Divorced with Benefits | [12. Kamu masih ingat, kan?]

381
75
Deskripsi

[TSDP #7]

Gista Syaril  merasa hidupnya sudah berada di titik yang diimpikan: menjadi wanita mandiri, sibuk, mapan, hebat, sesuai dengan checklist yang sejak dulu tersemat di balik notes kecilnya.

Namun menurutnya, pencapaian tertinggi yang berhasil dia gapai dalam hidupnya adalah bercerai dengan Kalil Sankara, pria kaya raya yang posesif dan manipulatif. Pencapaian terbesar dalam hidupnya adalah berhasil meninggalkan Kalil Sankara, Si Pengekang yang mencintainya seperti orang gila.  

Namun...

Divorced with Benefits | [12. Kamu masih ingat, kan?]

 

 

Muncul kaaan. Xixixi. 

 

 

Walau ngeselin dia masih ditungguin kan yakkk?

 

***

 

17 years ago ….

Sejak foto panitia PENSI tersebar di instagram OSIS Adiwangsa—yang mana di dalam foto itu Kalil tampak memegangi tangan Gista dari belakang karena foto tertangkap sesaat setelah Sungkara melakukan kerusuhan di barisan belakang, seluruh warga Adiwangsa mengira Kalil dan Gista sudah resmi pacaran.

Apalagi, beberapa kali mereka melihat Gista dijemput oleh Pak Adyaksa. Atau pernah suatu ketika sebuah limosin menjemputnya ke sekolah ketika Tante Gracia sengaja mengajaknya jalan-jalan. Dan tentu saja, itu menyita perhatian hampir seluruh warga Adiwangsa. 

Ketika ada pertanyaan, “Gista yang mana?” Lalu akan ada yang menjawab, “Itu lho, Gista ceweknya Kalil.”

Entah mengapa mereka bisa menyimpulkan hanya dari sebuah foto tanpa perlu mengkonfirmasi lansung pada Gista atau Kalil tentang hubungan itu. Namun di saat bersamaan, tidak ada penyangkalan juga dari keduanya. Bahkan, saat Kalil terang-terangan menggenggan tangannya saat pulang sekolah, Gista diam saja. Saat Kalil merangkul bahunya di depan banyak orang ketika pertandingan basket selesai, Gista juga diam saja.

Kalil adalah laki-laki yang mudah dan tampak tidak canggung mengekspresikan sikap dan perasaannya di depan banyak orang, sementara Gista yang biasa hidup tanpa seorang pun yang benar-benar dia kenal dekat kecuali Bu Rima, adalah Si Makhluk Kaku yang bahkan sulit mengekspresikan perasaannya sendiri. Namun, hal itu terus berlanjut.

Kemungkinannya ada dua. Gista memang suka atau … semuanya dia lakukan karena merasa tidak berhak menolak. Kalil sudah memberikan banyak hal.

Saat itu, semua panitia  tengah merayakan kesuksesan PENSI yang berhasil mereka selenggarakan. Sebagai apresiasi dari kinerja mereka, pihak sekolah memberi mereka waktu berlibur selama satu malam di salah satu vila di Puncak, Bogor.

Gista ingat malam itu, Kalil tiba-tiba mengajaknya menjauh dari keriuhan saat panggung di depan vila sedang dikuasai oleh Arjune, sementara beberapa mengerumuni Kaezar dan Janari di tempat pemanggang jagung. 

Kalil menarik tangan Gista, mereka berjalan di antara taman vila. Gista menunduk, sesekali menoleh pada lampu taman bulat yang berjejer dengan jarak sama. Lalu, setelah suara teriakan Arjune sudah berubah menjadi serupa bisikan dari tempat mereka berada, langkah Kalil terhenti. 

Kalil menarik tangan Gista, keduanya saling berhadapan. “Makasih ya, Gis. Selalu ada buat gue dalam beberapa waktu ke belakang,” ujarnya. “Makasih karena ikut ngerawat gue waktu sakit, makasih karena waktu cedera di lapangan basket kemarin lo ada buat bantuin—”

Padahal saat itu Gista juga menolong Hakim.

“Makasih udah bantuin gue saat alergi gue kambuh.” Lalu, Kalil mengeluarkan sebuah kotak dari saku jaketnya. Di dalam kotak itu, ada seuntai kalung dengan satu permata putih yang indah. Tanpa bertanya apa-apa, khas Kalil sekali, kalung itu langsung dia pakaikan melingkar di leher Gista. 

Sesaat setelahnya, Gista pikir Kalil akan kembali bicara. Nyatanya, Kalil hanya mendekat, membuat Gista mendongak. Dan laki-laki itu mencium bibirnya.

***

“Jadi saya datang sendiri. Dan kalau bisa—Eh, Gis, kamu punya handuk nggak? Basah banget.”

Pertanyaan itu membuat Alya menoleh, tampak bingung. Tatapnya bolak-balik menatap Gista dan Kalil. Dia kelihatan sedang mencari jawaban, atau setidaknya petunjuk dari permintaan Kalil barusan. Lagi pula, bisa-bisanya pria itu tiba-tiba mengubah sapaan resmi menjadi panggilan pendek yang terdengar akrab di depan orang-orang seperti sekarang?

“Gis?” Kalil kembali memanggilnya, dua alisnya dinaikan dengan kedua tangan yang terangkat,  mengingatkan keadaannya yang basah kuyup sekarang. 

“Tolong ambilkan handuk baru, Al,” ujar Gista pada Alya. 

“Aku nggak bisa pakai—”

“Jangan khawatir, ini handuk baru.” Gista menegaskan kata ‘baru’ yang artinya benda itu masih berada dalam kemasan rapi yang masih tersegel dan Kalil Sankara adalah manusia pertama yang memakainya. 

Thanks,” gumam Kalil. Dia berbalik, menatap cermin dan sibuk menyisir rambutnya yang basah dengan jemari. “Aku nggak tahu kalau bakal hujan kayak gini, aku bahkan nggak minta Dipta untuk ikut—Terima kasih.” Dia tersenyum saat Alya menyerahkan handuk padanya, bahkan Alya membantunya mengeluarkan handuk itu dari kotaknya. 

Gista melipat lengan di dada, memberi waktu pada Kalil yang kini masih menggosok-gosok bagian atas tubuhnya. “Bisa kita langsung masuk ke ruangan sekarang?” 

Kalil mengangguk menyetujui. “Oke.”

Dan sesaat kemudian, mereka sudah berada di ruangan meeting, tempat di mana sebelumnya mereka berdiskusi—Oh, tidak, tempat di mana Gista lebih sering mendengarkan Kalil protes dan berkomentar ini-itu alih-alih menghargai pekerjaannya. Di sana, hanya ada Kalil, Gista, dan Alya. Mereka sepakat untuk tidak melibatkan terlalu banyak anggota tim saat menghadapi Kalil.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, pria itu selalu punya cara memberikan shock therapy pada hal yang tidak dia setujui dari orang di hadapannya. 

Layar sudah menyala, materi presentasi sudah siap ditampilkan berkat Alya yang kini serba cekatan. Di saat itu, beberapa kali Gista melihat Kalil mengusap sisi lengannya, pria itu akan melirik ke arah air conditioner yang menimbulkan bunyi desing lembut. 

Kalil tidak berkata bahwa dia kedinginan, tapi gerak-geriknya menunjukkan demikian.

“Al, ambilkan kemeja di lemari ya. Masih ada beberapa, kan?” ujar Gista, dia sudah melihat Alya berdiri. “Ambilkan ukuran sedang, tanpa kerah. Warna hitam.” Gista tidak memberi kesempatan pada Kalil untuk protes.

Namun, bukan Kalil namanya kalau tidak berhasil mendapatkan celah. “Jelaskan detail lingkar dada, lingkar lengan, lebar bahu, dan panjang bajunya dong. Barangkali kamu masih ingat?”

Hal itu sempat membuat Alya berdiri kikuk sebelum akhirnya dia keluar dari ruangan untuk melakukan apa yang Gista minta. Demi Tuhan, Gista tidak menyangka dalam waktu sesingkat ini harus membocorkan pada Alya kenyataan tentang siapa Kalil sebenarnya, tentang hubungan apa yang sempat mereka miliki dulu. Dia pikir, dia bisa merahasiakan hal ini lebih lama. 

 Alya mungkin tidak akan mendesak untuk mencari tahu, tapi pasti dia bertanya-tanya. Bagaimana tiba-tiba sapaan Anda berubah jadi kamu? Saya jadi aku?

Sekarang Kalil bahkan tampak lebih percaya diri dan menyebalkan. Apakah ini karena Kalil tahu bahwa Gista masih mengingat beberapa alergi yang dideritanya pada pertemuan sebelumnya? Apa yang spesial, sih? Itu kan hanya hal dasar yang wajar diketahui oleh beberapa orang.

Saat Gista bergerak di depan ruangan untuk menampilkan sendiri materi presentasinya, dia tahu Kalil tidak lepas memperhatikannya dengan dua lengan yang terlipat di depan dada. “Kami sudah merevisi semua konsep resepsi pernikahan sesuai dengan yang Anda inginkan.”

“Ini kita dari kemarin masih membicarakan konsep? Belum ada progress yang berarti, ya?”

Memangnya siapa yang membuat semua pertemuan ini jadi jalan di tempat? Gista mengabaikan protes itu, dia melanjutkan. “Kami sudah mengubah temanya dengan warna-warna yang lebih kuat seperti yang Anda inginkan—sangria, green emerald, mauve, dan rose gold. Gradasi warna yang lebih lembut seperti warna lilac, mint, putih.”

“Ini lebih baik,” ujar Kalil mengomentari desain venue di layar. “Kamu ingat nggak kalau ini adalah konsep pernikahan yang kamu inginkan dulu? Hanya saja saat itu semuanya serba nggak mungkin.”

Karena ketika menikah dengan Kalil Sankara, anak tunggal dari keluarga Sankara, tidak pernah akan mengizinkannya menyentuh kesederhanaan apalagi dengan pernikahan bertema intimate yang dihadiri oleh beberapa tamu. Mewah, ribuan tamu, meriah, segala rencana sederhana berubah menjadi megah dengan sentuhan jari Keluarga Sankara. 

“Ironinya yang aku nikahi sekarang bukan kamu.” Kalil berdecak, seolah-olah dia tengah mengasihani Gista yang jelas-jelas tidak pernah berpikir mengenai hal itu sama sekali.

Gista masih bisa menahan diri. Dia bertekad untuk tidak terpancing tentang percakapan apa pun terkait masa lalu. Namun, sesaat kemudian Alya datang, dia membawakan pakaian ganti berupa kemeja hitam yang Gista minta. 

“Ini, Pak.” Alya menyerahkannya. “Maaf lama, saya harus cari dulu tadi. Untuk ruang gantinya Bapak bisa keluar dari ruangan ini dan belok ke kiri. Di sana ada ruangan luas dengan beberapa tirai putih yang membentuk setengah lingkaran, Bapak bisa menggunakan salah satunya,” jelas Alya. Dia belajar dari beberapa hal yang terjadi kemarin, sehingga sekarang selalu berkata dengan detail jika berhadapan dengan Kalil. “Mungkin sekarang Bapak mau kopi atau teh?”

Pertanyaan itu terdengar saat Kalil sudah bersandar di kursinya. “Teh boleh. Saya sudah berhenti minum kopi saat bercerai dengan seorang wanita yang pandai membuatkan kopi.” Sungguh penjelasan yang tidak diperlukan. Karena sekarang Alya tampak sedikit menggeragap, baru dia ketahui bahwa pernikahan Kalil Sankara sekarang merupakan pernikahan kedua pasca bercerai. “Mantan istri saya bisa menghasilkan aroma kopi yang nggak pernah saya temui di mana pun kalau kamu mau tahu.” Kalil masih berbicara pada Alya.

“Buatkan tehnya sekarang, Al ....” Secara tidak langsung, Gista meminta wanita itu untuk segera keluar. Agar Alya tidak terlalu banyak tahu tentang hal konyol yang diucapkan Kalil Sankara hari ini. Agar tidak terlalu banyak hal yang perlu dijelaskan tentang masa lalunya yang dengan seorang Kalil Sankara.

“Dengan gula atau tanpa gula?” tanya Alya.

Sementara itu, Kalil malah menoleh pada Gista, alih-alih menjawab dia malah sibuk menurunkan kembali lengan kemejanya.

“Tanpa gula ya. Pakai teh hijau.  Seduh dengan air panas. Cepat tarik kantungnya kalau sudah selesai agar rasanya nggak terlalu pahit.” Lagi-lagi, Gista terpaksa menjelaskan.

“O-oh, baik, Mbak ….” Satu dua langkah Alya bergerak mundur, lalu berbalik dan meninggalkan ruangan itu. 

Thanks ya, Al,” ujar Kalil sesaat sebelum Alya pergi. “Aku pikir kekacauan kecil kayak gini nggak akan terjadi, bahkan aku nggak menyuruh Dipta untuk ikut ke sini.” Dia menyebutkan nama pria yang wajahnya selalu tegang itu. “Dia asisten pribadi aku, Gis …. Setelah kamu pergi, nggak ada hal yang baik-baik saja, semuanya berantakan, dan aku butuh bantuan orang lain untuk merapikan segalanya. 

“Bisa berhenti mengatakan omong kosong ini?” Gista mulai terpancing. “Tujuan kita di sini bukan untuk membicarakan hal itu. Bukan. Sama sekali.”

Kalil terkekeh saat dia sudah berdiri dari tempat duduknya, keningnya mengernyit. “Gimana? Aku nggak ngerti?” 

“Aku nggak suka kamu membicarakan masa lalu yang …. Yang sudah berakhir itu,” tegasnya. Oh, dia terpancing untuk mengganti sapaan resmi mereka saat marah.

“Saat kamu tahu bahwa klien kamu adalah seseorang di masa lalu, harusnya kamu bisa memprediksi ini dan mempertimbangkannya lagi, kan?” Kalil menaruh pakaian gantinya di meja, dua tangannya bertumpu pada meja. Punggungnya condong ke depan. “Bagaimana bisa kamu menghindari masa lalu saat kamu memutuskan untuk berhubungan dengan seseorang di masa lalu?”

“Andai kamu tahu, andai saja aku punya pilihan lain untuk menghindar. Aku akan lari dan mendorong Si Masa Lalu itu untuk datang ke sini.” Namun lagi-lagi, pertimbangannya adalah, semua yang menggantungkan hidupnya pada Candani tidak boleh menjadi korban keegoisannya, kan?

“Lalu apa yang membuat kamu akhirnya mengambil pilihan yang kamu hindari ini?” Ketika menatap lawan bicaranya, Kalil punya metode sendiri yang selalu berhasil membuat lawannya kaku. Tatap itu, akan bergerak dari mata satu ke mata lain, lalu turun ke bibir, lalu kembali mengulanginya sampai Si Lawan merasa terancam.

“Pilihan ini adalah urusanku sendiri. Kamu nggak perlu tahu atas alasan dari pilihan yang aku ambil dalam hidupku sekarang.” Kembali Gista tegaskan bahwa tidak ada lagi hubungan di antara keduanya sekarang. “Kamu nggak punya hak untuk bertanya dan aku nggak punya kewajiban untuk menjawab. 

Kalil mendecih, saat tatapnya tidak lagi terpaku pada Gista, Gista merasa punya kesempatan untuk kembali bicara lantang tanpa sesuatu yang tertahan di tenggorokan.

“Ruang gantinya ada di luar, silakan ganti pakaian kamu di sana.  Hujan di luar sudah reda, jadi kita bisa melihat-lihat venue untuk resepsi pernikahan nanti.” Gista mengulurkan tangan ke arah pintu keluar. 

Namun, Kalil malah menarik simpul dasinya sampai terlepas. 

“Saya ulangi, ruang gantinya ada di luar.”

Kalil malah lanjut membuka kancing kemejanya. 

“Kamu yang ke ruang ganti atau aku yang keluar?!” ancam Gista.

Dan lagi-lagi, dia mendengar Kalil terkekeh. Dia malah terhibur ketika Gista marah. Ternyata Kalil tidak pernah berusaha mengubah kebiasaan buruknya yang pandai menguji kesabaran orang. 

Kalil sudah berganti pakaian dengan kemeja hitam pilihan Gista yang ternyata begitu pas di tubuhnya. Kini, pria dengan pakaian serba hitam itu berjalan bersama Gista di Plataran Candani. Namun, pria itu sesekali masih terdengar mengeluh. “Walaupun aku udah ganti pakaian, rasanya tetap nggak nyaman.” Dia membenarkan posisi celananya berkali-kali. Menjauhkan batas celananya dan menggesernya. 

“Sesekali memakai pakaian yang bukan dijahit khusus untuk kamu kan nggak ada salahnya.” Gista berusaha bicara ketus, langkahnya terayun cepat, tapi tungkai kaki panjang di belakangnya mampu melangkah lebih lebar dan menyejajarinya. “Dan harusnya kamu sangat berterima kasih karena kami biasanya nggak menyediakan kemeja baru untuk tamu yang datang kehujanan.” Kemeja itu adalah kemeja yang sengaja disediakan untuk mempelai pria kalau-kalau ada hal yang tidak diinginkan terjadi saat resepsi.

“Bukan itu.” Kalil hendak mengeluh lagi. “Aku kehujanan hampir seluruhnya, jadi—"

Namun, Gista tidak memberi kesempatan kepada pria itu untuk mengoceh lebih banyak. “Ini tempat untuk kedua mempelai nanti.” Gista menujuk lahan yang agak menjorok. “Sengaja kami buatkan di sini agar kami punya lahan lebih luas untuk membuat castle-castle sesuai dengan konsep yang telah kita sepakati.” Gista berusaha berinteraksi dengan pria itu dengan menghindari kalimat yang mengharuskannya memilih antara Anda atau kamu. 

Kalil mengembuskan napas kencang, memberi tahu bahwa sebelumnya dia baru saja menarik napas dalam-dalam. Langkah pria itu berhenti di belakang dan Gista berbalik. Dua tangannya terangkat. “Sejak kapan kamu memiliki tempat ini?” tanyanya.

“Dua tahun yang lalu.”

Kalil mengangguk-angguk. “Kamu selalu punya konsep yang jelas atas tempat yang kamu kuasai, ya? Rapi, menenangkan, didominasi putih, dan penuh dengan nilai-nilai estetika.” Tatapnya memendar sebelum kembali menatap Gista.

Gista tidak memerlukan pujian itu. Jadi dia kembali berjalan. Tangannya menunjuk area dinding tinggi di bagian kanan. “Ini akan kami ubah menjadi background yang berkonsep fairytale,” ujarnya. Di dinding itu, ada daun-daun kecil yang merambat, yang tidak akan ditemukan daun kering di sana karena setiap hari Pak Muji, tukang kebun di Candani, akan memperhatikan kondisi daun-daun di sana dan menarik satu per satu daun yang menguning.

“Berapa kali tempat ini dibersihkan?” Kalil menatap takjub.

“Setiap hari.” Pak Muji bahkan akan memeriksa setidaknya tiga kali untuk berkeliling di tempat itu setiap harinya.

Kalil menghampiri Gista, pria itu ikut merapat pada dinding yang ditutupi daun merambat, dia tarik satu ranting kering yang basah oleh air hujan, yang terselip di antara daun. Kalil menunduk untuk memperhatikan bagaimana jemarinya memelintir ranting kecil itu. 

Dan tatap Gista ikut memperhatikannya. Lalu, sebelum Gista ikut-ikutan terbuai melihat gerak atraktif yang Kalil lakukan saat memutar-mutar ranting di sela jemarinya itu, Gista kembali bertanya. “Jadi sampai di sini, ada masukan yang ingin disampaikan atau pertanyaan?”

Kalil mendongak. “Kenapa kamu bisa langsung percaya bahwa malam itu aku mengkhianati kamu?”

Jelas dia tahu bukan pertanyaan semacam itu yang Gista harapkan. Setelah bertemu dengan metode tatap berbahaya, Gista lebih dulu berniat menjauh dan kembali bicara. “Mungkin sudah cukup, sekarang kita akan lanjut untuk membicarakan masalah—”

Kalil menarik tangannya untuk membuat Gista kembali ke tempat semula. Bisa Gista rasakan dingin dari air-air di ujung daun merambat di dinding itu menyentuh bagian punggung kemejanya. Kesalahan terbesarnya saat ini adalah dia menarik napas dalam-dalam ketika posisi membuat dia biaa menghidu hampir seluruh aroma tubuh pria itu yang kini hadir seperti mengepungnya. Tidak, dia sudah berjanji untuk tidak akan lagi mengingat waktu-waktu yang kerap mereka rajut di atas tempat tidur hanya karena aroma itu. Namun, setelah dia diingatkan dengan jemari pria itu yang begitu atraktif, kini dia juga harus melihat bagaimana bibir pria itu menipis saat bicara. 

Jelas Gista tidak akan terbuai. Tidak. Walau dia tidak munafik bahwa dulu, salah satu hal yang membuatnya bertahan di sisi pria itu adalah kemampuan hebatnya saat bercinta.

“Setelah apa yang aku lakukan, setelah apa yang aku tunjukkan, setelah … bertahun-tahun kita bersama. Kamu percaya bahwa aku bisa berpaling kepada wanita lain dalam satu malam?”

Gista mendorong dada Kalil, tapi tentu saja sia-sia. Dia hanya menemukan dada keras itu bergeming di tempatnya. “Apa gunanya membahas masalah yang sudah selesai?” tanyanya. “Kamu, dengan siapa yang bersama kamu saat ini, tidak lagi membutuhkan penjelasan apa pun dari aku, kan?” Atau … apa memang ini tujuan utama kenapa pria itu bersikeras menikah di Candani? Agar bisa mengintimidasi Gista selama mereka bekerja sama? 

“Oh ya tentu, memang harusnya begitu. Tapi, ternyata sulit sekali menahan semua pertanyaan ini saat kita bisa bicara berdua seperti ini.” Kalil mengembuskan napas. “Kita bisa bicara santai andai kamu nggak menghindar terus dari tadi.”

“Kamu tahu—”

“Kamu membenci aku?” tanyanya lagi. “Masih?” 

Gista tahu siapa yang seharusnya dia benci ketika perceraian itu terjadi. Namun, dia tidak akan menjawab segamblang itu. Dia tidak ingin bunuh diri.

“Dengar ….” Suara Kalil berubah lembut. “Setelah bercerai, kamu pergi begitu saja. Tanpa menjelaskan apa-apa. Tanpa memberi tahu setelah kekacauan itu aku harus bagaimana. Nggak ada yang terlambat Gis, lakukan itu sekarang karena—”

Sebelumnya, Gista tidak pernah selega ini saat mendengar dering ponsel. Namun kali ini, napasnya yang sejak tadi tertahan bisa terhela lega karena Kalil menjauh saat merogoh ponselnya yang terus berdering. Pria itu mengangkat telepon dari seseorang, dia bergerak menjauh dan membiarkan Gista mematung sendirian di sisi dinding. 

Setelah itu, Alya datang menghampirinya. Berkata bahwa teh untuk Kalil sudah siap, entah teh macam apa yang dibuatnya sehingga membutuhkan waktu begitu lama untuk disajikan. Lalu, dia menjelaskan. “Teh hijaunya habis, jadi tadi saya harus order dulu, Mbak.” Dia tampak harus melakukannya karena dari pengalaman sebelumnya, mungkin saja dia akan disiram oleh the mendidik itu jika yang disajikannya tidak sesuai dengan permintaan Kalil Sankara. 

Sesaat kemudian, Kalil kembali menghampiri keduanya. Kali ini wajahnya tampak tenang, pria itu memang memiliki kemampuan mengubah ekspresi wajah dalam waktu seper sekian detik untuk kembali pada lawan bicaranya. Gista juga punya keberanian untuk bicara karena di sana ada Alya. Kalil tidak mungkin bicara omong kosong lagi. “Mungkin kita harus kembali bicara di ruangan sambil minum teh? Karena ada hal-hal yang harus kita bicarakan terkait—”

“Gis, serius. Aku nggak bohong, sejak tadi aku nggak nyaman banget. Celana dalamku basah.” Kalil membenarkan posisi ikat pinggangnya. “Kamu nggak bisa bawakan aku yang baru? Kamu masih ingat ukurannya, kan?” 

 

***

Kebayang nggak berhadapan sama manusia kayak gini tiap hari? 😂

Ada yang mau disampein ke Gista nggak?

Mau malem mingguan sama Kalil nggak besok? Kasih api dolooo tapiii 😋🔥🔥🔥

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Divorced with Benefits | [13. Shock Therapy]
429
56
[TSDP #7]Gista Syaril  merasa hidupnya sudah berada di titik yang diimpikan: menjadi wanita mandiri, sibuk, mapan, hebat, sesuai dengan checklist yang sejak dulu tersemat di balik notes kecilnya.Namun menurutnya, pencapaian tertinggi yang berhasil dia gapai dalam hidupnya adalah bercerai dengan Kalil Sankara, pria kaya raya yang posesif dan manipulatif. Pencapaian terbesar dalam hidupnya adalah berhasil meninggalkan Kalil Sankara, Si Pengekang yang mencintainya seperti orang gila.  Namun siapa sangka, pasca tiga tahun bercerai, ketenangan hidupnya harus kembali terganggu. Mantan suaminya kembali, kali ini dia hadir bersama kekasihnya-Alena Hirya-sebagai sepasang calon pengantin yang mesti Gista urus segala keperluan pernikahannya.Sial. Seharusnya mudah saja mengabaikan seorang Kalil Sankara Si Masa Lalu. Namun ternyata, pria itu masih mampu mengoyak kembali takdirnya sampai pilu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan