penampilannya adalah hal menarik bagi para wanita. 

Termasuk Gista?

Karena ... rasanya Gista sempat menahan napas saat menatapnya tadi. 

Bahkan, Gista masih bisa membayangkan saat malam-malam kemarin wajah itu berada begitu dekat di hadapannya. Lalu, aroma es itu dia cium kuat. Dan mereka—Gista berdeham kencang. Bisa-bisanya dia membayangkan lagi malam itu. [Additional Part 43] Saat ini, dia harus mengakhiri percakapan secepatnya. “Mas, kayaknya aku—“

“Udah sembuh?” tanya Kalil. “Raja bilang, kamu langsung kerja keesokan harinya. Aku pikir kamu akan beristirahat lebih lama.” 

“Aku baik-baik aja kok ....” Gista mengusap sisi lehernya. Dia tidak pernah sakit kemarin-kemarin. Dia hanya sedang salah tingkah dan tidak bisa memikirkan apa pun selain wajah pria di hadapanny itu. “Jadi, nggak ada yang perlu dikhawatirkan.”

“Leher kamu?” tanya Kalil. “Yang kata Raja digigit tungau itu?” [Additional Part 43: Vol. 2]

Pasti wajah Gista sudah menjadi sangat merah sekarang. Karena, dia merasa seluruh darah di tubuhnya berlomba-lomba untuk naik ke wajahnya, memberi tahu kalau dia sedang malu. “Mas—“

“Maaf, ya?” Kalil bergumam. “Seharusnya malam itu aku bisa menahan diri untuk nggak—“

Kali ini Gista berdeham kencang sekali. Bisa-bisanya Kalil membahas hal memalukan itu di saat wajah mereka saling tatap begini. Bukankah itu sama saja seperti mempermalukan diri sendiri? “Raja kayaknya langsung tidur ... deh.” Gista menoleh lagi pada pintu yang sejak tadi tertutup rapat. “Dia mungkin lupa lagi telepon kamu. Lagian ini HP Bi Rifah. Nggak enak dipinjam lama-lama.” 

“Ya udah, kalau gitu ganti pakai HP kamu aja gimana?” Kalil hendak meraih ponselnya. “Aku VC ke nomor kamu, ya?”

“NGAPAIIIN?” Gista panik duluan. 

Dan Kalil mengernyit mendengar suaranya yang histeris itu.

“M-maksudnya ... nggak ada yang harus kita bicarakan lagi, kan?” tanya Gista. “Udah malam juga.”

Kalil melirik arloji di pergelangan tangannya. Ini masih pukul delapan malam sih. Jadi alih-alih menyudahi sambungan video call yang tidak pernah mereka rencanakan itu, Kalil bertanya. “Tadi Raja ajak aku untuk pergi ke acara family gathering yang diadakan oleh sekolahnya. Dia bilang, aku harus datang kalau ada waktu,” ujarnya. “Dia nggak memaksa sih ....”

“Lalu kamu jawab apa?” Di titik itu, Gista juga tidak akan menawarkan—memaksakan—lagi padanya untuk ikut atau tidak, tapi dia tetap penasaran. “Jaga-jaga kalau memang kamu nggak bisa ikut, aku akan ajak Alya.”

Kalil mengangguk. “Raja bilang, ketika datang kita harus pakai kaus tim yang berbeda-beda untuk setiap keluarga?” tanyanya.

Gista mengangguk. “Kausnya akan dibagikan oleh pihak sekolah mendekati hari H.” 

Kalil mendekat, dua tangannya bersedekap di depan ponselnya. Dan bodohnya, hal itu membuat Gista berjengit mundur seolah-olah tubuh pria itu hadir nyata untuk mendekat. “Kirim ke alamatku kalau begitu. Kausnya,” ujar Kalil. “Tapi kayaknya aku akan langsung ke tempat tujuannya, dan nggak akan sempat menjemput kalian. Nggak apa-apa, kan?” 

***

post-image-661fcc465f6e2.jpeg

 

Pengawal Mima

[You, Kalil Sankara, Raja, Raga, Bi Rifah]

Bi Rifah

Pap? Kaus buat acara nanti udah Papi terima? Mima bilang, udah Mima kirim kemarin. 

Kalil Sankara

Raga atau Raja?

Bi Rifah

Pap? Kaus buat acara nanti udah Papi terima? Mima bilang, udah Mima kirim kemarin. (Raja)

Kalil Sankara

Kenapa ya Papi selalu kaget tiap Kali kali Bi Rifah manggil ‘Pap’.

Padahal harusnya Papi tahu kalau nggak kamu, ya Raga yang pakai HP Bi Rifah. 

Bi Rifah

Bukan weekend, Pap. Mima ga bolehin main HP. (Raja)

Kalil Sankara

Tapi kan sama aja. Kamu mainin HP Bibi? 

Bi Rifah

Kaus, Pap? (Raja)

Kalil Sankara

Udah nyampe kausnya. Om Dipta yang terima.

Thank you ya.

Bi Rifah

Oke. Nanti Papi Cobain ya, soalnya Miss Alisa bilang, kalau bajunya ga muat bisa ditukar. (Raja)

Kalil Sankara

Oke. Bos.

Sampai rumah Papi cobain. 👍🏻

Bi Rifah

Papi pulang jam berapa? (Ini Raga)

Kalil Sankara

Malamnih.

Masih ada kerjaan.

Bi Rifah

Jam? (Raga)

Kalil Sankara

10? 11?

Bi Rifah

Jangan malam-malam. Besok pagi kan harus langsung ke Lembang. (Raga)

Kalil Sankara

Nyampe rumah Papi langsung tidur kok. 

Janji.

Bi Rifah

Jangan lupa kausnya dibawa. (Mima)

Kalil Sankara

Oke, Mim. 

 

***

Semalam, mereka sibuk berkemas. Raja dan Raga mengatur sendiri barang-barang yang akan mereka bawa. Namun, Gista harus kembali memeriksa pada pagi harinya. Sebagian Gista taruh kembali, sebagian tetap berada di dalam koper. Ada dua koper, satu koper besar yang berisi barang bawaan kedua anaknya, satu lagi koper miliknya. 

Dan sekarang, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Seharusnya, mereka sudah berangkat. Pak Wawan bahkan sudah menaikkan semua barang bawaan ke bagasi. Raja dan Raga berlarian dari dalam rumah dengan kaus putih bercorak orange-kuning, sama dengan kaus yang Gista kenakan.

Dan seharusnya, Kalil juga sudah datang mengenakan kaus yang sama. 

Gista berdecak, masih mengotak-atik ponselnya. Sejak tadi, Kalil tidak bisa dihubungi. Dan Dipta juga berkata bahwa hari ini dia tidak masuk kerja karena Kalil memintanya untuk cuti.  

“Bu, mau berangkat sekarang?” tanya Pak Wawan. 

Gista mengangguk. “Kayaknya kita berangkat sekarang aja deh, Pak.” 

“Papi?” Suara itu terdengar bersamaan. “Gimana, Mim?” 

“Papi langsung ke tempat tujuan kok nanti, kita tunggu di sana.” Gista menatap layar ponselnya yang belum menampilkan notifikasi apa pun dari Kalil. “Kalau kita nggak berangkat sekarang, nanti kita telat.” 

 Raja dan Raga jelas tampak kecewa, tapi mereka tidak bicara apa pun. Mereka menurut dan masuk ke dalam mobil. Ketiganya duduk di jok penumpang, Gista duduk di paling sisi. Sementara itu, Pak Wawan sudah mulai melajukan mobil. 

Selama di perjalanan, Gista masih menunggu kabar Kalil dengan resah. Bukan, ini bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kedua anak-anaknya yang sudah menanti kedatangan papinya itu dengan penuh harap. Pasti akan sangat mengecewakan jika Kalil tiba-tiba membatalkan janjinya. Namun, sebuah pesan masuk datang menjawab resah Gista.

Dipta

Selamat pagi, Bu. 

Saya mendapatkan kabar bahwa pagi ini Bapak berada di PIK bersama salah satu rekan bisnisnya. Ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan dan harus diselesaikan sekarang juga.

Gista tanpa sadar menahan napas saat membaca pesan itu. 

Dia membeku. 

Bingung, apa yang akan dia jelaskan pada dua wajah ceria penuh harap di sampingnya yang sejak tadi tidak berhenti berceloteh untuk mengomentari ini-itu selama perjalanan?

 Namun, Gista memutuskan untuk tidak buru-buru menjelaskan pada kedua anaknya itu. Dia diam, berharap mendapatkan kabar baru. Mungkin dari Kalil sendiri? Yang benar-bensr menjelaskan bahwa dia tidak bisa datang, beserta alasannya yang masuk akal. 

Dan benar, sesaat setelah itu, Kalil mengirimkan sebuah pesan singkat padanya. 

Ini adalah kejelasan.

Kalil Sankara

Tiba-tiba ada kerjaan. Ini nggak  bisa diprediksi sama sekali. 

Saat itu, di bawah nama kontak Kalil, terdapat keterangan ‘typing’ artinya, mungkin pria itu hendak menjelaskan alasan tentang kenapa dia membatalkan janji? Namun, Gista ingin mendengarkan langsung dari bibir pria itu. 

Jadi kini, Gista menekan nomor kontak itu. Meneleponnya. Nada sambung terdengar. Sekali, dua kali putus, Kalil mengangkatnya.

“Halo? Neng?” Suaranya berbisik. Mungkin dia masih meeting?

“Kamu sengaja melakukan semua ini?” Suara Gista yang lantang membuat kedua anaknya menoleh, menatapnya dengan wajah bertanya-tanya. Gista menghindari dua tatap penuh tanya itu, karena dia rasakan napasnya begitu sesak sekarang. “Mas, dengar—“ 

“Nggak—Tunggu. Dengerin dulu. Ini masalahnya penting sekali. Aku sedang ada pertemuan di—“

“Oh ya .... Kerjaan kamu memang penting.” Suara Gista bergetar. Tidak bisa dipercaya bahwa sekarang dia hampir menangis di hadapan dua anak laki-lakinya karena seorang Kalil Sankara—salah satu anggota grup chat ‘Pengawal Mima’ itu. “Semua sangat penting. Kecuali—“ Gista memalingkan wajah, berusaha tidak terdengar Raja dan Raga suaranya, “—kecuali anak-anak kamu. Begitu?” 

Kalil malah terkekeh. Dan di titik itu, Gista merasa disepelekan. 

“Lakukan apa pun yang ingin kamu lakukan, Kalil Sankara.” Gista sudah sangat marah. 

Tanpa menunggu Kalil.bicara, Gista mematikan sambungan telepon. Dia masih tidak berani menoleh dan tetap mengarahkan wajahnya ke sisi kaca jendela. Tangannya menggenggam erat ponsel, dia matikan dayanya segera agar Kalil tidak bisa menghubunginya. 

Gista muak. 

Gista terlalu marah, dia masih belum bisa menerima Kalil membatalkan janjinya, jadi dia belum bisa menjelaskan apa pun pada dua anak laki-laki di sampingnya. Namun, sebuah usapan lembut di pundaknya membuat Gista menoleh, Raga tersenyum. Sementara itu Raja langsung datang memeluknya. 

Di detik itu, seharusnya Gista malu. Karena, mungkin saja saat itu kekecewaannya terlalu berlebihan? Jika dia pikir bahwa dia marah untuk mewakili kedua anaknya, itu seharusnya membuatnya bertanya-tanya. Karena, Raja dan Raga tampak biasa saja. Mereka tampak santai menanggapi ketidakhadiran ayah mereka di acara family gathering itu.

Jadi ..., siapa yang paling kecewa di sini sebenarnya? 

Mereka tiba tiga puluh menit kemudian. Di Padmara Resort. Resort itu memiliki lahan parkir yang luas dan kosong. Mungkin hanya satu per tiga terisi bahkan ketika seluruh siswa Skyway dan keluarganya hadir. Gista mencibir, tidak bisa mengenyahkan jiwa kompetisinya membayangkan wajah Padma nanti. 

“Bapak langsung pulang aja ya, Pak. Nanti saya telepon kalau udah pulang,” ujar Gista pada Pak Wawan. 

Pria paruh baya itu mengiyakan. Dengan cekatan dia menurunkan semua barang bawaannya. “Mau saya antar ke kamar untuk bawain barang-barangnya, Bu?” 

Gista menggeleng. “Nggak usah, Pak. Bisa saya bawa sendiri,” ujarnya. 

Setelah Pak Wawan pergi, Gista bergerak membawa dua koper diiringi dua anak laki-lakinya yang kini mengikuti langkahnya. Mereka melewati jalan dengan tiang-tiang di sisi kanan kiri yang melengkung di bagian atasnya, menyangga pohon rambat yang membuat jalanan itu teduh. 

Mereka berjalan menuju kamar yang sudah ditentukan sebelumnya. Di sana, mereka hanya perlu menunggu petugas datang untuk memberikan kunci kamar. Dan mereka tiba, di kamar bernomor 210. Kamar itu adalah bangunan kayu. Setiap kamar dipisahkan oleh taman berumput hijau berukuran sekitar dua meter dengan kamar lainnya. 

Gista dan kedua anaknya sudah tiba di teras kayu rumah itu. Menunggu. Anak-anaknya sabar, sementara Gista sesekali masih menggerutu. “Tahu ini, Mima ajak Mbak Dwi atau Tante Alya.” Dia mendengkus. “Maafin Mima ya, tadi sempat marah-marah.” Dia takut sekali mengacaukan suasana di acara itu.

Namun, kedua anaknya tampak tenang dan baik-baik saja. “Udah, Mim. Nggak apa-apa.” Mereka malah  menenangkan rasa bersalahnya. 

Gista menyematkan kacamata hitamnya di rambut, lalu bergerak merogoh tas untuk meraih ponsel. Dia mengaktifkan kembali daya ponselnya, tapi tiba-tiba saja, sebuah suara menyapanya.

“Selamat pagi ....”

Gista mendongak. Dia menemukan Padma tengah tersenyum padanya, ada kacamata hitam yang bertengger angkuh. Wanita itu, mengenakan kaus dengan corak sama, tapi warnanya berbeda. Dia memiliki warna biru dan merah muda untuk kaus keluarganya, disambung hot pants dan sepatu olahraga. 

“Ini kunci kamarnya.” Padma, wanita picik itu, seperti sengaja mendatanginya hanya untuk mengejek. “Kalau butuh apa-apa, bisa hubungi saya.”

“Wah, saya baru kali ini menemukan owner yang rendah hati sekali. Terima kasih.” Gista menerima kunci kamarnya.

Sementara itu, Padma masih celingak-celinguk, entah apa yang dia cari. Atau memang dia sengaja bertingkah demikian untuk terang-terangan mengejek Gista lagi? “Saya pikir Anda akan datang bersama ayah dari anak-anak.” Dia menyeringai. Walau keji, dia masih punya hati agar suaranya tidak didengar oleh Raja dan Raga. “Menyedihkan sekali. Apakah rumor yang selama ini beredar adalah ... benar?” 

“Rumor apa yang Anda dengar?” Gista masih berusaha tenang walau dia ingin sekali menjambak rambutnya yang sengaja digerai itu. 

Padma menggeleng. “Anda tidak perlu tahu. Itu menyakitkan.” Dia mengambil satu langkah mundur. Lalu, mengangguk sopan, lagi-lagi, setiap geraknya tampak mengejek. “Semoga Anda bisa menikmati suasana Padmara yang hangat dan penuh cinta ini.” Dia mencebik. Lalu menggeleng iba. “Pasti berat sekali ya menjadi single mom.” 

Sesaat setelah Padma pergi, Gista berbalik untuk membuka kunci pintu kamarnya. Dia sembunyikan wajah kesalnya saat mendorong koper melewati pintu. Saat itu, dia bersorak. “Yeay! Nyampe!”

Di balik seruannya, sebenarnya Gista sekali meminta maaf pada kedua anak laki-laki yang kini berlarian membantu mendorong koper. Benar-benar, seharusnya dia tidak membawa kedua jagoannya ke tempat yang ... menyebalkan itu.

Maafkan, Mima, gumamnya. Namun tidak pernah terucap lagi.

Setelah membereskan barang-barang yang mereka bawa dan diberi waktu istirahat yang cukup lama, mereka dipanggil untuk segera menuju ke area permainan. Ada area luas berumput hijau serupa lapangan. Di sisinya, ada dinding-dinding tinggi pembatas yang ditumbuhi pohon merambat yang sama hijau, bangku-bangku besi bercat putih berada di bawah pohon kamboja berbunga merah. 

Di lahan luas itu semua peserta berbaris sesuai dengan kelompok anggota keluarganya. Dan Gista mendapatkan barisan agak dekat ke ujung karena datang mendekati waktu akhir. Masing-masing keluarga yang sudah berbaris rapi didatangi oleh para pemandu acara dan melakukan ‘berhitung’ secara mandiri. 

Tiba gilirannya. Barisan keluarganya adalah Raja, Raga, Gista. Jadi mulai dari Raja, yang menyebutkan hitungan pertama. 

“Satu.” Raja berteriak antusias. 

“Dua.” Raga tidak mau kalah.

 “Tiga.” Gista seharusnya menjadi yang terakhir.

Namun setelahnya. Sebuah suara lain terdengar. “Empat!” 

Gista menoleh cepat. Di belakangnya kini, dia dapati seorang pria berkemeja biru muda yang baru saja melepas kacamata hitamnya dan meloloskan lubang kaus putih bercorak orange-kuning melalui kepalanya. Pria itu mengenakan kembali kacamatanya, mengabaikan rambutnya yang tampak sedikit berantakan. Dia datang? Gista berbalik, berusaha mengabaikannya, tapi dari arah belakang, pria itu malah berbisik di samping wajahnya. “Jangan marah ....”

 

***

 

 

 

PASTI MAU UPDATE CEPWEEETTT KANNN?

 

KOMENNYA DULU LAH BUAT IMBANGIN SEMANGATNYA KALIL 😋🔥🔥🔥

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Divorced with Benefits | [45. Marshmallow and Night]
713
180
[TSDP #7]Gista Syaril  merasa hidupnya sudah berada di titik yang diimpikan: menjadi wanita mandiri, sibuk, mapan, hebat, sesuai dengan checklist yang sejak dulu tersemat di balik notes kecilnya.Namun menurutnya, pencapaian tertinggi yang berhasil dia gapai dalam hidupnya adalah bercerai dengan Kalil Sankara, pria kaya raya yang posesif dan manipulatif. Pencapaian terbesar dalam hidupnya adalah berhasil meninggalkan Kalil Sankara, Si Pengekang yang mencintainya seperti orang gila.  Namun siapa sangka, pasca tiga tahun bercerai, ketenangan hidupnya harus kembali terganggu. Mantan suaminya kembali, kali ini dia hadir bersama kekasihnya-Alena Hirya-sebagai sepasang calon pengantin yang mesti Gista urus segala keperluan pernikahannya.Sial. Seharusnya mudah saja mengabaikan seorang Kalil Sankara Si Masa Lalu. Namun ternyata, pria itu masih mampu mengoyak kembali takdirnya sampai pilu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan