
[TSDP #7]
Gista Syaril merasa hidupnya sudah berada di titik yang diimpikan: menjadi wanita mandiri, sibuk, mapan, hebat, sesuai dengan checklist yang sejak dulu tersemat di balik notes kecilnya.
Namun menurutnya, pencapaian tertinggi yang berhasil dia gapai dalam hidupnya adalah bercerai dengan Kalil Sankara, pria kaya raya yang posesif dan manipulatif. Pencapaian terbesar dalam hidupnya adalah berhasil meninggalkan Kalil Sankara, Si Pengekang yang mencintainya seperti orang gila.
Namun siapa sangka,...
Divorced with Benefits | [27. Dugaan Jena]
Temu lagiii.
Selamat membaca ya. 3600 kata nih 😡
***
3 years ago ....
“Jadi sudah bisa dipastikan bahwa mereka bukan bagian dari kita?” Kalil menatap tajam pada apa pun yanh ditangkap oleh indera penglihatnya. Dia masih berada di balik meja kerja, terkurung di dalam Sankara Corp, dia baru tiga hari di Indonesia setelah lama menetap di Kyoto. Dan dalam waktu singkat itu, dia sudah mendapatkan kabar tidak menyenangkan.
Wajahnya kini tampak serius, sekaligus marah. “Siapa mereka?” tanya Kalil. “Siapa orang-orang itu?”
“Akan kami cari tahu secepatnya. Namun bisa kami pastikan, mereka bukan bagian dari Sankara Corp, atau orang-orang di balik nama Sankara, Pak,” jelas seorang pria di sebereang sana.
Kalil tidak merespons. Napasnya dia embuskan kencang.
Hari ini, dia mendapatkan kabar bahwa selama beberapa hari terakhir, Gista diikuti oleh sekelompok orang yang bukan bagian dari orang-orang kepercayaan Sankara. Beberapa kali Kalil memastikan, apakah ibunya yang melakukannya? Namun dengan yakin, orang-orang kepercayaannya berkata bahwa bukan.
Sekelompok orang yang menaiki sebuah mobil dan menguntit dari kejauhan itu adalah orang-orang baru yang entah bertujuan untuk melakukan atau menyelidiki apa. Yang jelas, mereka hanya mengikuti Gista.
“Beri saya kabar secepatnya,” pinta Kalil.
“Baik, Pak.”
Kalil menutup sambungan telepon. Bergegas tubuhnya bangkit dari kursi dan mengabaikan pekerjaan yang seharian membuatnya bahkan sulit beranjak pergi. Namun kali ini dia merasa harus keluar dari temaptnya, apa pun tentang Gista, adalah di atas segalanya. Malam itu, dia merasa harus mencari Gista dan memastikan bahwa istrinya itu dalam keadaan baik-baik saja.
Terakhir kali menghubunginya, Gista berkata bahwa hari ini dia akan mengunjungi rumah sakit, menjenguk dan menemani Bu Rima yang terpaksa kembali dilarikan ke rumah sakit jauh sebelum mereka tiba di Jakarta.
Beberapa orang yang mengikuti Gista sejak beberapa hari lalu, dia pastikam akan segera dia temukan informasi pastinya. Tentang tujuan mereka, tentang siapa orang yang berada di balik perintah itu. Kalil tiba di rumah sakit dalam waktu tiga puluh menit. Saat di perjalanan tadi, dia sempat menelepon Gista dan bertanya tentang posisi kamar rawat inap.
Kalil melangkah melewati pintu-pintu kamar, kakinya terayun cepat di antara dorongan troli obat dan langkah gegas para petugas medis. Rumah sakit selalu memberi kesan tidak menyenangkan, apa pun yang dia dapatkan di sana; dia temukan lagi bau antiseptik yang menyengat, juga suasana yang lebih condong pada duka.
Kalil terhenti di depan sebuah pintu. Dia melihat Gista tengah duduk di samping ranjang pasien, baru saja memberi Bu Rima air putih dan menaruhnya kembali di atas kabinet.
Langkah Kalil hendak terayun masuk, hendak mendorong pintu ruangan yang setengah terbuka itu. Namun, gerak tangannya yang sudah memegang handle pintu, berhenti. Kalil mendengar percakapan di dalam ruangan.
“Saatnya kamu tahu, Neng ...,” ujar Bu Rima. “Sebelum Ibu pergi, Ibu ingin memberi tahu satu hal.”
“Ibu nggak akan pergi. Ibu akan sembuh dan kembali sehat lagi. Jangan bicara seperti itu.”
Kekeh Bu Rima terdengar, yang malah terkesan pahit. “Dengarkan Ibu. Kamu tahu kenapa kamu menjadi satu-satunya anak Ibu yang Ibu panggil ‘Neng’?” tanyanya.
Karena Gista ditemukan di Bandung. Kalil tahu cerita itu.
“Kamu Ibu temukan di Bandung. Begitu yang Ibu ceritakan, kan?” tanyanya. “Tapi sekarang, izinkan Ibu mengatakan hal yang sebenarnya.” Suara Bu Rima bergetar. “Kamu, diserahkan oleh seorang wanita di sebuah rumah sakit. Wanita itu mengatakan ... bahwa kamu adalah seorang bayi yang baru saja dilahirkan oleh seorang Ibu yang gagal bertahan membersamai kamu lahir ke dunia.”
Punggung Kalil merapat ke dinding. Memutuskan untuk mendengar diam-diam.
“Ibumu, adalah seorang wanita yang dinikahi oleh seorang pria bernama Harja Wirawan. Beliau adalah salah satu orang terpandang, dikenal oleh sebagian besar orang Bandung....”
Gista sama sekali tidak bersuara, padahal Kalil ingin sekali mendengar responsnya. Yang artinya, dia menyatakan dirinya baik-baik saja. Namun, wanita itu seolah bungkam.
“Wanita itu, teman Ibumu bilang, kalau kamu ... harus dilindungi. Kamu harus disembunyikan. Karena ... bisa saja, pihak Harja Wirawan atau ... istri pertamanya, mencari-cari tentang kamu dan berusaha melukai kamu.”
Hening. Kalil tidak mendengar suara apa pun dalam beberapa saat. Dia rasakan bagaimana sesuatu seperti meremas isi dadanya. Dan sekarang, mungkin saja keadaan Gista lebih sakit daripada yang dia terima?
Gista dilahirkan dari seorang wanita yang tidak dijadikan pertama oleh seorang pria.
“Neng .... Jaga diri, ya?” Suara Bu Rima terdengar meminta. “Walau Ibu tahu, Nak Kalil akan selalu ada di sisi kamu, untuk menjaga kamu. Tapi, Ibu harus memastikan bahwa kamu juga akan menjaga diri kamu baik-baik agar Ibu bisa pergi dengan tenang.”
“Bu ....” Akhirnya suara Gista terdengar. Pelan saja. Lirih.
“Jika suatu saat nanti, semua orang meninggalkan kamu dan kamu hanya memiliki dirimu sendiri, temui Agma. Agma akan selalu melindungi kamu. Agma adalah pengganti Ibu yang akan selalu menjaga kamu. Dia sudah berjanji pada Ibu untuk itu.”
Kalil rasa, dia harus bergerak dari sana sebelum diketahui. Dia berhenti mendengar percakapan selanjutnya. Langkahnya bergerak menjauh dari ambang pintu. Bergerak cepat, menelepon seseorang. Dia tahu sambungan teleponnya tidak akan diabaikan, jadi ketika terdengar sapaan dari seberang sana, Kalil langsung bicara. “Cari tahu tentang Harja Wirawan. Dan orang-orang yang mengikuti Gista beberapa hari terakhir. Kemungkinan besar mereka saling berkaitan.” Setelahnya, sambungan telepon dia putus sepihak. Langkahnya terayun cepat, dengan isi kepala yang berkecamuk dan kacau.
Sejak saat itu, Kalil bukan hanya takut kehilangan Gista di sisinya, dia juga takut seseorang berusaha melukai Gista. Saat itu, Kalil bukan hanya ingin melindungi Gista, dia selalu ingin memeluk Gista di mana pun dia ada.
Gista tidak bicara apa pun mengenai hal yang didengarnya tentang Harja Wirawan pada Kalil. Dia menutup diri. Masalah-masalah yang bertumpuk juga membuat keduanya semakin jarang bicara. Tidak ada yang memulai untuk saling terbuka. Masalah Gista, dan keinginan Kalil nyaris tidak pernah berada di dalam satu garis yang sama.
Dan Gista selalu menjadi pihak kalah, Kalil dominan dan menang. Setelahnya, alih-alih saling mencintai, mereka hanya saling menyalahkan.
“Kamu nggak boleh pergi ke mana pun tanpa aku.” Ucapan Kalil sempat mendapatkan protes.
Gista bertanya. “Kenapa?” Dia tidak terima. “Kal, please. Kita berjanji untuk nggak akan berdebat lagi tentang hal ini. Aku milik kamu, itu jelas. Tapi kasih aku ruang untuk—”
Suara Gista menghilang. Kalil pergi meninggalkan wanita itu di dalam kamarnya sendirian dalam keadaan terkunci. Dia selalu memberi keputusan sepihak, tidak ingin mendengar bantahan. Sudah dia putuskan, wanita itu tidak boleh pergi tanpanya. Wanita itu tidak boleh melangkah keluar rumah tanpa pantauan dari sudut matanya.
Karena, jika terjadi apa-apa, Kalil tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. Seumur hidup. Sampai mati.
Siang itu. Saat Kalil tengah berada di sebuah tempat di daerah Jakarta Utara untuk bertemu dengan seorang rekan bisnisnya, Gista menghubunginya.
“Mas, aku harus pergi. Izinkan aku keluar dari rumah.”
“Kamu hanya boleh keluar saat aku ada.”
“Mas! Ibu kritis. Aku harus pergi. Aku harus ketemu Ibu.”
Kalil bergegas meninggalkan tempat itu, tanpa sepatah kata. Dia menuju kendaraannya dan melajukannya cepat.
“Mas, tolong ....” Gista menangis, untuk pertama kalinya Kalil mendengar wanita itu memohon dengan suara yang sangat menyedihkan. Namun, siapa yang dapat melepasnya pergi saat tahu di luar sana, orang-orang suruhan Harja Wirawan mungkin saja sedang membidiknya dari kejauhan? Entah untuk sekadar tahu keberadaannya dan apa yang tengah dia lakukan, atau untuk menyakiti.
Jadi, Kalil tidak menggubris permohonan itu. Dia masih teguh pada pendiriannya. Gista boleh pergi meninggalkan rumah, hanya ketika bersamanya.
Dan hari itu, menjadi puncak dari semua permasalahan yang mereka alami. Kalil tiba di rumah ketika Gista sudah terperenyak di lantai sambil menangis. Ponselnya dia genggam kuat-kuat. Saat Kalil hendak mendekat, tangisnya terdengar lebih sakit. “Ibu sudah pergi .... Ibu pergi ....” Menangis lagi, tampak sakit sekali. “Aku nggak ada di sana saat Ibu pergi .... Aku nggak ada di sana saat Ibu kesakitan.” Mata yang basah itu, perlahan bergerak menatap Kalil. Di sana, Kalil temukan marah, putus asa, sedih mengoyak binar matanya sampai hancur. “Puas kamu sekarang ....?” Suaranya bergetar. “Puas kamu memperlakukan aku seperti ini?!”
***
Gista berada di aula luas gedung Sankara Corp dengan orang-orang yang sibuk. Semua staf general affair Sankara Corp ada di sana untuk membantu Tim Candani. Mereka sedang mewujudkan dekorasi yang sebelumnya telah dirancang dan disetujui. Semua orang menyebar ke sudut dan tengah ruangan, sementara Gista sudah mulai lelah dan menepi ke sisi.
Seharian, dia tidak menemukan Kalil. Sempat dia dengar dari beberapa pekerja, bahwa Kalil sedang berada di luar kota. Entah akan kembali kapan.
Gista tengah menatap kejauhan oranh-orang yang tengah bekerja, saat itu ponselnya kembali bergetar panjang, sebuah telepon masuk hadir di layarnya, dan Gista mengabaikannya untuk kesekian kali. Nomor tidak dikenal, tidak tersimpan di kontak ponselnya. Namun, saat pertama kali nomor itu menghubungi, Gista sempat menerimanya dan mendengar orang di seberang sana bicara.
“Halo, dengan Gista Syaril?” Saat Gista mengiyakan, orang di sana kembali berkata. “Saya Harja Wirawan.”
Sambungan telepon Gista putus secara terpihak. Tiba-tiba saja dia resah, tangannya gemetar, lalu selama beberapa saat dia tertegun sendirian seperti kehilangan dirinya sendiri.
Kejadian itu membuat Gista sejak tadi lebih banyak termenung daripada mengomentari ini dan itu. Dia lebih banyak menepi dan gelisah sendirian. Beberapa kali dia akan menemukan dirinya terdiam dengan isi kepala yang sibuk pergi meninggalkan tempatnya ke masa lalu. Pada penjelasan Bu Rima tentang siapa Harja Wirawan, pada orang-orang yang Kalil lawan dan taklukan ketika mereka hendak menyakiti Gista untuk kesekian kali. Pada ancaman-ancaman yang pernah datang padanya, untuk jangan mengganggu kehidupan Harja Wirawan dan keluarganya.
Gista terperanjat karena ponsel dalam genggamannya kembali bergetar. Awalnya, dia akan langsung menekan tombol memutus sambungan. Namun, nama Jena yang kini muncul membuat Gista bergegas membuka sambungan telepon itu. “Halo, Je?”
“Lo nggak lupa kan kalau hari ini kita janji makan siang bareng?”
Gista melihat jam tangan di pergelangan tangannya. Iya, dia lupa. Dan sekarang langkahnya bergegas keluar dari ruangan luas itu. “Gue inget kok.” Barusan. “Ini gue mau berangkat.” Awalnya, dia bercerita bahwa dia akan menjadi bagian dari EO di upacara penghargaan yang akan dilaksanakan di Sankara Corp, dari situ ide untuk janjian makan siang tercetus.
Titik kumpul Jena pilih di sebuah restoran yang jaraknya menjadi titik paling tengah. Gista tiba di titik itu ketika Jena, Chiasa, dan Alura sudah duduk di meja. Lalu, Davi menyusul. Selanjutnya ada Favita dan Rui yang datang bersamaan.
Rencana ini tidak diketahui oleh para pria tentu saja, lagi pula ini hanya acara makan siang biasa yang tidak akan menghabiskan waktu lebih dari dua jam. Mereka berkumpul di antara padatnya jadwal kerja.
Menu belum datang, mereka masih menunggu. Dan obrolan dimulai saat Jena bertanya, “Lo serius lagi di Sankara Corp sekarang?”
Gista mengangguk. “Iya.”
“Akhir-akhir ini lo banyak berhubungan lagi sama Kalil, dong?” tanya Alura. “Gue jadi penasaran, lo nggak apa-apa—maksudnya nggak canggung?”
Oh, tentu saja tidak. Ketidakcanggunan Gista dan Kalil bahkan sudah pada tahap saling melepas pakaian. “Nggak sih. Gue juga lebih banyak menghadapi orang suruhannya daripada Kalilnya sendiri.”
“Mungkin maksud Alura, selama ini lo kan menghindari Kalil banget. Tapi sekarang tiba-tiba jadi nggak masalah sama banyaknya kerja sama ini,” tambah Chiasa. “Nggak ada apa-apa, kan? Maksudnya lo nggak lagi ada di bawah tekanan?”
Tekanan Kalil. Oh ya tentu. Pria itu menekan dan mendesaknya sesuka hati.
Astaga .... Gista Syaril..
“Ini pasti karena lo nggak punya pilihan lain. Buat modal nikah, ya?” Jena tertawa. “Iya kan, Gis?” Jena bahkan sampai bersedekap dan mencondongkan tubuhnya ke depan, ke arah Gista. “Kasih bocoran dong, rencananya kapan lo sama Agma mau nikah?”
Aliran udara yang masuk ke saluran napasnya seakan tertahan di tenggorokan. Gista belum sempat menjelaskan apa pun tentang hubunganya yang berantakan, juga kisah cintanya yang makin semrawut. Untuk acara makan siang singkat yang harusnya menyenangkan ini, tidak seharusnya ada berita buruk. Apalagi tentang perselingkuhan. Jadi Gista hanya menjawab sekenanya. “Nanti deh .... Masih banyak yang mesti diurus.”
“Banyak pertimbangan juga, ya?” Davi menambahkan. Dia tersenyum, seakan paling mengerti.
“Ya ... gitu.” Gista menyahut pelan.
Beberapa menu perlahan hadir di meja. Dan gerak tangan Gista yang tengah membenarkan letak gelas di meja mendadak terhenti saat mendengar Jena kembali bicara.
“Pesanan Alena sengaja gue tahan sampai sepuluh menit, soalnya dia bilang datang agak telat.”
“Alena ...?” Rui bertanya dengan kening mengernyit.
“Alena, calon istrinya Kalil.” Jena menjelaskan dengan nada datar, seolah-olah tidak ingin mengusik Gista. “Dia akan jadi bagian dari kita, jadi ....” Akhirnya dia menyerah untuk tidak mengindahkan perasaan Gista. “Sori ya, Gis.” Jena berdecak. “Kae yang nyuruh nih. Dia bilang, nggak enak sama Kalil kalau Alena nggak diajak. Gue pikir awalnya Alena bakal nolak, tapi ternyata dia ayo-ayo aja responsnya.”
Gista terkekeh pelan. “Santai ....” Padahal, dia mulai merasakan keresahan di tengkuknya. Apalagi, saat Alena benar-benar tiba di tempat itu dan memilih tempat duduk tepat di sampingnya.
Wanita itu, datang dengan sapaannya yang ceria. Alena bahkan tidak membedakan Gista. Hanya menambahkan, “Kita ketemu lagi di sini.” Meja itu, kini terisi oleh delapan orang wanita, yang masing-masing sudah mendapatkan menu pesanannya.
Jadi, obrolan kembali dilancarkan di tengah makan siang. Ada gelak tawa yang hadir, suara sendok dan garpu yang berdenting kecil beradu dengan piring di tengah percakapan. Sampai akhirnya tiba saat Alena mengeluh. “Akhir-akhir ini Kalil mulai susah dihubungi.”
Favita yang duduk di sisinya yang lain ikut menoleh. “Oh, ya?” Dia hanya berusaha merespons, ekspresinya terlihat sekali bahwa dia tidak ingin tahu urusan tentang pasangan orang lain.
“Mm. Ya kan, Gis?” Untuk pertama kalinya, Alena memanggil nama Gista secara langsung. “Bahkan terakhir kali fitting, dia malah bilang sibuk.” Alena melepaskan napas lelah. “Setelahnya, dia susah banget dihubungi. Bahkan dia pernah menghilang semalaman dan muncul kabar siang hari.”
Chiasa menggumam kecil. “Wajar sih, mungkin dia sedikit stres sama segala urusan yang dia hadapi sekarang? Bukan rahasia lagi kan, dia tuh paling gila kerja. Ditambah sekarang mempersiapkan pernikahan.”
Favita menyetujui. “Stres menjelang pernikahan itu wajar kok. Salah satu pihak yang lebih tenang yang seharusnya bisa lebih mengerti. Dan di sini, ya Mbak Alena orangnya.”
Alena menggeleng. “Nggak sih. Ini beda.” Wanita itu, entah sengaja atau tidak, tiba-tiba mengatakannya di hadapan semua orang di meja itu. “Aku merasa bahwa ... dia banyak berubah. Aku merasa bahwa akhir-akhir ini ada hal lain yang mengalihkan perhatiannya.”
“Maksud kamu ... dia selingkuh?” tanya Jena.
Semua menatap jena penuh peringatan. Kecuali Gista. Di sana, Gista merasakan keresahan sudah menyebar di tubuhnya, membuat geraknya kini terasa sangat kaku. Sejak tadi, dia berusaha tenang, berusaha menutupi, tapi rasanya gagal. Hanya saja, orang-orang di sekelilingnya tidak menyadari.
Kini, alih-alih merespons percakapan itu, Gista malah menatap layar ponselnya. Dia membaca sebuah pesan yang baru saja hadir.
Kalil Sankara
Lagi free nggak?
Aku baru sampe Jakarta nih.
Gista berdeham. Meminum air putih di gelasnya.
Setelahnya, Alena kembali bicara. “Mungkin. Soalnya, tiba-tiba aja, akhir-akhir ini Kalil bilang pernikahan kami harus diundur. Itu aneh.”
“Itu jelas sih, patut dicurigai.” Semua tatap tertuju pada Jena lagi. “Kalil mesti dikasih pelajaran kalau sampai hal itu terjadi.”
Chiasa bahkan sampai menggeleng kecil sambil mengerutkan kening sebagai bentuk peringatan.
“Lho, nggak. Gini. Lo nggak boleh mengingkari feeling lo sendiri sebagai wanita. Kalau lo merasa pasangan lo berubah, ya lo harus cari tahu.” Jena malah semakin bersemangat, tidak sadar bahwa salah satu wnaita di meja itu sudah tenggelam dalam gelisah. “Sebelum terlalu jauh, kamu harus menghentikan hal itu.”
“Nggak salah juga sih kalau mau cari tahu dulu,” tambah Rui.
“Nah.” Jena menunjuk Rui yang satu-satunya menyetujui. “Cari tahu deh.”
Gista tidak bisa lagi menelan makanannya. Dia kembali meminum air putih di gelasnya, bahkan dengan susah payah.
“Gini, memang di sini nggak ada yang ... pernah berhadapan dengan kasus perselingkuhan.” Jena menunjuk Rui. “Bahkan, sekalipun Mbak Rui yang menikah dengan mantan binatang kayak Sungkara, dia sama sekali nggak pernah menemukan hal aneh dari suaminya tentang wanita lain.”
Semua terkekeh saat Rui menambahkan. “Benar. Aku pecinta binatang.”
“Tapi, kita beneran nggak akan membiarkan kamu sendirian lho, Al. Kalau kamu butuh bantuan untuk memata-matai, jelas bisa kita lakuin lewat suami-suami kita.”
Gista mulai berkeringat.
“Atau kalau misal kamu butuh bantuan untuk cari wanita itu—seandainya wanita lain itu memang axa ada, kita bisa bantu cari. Sekalian bantu jambakkin kalau nanti udah ketemu.”
Gista tersedak. Terbatuk. Dan Davi yang berada di sisinya memberinya air putih.
Di meja itu, kini penuh dengan hujatan. Anehnya, Alena tidak merespons apa-apa dan hanya menoleh untuk menatap Gista. Tatap keduanya bertemu, dan Gista menjadi orang pertama yang memutus kontak mata itu untuk segera meraih gelas berisi air putihnya sebelum tersedak lagi. Namun, dia tersedak untuk kedua kali.
Kalil Sankara
Kamu ada di Sankara Corp, ya?
Aula?
Ciuman yuk, pusing banget aku.
***
Makan siang itu berlangsung kurang-lebih selama dua jam. Mereka tampak menikmati makan siang dan obrolan di meja, satu-satunya yang tersiksa hanya Gista. Siang itu, Gista memutuskan untuk kembali ke gedung Sankara Corp. Timnya masih bekerja di sana dan dia merasa bertanggung jawab untuk memantau prosesnya. Gista kembali melangkahkan kaki di gedung itu. Resah yang menyiksanya selama makan siang tadi perlahan sirna.
Dia sudah tidak tertekan lagi dengan kata-kata Jena tentang perselingkuhan, azab, kutukan, dan hal-hal mengerikan lainnya.
Gista tiba di depan pintu kaca aula yang kini terbuka otomatis. Kembali masuk di antara ruangan berkarpet tebal yang setengahnya sudah diisi oleh dekorasi. Langkahnya terayun, lalu terhenti secara tiba-tiba karena dia menemukam Kalil tengah berjongkok seraya memegangi lakban. Dia sudah membuka jas yang biasa dikenakannya, kemejanya kini sudah disingsingkan setengah lengan, dasinya dia sampirkan ke salah satu pundak.
Tampak santai sekali. Pantas ibunya bilang dengan nada sarkas berkali-kali bahwa Kalil begitu mementingkan event remeh ini. Karena memang itu yang terjadi. Alih-alih menemui kekasihnya yang merasa kehilangan, dia malah sibuk dengan para petugas dekorasi.
“Kemarin ada yang bilang nggak sempat memenuhi janji untuk fitting jas pengantin, tapi sekarang dia malah ada di sini sambil sibuk dengan lakban.” Gista berdiri di samping pria itu.
Kalil yang masih berjongkok, otomatis mendongak. Dia tertawa kecil. “Kemarin-kemarin aku beneran sibuk. Ini karena sedikit longgar aja makanya bisa keluar ruangan.” Gista menggeleng heran, dan dia melihat Kalil bergerak untuk berdiri. “Dari mana?”
“Makan siang.”
“Oh ....” Kalil mengangguk, menyerahkan lakbannya pada orang lain. “Sama siapa?”
“Jena dan lain-lain.”
“Pantesan tadi aku cari-cari nggak ada.”
“Ada apa?” Apakah anak buahnya melakukan kesalahan? Sehingga ini yang membuatnya turun langsung ke aula?
Kalil menggeleng. “Kangen aja. Belum lihat kamu.”
Sialnya, Gista merasakan kedua pipinya hangat saat mendengar ucapan konyol itu. Padahal, selama makan siang tadi. Dia banyak mendengar Jena mengumpat tentang hubungan perselingkuhan. Kadang Jena juga akan memaki, lalu mengatakan tentang azab. Bisa-bisanya sekarang Gista merona lagi saat mendengar Kalil menggodanya.
“Kamu tahu, setiap kali melihat kamu ada di sini, aku ingin mengundang kamu ke ruang kerja.” Dari tatapnya, Kalil sedang menginginkannya. Pria itu menatap Gista dari satu mata ke mata lain, lalu ke bibirnya, terus begitu dengan kepala meneleng.
“Dan kita nggak akan keluar ruangan sampai satu atau dua jam kemudian,” lanjut Gista. Tentu saja dia masih ingat apa yang akan mereka lakukan di ruangan itu jika hanya berdua.
Mereka berada di tengah kesibukan, tidak ada yang memperhatikan tingkah keduanya. Jadi, saat Kalil kesulitan mengancingkan pergelangan tangan kemejanya, Gista melangkah lebih rapat, membantu pria itu kembali memasangkan kancingnya.
Di saat itu, Gista tahu Kalil masih menatap ke arahnya. Jadi, mungkin Gista bisa menggunakan waktu itu untuk bertanya. “Bagaimana kalau Alena tahu tentang hubungan kita?”
Kalil mengernyit mendengar pertanyaan yang datang secara tiba-tiba itu. “Kalau tahu, ya ... mungkin sudah saatnya dia tahu.”
“Kamu nggak merasa ... bersalah kalau kehilangan dia?” Perselingkuhan adalah kesalahan besar. Apalagi, ini dilakukan di hari-hari menjelang pernikahan. Jadi, kemungkinan Alena untuk meninggalkannya besar sekali, kan?
Kalil mengangkat bahu. “Kenapa harus membicarakan Alena saat kita sedang berdua?” Selalu seperti itu.
Gista menjauh karena kancing kemeja di pergelangan tangan Kalil sudah terpasang dengan benar. Kini, dia tahu Kalil mengikuti geraknya, dan Gista membiarkannya. Gista mendatangi salah satu Tim Candani yang tengah sibuk memasang strip light di tangga menuju stage kecil di bagian depan aula. “Tunjukkan lighting-nya. Setelah ini kita akan meeting dengan Bu Gracia terkait desain dan konsep untuk acara besok.”
“Siap, Mbak.” Seorang pria muda berlalu, melakukan apa yang Gista suruh.
Setelahnya, bagian panggung menyala dengan lampu-lampunya yang indah. Kalil baru saja menggumam takjub. Bertepatan dengan itu, Bu Gracia memasuki ruangan. Wajahnya tampak puas, tapi kembali memberitahu detail yang diinginkan sebelum acara besok benar-benar dimulai.
Sebuah meja dan kursi di salah satu sisi mendadak dijadikan tempat untuk mereka berdiskusi. Di sana Bu Gracia memilih kursi, berhadapan dengan Gista, dan siapa sangka Kalil berani mengambil tempat duduk di sisinya.
Sesaat, kalimat panjang-lebar Bu Gracia terhenti, menatap Kalil yang kini ikut menyimak percakapan di dalamnya. Saat tangan Kalil terulur untuk mempersilakan, Bu Gracia kembali lanjut bicara. “Photobooth 360 yang berada tepat sebelum pintu masuk, ada desain yang harus ditambahkan logo hotel baru kami.”
Gista mencatat hal itu di notes-nya.
“Lalu, lighting-nya jangan lebih kuat daripada logonya, kami ingin menonjolkan itu agar terlihat mencolok saat diunggah di berbagai sosial media untuk memudahkan pemasaran ke depannya.”
Gista masih mencatat.
“Saya sudah mengatakan langsung mengenai hal itu pada beberapa staf general affair, tapi ada beberapa detail yang ....” Suara Bu Gracia masih terdengar saat Gista merasakan sebuah tangan merayap di pahanya.
Di bawah meja, tangan Kalil bahkan sudah berhasil menyelinap di balik rok yang Gista kenakan, mengusap langsung kulit pahanya. Tatap Gista sejak tadi terarah pada Bu Gracia, dia tidak berani beralih sedikit pun pada tangan kurang ajar yang kini bergerak mengusap-usal atau untuk sekadar memberikan tatap peringatan pada pemilik tangan untuk menghentikan tingkahnya.
Saat perhatian Bu Gracia beralih karena bicara pada salah satu stafnya, wajah Kalil bergerak mendekat. Bisa-bisanya pria itu berkata, “Udah aku bilang aku lagi kangen kamu banget, kan? I’m turn on ....” Lalu, “Pegang aja kalau nggak percaya,” ujarnya. Dan karena Gista tidak kunjung bergerak, Kalil meraih tangan Gista untuk disimpan tepat di antara pahanya.
***
Malam mingguannya update lagi mau nggakkk???
Besok kalau sempet kita double update lagi deeehhh. WP sama KK. Kalau sempettt.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
