1. French Kiss

65
12
Deskripsi

Cerita ini gratis, nggak perlu untuk membayar. Namun, saya masih membuka patungan kesejahteraan dari kalian untuk beli pajero putih. 

  1. French Kiss

“Mau sampai kapan kamu jadi dokter di Jepang sana dan nggak nikah-nikah, Den?”

Suara Adrian, Papi Aiden, terdengar dari seberang ponsel sana. Di susul juga dengan suara batuk khas orang tua.

“Iya, Pi. Nanti Aiden pikirin lagi.”

“Kapan kamu mau mikirinnya emang? Usia kamu udah kepala tiga, udah mau masuk empat lagi. Papi dulu seusia kamu udah punya kamu. Sampai kapan si Pedro kamu mau dianggurin?”

Aiden hanya menghela napas, dia bersandar di kursi salah satu restoran bandara internasional Jepang.

Laki-laki itu akan tiba di Indonesia dalam waktu beberapa jam ke depan, tapi Adrian seakan tidak sabaran untuk mengomel. Jadi Aiden mendengarkan ceramah pagi orang tuanya sambil mengunyah sarapan yang dihidang di depannya.

“Hmm, ya, Pi. Nanti Aiden pikirin lagi.”

“Udah jadi template kamu ngomong nanti akan kamu pikirin lagi, nanti akan kamu pikirin lagi. Sejak zaman megantropus malah, tapi apa? Sampai megantropus jadi manusia moderen, nggak ada tuh Papi liat. Papi keburu mati, Den. Pedro juga keburu kehabisan staminanya. Kalau dia nggak ngatjeng lagi gimana?”

Aiden menunduk menatap selangkangannya, lalu berkata santai, “Yaudah sih, Pi. Sabar aja. Pedro aja nggak masalah. Dia bisa sabar, masa Papi enggak.”

“Kamu nyamain Papi sama titit? Durhaka kamu, Den!"

"Ya, nggak gitu maksudnya. Papi menerjemahkan terlalu jauh. Itu cuma perbandingan."

"Den!" Adrian berkata serius. Dia menekan nama anaknya dengan nada tegas. "Mau sampai kapan kamu berkilah terus? Papi beneran bakal mati kalo kamu nggak buru nikah. Pokoknya Papi nggak matu tahu, kamu harus berhenti jadi dokter dan mulai urus maccalant grup. Cuma kamu yang Papi punya. Papi udah nggak punya siapa-siapa lagi. Kawin den, kawin!”

Aiden menyandarkan punggungnya  dan menekan pelipis kepala menggunakan telunjuk tangan. “Iya, Pi, iya, nanti Aiden cari dulu jodohnya. Udah, ya, udah mau berangkat ni. Bye.”

Klik.

Panggilan diakhiri sepihak dan Aiden menyantap sarapan dengan damai. Laki-laki itu  menjalani sisa hari dengan memikirkan akan makan apa nanti saat tiba di Indonesia.

Soto dulu atau nasi pecel? Aiden sudah muak dengan sushi.

Dia tidak peduli dengan desakan kawin yang dicelotehkan Papinya. Kalau Aiden jadi bujang lapuk sampai umur delapan puluh tahun, so what? Aiden tidak masalah kok.

Usai menghabiskan sarapan, laki-laki itu beranjak toilet untuk buang air kecil sebelum check-in.

Dia berjalan dengan santai melewati lorong panjang, sampai seorang gadis dengan hoodie berwarna merah muda dan tudung berbentuk kelinci berlari berlawanan arah mendekat padanya.

Awalnya Aiden biasa saja, tapi gadis itu malah menghentikan langkah dan memanggil Aiden.

“Permisi, Mas. Bisa minta tolong?”

“Ya?”

“Azura, tunggu.” Terdengar teriakan orang lain di belakang.

Aiden yang baru setengah memiringkan kepala untuk mengintip dicegah dengan cara kerah kemejanya ditarik dan kedua sisi kepalanya di pegang.

"Permisi, ya, Mas?”

“Ya?”

Cup.

Satu kecupan mendarat di bibir Aiden. Dua mata lelaki itu membulat sempurna karena rasa terkejut mendapat ciuman.

“Ini namanya kecupan, terus.”

Gadis itu merogoh kantung mengeluarkan semacam catatan kecil. “Ini french kiss atau ciuman pranciss. Agak dalam dan wolololo gitu mainin lidah. Mas mau?”

“Hah?”

Tak menunggu jawaban, gadis itu kembali memajukan wajah, berjinjit, dan menarik kepala Aiden untuk menunduk. Lalu melumat agak brutal bibir sucinya.

Dia mengecup keras, menghisapnya dan memaksa laki-laki itu untuk membuka mulut. Awalnya Aiden menolak, tapi tangan mungil gadis itu menekan kedua pipinya dan menelusupkan lidah ke dalam. Lalu menginvasi rongga mulut Aiden sesuka hatinya.

“Wlowlowlowlow.”

“Anjirt.” Aiden mendorong pundak gadis itu. Wajahnya shock.  Alih-alih bertanya kenapa gadis itu menciumnya, Aiden malah berkata, “Emang harus bunyi wlowlowlo gitu, ya?”

“Nggak tahu. Ini juga ciuman pertama saya, Mas. Kalau dari yang saya baca di internet. Ciuman prancis emang dalam dan wlowlowlo gitu atau wolololo ya? Enaknya yang mana?”

Aiden membuka mulutnya masih terserang kaget. 36 tahun umur Aiden dan ini adalah kali pertama dia dilecehkan.

Ternyata memang benar, mengalami pelecehan membuat tubuh jadi membeku dan otak tidak bisa merespon dengan baik. Aiden kalang kabut.

"Saya masih ada deretan jenis ciuman lagi. Sekarang kita coba yang bite kiss."

Gadis itu kembali mencium bibirnya dan menarik Aiden agar lebih menunduk dan memberi akses penuh untuk dicabuli.

Tidak seperti french kiss yang mulut berubah macam vacum cleaner. Untuk jenis yang satu ini, bibir Aiden terasa seperti dimakan dan dikunyah-kunyah dengan tidak wajar dari prikecipokkan.

Ini salah. Ini harusnya tidak begini. Aiden tahu, dia ingin protes tapi nafsu bilogisnya malah memuncak dengan tidak masuk akal dan menikmati semua yang dilakukan gadis itu terhadap dirinya.

Aiden tidak bisa stop. Help.

“Hmm, rasa omelet,” katanya, setelah membuat bibir Aiden jedir. “Habis makan telur dadar ya, Mas? Lain kali pake saos cabai aja jangan tomat. Nggak enak.” Dia mengelap mulutnya yang basah dengan punggung tangan akibat saliva mereka yang tercampur.

Aiden masih melongo di tempat. Dengkulnya sampai bergetar karena sensasi luar biasa paska bite kiss pagi-pagi hari selasa cerah. Permukaan bibirnya serasa lecet karena terkena gesekkan gigi depan gadis itu yang kembar dan paling besar sendiri macam kelinci.

Dia membaca catatannya, kembali ingin melihat daftar ciuman yang ketiga.

Namun, seorang laki-laki yang mungkin Aiden taksir memiliki usia di bawahnya, menarik tangan gadis bernama Azura itu dan menjauhkannya dari Aiden.

“Kamu apa-apaan sih? Kenapa kamu ciuman sama dia?”

Oh, ternyata mereka ini pasangan batin Aiden.

“Apa yang kamu lakuin, hah?”

“Lepasin aku.” Azura menepis tangan lelaki itu dan meringkukkan tubuh kecilnya mencari perlindungan pada Aiden yang menjulang tinggi.

Aiden sebagai korban pelecehan seksual yang tidak tahu apa-apa memilih diam saja menonton, tidak merangkul Azura dan menyembunyikan dua tangannya di kantung celana.

“Kamu udah punya cowo lain, ya? Apa maksud kamu Azura? Kamu selingkuh.”

“Kamu yang selingkuh. Kenapa kamu jadi nuduh aku.”

Oh, ternyata dua pasangan ini selingkuh batin Aiden lagi. Dia masih menikmati pertunjukkan dengan damai.

“Aku minta maaf soal kejadian semalam. Aku nggak maksud buat nyakitin kamu, tapi kamu juga harus tahu kalau semalam aku mabuk dan kalau aku mabuk, gairah seksu—“ Perkataan laki-laki itu terhenti di tengah jalan saat menangkap ekspresi Aiden yang menyipit mata curiga memandang ke arahnya.

Lo mau bilang lo punya gairah seksual karena mabuk, makanya lo main sama cewe lain selain sama cewe lo. Itu, kan? Goblok nih anak.

“Mas nya ini selingkuhan pacar saya?” katanya mengubah kata-kata.

Aiden yang merasa kasihan pada Azura, padahal gadis sinting ini baru saja menciumnya seperti tak punya adat, bermaksud membela karena merasa Azura pasti korban dari lelaki kardus muka macam kriminal pasar ini, Aiden berkata dengan lantang, "Iya, saya..."

"Bukan," potong Azura cepat, bertepatan saat Aiden sedang dipuncaknya mengaku-ngaku. Alhasil Laki-laki itu membatalkan kalimatnya dan menoleh cepat pada Azura.

"Terus dia siapa, Ra?"

"Dia cowo bayaran aku."

"Cowo bayaran?" ulang Aiden tidak terima. Ini dia tahtanya bahkan lebih jelek dari lelaki kardus muka macam kriminal terminal di depannya. Sialan.

Azura yang sadar Aiden memasang wajah jengkel, langsung berbisik untuk meredam amarah laki-laki itu, "Semalam dia selingkuh, aku mau balas dendam. Mas orang Indonesia kan? Bantu aku, please. Nanti aku kasih sepuluh dollar buat Mas. Oke."

Dia mengedipkan matanya seakan itu bisa melunturkan rasa jengkel Aiden.

"Udah, lo sana aja, kita putus. Gue nggak suka lagi sama lo," usai mengatakan kalimat itu. Azura lalu menarik tangan Aiden dan membawanya pergi, seperti pasangan kekasih gelap. Mereka berdua berlarian ke sana ke mari tidak saling tertawa.

Setelah menemukan tempat baru dan hanya mereka berdua yang tersisa. Aiden bersiap untuk mendamprat gadis asal cipok itu.

"Ka--"

"Sorry, Mas. Cuma Mas yang bisa bantu aku. Soalnya tadi aku denger Mas telponan pake bahasa Indonesia. Karena kita berasal dari negara yang sama. Jadi bisa lah sincai-sincai bantu dikit."

Azura tersenyum manis, lalu menangkap tangan Aiden yang melayang di udara dan menyelipkan uang sepuluh dollar di telapaknya.

"Nih buat, Mas. Dua dollar untuk setiap ciumannya. Sebenarnya masih ada tiga lagi." Dia memberi daftar ciuman yang ada di catatan kecilnya pada Aiden. "Ini dia, tapi nggak apa-apa. Dua aja cukup buat muasin rasa penasaran."

Gadis itu berlalu begitu saja seperti tanpa dosa, pergi meninggalkan Aiden yang memegang uang sepuluh dollar di tangan.

Di ujung lorong, Azura kembali teriak, "Bibir Mas rasa telur goreng. Enak kali, tapi lain kali jangan pakai keju, bikin eneg."

Aiden ingin mengejar, tapi pengumuman untuk segera melakukan check-in terdengar. Jadi laki-laki itu mau tidak mau memilih untuk mengurus penerbangannya dan memilih melepaskan Azura.

"Sialan, harga mulut gue cuma dua dollar. Semurah itu, ya, tarif gue?"

***

Note: Seluruh adegan dalam cerita adalah imajinasi yang dibuat dengan tujuan menghibur. Tidak untuk dicontoh, dinormalisasikan, atau khayalkan secara berlebihan. Ambil yang baik, buang yang buruk.

Karyakarsa akan selalu jadi platform yang diprioritaskan. Dengan bab paling terupdate. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 2. Nikah Den
48
6
Cerita ini gratis, Kalian tidak perlu membayar. Namun, yang mau bantu saya beli pajero putih. Boleh banget.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan