
[TSDP #7]
Gista Syaril merasa hidupnya sudah berada di titik yang diimpikan: menjadi wanita mandiri, sibuk, mapan, hebat, sesuai dengan checklist yang sejak dulu tersemat di balik notes kecilnya.
Namun menurutnya, pencapaian tertinggi yang berhasil dia gapai dalam hidupnya adalah bercerai dengan Kalil Sankara, pria kaya raya yang posesif dan manipulatif. Pencapaian terbesar dalam hidupnya adalah berhasil meninggalkan Kalil Sankara, Si Pengekang yang mencintainya seperti orang gila.
Namun siapa sangka,...
Divorced with Benefits | [36. Detak yang Mulai Terdengar]
Yeee. Ketemu lagiii. Nggak lama lho iniii. Sesuai jadwal kan update-nya hari Rabuuu. Tapi udah banyak yang neror dari kemarin minta update 😆
Oh iya, kemarin sempet bikin Additional Part 35 sama Additional Part 36 : Kalil’s POV khusus di Karyakarsa, siapa tau aja mau liat betapa konyolnya dia dan menertawakannya sama-sama. Boleh dibaca biar nyambung karena ini scene aman sekali dibaca walau lagi puasa hehe. Atau udah pada bacaaa?

Ngomong-ngomong yang lainnya nih kan pembaca banyakan jadi Tim Sukses yak. Kalau Kalil nih bukan, yang baca malah banyakan jadi haters 🤣🤣🤣 saban hari Kalil ditanyaim sama haters-nya kapan muncul soalnya udah kangen untuk menghujat wkwk
***
Gista masih berdiri, mematung di ruangan sempit itu dengan tangan kiri yang memegangi sisi wastafel. Dia juga masih menatap benda yang kini tergeletak di lantai, posisinya menelungkup, menyembunyikan dua garis merah yang tercetak di baliknya.
Dalam waktu yang cukup lama, Gista masih bertahan dalam keadaan kosong. Takut, terkejut, putus asa. Dia tidak berani berpikir tentang apa pun. Segalanya terasa kacau. Waktu seakan-akan terhenti, dan satu-satunya hal yang terjadi adalah dunianya yang kini runtuh di depan matanya, menyedihkan.
Bisa saja alat tesnya mengalami kesalahan saat memunculkan hasil. Bisa jadi alatnya sudah kadaluarsa dan Gista hanya perlu mengulang tes itu dengan membeli alat yang baru. Atau mungkin saja ....
Gista menarik napas, berhenti mengingkari kata hatinya sendiri. Karena, sebagian besar di dalam dirinya yang merasa takut itu, sebenarnya yakin bahwa alat tes itu menunjukkan kebenaran, dia yakin bahwa sekarang ... dia benar-benar hamil.
‘Bagaimana hal itu bisa terjadi?’ Adalah satu-satunya pertanyaan bodoh yang terlintas di dalam kepalanya. Tentu saja hal itu sangat bisa dan sangat memungkinkan terjadi. Terakhir kali mereka melakukannya, Gista terlalu tenggelam dalam keinginannya untuk mengungkapkan cinta. Dia terlalu tenggelam dalam pembuktian untuk menerahkan diri, hingga ... tidak sempat mengingatkan Kalil tentang apa pun.
Dan Kalil yang ikut terisap dalam euforia itu, lupa diri. Mereka terlalu emosional. Juga, terlalu percaya diri bahwa ke depannya, hal ini tidak akan pernah terjadi.
Gista berjongkok, meraih benda sebesar jari telunjuk berwarna putih biru itu. Kembali dia lihat garis di baliknya. Dia pastikan untuk kedua kali. Dan benar, warna dua garis merah itu malah tampak semakin pekat.
Ada sesuatu yang hidup di tubuhnya sekarang. Malang sekali, makhluk itu hadir di dalam rahim seorang wanita yang bahkan tidak menyambutnya dengan baik. Makhluk itu hadir dari seorang pria yang selama ini menghindari kata ‘anak’ dalam rencana masa depannya. Makhluk itu hadir dari buah keegoisan seorang pria yang hanya datang untuk mematahkannya.
Gista menggeleng lemah. Baru saja membuat keputusan. Tidak. Kehamilannya tidak boleh diketahui oleh pria itu hingga nanti dia menemukan jalannya sendiri untuk bagaimana melanjutkan hidup. Kehamilannya tidak boleh diketahui oleh pria itu sampai nanti Gista memutuskan untuk ... mempertahankannya atau ....
Sebuah dering ponsel terdengar. Cepat Gista merogoh ponsel dari dalam tasnya yang dia simpan di samping wastafel. Dia memutuskan untuk langsung membuka sambungan telepon saat melihat nama Chiasa.
“Halo, Gis?” sapa wanita itu dari seberang sana, terdengar terburu-buru dan khawatir. “Gimana keadaan lo sekarang? Udah mulai membaik? Apa nggak sebaiknya lo periksa ke dokter untuk lebih tahu—“
“Gue hamil, Chia.” Gista mengatakan hal itu. Karena menurutnya, saat ini Chiasa datang di saat yang tepat ketika Gista kesulitan membendung resahnya sendirian. “Gue hamil ...,” ulangnya.
Hening, cukup lama. Mungkin di seberang sana Chiasa masih terkejut. Lalu, sebuah suara yang terdengar serupa gumaman terdengar. “Kalil, kan?” Chiasa langsung menyebutkan nama itu.
“Ya.”
“Dia harus segera tahu.”
“Nggak, Chia.”
“Kenapa? Dia harus tahu, dia harus tahu kalau perbuatannya sekarang menghasilkan masalah yang nggak bisa dia atasi hanya dengan pergi dan—”
“Dia nggak boleh tahu.” Gista kembali menekankan.
“Gis, dengar. Dia harus bertanggung jawab atas hal yang—”
“Gue dan dia udah selesai, Chia. Dan ini menjadi tanggung jawab gue sendiri.”
“Janin di kandungan lo itu anak Kalil! Dan dia berhak tahu akan hal itu. Dia harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Lo nggak boleh egois. Anak lo butuh orangtua. Dia nggak mungkin dilahirkan tanpa tahu identitas ayahnya. Anak lo harus diakui.” Chiasa bersikeras memaksakan pendapatnya. Berbeda dari biasanya, kali ini suaranya begitu menggebu-gebu. Sebagian panik, sebagian iba, sebagian lagi marah. “Demi Tuhan, Gis. Dia harus harus bertanggung jawab.”
“Dengan cara menikahi gue?” tanya Gista. “Dalam keadaan seperti ini.”
“Gis, mau nggak mau hal itu harus—”
“Hanya karena anak ini gue harus kembali memohon pada pria yang jelas-jelas ... nggak pernah menginginkan gue?” tanya Gista. Dia tidak mungkin kembali dan memohon pada pria yang baru saja mematahkan hatinya dengan cara paling mengerikan. Di seberang sana, Gista tidak mendengar Chiasa bersuara lag. “Gue bisa bertanggung jawab atas apa yang ada di dalam tubuh gue, Chia. Sebelum memutuskan untuk mempertahankan janin ini atau ... melepasnya pergi dan—"
“Gista, dengar gue! Lo nggak boleh melakukan apa pun untuk menyakiti diri lo sendiri atau janin lo! Lo nggak boleh melakukan apa pun!” Chiasa begitu marah dan histeris kali ini.
Gista tidak ingin melanjutkan percakapan itu. Jadi dia memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas, lalu terdiam sambil memandangi cermin. Memandangi wajahnya sendiri. Memandangi seluruh masalah yang tergambar di sana. Tidak, tidak ada yang berhak atas apa pun yang terjadi dalam tubuhnya. Hanya Gista yang berhak atas pilihan hidupnya sendiri.
Jadi, Gista berhak melakukan apa pun.
“Mbak?”
Suaa itu membuat Gista menjatuhkan kembali alat tes kehamilan itu dan cepat-cepat membungkuk untuk mengambilnya. Setelahnya, dia memasukkan benda itu ke dalam tas yang berada di samping wastafel. “Ya, Al! Sebentar.” Gista merapikan rambutnya, menyisirnya dengan jemari sembari bercermin.
Lalu, dia melangkah keluar dari toilet dan kembali masuk ke ruang kerja. Bersikap seolah-olah dunianya baik-baik saja. Di sana, ada Alya yang sudah berdiri dengan satu amplop cokelat di tangannya.
“Ini yang Mbak cari, kan?” tanya Alya.
“Oh, ya.” Gista menerima amplop cokelat itu. “Ketemu di mana?”
“Di salah satu kubikel kosong di WS. Mungkin ketemu sama OB, terus nggak berani buang dan disimpan di sana supaya ada yang nemuin.”
“Oh. Oke. Syukur deh.” Gista membolak-balik amplop cokelat yang baru saja diterimanya. Bisa-bisanya dia ceroboh sekali. “Makasih ya, Al.”
Alya mengangguk. “Sama-sama, Mbak. Ada yang perlu dibantu lagi?”
Kali ini Gista menggeleng. “Nggak, Al. Makasih.”
“Obat? Atau ... Mbak perlu diantar ke dokter?” tanya Alya, sedikit meringis. “Akhir-akhir ini Mbak kayaknya ... lagi kelihatan capek banget?”
Gista mengangguk kecil. Dia menggumam, setengah mengiakan. “Iya. Capek. Tapi beneran ini cuma kecapekan aja. Jadi istirahat sebentar juga udah baikan.”
Alya mengangguk lagi. “Oke deh ....” Tampak setengah hati wanita itu percaya. Karena, sedikitnya dia tahu sesuatu dalam hidupnya, wanita itu juga tahu apa yang terjadi di antara Gista dan Kalil. Dan akhir-akhir ini, Kalil yang tampak lebih serius mengurus pernikahannya dengan Alena membuat Alya kadang tidak bisa menyembunyikan rasa iba. Kadang, wanita itu akan bicara dengan sangat hati-hati pada Gista jika menyangkut tentang Kalil atau Alena. Alya seolah-olah tahu bahwa saat ini, Gista benar-benar sedang patah dan sendirian. “Ya udah, kalau gitu saya balik ke WS dulu, ya?”
Gista tersenyum. “Sekali lagi thanks ya, Al.”
“My pelasure, Mbak.” Alya melangkah mundur, lalu berbalik dan melangkah keluar dari ruangannya.
Gista berjalan sambil memandangi amplop cokelat di tangannya. Kini, dia kembali duduk di balik meja kerja, kembali dia buka isi dari amplop pemberian Harja Wirawan tempo hari, yang belum berani dia buka sampai berhari-hari, tapi tetap membawanya ke mana-mana, sampai lupa menyimpannya di mana karena terlalu ceroboh.
Gista merogoh kertas-kertas di dalamnya. Ada beberapa hal yang dia temukan. Pertama, dia menemukan sepucuk surat. Dia raih kertas itu, menjadi hal pertama yang dia baca.
Hai, Gista.
Ini Papa.
Pasti bingung sekali ketika kamu membuka semua isi di dalam amplop ini. Karena ini terlalu tiba-tiba, ini terlalu mendadak untuk kamu. Benar. Papa mengurus semua ini hanya dalam hitungan hari karena ... Papa merasa, saat kita bertemu, setidaknya Papa harus berhasil membuat kamu mengakui bahwa kamu adalah seorang anak dari Harja Wirawan & Mutia Syaril.
Dan saat kita berpisah nanti. Kamu juga harus tetap ingat bahwa kamu tetap akan menjadi anak dari Harja Wirawan & Mutia Syaril.
Gista, tolong beri Papa kesempatan untuk setidaknya membuat kamu ingat bahwa di dunia ini pernah ada seorang pria bernama Harja Wirawan yang hadir dalam hidup kamu dan berusaha membuat kamu percaya bahwa dia menyayangi kamu selayaknya ayah-ayah baik di dunia.
Terima kasih sudah menerima Papa di duniamu.
Sampai bertemu
Gista menaruh surat itu, lalu meraih hal lain di dalamnya. Kertas kedua, dia menemukan selembar foto. Di sana, ada seorang pria muda yang dia yakini adalah seorang Harja Wirawan di beberapa puluh tahun lalu, tengah merangkul seorang wanita berambut panjang hitam dan bergelombang. Kening Gista mengernyit saat melihat wajah cantik wanita itu. Dia tidak pernah bertemu dengan wanita itu sebelumnya, tapi tiba-tiba saja hatinya terasa hangat saat melihat sorot matanya.
Di balik foto, Gista menemukan sebuah tulisan. ‘Harja Wirawan & Mutia Syaril’.
Kembali Gista perhatikan foto itu. Dia temukan lagi sorot mata dari wanita yang tengah menatap ke arah kamera.
Astaga .... Dia tidak percaya bahwa akan diberi kesempatan dalam hidupnya untuk menemukan potret wajah ibunya. Yang bahkan, selama ini tidak pernah dia tahu dimakamkan di mana, keluarganya siapa. Wanita itu hilang, seperti ditelan oleh dunia dan tidak meninggalkan jejak apa-apa.
Tangan kirinya masih menggenggam kertas foto itu, sementara tangan yang lain sudah dia gunakan untuk merogoh isi di dalamnya. Masih banyak beberapa berkas. Hanya, di atas berkas itu, terdapat sebuah surat pernyataan bahwa isi dari berkas-berkas di bawahnya adalah surat kepemilikan atas semua aset milik Harja Wirawan yang sudah berubah kepemilikan atas nama Gista Syaril.
***
Malam ini, Gista memenuhi undangan Harja Wirawan untuk makan malam. Di momen itu, dia yang terlalu naif itu akan mengembalikan amplop cokelat berisi berkas-berkas yang terakhir dibukanya. Sementara itu, dia sudah mengamankan selembar foto dan sepucuk surat yang ada.
Gista menerima Harja Wirawan dalam hidupnya sekarang. Namun, kepemilikan semua aset itu, terasa sangat berlebihan. Gista harus memberi tahu bahwa hidupnya, sampai di titik sekarang ini, sudah baik-baik saja. Pun tanpa pemberian apa-apa dari pria itu apalagi jika segalanya hanya didasari oleh rasa bersalah.
Tidak biasanya, Gista menjadi orang pertama yang hadir ketika sebelumnya Harja Wirawan yang selalu lebih dulu menantinya. Gista sudah ditemani oleh satu gelas teh daun mint. Kondisi mual-mualnya tidak kunjung membaik, malah semakin parah karena dia mulai merasakannya sepanjang hari.
Sudah sepuluh menit Gista duduk di salah satu meja yang sebelumnya sudah direservasi itu. Untuk tiga orang katanya, yang tidak dia ketahui siapa satu orang yang akan hadir di antara keduanya sekarang.
Namun sesaat kemudian, pertanyaannya terjawab. Harja Wirawan hadir bersama seorang wanita di sampingnya. Mereka berjalan beriringan dari pintu masuk, melintasi ruangan, melewati beberapa meja yang sebagian besar kosong. Lalu menemukan Gista.
Harja Wirawan berdiri di sisi meja, bersama seorang wanita di sampingnya. Tangannya terulur. “Ini Gista,” ujarnya. Lalu, “Gista, ini Pramesti.”
Gista yang sudah berdiri, kini malah membeku alih-alih cepat menyambut uluran tangan wanita itu. Akhir-akhir ini, responsnya memang sering lambat untuk hal-hal tertentu. Namun, saat mendengar wanita itu menyebutkan sendiri namamya, Gista segera bangkit dan mengulurkan tangan.
“Pramesti,” ujar wanita itu.
“Gista.”
Dan setelah itu, acara makan malam dimulai. Mulai disajikan beberapa hidangan di meja, mulai dibuka percakapan oleh Harja Wirawan, dan hal itu tentu saja membuat Gista menahan amplop cokelat yang kini dibawanya di dalam tote bag yang dia taruh di kursi kosong lain.
“Bagaimana perasaan kamu setelah bertemu Gista?” tanya pria paruh baya itu pada wanita di sampingnya, Pramesti, istrinya.
Gista bahkan masih kesulitan untuk menelan sekadar air putih. Tangannya juga masih terjebak untuk memutar-mutar makanan dengan garpunya. Dia diingatkan oleh beberapa kejadian mengerikan seperti: pengejaran oleh orang-orang asing saat berada di Lembang, penguntit-penguntit yang seperti bayangannya, lalu beberapa peneror yang menyambangi hidupnya.
“Senang sekali,” jawab Pramesti, dia tersenyum saat menatap Gista. “Akhirnya kita bisa bertemu secara langsung.”
Ya, akhirnya predator itu bisa berhadapan langsung dengan mangsanya.
Harja Wirawan tersenyum, terlihat semringah sekalai malam ini. Tangannya meraih tangan Gista yang menangkup di atas meja, dan tentu saja itu mengalihkan perhatian Pramesti. “Papa tidak akan memaksa kamu hidup berdampingan dengan kami, tapi ... Papa hanya ingin kamu tahu bahwa kamu tidak lagi hidup sendirian di dunia ini.”
Ya, tidak sendirian. Gista selalu hidup bersama teror dan ancaman saat Pramesti mengetahui keberadaannya. Dan hal itu menjadi lebih mengerikan saat tahu Gista sudah dilepas oleh cengkraman Keluarga Sankara.
Sebuah dering telepon mengalihkan perhatian. Harja Wirawan meraih ponselnya. Lalu, beliau meminta izin untuk menjauh dari meja seiring dengan percakapannya di telepon yang kini membuatnya melangkah pergi.
Hal paling mengerikan yang pernah Gista bayangkan sebelumnya itu terjadi. Kini, dia dihadapkan langsung dengan seorang wanita yang jelas-jelas memberi tahu bahwa dia adalah musuh terbesarnya. Harja Wirawan harus segera tahu sebelum wanita di hadapannya itu benar-benar memangsanya.
“Apa kabar, Gista?” Pramesti tersenyum. Menanti Gista menjawab, tapi tentu saja dia tahu jawabannya bahwa hari ini Gista tidak baik-baik saja. “Begini ternyata rasanya melihat langsung titisan Mutia.” Dia menyunggingkan satu senyum tipis yang menggambarkan kemarahan. “Apa yang kamu harapkan dari pertemuan ini? Pengakuan? Kedamaian hidup? Atau apa?”
“Selama ini hidup saya masih baik-baik saja. Tanpa perlu menggantungkan harap pada Pak Harja Wirawan.”
“Benar. Bermain cantik dengan cara naif seperti itu memang yang dilakukan oleh Mutia dulu. Dia datang, sebagai perempuan lugu dan tidak berdosa, padahal sudah berhasil memporak-porandakan hidup wanita lain.”
“Saya meminta maaf atas hal itu. Kejadian itu pasti meninggalkan luka dan rasa sakit yang sangat—“
“Dia datang di saat wanita lain sedang benar-benar terpuruk karena divonis tidak akan mampu memberikan keturunan. Dia datang membawa janin yang hidup di rahimnya saat seorang wanita lain tidak lagi memiliki rahim di perutnya.” Pramesti berkata pada Gista dengan nada suara tertahan yang membuat suaranya terdengar sangat berat dan rendah. “Jahat sekali dia ....”
Tangan kiri Gista bergerak turun, dia pegangi perutnya sekarang. Pramesti hari ini, seolah-olah tengah menyudutkan sosok Mutia yang dibencinya dan mengingatkan Gista atas ketololan serupa.
“Kali ini, berapa ancaman yang mesti saya berikan agar kamu ... pergi dari hidup kami?”
“Saya tidak pernah sengaja datang. Dengan senang hati saya tidak pernah ingin mencampuri segala urusan Anda dan Pak Harja Wirawan.”
“Tapi kamu menerima kehadiran Harja Wirawan di dalam hidup kamu. Kamu membiarkannya masuk ke dalam hidup kamu.” Kedua mata itu, menatapnya tajam. “Dengar .... Kecerobohan ini akan berakibat fatal. Menurut kamu, apa yang akan terjadi pada karier politik kami jika publik mengetahui Harja Wirawan—politikus bersih yang selama ini dielu-elukan—memiliki seorang anak dari wanita lain yang bukan Pramesti?” tanyanya. “Semua yang kami bangun puluhan tahun ini tidak akan berarti.”
Gista mengingat senyum Harja Wirawan di atas podium saat menerima penghargaan malam itu. Kini, dia mulai terpengaruh oleh ucapan wanita di hadapannya.
“Pergi, Gieta Syaril. Jangan bernasib sama seperti ibumu. Jangan ganggu kami, jangan ganggu Harja Wirawan lagi ..., atau saya yang akan menyingkirkan kamu dengan tangan saya sendiri.”
***
Gista memegangi perutnya dengan satu tangan. Duduk di antara deret kursi tunggu di sebuah rumah sakit. Malam itu, di sisi kanan dan kirinya, dia melihat sebagian wanita berperut besar mengobrol dengan seseorang yang mendampingi mereka. Satu-satunya yang datang sendiri untuk memeriksakan diri di sana adalah Gista. Dia tidak datang bersama pasangan, tidak juga ada kerabat.
Namun, itu lebih baik. Gista tidak perlu menerima intervensi atas keputusan yang akan diambilnya nanti. Mempertahankan atau melenyapkan. Mengandung atau tidak. Melahirkannya ke dunia atau mencegahnya. Gista berhak atas hidupnya. Walau ya, dia sadar bahwa sekarang dia hanya wanita yang kebingungan dan terjebak dalam kebodohannya sendiri.
Gista baru saja mengirimkan sebuah pesan, pada Chiasa yang sejak tadi tidak berhasil menghubunginya.
Gista Syaril
Gue tahu apa yang mesti gue lakuin kok.
Lo nggak usah khawatir.
Chiasa Kaliani
Nggak. Lo harus tunggu gue.
Tolong jangan berpikir tentang apa pun di saat lo lagi kacau kayak gini.
Gista tidak membalas pesannya lagi. Kini dia hanya duduk, sadar akan riuh di sekelilingnya, walau sesekali dia mendapatkan dunia begitu sunyi karena terlalu tenggelam dalam isi kepalanya yang penuh sesak.
Lalu, “Nyonya Gista Syaril.”
Gista mendongak. “Ya.” Dia refleks menyahut. Seorang petugas rumah sakit mempersilakan Gista untuk masuk ke dalam ruangan pemeriksaan..
Di ruangan itu, Gista menemukan seorang dokter wanita yang tersenyum saat melihat kedatangannya. “Selamat pagi,” sapanya. Senyumnya terlalu ramah untuk seorang wanita yang hadir karena kebingungan atas janin yang dikandungnya.
Gista membalas dengan sapaan serupa, dia duduk pada sebuah kursi yang disediakan di hadapan dokter wanita itu. Ternyata, bernapas di ruangan itu tidak semudah yang dia kira. Dia menemukan beberapa potret bayi berwajah polos, mata mereka terpejam, seakan belum tahu bahwa dunia begitu kejam.
Satu tarikan napas panjang, tidak cukup menenangkan perasaan Gista.
“Ini merupakan kehamilan pertama?” Dokter wanita itu bertanya perihal catatan kesehatan Gista.
“Benar, Dok.”
“Senang sekali mendengarnya.” Dia tersenyum, tidak menyadari bahwa pasiennya mulai frustrasi dan putus asa. “Kapan terakhir kali Andai menstruasi?”
“Enam atau tujuh minggu yang lalu.”
“Dan sempat tes menggunakan alat tes kehamilan?”
“Ya.” Gista mengangguk. “Hasilnya positif.”
“Baik kalau begitu. Mari kita periksa. Silakan.” Dokter wanita itu mempesilakan Gista untuk menuju sebuah ranjang.
Di sana, Gista berbaring. Sesaat dia mendengar dokter meminta maaf karena harus menyingkap bagian kemejanya ke atas, juga menarik turun batas roknya. Lalu, sebuah gel yang dingin diusapkan ke perutnya.
“Kita lihat di layar.” Dokter menunjuk sebuah layar di hadapannya yang menampilkan keadaan tiga dimensi di dalam perutnya. “Akan saya tekan sedikit. Mohon maaf ya,” ujarnya.
Lalu, sebuah benda sedikit ditekan di perut bagian bawahnya. Dan layar kosong itu, kini memuculkan gambar. Ada dua lingkaran hitam, yang semakin lama tampak semakin jelas. Ada kehidupan yang bergerak-gerak di dalam perutnya sekarang.
Yang membuat Gista membeku. Takjub.
“Wah ..... Coba Anda lihat. Ada dua kantung yang artinya ada dua janin yang hidup.” Dokter wanita tersebut menjelaskan. “Usianya baru tujuh minggu.” Dokter menggerakkan alat ke sisi lain. “Ukurannya mungkin ... dua sampai tiga milimeter. Masih kecil sekali, masih sangat rentan, tapi sel saraf otak sudah mulai terbentuk saat ini, jantungnya juga.” Lalu, dokter mengotak-atik alatnya selama beberapa saat. “Tunggu. Anda harus dengar ini.”
Lalu, beberapa detik kemudian. Terdengar sebuah bunyi pelan, yang saling bersahutan.
‘Dep, dep, dep’, suara lembut itu merenggut seluruh ragunya. Pandangannya tiba-tiba kabur, ingatan bagaimana dia begitu takut dan terkejut, juga menyesal saat mengetahui kabar kehamilannya untuk pertama kali berlarian di dalam memorinya. Selanjutnya, dia merasakan bagaimana rasa bersalah memeluknya terlalu erat karena sejak kemarin ..., pun hingga detik di mana dia memasuki pintu ruang pemeriksaan tadi, dia terlalu tidak yakin dengan kehamilan ini dan sempat terlintas hendak melenyapkan makhluk kecil yang dia pikir tidak berhak hidup itu.
Kini, dia lihat bagaimana dua makhluk itu bergerak-gerak kecil di layar, dia dengar detak jantungnya yang berirama dan lembut. Kali ini, dia benar-benar sadar bahwa ada kehidupan di tubuhnya, keajaiban hadir di dalam hidupnya.
Pemeriksaan itu selesai. Gista diperbolehkan untuk keluar setelah diberi beberapa nasihat dan masukan atas keluhan yang dialaminya akhir-akhir ini. Langkah Gista terayun menuju pintu keluar dengan semua hal yang masih terasa gamang. Pintu baru saja ditutupnya dan dia mendengar seorang petugas baru saja menyebutkan nama pasien lain untuk dipersilakan masuk.
“Gis ....”
Dari kejauhan, Gista melihat Chiasa berjalan tergesa, menghampirinya. Wajahnya tampak panik. Percakapan di telepon beberapa hari yang lalu tidak berakhir baik. Dan wanita itu langsung datang ketika Gista mengabari bahwa hari ini dia akan memeriksakan diri ke rumah sakit.
Saat Chiasa sudah berdiri di hadapannya, Gista bersuara, dengan getar yang dia rasakan di setiap kata yang diucapkan. “Mereka hidup, Chia .... Detak jantungnya terdengar ....” Pandangan Gista kabur oleh air mata. “Mereka hidup dan bergerak ... di sini.” Gista menyentuh perutnya. Dan tangisnya pecah saat Chiasa bergerak memeluk untuk melindungi risau dan rasa bersalahnya.
***
Ada yang mau disampaikan ke Gista?
VOTE SAMA KOMENNYAAA. Bakar dulu biar sama-sama semangaaattt. 🔥🔥🔥
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
