
[TSDP #7]
Gista Syaril merasa hidupnya sudah berada di titik yang diimpikan: menjadi wanita mandiri, sibuk, mapan, hebat, sesuai dengan checklist yang sejak dulu tersemat di balik notes kecilnya.
Namun menurutnya, pencapaian tertinggi yang berhasil dia gapai dalam hidupnya adalah bercerai dengan Kalil Sankara, pria kaya raya yang posesif dan manipulatif. Pencapaian terbesar dalam hidupnya adalah berhasil meninggalkan Kalil Sankara, Si Pengekang yang mencintainya seperti orang gila.
Namun siapa sangka,...
Divorced with Benefits | [39. Dua Kupu-kupu Putih]
Ga lama kaaannn.
Selamat membaca yaaa. Semoga sukaaa.❤️
***
Kalil bahkan tidak tahu bahwa keenam bapak-bapak itu memiliki jadwal playdate bersama anak-anak mereka dengan jadwal teratur. Katanya, minimal satu bulan sekali mereka punya jadwal berkumpul di satu rumah sambil membawa anak sementara istri-istri mereka memiliki waktu untuk mereka nikmati sendiri.
Oh, apakah semenyedihkan itu nasib menjadi seorang ayah?
Sesekali, para teman prianya itu akan mengejar masing-masing anak mereka, menasehati, melarang ini dan itu, memberi aturan, sebelum akhirnya mereka melepas kembali para monster kecil itu. Benar, keputusan yang tepat memang memilih ‘rumah saja’ sebagai tempat untuk bermain dibandingkan melepaskan para monster kecil itu di kids area di sebuah pusat perbrlanjaan. Akan sangat melelahkan sekali sepertinya.
Ada sebuah pengakuan. “Habis dari Kidzania, baliknya gue lemes banget kayak habis nge-gym.”
“Mending nge-gym nggak, sih? Nggak pakai emosi? Dan nahan-nahan sabar nggak boleh teriak?”
Anak-anak itu bermain di area belakang rumah kediaman Arjune yang sudah disulap bak taman bermain. Mereka berlari, saling mengejar, saling tarik, sesekali terjatuh, bergelantungan, memanjat, melompat. Demi Tuhan .... Bahaya sekali cara bermain mereka. Beberapa suster yang sengaja mendampingi mereka bahkan tampak kewalahan. Para ayah kelelahan.
Dan Kalil diam di sana bergabung bersama para pria yang sesekali akan diteriaki dari kejauhan saat mereka kesulitan atau salah satu teman mereka melakukan hal berbahaya.
“Piaaa! Celanaku nyangkut!”
“Yaya! Rambutku detarik Yesa!”
“Ayah, Gege mau gigit aku!”
“Yayay, ta num.”
“Papap, nonon nanah.”
“Popa popa Moma.”
Para monster kecil itu sudah mengganti nama-nama semua pria menjadi nama-nama konyol yang mereka kehendaki. Memanggil, meminta ini-itu dengan kalimat yang bahkan tidak dimengerti oleh manusia. Namun ajaibnya ayah mereka bahkan melakukan hal yang mereka minta tanpa perlu mengulang dua kali kalimat tidak jelas itu.
Ada delapan bocah di sana. Kalil menunjuk satu-satu, menggumamkan nama-nama mereka dengan kening mengernyit, mengabsen satu-satu sambil menghafal. Karena syarat masuk dan bergabung di halaman belakang itu, dia harus mampu menyebutkan semua nama.
Jeandru Kama Bimantara.
Jeandra Kale Bimantara.
Samahita Ghea.
Arkayesa Pilar.
Shaneen Yua Janitra.
Ariella Advaya.
Ariello Advaya.
Ashana Hamami.
Berhasil. Kalil berhasil menyebut nama lengkap mereka satu per satu. Dan setelahnya, dia tidak tahu apa gunanya karena masing-masing dari nama panjang itu hanya akan dipanggil seperti: Samahita Ghea menjadi Gege misalnya.
Di bawah pohon ketapang kencana yang daunnya rimbun dan melebar menyerupai payung berumpak-umpak itu, ada tujuh pria yang duduk-duduk di kursi kayu sambil memandangi para bocah itu bermain.
Kalil pikir hanya dia yang jarang datang untuk menyaksikan momen playdate itu sehingga bocah-bocah itu menatapnya asing. Namun, ternyata Kaivan juga belum pernah melakukannya. Mungkin pria itu juga sama, ngeri saat menghadapi anak kecil seperti apa yang Kalil rasakan sekarang.
Para ayah itu baru bisa tenang saat para makhluk kecil itu berkumpul di satu titik untuk bermain pasir mekanik. Di jeda itu, mereka mulai bisa kembali mengobrol.
“Intinya, storberi yang kita petik hasil panas-panasan di Lembang kemarin, diterima nggak?” tanya Janari.
“Gue rasa sih nggak ya, masih bagus nggak dilempar ke mukanya.” Hakim menunjuk wajah Kalil.
“Bukan cuma lo yang punya ego, Kal.” Favian menutup botol air mineral yang baru saja ditenggaknya. “Bukan cuma lo yang merasa terluka egonya.” Dia menatap Kalil serius. “Bayangin lo jadi Gista, hamil dari seorang pria yang merupakan calon suami orang. Gimana? Lo pikir dia akan terima lo dengan semua keadaan ini?”
Kalil sadar, kemarin dia terlalu terburu-buru. Dia terlalu menggebu-gebu. Bahkan sebelum menjelaskan hubungannya dengan Alena, juga rencana pernikahan sialan itu, dia sudah menyatakan cinta pada Gista. Jelas saja wanita itu semakin menjauhinya, semakin menyingkir.
“Lo sama Gista kayaknya harus duduk berdua deh, ngobrol yang tenang,” ujar Kaezar.
Bagaimana caranya mau bicara? Saat bertemu saja, Gista sudah langsung memberikan sikap marah dan menunjukkan kebencian. Namun wajar saja, Kalil yang membuat skenario hubungan mereka menjadi sangat berantakan seperti itu. Namun, dia tidak menyangka bahwa takdir menuliskan skenario lain.
Ada janin di dalam tubuh wanita itu, yang juga miliknya. Yang menjadikan semua hal menjadi lebih rumit.
“Gue harus menjelaskan bahwa pernikahan dengan Alena hanya sekadar rencana. Pernikahan akan tetap berlangsung, tapi antara Alena dengan pria lain.” Kalil hanya membutuhkan Alena untuk menyerang Gista saat itu.
“Yah ....” Kaezar mendengkus. “Memang brengsek banget sih lo itu.”
“Lo yakin Alena nggak akan bertindak di luar perjanjian lo dan dia?” Selidik Arjune.
Kalil menggeleng. Dia tidak yakin. Karena Alena itu ular. “Gue akan meringkus Alena sebelum dia bertindak di luar perjanjian. Tapi dia harus berpikir tentang banyak hal sih kalau pun mau melakukan tindakan di luar batas, taruhannya bukan cuma antara gue dan dia, tapi orangtuanya, perusahaannya ..., semuanya.”
“Rumit ya .... Masalah orang kaya.” Favian menggeleng heran.
Kalil mendengkus, hendak meraih rokok dari sakunya karena akhir-akhir ini dia selalu membutuhkan benda itu. Namun, dia tertegun, sadar bahwa dia sedang berada di sekelilingnya bicah-bocah kecil itu berlarian. “Kayaknya semua udah terlalu rusak untuk diperbaiki, ya?”
“Tapi bukan berarti nggak ada kesempatan untuk membuat keadaannya membaik.” Jarang-jarang ucapan Janari waras.
“Mungkin Kalil sama Gista butuh bantuan lo, June?” tanya Hakim. Dia setengah bebaring pada bean bag hitam yang didudukinya.
“Apaan?” Arjune menoleh. Menatap Hakim yang hanya terkekeh. “Oh ....” Dia menemukan klunya. “Harus gue kunciin paksa juga di satu ruangan kayaknya ya dua manusia itu?” tanyanya pada Hakim.
Kalil mengernyit, tidak mengerti.
“Gue pernah ngunciin Favita dan Hakim di satu ruangan belum jadi—di suatu proyek gitu—waktu keduanya masih sama-sama keras kepala,” jelas Arjune. “Tapi serius, ngobrol berdua tuh jalan terbaik. Karena habis itu gue dapetin Hakim tidur berdua sama Favita saat gue nunggu nahan kunci dari luar.” Mendengar ucapan Arjune, Hakim langsung tertawa seraya bangkit dari posisinya.
Namun, sebelum berhasil mencegah, Arjune sudah kembali bicara dengan telunjuk yang menuduh semua orang di hadapannya. “Lo bayangin. Gue nungguin Hakim sama bininya sampai ‘selesai’ di depan pintu. Kurang tolol apa gue? Dan sekurang ajar apa Hakim-Favita saat itu?”
Semua tertawa. Sementara Hakim tampak sudah pasrah karena rahasianya dibongkar. Pada akhirnya, tidak ada yang memiliki jalan keluar atas masalah yang Kalil miliki. Memangnya apa yang diharapkan dari sekumpulan pria yang juga mengalami hampir kandasnya percintaan mereka dan hanya berharap diselamatkan oleh takdir?
Kalil tengah memperhatikan bagaimana anak-anak itu mulai bosan dengan pasir mekanik yang mereka mainkan, kerumunan kecil itu terurai. Beberapa dari mereka menjauh untuk kembali masuk ke arena bermain, sementara itu, ada bocah kecil perempuan yang usianya menginjak lima atau enam tahun menghampiri Kalil.
Sejak tadi, gadis kecil itu menggelayuti Sungkara selain ayahnya sendiri, tapi kali ini Kalil menjadi sasaran. “Di sini nggak boleh merokok.” Wajah kecilnya menggeleng. Matanya bulat, berbinar, cantik sekali.
Kalil melihat satu kotak rokok di tangannya. Dia memang tidak akan merokok di sana, dia akan mencari tempat lain. “Oke.” Kalil mengembalikan rokok ke dalam saku celananya.
Sebelumnya, Kalil tidak begitu menyukai anak kecil. Pun sebaliknya, tidak pernah ada anak kecil yang sengaja datang menghampirinya dan mengajaknya bicara. Mungkin bagi mereka, Kalil terlihat menyeramkan? Dan tidak bersahabat?
Namun, setelah kehadiran Freya, sedikit demi sedikit Kalil mengerti caranya berkomunikasi dengan makhluk-makhluk jujur itu. Sesaat sebelum Kalil berpikir tentang apa yang akan dilakukan oleh Gege, gadis kecil itu tiba-tiba saja duduk di pangkuannya, duduk di salah satu pahanya.
Momen itu tidak disadari teman-temannya, mereka kini sedang sibuk menangkap satu per satu anak mereka untuk tidur siang. Jadi, di sana, hanya ada Favian yang tengah duduk tenang seraya mengotak-atik ponselnya karena Gege tidak perlu ditangkap seperti yang lain.
“Om lagi banyak kerjaan?” tanyanya.
Kalil mengerjap-ngerjap. Sebelumnya dia tidak pernah menerima sikap agresif dari anak kecil. Apalagi perempuan. Freya cukup kalem dengan tidak tiba-tiba duduk di pangkuannya.
“Oh, lagi banyak masalah, ya?” tanya Gege lagi. “Bubu bilang, kalau Yaya lagi ngerokok terus pergi ke luar, itu Yaya lagi banyak kerjaan. Jadi ada masalah di kepalanya. Yaya suka curi-curi waktu ngerokok.”
Favian terkekeh.
Sementara Kalil hanya bergumam. “Oh, begitu?”
Gege mengangguk. Dia menggaruk kecil hidungnya. Lucu sekali. “Tapi, Om. Merokok itu nggak sehat,” ujarnya memberi tahu.
“Wah .... begitu ya ....” Kalil mengeluarkan rokok dari saku celana, lalu menaruhnya di meja.
“Om punya masalah apa?”
“Om Kalil lagi patah hati. Wanita yang Om Kalil suka lagi marah.” Kali ini Favian sudah selesai dengan ponselnya dan dia mulai ikut campur dengan percakapan yang terjadi di antara Gege dan Kalil. “Coba Gege kasih tahu, apa yang harus Om Kalil lakukan?”
“Kejar lagi.” Gege melotot. Meyakinkan Kalil. “Cium. Peluk. Kalau masih marah, kasih hadiah; cincin. Begitu Yaya kalau Bubu lagi marah.”
Favian tertawa. Dan Kalil mengangguk-angguk. “Oke. Om Kalil akan lakukan itu.”
Mereka masih mendengarkan Gege menasehati. Namun dari kejauhan suara Kama terdengar melengking. “Piaaa, Kale ee.”
***
Tadi pagi, sebelum Gista benar-benar terjaga. Di balik tidurnya, dia bermimpi. Dia sedang berjalan di sebuah taman yang luas, tampak tidak berujung. Di sana, dia sendiri, tapi tidak sedih. Di dalam mimpinya, semua sakit dan risau yang sebelum tidur mengganggunya hilang.
Di sana, langkahnya terayun ringan, membawanya untuk menemukan sebuah danau. Airnya tenang. Lalu, dari kejauhan, dia menatap dua ekor kupu-kupu putih menghampirinya. Kedua hewan bersayap indah itu mengepak-ngepakkan sayap mengelilingi tubuhnya.
Salah satu di antaranya hinggap di pundak, sementara yang lain hinggap di jemarinya. Lalu, kedua kupu-kupu itu terbang, mengajak Gista melangkah untuk menemukan sebuah istana di dekat danau. Dan ....
“Bu, mobilnya sudah siap.”
Gista menoleh mendengar seruan itu. Dia ditarik dari lamunan tentang mimpi yang dia alami semalam, entah apa artinya, entah firasat atas kejadian apa. Atau mungkin hanya bunga tidur belaka yang mewarnai malamnya? Yang jelas, senyumnya masih saja tersisa ketika membayangkannya.
Dia melihat keadaan pesta sudah berjalan kondusif sehingga memutuskan untuk meninggalkan tempat itu lebih cepat. Seorang klien mengadakan pesta di sebuah vila milik keluarganya dan Tim Candani menjadi EO di sana.
Gista pergi setelah bicara pada Alya. Dia menaiki mobil diantar oleh sopir untuk kembali ke Candani sore itu. Selama di perjalanan, dia biarkan isi kepalanya kosong tanpa risau atau kesedihan apa pun. Dia hanya menatap pemandangan yang bergerak cepat dari balik jendela. Dia sadar sejak kemarin sudah terlalu banyak mengajak dua janin kecil di perutnya untuk bersedih dan terus-menerus mendengar tangisnya.
Gista menemukan hampir dua jam perjalanan sampaj tiba di plataran. Lalu, dia bergerak turun dari mobil. Baru saja kakinya menjejak lahan parkir, ponsel di tasnya berdering. Dia keluarkan benda kotak pipih yang kini menyala-nyala layarnya, dia lihat ada satu nama. Pria yang terakhir kali sudah berhasil tidak dia sambut dengan hangat.
Namun, “Halo?” Gista memutuskan untuk menerima telepon itu. Menunggu untuk mendengar seseorang di seberang sana bicara.
“Halo ....” Suaranya terdengar pelan, bahkan ragu saat hendak bicara. Mungkin saja, Kalil Sankara, pria di seberang sana sedang takjub karena Gista mengangkat teleponnya dalam satu kali panggilan. “Bagaimana keadaan kamu hari ini?”
Gista mengangguk kecil. “Baik.” Tumitnya berputar, menghadap pada plataran yang luas, tatapnya memendar. Langit sore sudah tampak, cahaya matahari mulai turun dan berubah menjadi oranye pekat. “Akhir-akhir ini semuanya membaik.”
Benar. Dia tidak memerlukan lagi potongan buah di setiap detik untuk menghalau rasa mual. Dia sudah mulai bisa makan sayur. Sudah mulai bisa mengunyah jagung atau kentang rebus. Dia sudah tidak mual lagi saat mencium aroma nasi walau sampai saat ini masih belum bisa memakannya seperti biasa. Namun tentu saja keadaannya sekarang jauh lebih baik. Dia tidak merasakan mual dan muntah-muntah lagi setiap saat. Hanya pagi hari, dan itu pun sangat wajar.
“Jika semuanya sudah membaik ... boleh kita kembali bertemu?” tanyanya. “Kita harus bicara. Setidaknya satu kali lagi.”
Lihat, kan? Pria itu tidak bisa dipercaya ketika menyatakan untuk menyerah.
“Gis?”
“Aku di Candani.” Jawaban Gista merupakan bentuk persetujuan. Dia setuju. Benar apa yang Kalil bilang, mereka harus bicara. Mereka harus benar-benar selesai dari rasa marah sebelum Kalil menemukan waktunya untuk menikahi wanita lain.
Di kesempatan itu, Gista juga harus bilang bahwa dia tidak akan lagi mengurus semua keperluan di pesta pernikahan nanti. Tugas Gista untuk mempersiapkan pestanya telah usai. Dia akan menyerahkan tugas itu pada Alya dan Tim Candani. Setelahnya, mungkin Gista akan berlibur? Pergi sebentar sepertinya tidak apa-apa. Sambil berpikir, setelahnya apa yang harus dia lakukan?
Karena Gista yakin semuanya tidak akan lagi terasa sama.
Setelah telepon ditutup, Gista kembali mengayunkan langkahnya untuk menuju ke Vila Charu. Hari sudah mulai gelap. Dia akan beristirahat di ruang kerjanya sebelum pulang dan membawa beberapa pekerjaan.
Namun, langkahnya terhenti karena tiba-tiba saja, pandangannya menangkap seorang pria paruh baya kini tengah duduk di Rumah Joglo. Dia duduk di pinggiran teras, tubuhnya condong ke belakang, ditopang oleh dua telapak tangan yang menempel ke teras.
Harja Wirawan. Pria itu menunggunya?
Saat Gista melangkah ke arahnya, pria itu langsung menoleh, tersenyum cerah, seolah-olah dia sudah menemukan seseorang yang ditunggunya. “Hai ....” Dia selalu mampu memberikan ekspresi hangat yang nyata. “Akhirnya kamu pulang.” Kalimat itu mengartikan bahwa dia sudah menunggu lama. Namun senyumnya malah semakin lebar. “Papa lapar. Bagaimana kalau kita makan bersama?” tanyanya.
Malam itu, Gista bergabung dengannya sama-sama duduk di teras Rumah Joglo bersama dua kotak makanan yang mereka pesan. Keduanya duduk bersila, saling berhadapan. Gista bisa melihat bagaimana pria di hadapannya makan dengan lahap, jasnya dia tanggalkan di lantai, hanya tersisa kemeja sedikit kusut dan sisa keringat, membuktikan sekali bahwa hari ini dia telah melewati hari yang lelah.
“Papa akan tinggal di Jakarta selama tiga hari ke depan. Di Amirta.” Dia menyebutkan satu nama hotel. Seperti biasa, dia selalu memberi tahu berapa lama dan di mana dia tinggal selama di Jakarta. “Wah, makanannya enak.” Pria itu terus-menerus bergumam demikian. “Papa sudah menunggu untuk makan malam bersama dengan kamu sejak pagi tadi. Jadi sepertinya ini yang membuat rasanya menjadi sangat enak.”
Gista tersenyum mendengarkan pria itu bicara. Dia suka bagaimana pria itu selalu menyebut dirinya ‘Papa’ dengan suara berat yang rendah. Dia suka bagaimana senyum hangat itu terbit setiap kali bicara. Dia ... terlanjur suka bagaimana pria itu mengunjunginya setiap kali datang ke Jakarta dan mengajaknya makan bersama.
Jadi, bagaimana ini? Bagaimana mengatakan padanya bahwa seharusnya mereka tidak lagi bertemu, seharusnya mereka tidak lagi punya waktu berdua, seharusnya ....
“Kamu punya hari yang baik akhir-akhir ini?” tanya Harja Wirawan. Wajahnya menunduk dan tubuhnya condong ke depan untuk lebih meneliti wajah Gista. Senyum itu usil. “Papa suka melihat wajah kamu tampak lebih berisi....”
“Kelihatan ya berat tubuhku bertambah?” Gista mencebik.
Dan pria itu terkekeh. Dia tarik tubuhnya untuk kembali duduk dengan benar. “Kamu sudah bisa makan dengan baik?” tanyanya. “Dokter mana yang bisa membujuk kamu makan dengan benar lagi?”
Gista menyunggingkan senyum, dia gigit ujung garpu berisi mashed potato yang dia ambil dari kotak makannya. Harja Wirawan tidak tahu menahu terkait kehamilannya, kondisi kemarin, dia pikir hanya karena Gista terlalu sibuk oleh pekerjaan dan lupa pada jadwal makan yang benar.
“Besok Papa ada janji temu dengan beberapa orang. Setelah urusan Papa selesai, bagaimana kalau kita makan siang sama-sama?” tanyanya.
Gista menatap pria yang kini tengah menunggu jawabannya. Seharusnya, Gista bisa menerima ajakan itu. Karena akhir-akhir ini dia mulai suka bagaimana suara Harja Wirawan terdengar begitu dekat, bagaimana melihatnya bercerita dan sesekali ingin tahu tentang Gista.
Namun, Gista mengingat Pramesti. “Besok jadwalku padat,” jawabnya.
“Ah .... Sayang sekali.” Pria itu mencebik, tampak kecewa. “Tidak apa-apa, kita masih punya banyak waktu.” Setelahnya, pria itu melanjutkan suapan demi suapan yang membuat isi kotak makannya habis.
Di sela waktu itu, Gista kembali mendengar bagaimana dia menceritakan harinya. Gista juga mulai bercerita saat pria itu bertanya tentangnya dan apa yang dia lakukan. Takjub sekali saat Gista mendapati dirinya ikut menceritakan tentang dirinya sendiri. Mereka menghabiskan waktu beberapa lama setelah kotak makan mereka habis hanya untuk bicara.
Lalu, pria itu pergi untuk sebuah janji.
Dan Gista kembali duduk sendiri.
Hari sudah berubah gelap dan Gista masih bertahan di Candani. Di Rumah Joglo itu, dia masih bisa merasakan hangat suara pria itu dan senyumnya yang lembut.
Akhir-akhir ini, kehadiran pria itu cukup memengaruhinya. Jadi bagaimana tentang ancaman Pramesti?
Yang Pramesti inginkan, Gista tidak lagi menemuinya. Yang Pramesti inginkan, Gista menghilang. Namun, bagaimana caranya dia menghilangkan jejak dari sosok sebesar Harja Wirawan? Mudah saja bagi Harja Wirawan mencarinya.
Lama, kembali Gista dibuat berpikir.
Satu-satunya jalan, Gista hanya harus membuat hubungan ayah-anak itu kembali buruk dan menyedihkan. Namun apakah Gista sanggup mengecewakan lagi seseorang untuk kesekian kali demi meninggalkannya?
Gista menoleh saat ponselnya berdenting dua kali. Sebuah nomor yang tidak dia kenali mengirimkan sebuah tautan yang mengantarkan Gista pada sebuah halaman berita online.
Harja Wirawan Mundur dari Pencalonan Gubernur Jawa Barat, “Saya ingin mendapatkan waktu istirahat lebih cepat”
Judul berita itu membuat Gista tertegun. Tangannya gemetar, kembali dia ingat bagaimana Pramesti mengancamnya. Jika karier politik Harja Wirawan selesai, maka kamu juga akan selesai.
Karena menurut wanita itu, Gista penyebab semua keputusan yang diambil oleh pria itu. Menurut wanita itu, semua hal buruk yang terjadi pada suaminya adalah pengaruh keberadaannya.
Gista mendapatkan sebuah pesan baru saat tangannya masih menggenggam erat ponsel. Nyaris lupa bahwa hari ini dia juga membuat satu janji. Dengan Kalil Sankara.
Nama pria itu hadir mengantarkan pesan singkat.
Kalil Sankara
Aku di depan Candani.
Udah siap pergi?
Gista tidak memiliki penampilan terbaiknya hari ini. Dia hanya meminta pria itu untuk menunggunya sebentar. Setidaknya, dia harus membenahi riasan wajah dan merapikan rambut sebelum menemuinya. Lalu, setelah dia rasa penampilannya sedikit lebih baik, dia melangkah keluar dari Candani untuk menemui Kalil yang menunggunya.
Gista berjalan melewati plataran, lalu diantar keluar oleh salah seorang petugas keamanan Candani yang kini membukakan gerbang.
Langkahnya terayun tiga kali hingga menjejak paving block di depan gerbang yang masih terbuka itu. Dia melihat mobil Kalil terparkir di seberang jalan, di bawah lampu jalan yang menyorot bagian belakang mobilnya.
Melihat kehadiran Gista, pria itu keluar dari mobilnya. Langkahnya terayun hendak menyebrangi jalan.
Mereka bertatapan dalam jeda waktu itu. Dan Gista sadar di detik berikutnya, bahwa debar untuk pria itu masih bisa dia rasakan kuat di dadanya. Diam-diam dia rindu, diam-diam dia ingin memeluknya.
Kalil lebih bergegas. Langkahnya cepat, nyaris berlari. Namun, sesaat sebelum Kalil tiba di hadapannya, sebuah ledakkan tiba-tiba saja terdengar. Gista rasakan telinganya berdenging nyeri. Benda kecil yang panas baru saja menyerang pundak kanannya dan membuat tubuh Gista kehilangan keseimbangan. Lututnya baru saja menumbuk bagian paving block yang kasar, berlutut dan terperenyak begitu saja.
“Gista!” Kalil menghampirinya cepat. Bersimpuh. Sesuatu yang tadi dia genggam kini menggelinding. Sebuah kotak cincin merah berbentuk stroberi, terbuka, menampakkan isi di dalamnya
Pria itu meraih tubuh Gista dan memeluknya dengan raut wajah gugup dan panik. Dia seolah kehilangan kata, satu tangannya memegang pundak Gista yang kini terasa kebas, tapi Gista tahu di sana titik lukanya. Bisa dia lihat bagaimana tangan Kalil yang terangkat kini berlumuran darah saat menutup bagian yang terluka di tubuhnya itu. “Gis ....”
Seolah kesadarannya baru saja tercecer. Dia mulai menangis. Pria itu mengerang, memeluknya erat.
Kenapa Kalil cengeng sekali malam ini?
Gista ingin menghardiknya, tapi kenapa sulit sekali untuk bicara? Saat melihat Kalil terus berteriak dan menangis, Gista berusaha membuka bibirnya yang kaku. Dengar, Kalil. Gista ingin bicara, tapi nyatanya, suaranya tidak kunjung lepas. Tenggorokannya disekat oleh sesak. Gista sepertinya nyaris tidak berdaya. Namun, tangannya masih mampu bergerak ternyata, terangkat, ujung-ujung jemarinya masih bisa menyentuh wajah pria itu.
Dengar, Mas .... Jangan menangis dulu. Aku ingin bicara .... Kalil tentu saja tidak mendengarnya. Namun, apakah pria itu bisa membaca semua dari tatap matanya? Aku ingin meminta maaf. Atas semua luka di masa lalu. Atas semua sakit yang pernah aku berikan selama kita bersama. Maaf .... karena setelah sekian lama, aku belum sempat meminta maaf. Sebelum pandangannya berubah gelap dan jemarinya terjatuh dari wajah pria itu, sisa kesadarannya masih menyuruhnya bicara. Namun tentu saja dia tidak pernah lagi bersuara. Aku akan baik-baik saja. Entah untuk kembali ... atau untuk pergi .... Ada dua kupu-kupu putih yang menunggu aku untuk terbang bersama. Andai kamu bisa melihatnya ....
***
Kayaknya bakal ada satu Part berbayar di Karyakarsa besok untuk closure atas hubungan Kalil-Gista yang terjadiii selama ini.
Coba komen. Kalian pilih mana:
- Harus ada awal baru di hubungan mereka setelah part ini.
2. Atau selesai aja sampai di sini??????
Yang jelas kita mesti tau nasib dua bayi stroberi ini siiih!!! IYA KANNN!!!
JADI GIMANA GAS NGGAK BUAT MALAM MINGGUAN BESOOOKKK? 🔥🔥🔥🔥
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
