
Apakah dia masih tidak bisa melepaskan wanita itu di hatinya?
Andai saja dia bertemu Aruni sebelum menikah... apakah mungkin semuanya akan berbeda?
Sekarang, dia malah sadar kalau dia begitu mencintai Aruni.
Sudah 2 jam semenjak Devan pergi ke kantor polisi untuk menyerahkan barang bukti yang tiba-tiba datang sendiri. Hingga hujan akhirnya turun dengan deras disertai angin kencang.
Tadinya Aruni ingin ikut. Namun Devan melarangnya dan berkata nanti polisi juga pasti akan memanggilnya untuk datang dan melapor. Jadi Aruni hanya perlu menunggu panggilan itu.
Sampai sekarang, pria itu belum ada tanda-tanda kembali. Padahal Aruni sudah bilang kalau ada sesuatu yang ingin ia bicarakan. Perihal Merin.
Ngomong-ngomong, dia juga seharusnya mengabari Merin kalau ponsel Zio sudah ditemukan.
Sambil berbicara dengan Merin di telepon, Aruni mengambil selimut lalu menyampirkan di tubuhnya seperti jubah karena hawa dingin mulai menusuk kulit, lalu kembali ke ruang tamu sambil membawa segelas kopi.
"Nanti ku hubungi lagi."
Aruni baru saja mengakhiri pembicaraannya dengan Merin saat Devan akhirnya kembali.
Selesai melepas jas hujan birunya Devan masuk begitu saja tanpa mengetuk karena pintu sudah terbuka setengah.
Tentu saja Aruni sengaja membukanya karena menunggu Devan.
"Gimana, Mas?"
"Segera diperiksa." Devan mengambil duduk di hadapan Aruni.
"Mau kopi?"
Devan mengangguk.
Aruni meninggalkan selimut di tubuhnya ke atas sofa. Buru-buru membuatkan kopi panas untuk Devan. Beberapa menit kemudian kembali ke ruang tamu.
"Mba tadi mau ngomong apa?" Devan menyeruput kopinya untuk menghangatkan tubuh. Berdoa saja tidak sampai masuk angin karena menabrak hujan pulang tadi.
Aruni mulai bercerita tentang pertemuannya dengan Merin dan apa saja yang mereka bicarakan.
Tentang Merin yang ternyata selama ini diperas Zio. Ternyata Zio diam-diam suka mengambil video ranjang mereka berdua dan Zio memanfaatkan hal itu untuk memeras Merin. Zio selalu meminta sejumlah uang dan mengancam akan menyebarkan video tersebut kalau Merin mengakhiri hubungan mereka.
Merin yang berasal dari keluarga terpandang tentu saja tidak mau kalau video-video tersebut tersebar keluar. Bisa-bisa martabat keluarganya hancur.
Maka dari itu dia mencari ponsel tersebut. Semua videonya di sana. Ia takut ponsel tersebut berada di tangan yang salah dan data di dalamnya tersebar keluar.
Sudut bibir Devan terangkat ke atas begitu Aruni menyelesaikan ceritanya.
"Mba Aruni ketemu dimana sih laki-laki begitu? Benar-benar sampah."
Aruni tidak merasa tersinggung akan ucapan Devan. Kalau saja ia tahu kelakuan Zio itu dari dulu, dia juga pasti akan membuang pria itu seperti sampah.
"Tadi malam kenapa nggak telepon polisi? Gimana kalau yang datang orang jahat?" Devan menggenggam cangkir kopi dengan kedua tangannya. Entah kenapa cuaca begitu dingin kali ini.
Aruni juga sudah menyelimuti tubuhnya lagi. "Ntar heboh, Mas. Udah nelpon Pak Rt nggak di angkat-angkat juga."
Menyebut Pak Rt Devan jadi mengingat sesuatu.
"Terus kenapa nggak telepon pacar Mba? Si anak Pak Rt itu."
"Hah? Mas Dion? Dia buk-" Aruni memotong ucapannya.
Apa Devan mengira dia dan Dion benar-benar menjalin hubungan? Itu salah paham. Namun Aruni pikir tidak perlu menjelaskannya juga.
"Dia udah ke luar kota lagi."
Matanya mulai berasa tidak enak. Berat dan mengantuk. Baru ingat kalau tadi malam ia sama sekali belum tidur. Aruni menguap. Menyeruput kopinya kembali supaya matanya bisa tetap terjaga.
"Tidur aja kalau ngantuk, Mba. Jangan-jangan tadi malem nggak tidur ya?"
Aruni nyengir. "Mana bisa tidur. Takut rumah kemalingan."
"Ya udah sekarang tidur aja."
Maunya sih begitu, tapi....
"Tadi malam itu... kemungkinan pelaku yang datang ke sini 'kan? Entah apa tujuannya. Yang jelas dia udah tahu tempat ini. Mungkin nanti dia bisa datang lagi. Setiap waktu. Setiap saat." Aruni menyuarakan ketakutan di pikirannya.
"Lantas, Mba Aruni mau berjaga tiap hari?"
"Bukan begitu...." Aruni akan pergi beristirahat jika rasa takutnya sudah sedikit menjauh. Tapi sejak ada Devan di depannya entah kenapa rasa kantuk itu datang berkali-kali lipat. Lagi, Aruni menguap.
Apa mungkin karena ada Devan, dia jadi merasa aman. Hingga rasa lelah yang tadi tertutup rasa takut akhirnya keluar.
"Tidur, Mba. Aku temani di sini."
Aruni menatap Devan di depannya. Sebentar saja pasti sudah cukup kalau waktu istirahatnya berkualitas dan dia membutuhkan Devan untuk memenuhi hal itu. Tahu ada Devan yang tidak berada jauh darinya, bisa membuatnya tenang.
"Mas Dev sini dulu ya. Aku merem bentarrr aja." Aruni semakin mengeratkan selimutnya lalu berbaring di sofa. Nanti malam, dia bisa mengundang teman untuk menginap di rumahnya. Sekarang, biar dia memanfaatkan keberadaan Devan saja.
Jujur ada rasa tidak enak tapi Devan sendiri yang bilang akan menemani. Jadi, biarlah....
*
Setiap jengkal wajah itu menjadi perhatian Devan. Wajah wanita yang sudah tidur dengan lelapnya. Wajah yang akhir-akhir ini begitu ia rindukan. Belum pernah Devan merasa begitu rindu pada seseorang. Mungkin juga karena rindu ini adalah rindu yang menyakitkan.
Padahal wanita itu ada di depannya, tapi tak bisa ia raih. Mengetahui dia baik-baik saja, sudah cukup untuk saat ini.
Bagaimanapun semua ucapan Aruni waktu itu benar. Kalau bersamanya hanya akan membuat Aruni terpuruk. Hanya akan membuat langkah wanita itu terhenti pada dirinya yang tidak bisa memberikan apapun. Jadi ia berusaha untuk merelakannya saja.
Jika suatu saat Devan berada pada situasi untuk memilih, tentu saja dia akan berusaha mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Bukan karena Karen. Wanita itu mungkin dengan cepat menemukan kebahagiaannya sendiri kalau berpisah dengannya.
Melainkan Lisa. Dia tidak mau karena keegoisannya sendiri, Lisa merasakan kasih sayang yang terpisah. Karena dia sendiri merasakan bagaimana tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh. Devan tidak akan membiarkan Lisa juga merasakan hal yang sama.
Lalu Aruni, juga pantas mencari kebahagiaannya sendiri. Biarkan dia mendapatkan lelaki yang lebih baik. Seorang pria yang sanggup merelakan apapun untuk Aruni. Yang bisa memperlakukannya bagai seorang ratu.
Padahal Devan tahu kalau Aruni berbohong soal hubungannya dengan Dion. Aruni hanya menjadikan itu sebagai alasan untuk mengakhiri hubungan mereka.
Namun saat bayang-bayang itu lagi-lagi terlintas pikirannya, bayang-bayang Aruni nanti bersama pria lain, paru-paru Devan seperti ditekan sebongkah batu. Sesak.
Apakah dia masih tidak bisa melepaskan wanita itu di hatinya?
Andai saja dia bertemu Aruni sebelum menikah... apakah mungkin semuanya akan berbeda?
Sekarang, dia malah sadar kalau dia begitu mencintai Aruni.
*
Aruni menggeliat. Perlahan kesadarannya mulai kembali. Suara hujan masih terdengar di luar sana.
Tidur di sofa ternyata tidak nyaman. Punggungnya sakit. Padahal hanya sebentar....
Tunggu. Aruni melirik ke arah jam dinding. Ternyata tidak sebentar. Dia sudah tertidur selama 2 jam.
Cepat-cepat Aruni melihat ke sofa di hadapannya. Devan juga berbaring di sana. Punggung tangan kanannya berada di atas keningnya, menutupi sebagian matanya yang terpejam.
Dia jadi tidak enak membiarkan Devan menunggu sampai ikut tertidur.
Niatnya hanya 10 menit. Kenapa ia jadi tidur selama itu?
Aruni beranjak. Memindahkan selimut yang dipakainya ke atas tubuh Devan. Perhatian Aruni tiba-tiba tersita pada wajah Devan yang kini dihiasi jambang tipis. Entah sesibuk apa pekerjaan lelaki itu sampai tampaknya tidak sempat merawat diri.
Kening Devan yang berkerut-kerut dalam, menunda langkah Aruni untuk pergi. Kelopak matanya bergerak-gerak gelisah. Napasnya semakin tidak beraturan. Apapun yang sedang di impikannya pastilah hal yang buruk.
"Ibu...." sepotong kata terdengar keluar dari mulut Devan.
Pria itu sudah tampak tidak nyaman. Aruni mencolek bahu Devan 2 kali. Mencoba membangunkannya.
"Mas Dev."
Napas Devan semakin tersendat-sendat.
"Bu!"
Aruni menepuk pipi Devan. "Mas Dev!"
Devan akhirnya membuka mata. Tatapannya nyalang. Seperti ada rasa takut dan marah.
Dia belum pernah melihat tatapan Devan seperti itu sebelumnya.
Untuk sesaat... seperti bukan Devan yang ia kenal.
"Mas Dev." Panggil Aruni lebih lembut.
Devan mengerjap beberapa kali sampai akhirnya tersadar akan siapa yang ada di depannya. Tatapannya perlahan melembut sampai ia menundukkan pandangan dan melihat tangannya yang mencengkeram pergelangan tangan Aruni dengan sangat kencang.
"Ah. Ma-maaf Mba."
*
Benar saja, keesokkan paginya Aruni harus sudah berada di kantor polisi. Untung saja polisi memberi kabar tadi malam. Kalau mendadak pemberitahuannya tadi pagi dan Aruni sudah membuat kue, Aruni tidak tahu lagi bagaimana nasib dagangannya.
Tahu apa yang paling tidak bisa Aruni pahami di dunia ini?
Kalau di televisi ada berita seorang ibu yang tega menyakiti anaknya, Aruni segera mengganti channel, tidak berani melihatnya sampai selesai.
Atau saat tidak sengaja scroll social media dan muncul berita sejenis itu, Aruni tidak akan membacanya.
Bayi yang di buang.
Bocah yang di tenggelamkan ibunya sendiri.
Bahkan dipukuli sampai tak bernyawa.
Tidak ingatkah mereka akan rasa sakitnya melahirkan anak mereka ke dunia?
Atau memang naluri mereka adalah naluri binatang, bukan naluri seorang ibu.
Atau jiwa mereka yang memang sudah sakit?
Aruni tidak paham bagaimana jalan pikiran wanita yang merupakan seorang ibu itu. Walau dia belum menjadi seorang Ibu namun, Aruni bertekad akan menjadi seorang Ibu yang baik nanti.
Sekarang, bagaimana hal itu benar-benar terjadi di sekitarnya?
Penjelasan polisi yang duduk di depannya sekarang membuat Aruni termangu.
Mama Dian, adalah pelaku pembunuhan Zio?
Anaknya sendiri?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
