‘Female Gaze’ dalam film Yuni (2021): Teguran untuk Masyarakat Patriarki & Surat Cinta untuk Perempuan

0
0
Deskripsi

Ulasan oleh Admin Nona

Yuni (2021) - IMDb

SINOPSIS

Yuni (2021) adalah sebuah film karya sutradara Indonesia, Kamila Andini. Yuni yang diperankan oleh Arawinda Kirana, adalah seorang gadis SMA yang menyukai warna ungu, memiliki teman-teman dekat, dan berpenampilan khas remaja. Keluarganya lebih terikat pada tradisi daripada dirinya. Sekolahnya mengumumkan bahwa mereka akan memulai tes keperawanan wajib untuk anak perempuan. Di samping itu, Yuni menyadari bahwa ketika mimpinya semakin besar, dunia di sekitarnya semakin...

Isu Pernikahan Dini di Balik Cerita Film Yuni

Yuni adalah sebuah karya dari perempuan, untuk perempuan, tentang perempuan, dengan humble menggusung tema women empowerment yang diceritakan dengan simpatik dari kacamata perempuan. Yuni berlatar di pedesaan Indonesia di mana tradisi adalah segalanya, mengatur dan mengikat kehidupan anak-anak perempuan.

Yuni terkekang dalam sebuah tradisi yang mengutamakan pernikahan sebagai jalan keluar segala masalah, entah itu ekonomi, status, hingga harga diri. Yuni yang berusia 16 tahun sedang mengeksplorasi masa remajanya, seksualitasnya, memikirkan apa yang terbaik untuknya, dan mencita-citakan kebebasan pribadi akan hidup dan tubuhnya.

Terima kasih untuk Kamila Andini yang mengantarkan hasil dari sentuhan tangannya yang penuh cinta dan teguran ini dalam sebuah karya, Yuni. Yuni adalah kita semua. Yuni adalah perempuan-perempuan di sekitarmu. Yuni adalah anak-anak gadis tetanggamu. Yuni adalah teman-temanmu. Yuni adalah sepupu-sepupu perempuanmu. Yuni ada. Yuni bukan sebuah kisah distopia, bukan sebuah fiksi. Yuni adalah kenyataan. Kepedulian Yuni, cinta kasih Yuni, rasa ingin tahu Yuni, angan-angan Yuni, ketertindasan Yuni mencerminkan kita semua sebagai perempuan yang tinggal di negara di mana tradisi dan agama bersandingan, secara patriarki membatasi ruang gerak, membungkam, dan menguasai tubuh perempuan. Kehidupan perempuan-perempuan dalam film Yuni tidak lebih dari sekadar mesin penghasil anak, mesin pemuas nafsu. Sedih. Pahit. Miris. Yuni, Suci, Sarah, Ibu Lies, Ibunya Yuni, dan perempuan-perempuan lainnya tidak berkesempatan untuk bermimpi, menikmati masa muda, dan memiliki kebebasan pribadi.

Berbagai isu perempuan dalam Yuni

Film

Pernikahan anak, stigma negatif soal perempuan, kondisi kehidupan ekonomi masyarakat menengah ke bawah, sistem pendidikan yang hancur, budaya poligami yang tak lebih hanya untuk memenuhi nafsu, budaya patriarki yang menomor-duakan kesejahteraan hidup perempuan, minimnya edukasi seks, semua isu-isu pahit dan menyedihkan ini berhasil diantarkan dengan tragis, ironi, berani, penuh duka, namun sangat berdaya.

Tangisku pecah saat Suci (Asmara Abigail) menceritakan pengalamannya menikah muda yang berakhir tragis. Ada banyak Suci di sekitar kita. Menjadi sasaran kekerasan oleh suami ketika tidak bisa menghasilkan keturunan, padahal rahimnya sebagai perempuan yang masih sangat muda belum bisa untuk bereproduksi. Namun ini semua datangnya dari tuntutan masyarakat, tuntutan orang tua yang mengharuskan dan membiarkan anak-anak perempuan mereka untuk segera berumah tangga. Namun, hal yang membuatku senang sekaligus sedih dengan Suci adalah ketika melihat bahwa ternyata Suci justru menjadi perempuan yang sangat berdaya setelah beranjak dari pukulan keras yang dia alami di masa lalu. Dia bebas menjadi dirinya, menikmati hidupnya, dan melakukan apa yang dia sukai. Sedihnya, itu semua dia raih bukan dari kebahagiaan, namun dengan melalui penderitaan, hinaan, gunjingan, dan penelantaran.

Kita juga dihadapkan dengan kehidupan Sarah yang tak kalah pedihnya, bergaul dengan laki-laki pun bisa tersandung fitnah, menerima slut-shaming, dipaksa menikah karena sebuah tuduhan ‘berzinah’. Tangisku pecah lagi saat aku menyaksikan Yuni yang hadir di acara pernikahan Sarah, menangis pedih memandangi Sarah yang menangis di pelaminan. Semua mimpi-mimpi perempuan ini harus dikubur dalam-dalam, dilupakan, dan melakukan saja apa yang diperintahkan oleh orang tua, suami, agama, dan budaya. Melahirkan anak, memuaskan suami, mengerjakan semua urusan rumah tangga, menuruti suami, tidak menciptakan aib, harus perawan. Sudah. Di situ-situ saja.

Peran sekolah pun sama saja, sangat mengecewakan, alih-alih mengajarkan pendidikan seks, sekolah justru berencana melakukan tes keperawanan yang tidak masuk akal dan melanggar hak asasi perempuan sebagai manusia. Sekolah sangat pesimis dengan murid-muridnya, terutama perempuan. Seperti sindiran akan kualitas pendidikan di Indonesia, terutama yang ada di wilayah-wilayah kecil. Tidak ada dukungan terhadap ambisi mereka untuk belajar tinggi-tinggi, karena orangtua murid sendiripun niatnya hanya menikahkan anak gadis mereka.

Ego orangtua, pernikahan dini, dunia rasa neraka, dan minimnya edukasi seks

Review Film: Yuni

Aku melihat betapa gampangnya orang tua di kalangan masyarakat di film Yuni ini menyerahkan anak gadis mereka ke orang lain. Aku paham, banyak yang terhimpit ekonomi. Lalu apakah secara moral itu benar? Sedih sekali kalau begitu, lahir sebagai anak perempuan, tidak bisa meminta ke Tuhan untuk dijadikan laki-laki, tidak bisa meminta ke Tuhan untuk tidak dilahirkan saja, eh begitu dilahirkan, satu-satunya harapan orang tua hanya “semoga segera dipinang saja ketika sudah pubertas.” Ya Tuhan, kehidupan seperti apa yang perempuan rasakan ini? Apakah kami sekedar lahir untuk singgah di neraka yang dinamakan ‘dunia’ ini untuk memenuhi hasrat dan ego laki-laki? Apakah menikah adalah solusi untuk mensejahterakan dan menyelesaikan permasalahan hidup sendiri sebagai orang tua? Lalu bagaimana dengan kesejahteraan anak-anak perempuan yang dibungkam, diberi stigma, dan disiksa secara emosional? Apakah mereka tidak pantas menjadi manusia yang merdeka? Apakah orangtua peduli soal kepahaman anak-anaknya akan seks, kesehatan reproduksi, dan pernikahan? Ingat kembali ucapan salah satu teman Yuni yang sudah menikah dini, dia tidak berani komplen ke suaminya kalau dia merasakan sakit saat seks, karena dia takut suaminya marah, bahkan dia tidak tahu rasanya orgasme.

Sebut saja ‘unbreakable traditions’, ingin melakukan apapun pasti tidak akan bisa karena ada tradisi yang mengurung dari segala sisi dan tidak bisa lari kemana-mana. Aku paham sebagian orang pasti ada yang bergumam “kenapa Yuni tidak kabur saja?” Tidak. Yuni berada di jalan buntu. Kabur bukan solusi untuk anak-anak perempuan dari lingkup tradisi yang secara ekstrim mengekang, ditambah mereka tidak berkecukupan secara finansial. Apa yang dialami Yuni adalah bentuk cacatnya tradisi dan presentasi orang tua.

Beberapa kali, kita diperlihatkan kondisi padam lampu yang mencerminkan kondisi ‘nyata’ yang berkaitan dengan situasi ekonomi yang ada di Indonesia. Kita diperlihatkan dengan absennya edukasi seksual yang sangat ditabukan, bahkan untuk dibicarakan saja sudah berkonotasi negatif. Persis seperti kenyataannya di Indonesia, banyak remaja seperti Yuni dan teman-temannya yang tidak tahu soal tubuh mereka.


Pamali, budaya patriarki, dan perempuan yang menjatuhkan perempuan lain

Tayang Hari Ini, Film Yuni Banjir Pujian Netizen Tanah Air - Minews ID

Pantangan dan pamali yang sejak dahulu kala sudah kita dengar di sekitar kita, dan biasanya selalu diarahkan dan ditancapkan ke perempuan: “jangan duduk depan pintu, nanti tidak laku.” Tidak laku? Apakah perempuan benda jual beli? “Jangan nolak lamaran lebih dari dua kali, pamali, nanti jadi gak ada yang mau” Tidak ada yang mau? Apa yang salah dengan perempuan menentukan pilihannya sendiri, terlebih soal pasangan hidup? Apa pula yang salah dengan tidak menikah sama sekali? Tidak ada yang salah sebenarnya. Namun di dunia patriarki, ini sangat mencerminkan betapa aibnya, betapa menjijikkannya, betapa hinanya diri seorang perempuan.

Presentasi budaya patriarki yang menjadikan perempuan saling mencerca perempuan lain juga turut disematkan dalam film Yuni, “eh si Ade hamil ya?”, “kalo aku jadi Yuni, aku bakal nyesel seumur hidup gak mau nikah”, “ih ungu warna janda”, dan omongan-omongan saling menjatuhkan lainnya. Perempuan susah mendukung perempuan lain, karena masing-masing dari merekapun sejak kecil diasupi dengan budaya patriarki yang mengesampingkan kebahagiaan perempuan. Banyak perempuan yang juga jadi percaya bahwa mereka adalah pihak yang harus manut kepada sistem yang menguntungkan laki-laki. Banyak perempuan yang mengamini bahwa menjadi janda adalah hal yang memalukan. Padahal, apanya yang memalukan jika ternyata seorang perempuan dapat menjadi manusia yang merdeka, lebih bahagia setelah bercerai? Banyak perempuan yang berpikir bahwa itu adalah hal yang benar untuk berbicara buruk soal perempuan lain, dan menganggap diri sendiri sudah yang paling suci dan paling benar demi menjadi perempuan yang layak dan patuh di dunia patriarki. Sedih.

Objektifikasi perempuan, glorifikasi keperawanan, dan perihal ‘not all men’

10 Pemain yang Bermain dalam Film Yuni (2021)

Penderitaan Yuni tidak hanya sampai di situ. Kita dihadapkan dengan kepahitan yang dialami Yuni yang menolak ajakan poligami bapak-bapak tua yang menghendaki Yuni harus perawan sambil menyerahkan uang 25 juta ke keluarga Yuni. Saat mengembalikan uangnya, Yuni harus pergi sendiri dan berbicara sendiri ke bapak itu untuk menolak, pasalnya Yuni sudah pernah berhubungan seks, sehingga Yuni tidak bisa memenuhi ekspektasi si bapak. Dan dengan yakinnya si bapak bertanya “kamu diperkosa?”, Yuni hanya diam. Karena Yuni tahu, orang-orang lebih memaklumkan pemerkosaan daripada seks yang konsensual. Lalu Yuni disuruh pulang dan perbanyak berdoa. Bayangkan betapa kejamnya, ketika seorang perempuan melakukan seks yang konsensual dengan orang yang dia mau, akan dikatakan aib oleh masyarakat, akan digunjing, dihina, dan dipaksa menikah. Namun ketika diperkosa? Hanya didiamkan, disuruh berdoa, bahkan niat upaya untuk memberikan keadilan ke korban pun tidak ada. Itu sebabnya Yuni diam saja dan membiarkan si bapak memikirkan apa yang dia mau.

Kehadiran laki-laki baik seperti Yoga bagaikan sebuah tamparan dari Kamila Andini untuk para pembenci gerakan perempuan yang selalu berteriak “semua feminis benci laki-laki”, “gak semua laki-laki bejat, emang dasarnya feminis yang berlebihan.” Semua ini dibantah dengan kehadiran Yoga, sosok laki-laki pemalu, lemah lembut, sopan, baik hati, mendukung dan menghargai Yuni. Not all men, yes. Tidak semua laki-laki, kami paham betul bahwa tidak semua laki-laki. Namun dari yang kita lihat bersama, di dunianya Yuni, satu-satunya laki-laki yang ‘benar’ ya cuma Yoga. Semua tekanan yang perempuan-perempuan di film Yuni hadapi datangnya dari tradisi di mana laki-laki yang memegang peran penting untuk dipatuhi, ditakuti, dan didengarkan. Mencerminkan bahwa di Indonesia, perempuan, secara kenyataannya memang hidup di antara laki-laki yang mayoritasnya misoginis, dan laki-laki seperti Yoga adalah minoritasnya, hanya segelintir kecil.

Film

Perihal hubungan Yuni dengan gurunya yang sangat Yuni kagumi, Pak Damar, kita temukan fakta bahwa Pak Damar memiliki sisi lain di kehidupannya yang sudah jelas adalah hal yang sangat tabu dan menjijikkan di masyarakat patriarki, yaitu homoseksualitas. Semakin kuikuti kisah Yuni dan Pak Damar, aku sadar ketika Pak Damar meminta Yuni untuk menikah dengannya untuk menyelamatkan hidup Pak Damar dari kecurigaan/persepsi masyarakat. Pak Damar takut jika orang-orang curiga bahwa dia tidak tertarik ke perempuan, dan Pak Damar ingin membahagiakan ibunya yang ingin Damar segera menikah. Yuni yang di hatinya penuh rasa iba, akhirnya menyetujui pernikahan itu karena kasihan kepada Pak Damar.

Di hari pernikahan, Yuni yang sudah buntu dan putus asa untuk melanjutkan hidup yang penuh aturan aneh, tidak berkesempatan untuk berkuliah, tidak diperkenankan untuk memilih kehidupan sendiri, tidak bisa memegang kendali atas tubuhnya sendiri, akhirnya memutuskan untuk terakhir kalinya membantu Pak Damar yang juga tidak merdeka akan hidup dan seksualitasnya dengan melakukan hal yang tragis di hari pernikahannya. Kepergian Yuni adalah satu-satunya jalan keluar. Sementara Pak Damar dapat melanjutkan hidup tanpa dicurigai soal seksualitasnya. Pak Damar sudah punya alasan untuk menjawab orang-orang, bahwa dia pernah ingin menikah, tetapi calon istrinya yang malah meninggalkannya. Yuni yang paham betul bahwa dia tidak akan bahagia dengan menikah, dan tidak akan mungkin bersekolah tinggi, memberikan bantuan terakhirnya untuk Pak Damar agar rahasianya tertutupi.

Perihal teknis, tidak ada yang perlu diragukan. Gambar hingga performa aktor-aktornya sangat juara. Penggunaan bahasa daerah di sepanjang film, hingga puisi-puisi Sapardi Djoko Damono yang diramu sedemikian rupa dalam mengiringi pedihnya kehidupan Yuni, semuanya sangat berkesan. Penggunaan warna ungu yang bermakna kemewahan, kebijaksanaan, martabat, keagungan, kedamaian, kebanggaan, kemandirian, dan keajaiban benar-benar menggambarkan karakter Yuni dengan sempurna. Warna ungu sebagai simbol perjuangan perempuan, yaitu wujud perebutan kembali hak kepemilikan perempuan atas identitas dirinya yang selama ini telah “dirampas” oleh masyarakat patriarki. Ungu berasal dari campuran warna merah muda yang diidentikkan dengan perempuan, dan biru yang diidentikkan dengan laki-laki, sehingga pengunaan warna ungu dalam pergerakan perempuan bermakna kesetaraan dan perjuangan.

SETELAH KELILING FESTIVAL, FILM YUNI SIAP DISAKSIKAN PENONTON INDONESIA -  GILAFILM.id | Source For Movie Freaks

Kisah Yuni yang hidup di dalam lingkungan patriarki, meskipun tragis, tetap digambarkan secara berdaya. Sejak awal kita akan melihat bahwa Yuni tidak lemah. Dia memiliki keputusannya sendiri, menolak lamaran laki-laki, mengeksplorasi seksualitasnya, hingga membuktikan bahwa tubuhnya tidak bisa dibeli dengan uang. Hal-hal inilah yang termasuk ke dalam makna female gaze, bahwa seorang perempuan seperti Yuni, yang terjebak dalam lingkungan yang sangat beracun sekalipun, tetap digambarkan secara terhormat dan terpandang sebagai seorang perempuan yang berdaya dan berani. Representasi tentang perasaan, cara memandang dunia, dan pengalaman perempuan untuk perempuan menjadi kunci utama female gaze dalam film Yuni.

Berbeda dengan male gaze, female gaze dalam film Yuni memandang perempuan dari sudut pandang perempuan itu sendiri, yang sangat berhasil dalam mempertanyakan tatanan patriarki, dan juga menyadarkan bahwa privilese terlahir sebagai laki-laki adalah hal yang nyata adanya. Semoga perempuan-perempuan Indonesia semakin berani menyuarakan penindasan. Semoga lebih banyak lagi karya-karya perempuan yang membahas perempuan. Semoga film ini setidaknya bisa menjadi teguran, bahwa perempuan adalah manusia, bukan mesin produksi anak dan benda seksual (stigma yang paling lumrah di negeri ini). Hentikan pernikahan anak, hentikan budaya patriarki!

YUNI DAPAT DITONTON DI DISNEY+ HOTSTAR!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Juvenile Justice (2022): Kenakalan Anak, Perlindungan anak, dan Peradilan Anak
0
0
Ulasan oleh Admin AtezJuvenile Justice adalah K-Drama yang mengangkat tema seputar kenakalan anak (Juvenile Deliquency). Kenakalan anak seringkali terjadi di lingkungan sekitar, baik di luar negeri maupun Indonesia. Maka dari itu, diperlukannya Hukum Perlindungan Anak dan Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai bentuk pencegah dan penanggulangan kasus kenakalan anak.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan