7. Trauma Aiden

61
26
Deskripsi

Gaes, tinggalin komen dong. Sepi amat lapar karyakarsa gue. 

Tidak segampang yang orang pikirkan. Menikah bukanlah sesuatu yang asal. Cinta mungkin memang elemen utama, tapi hanya bermodalkan itu saja, tidak akan cukup membangun rumah tangga.

Ada banyak sekali mereka yang memutuskan bersama setelah yakin bisa hidup hanya karena saling menginginkan satu sama lain. Di mabuk asmara, dihipnotis bayang-bayang indah berumah tangga.

Punya anak, punya pekerjaan, lalu menjalani aktivitas bersama sampai tua.

Namun, untuk Aiden. Pernikahan tidak semudah itu.

Apa yang dia hadapi saat masih kecil dan bagaimana dua matanya merekam semua yang terjadi. Telah menimbulkan rasa takut dan khawatir yang cukup dalam.

Sepuluh tahun sejak kematian Maminya, Aiden masih sering tersentak begitu saja tengah malam. 

Bayangan sepasang kaki yang tak menyentuh tanah dan juga ekspresi mengerikan karena terhentikan pasokan udara ke dalam paru-paru. Menciptakan rasa takut dan trauma yang besar.

Aiden takut gagal, takut mengulang takdir, takut apa yang menimpa Maminya, juga terjadi pada pasangannya.

Adrian saat itu terlalu sibuk bekerja. Sampai Aiden harus diserahkan pada personal asisten dan seorang psikiater yang rutin memeriksa kewarasan laki-laki itu.

Setiap malam, selama ribuan hari lamanya. Kepala Aiden selalu berisik dihantui oleh suara-suara tak kasat mata.

Membuatnya ketakutan sendiri, membuatnya dibayang-bayangi oleh kematian Maminya yang mengenaskan.

Seluruh keluarga membicarakan itu dan menunjukkan simpati, tapi pada akhirnya, tak pernah ada yang benar-benar peduli. Termasuk Adrian sendiri.

Apa yang mereka pedulikan hanya perusahaan dan kelangsungan bisnis keluarga yang harus melampaui pesaing terberat mereka, Mattias.

Ini sangat mengecewakan, terlalu berat untuk ditanggung anak delapan tahun. Dimana saat ibunya meninggal. Semua orang hanya bersedih di hari pemakaman. Sisanya, masing-masing melanjutkan hidup dan melupakan.

Dan selama itu pula, untuk meredam kebisingan di kepala. Aiden melampiaskannya dengan belajar dan terus belajar.

Tak peduli kadang dia melakukannya sampai larut malam hingga membuat laki-laki itu sering tertidur lelap akibat terlalu lelah.

Ini adalah yang terbaik. Dia harus tetap waras dan itu lah satu-satunya jalan.

Sekarang jam menunjukkan pukul tiga pagi. Aiden masih terjaga. Dua matanya menatap nyalang ke langit-langit kamar.

Sudah berjam-jam dia terus menatap lampu di sudut ruangan. Sempat laki-laki itu bangkit dan membaca buku, tapi bayangan wajah Azura dan apa yang gadis itu pikirkan saat memutuskan pergi tanpa pamitan. Menganggu pikiran Aiden.

"Mungkin besok aku harus ketemu sama dia. Ini nggak benar, ini harus diselesaikan dengan kedamaian," ucapnya. Lalu botol putih dengan namanya sendiri di tengah, menuangkan beberapa pil ke telapak tangan dan meminumnya. 

Dia butuh tidur untuk bisa mengumpulkan tenaga menjalani hari esok.

***

"Mau kemana anak Papi? Mau bikin orang mati kejang di jalan, ya?"

"Kenapa orang mati kejang di jalan, Pi?"

"Karena kamu terlalu cantik."

Azura mengulum senyum, merasa bahagia menerima pujian dari Papinya untuk ke ratusan ribu kali.

Sejak kecil, mungkin sejak baru lahir. Azura selalu disiram macam-macam kata-kata menyenangkan.

Baik soal fisik, prestasi, kegiatannya, sampai ke percobaan memasak--yang sebenarnya memiliki hasil mengerikan.

Karena itu dia tumbuh menjadi gadis ceria dengan tingkat positive vibes yang agak berlebihan. Selalu menganggap kalau dirinya baik, maka orang lain juga pasti akan baik.

Padahal tidak. Padahal manusia adalah makhluk yang sangat kompleks dan sulit ditebak. Tidak pernah ada satu orang pun yang benar-benar berhasil menebak apa yang bersarang di balik tempurung kepala.

Dan baru kemarin. Azura kembali mengalami sesuatu yang membuat dirinya terluka setelah dengan bodohnya terus memegang prinsip, kalau baik, orang lain juga akan baik.

Harapan memang semengerikan itu, dan berpikir positif tidak selalu membawa hal baik. Itu lah kenapa kadang-kadang kita butuh soudzon.

Demi apa? Demikian. Tidak! Demi kewarasan bersama.

"Azura mau ke pesta ulang tahun temen, Pi."

"Siapa, Nak?"

"Caroline. Dia ulang tahun ke tujuh belas."

Kepala Papi Azura mengangguk-angguk. "Yaudah, di antar supir, ya, Nak. Hati-hati, kalau ada yang mencurigakan, jangan ragu buat teriak atau tendang kepalanya."

"Pi. Jangan ngomong gitu sama Zura."

Seorang perempuan dengan rambut pendek dan muka agak jutek masuk ke dalam kamar Azura. Dia memperhatikan suaminya dan anak perempuannya yang memiliki kemiripan hampir sembilan puluh persen.

Itu menyebalkan, mengingat dirinya yang susah payah membawa Azura ke dunia selama sembilan bulan dan melahirkan gadis itu.

Tapi dengan seenak jidatnya Azura malah mirip ayahnya.

"Kenapa? Ini jaga-jaga, Beb. Kalau dia dicelakain orang, dia harus berani tendang kepalanya, pukul tengkuknya, dan tusuk bola matanya."

"Pi ..." Sang istri kembali berbicara, kali ini dengan nada khas miliknya yang memperingati.

"Yaudah, cukup tendang kepalanya aja. Ingat, ya, Nak. Jangan ragu, jangan malu. Bapakmu kaya."

Azura hanya mengangguk dan tersenyum patuh. Dia lalu bangkit dari duduk di kursi rias dan bersiap untuk pergi.

"Zura berangkat, ya, Pi. Bye."

"Bye, Nak."

Papi Zura tersenyum hangat, lalu membiarkan anaknya hilang di balik pintu.

"Ya ampun. Anakku sudah besar, padahal dulu hanya sebutir sperma."

"Pi..."

"Lah, emang iya, kan. Ayo, Beb, kita buat anak lagi."

"Ada Zuko. Jangan ngomong sembarangan."

Sosok yang dibicarakan sedang tiduran dengan punggung bersandar di kepala kasur milik kakaknya dan bermain game di ponsel.

Mata remaja laki-laki itu yang sangat mirip dengan ayahnya menatap sinis.

"Alay."

"Sejak kapan kamu di sana?"

Zuko mengangkat bahu lalu pergi begitu saja meninggalkan orang tuanya. "Tauk."

***

Itu adalah perayaan sweet seventeen yang manis. Balon-balon warna-warni. Bunga-bunga asli, dan lampu sorot yang memeriahkan suasana.

Belum lagi musik yang berdentam kencang. Ikut menggetarkan degup jantung setiap pengunjung yang datang.

Alih-alih terlihat seperti sebuah pesta peringatan umur, apa yang dilihat oleh Azura lebih mirip diskotik saja.

Ada banyak tamu undangan. Baik yang dia kenal maupun terlihat asing.

Maklum saja. Caroline adalah seorang selebgram. Dia juga penyanyi dengan suara terburuk seperti kambing kena lempar batu, yang pernah Azura dengar. 

Tapi karena orang tuanya kaya dan memiliki pengaruh. Caroline nekat ditampilkan di tv demi melanjutkan hasrat menjadi artis.

Namun, harapan tidak sesuai kenyataan. Gadis itu kena buli dan berakhir agak gila.

Bukannya melanjutkan hidup dengan normal. Caroline malah berubah makin caper dan gimik demi menarik perhatian.

Akhir-akhir ini, orang-orang suka penampilan gadis cantik agak tolol di depan kamera, yang berlagak tidak tahu jenis makanan pasar atau nama artis. Disuruh apa pun tidak tahu, melongo, dan benar-benar seperti baru keluar dari goa.

Terlalu dungu untuk disebut polos dan terlalu menyebalkan untuk dianggap anak sultan.

"Azura!" teriak seseorang. "Ke sini."

Yang disebut namanya menoleh ke arah sumber suara. Azura tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Shireen yang menyambut heboh gadis itu.

Begitu Azura menghampiri temannya. Shireen segera berkata, "Datang juga lo. Buset, cantik banget sih."

"Makasih, Reen."

Gadis itu mengenakan gaun merah maroon dengan bentuk curve agak rendah di bagian dada. Membuat bahu putihnya terlihat dan menonjolkan tulang selangka area leher.

"Lo datang sendiri?"

"Iya nih, sendiri. Kalau lo?"

"Oh, lo nggak sama Steven? Biasanya lo sama dia? Mana tuh orang."

"Reen," tegur gadis lain yang berada di samping Shireen. "Kan Steven udah jadian sama Jocelyn. Gimana sih? Lo nggak tahu gosipnya."

"Gosip apa?"

"Kan Azura dibuang sama Kevin karena selama ini dia naksirnya sama Jocelyn."

"Hah? masa sih?" Shireen pura-pura menunjukkan wajah kaget. "Gue nggak tahu."

"Ah, telat lo."

Azura yang masih berada di dekat orang itu hanya diam saja. Mencoba tenang dan tidak memberi respon apa pun.

"Emang iya, ya, Ra? Lo dibuang Kevin? Kok bisa sih? Kan lo cantik."

"Iya, kayak itik."

"Huss, Ver. Jangan terlalu jujur gitu dong," ucap Shireen. "Nanti Azura denger, bisa dilibas kita sama uang bapaknya. Ngeri tauk."

Azura masih diam saja. Tak membalas ucapan Shireen dan Veronica yang terang-terangan menyindirnya.

Maklum saja. Dua orang ini berada di circle pertemanan sama dengan Jocelyn. Tentu saja mereka membela sahabat mereka tanpa memperdulikan kebenarananya.

Pertemanan wanita memang semengerikan itu, tak peduli mana pihak yang salah dan benar. Temanmu harus dibela mati-matian.

Dan Jocelyn juga pasti memutar fakta hingga Azura yang terdengar menyedihkan di cerita geng circle-nya.

Setiap orang adalah penjahat di cerita orang lain.

"Ya ampun. Huhuhu, sedih banget, Ra. Gue turut bersedih, ya, sama apa yang terjadi sama lo."

"Nggak apa-apa kok." Azura menjawab enteng. "Lagian sumber kebahagiaan gue bukan cowo. Cowo mah banyak, nggak cuma satu. Dan Kevin juga bukan level gue. Terlalu miskin, gue nggak suka cowo miskin. Ntar dibeliin tas prada palsu kayak punya lo."

Azura menunjuk benda yang sedang digenggam oleh Shireen. Gadis itu mengulum senyum puas.

"Sok banget sih."

"Ya harus dong. Kaya kalo nggak flexing kayak sayur nggak ada garem. Hambar. Dunia ini gelap, Bestie. Penuh penderitaan dan juga omong kosong. Duit yang bikin semuanya tampak bercahaya dan nyata. Kalau nggak ada duit, hidup jadi suka halu. Kayak lo."

"Terus lo pikir lo yang paling oke gitu? Lo yang paling kaya. Masih banyak yang lebih dari lo, tapi nggak sombong tuh. Biasanya aja."

"Iya," tambah Veronica mendukung pernyataan Shireen temannya. "Nggak norak!"

"Sebut, siapa?" tantang Azura. "Sebut siapa orang kaya yang nggak mamerin kekayaannya?"

"Ada lah. Banyak. Lo cari aja contohnya sendiri. Ngapain nyuruh gue nyebutin."

Azura memutar bola matanya, melipat tangan lalu kembali berbicara pada dua teman Jocelyn yang menyebalkan. Orang-orang ini harus ditampar dengan kekayaan.

"Lo tahu kalung berlian yang gue pake?" Gadis itu memegang benda berkilau di lehernya. "Ini dari Italia. Jenis berlian paling mahal yang pernah ada. Harganya, kalau ditotalin dengan seluruh biaya pesta sweet seventeen Caroline. Belum sampe seperempat dan masih jauh. Hal yang sampe lo mati, nggak bakal bisa lo alamin."

Veronica mengerutkan dahi, tampak tak suka sekaligus iri mendengarnya.

"Lo kerja keras kayak kuli panggul, terus mati, terus idup lagi, kerja keras lagi, mati, idup, bahkan reinkarnasi sampe jadi monyet. Lo nggak akan bisa dapetin apa yang gue dapetin."

"Emang berapa sih harganya" Shireen bertanya penasaran. " Kalung doang juga."

Azura mengulum senyum, lalu tertawa agak pelan, membentuk gerakan tangannya seperti berbisik. "Lima belas miliar."

"Lima belas, what, lima belas miliar?"

Tawa Azura pecah melihat reaksi kaget Shireen yang tidak bisa gadis itu sembunyikan. "Berapa duit tuh?"

"Banyak lah, Say. Bapak gue kan kaya. Kayak yang lo bilang, uang bapak gue bisa ngelibas siapa aja yang ganggu hidup gue. Fantastis, kan? Duit bokap lo bisa nggak?"

Dua orang itu terdiam, tidak bisa membalas omongan Azura tentang kekayaan.

"Lagian, ya. Gue cantik, pinter, crazy rich. Barang yang ditempelin bapak gue di badan gue nggak sembarangan. Masa gue masih ngais cowo. Yang bener aja, rudi gong. Dunia udah ngebahas masalah kemajuan teknologi dan perputaran ekonomi keluarga konglo super kaya. Yang punya duit yang berkuasa. Cowo lo nih, kalo gue sawer juga langsung bertekuk lutut di kaki gue."

"Dasar sombong lo," ucap Shireen geram.

"Kebetulan sombong adalah nama tengah gue. Udah dulu, ya, mual gue di sini. Nyium bau barang kw. Nggak biasa soalnya. Tuh tas lo, jam tangan, sampe baju yang lo pake, semuanya dari toko oren, kan, eww. Gue dong, dari majalah fashion khusus. Bye."

Azura membalik badan dan menyingkir dari dua kenalannya itu. Siapa sangka mereka sekarang sudah memilih keberpihakkan kubu secara terang-terangan pada Jocelyn si perempuan murahan.

Azura jadi menyesal mengamini panggilan Shireen saat baru datang tadi.

Di jarak beberapa meter di hadapan Azura. Dua orang perempuan lainnya sudah menunggu sambil tertawa-tawa.

Mereka tentu mendengar apa yang gadis kaya itu baru saja obrolkan dengan dua gadis lainnya.

"Goks sih, Ra. Kena mental banget tuh biawak berdua. Berani-beraninya nantangi lo."

"Nggak tahu aja mereka hotel tempat acara ini diselenggarakan punya bapak lo." Cristine tertawa geli, lalu memandang Mita yang juga melakukan hal serupa.

"Lagian bikin kesel aja."

"Lo sih, udah gue bilang nggak usah ke Jepang nyusulin si Kevin. Dia mah laki-laki kardus. Banyak nipunya."

"Track record dia aja juga jelek. Gue udah ngingetin lo, tapi lo aja yang ngeyel," ucap Cristine. "Sekarang kenak kan lo."

Bibir Azura menekuk sebal. Gadis yang bibirnya dipoles lipgloss sewarna dengan gaun yang dia pakai itu, mendaratkan bokongnya di kursi dan duduk menampung wajah.

Pesta baru saja akan berlangsung, tapi suasana hatinya sudah buruk. Padahal dirinya ke sini untuk menyembuhkan luka hati paska kejadian menyebalkan dua hari lalu.

Bayangan Aiden yang mengatai dirinya gadis tanpa asal-usul dan bloon benar-benar menyakiti ego Azura.

Dan sekarang, kelaraan hati yang ditanggungnya harus menjadi dua kali lipat lantaran perkataan Shireen dan Veronica.

Sebenarnya, apa yang diucapkan dua gadis itu tidak sepenuhnya salah. Mereka benar. Azura sial dalam urusan percintaan.

Dia selalu saja jadi pihak yang dimanfaatkan. Lahir sebagai anak orang terlalu kaya membuat banyak laki-laki muda mikir dua kali untuk mendekatinya.

Belum lagi sang Papi yang terkenal galak pada siapa pun.

Kriteria calon pasangan Azura, paling tidak harus menyamai kekayaan Papinya, atau paling minimal, beberapa tingkat di bawah.

"Jangan deket-deket sama orag miskin, ya, Zura. Kamu harus gebet orang kaya. Inget, ini aturan leluhur. Kamu jadi ikan pari kalo membangkang."

"Jancok," maki Azura. Kesal harus mengingat kata-kata Neneknya. 

Memangnya harus, ya, orang kaya dipasangkan dengan orang kaya lainnya?

Ya, harus. Kalau tidak, hidup jadi tidak seimbang dan kacau balau.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 8. Jangan melawan, Azura!
60
16
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan