
Aiden membeku diam. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya laki-laki itu berhasil memproses apa yang terjadi.
Dia baru dari toko elektronik membeli sebuah gadget keluaran terbaru. Miliknya sudah ketinggalan zaman dan Ginda, sekertaris sekaligus orang yang akan memberitahu apa saja hal yang harus Aiden urus sejak baru resmi diangkat sebagai direktur utama pusat, memberi saran untuk itu.
"Iphone Bapak zaman purbakala banget, nggak gaul."
Dan begitu lah Aiden tiba di mall untuk membeli gadget sesuai yang SPG tawarkan tadi.
Namun, hari-harinya yang tenang dan rencana pulang ke apartemen dengan nyaman. Harus sirna karena kehadiran dua orang di depannya.
Untuk Adrian, sebenarnya tidak terlalu mengejutkan untuk ditemui secara random, karena pria tua itu suka menghabiskan waktu berkeliling mengukur jalan.
Hanya saja, yang membuat Aiden terkaget-kaget adalah keberadaan Azura di bangku belakang dan apa yang gadis itu teriakan."
"Gay? Aku nggak gay! Jangan sembarangan kamu."
"Kata Pak Supir Kak Ai gay." Zura menunjukkan wajah jijik bercampur kecewa, lalu menghapus bibirnya dengan punggung tangan. "Wlekk, rasa pantat."
"Azura!"
Aiden menyebut kencang nama gadis itu. Dia menoleh ke belakang sebentar untuk memberi klarifikasi pada setiap pasang mata yang mengarah.
Namun itu terlalu buang-buang waktu, ada baiknya dia langsung masuk saja ke mobil dan menutup mulut Azura sebelum gadis itu makin bicara yang tidak-tidak.
Aiden segera membuka pintu. Mendorong Azura untuk masuk lebih dalam, dan menjejalkan barang belanjaannya di antara mereka.
"Apa yang kamu barusan bilang? Saya nggak gay."
"Gay!" Ini Adrian yang bicara.
"Kenapa Papi ngomong gitu?"
"Queensa kemarin ngelapor sama ayahnya, katanya kamu nggak selera sama dia. Terus kemarin pas Papi suruh kamu ikut kencan buta lagi, kamu nggak mau. Fix gay!"
"Pi, enggak."
"Iya!" Ini Azura yang ngotot.
"Kamu jangan ikut-ikut."
"Tapi, kan kita teman."
"Teman dari hong kong! Shhtt, udah diem. Pi, jalanin mobilnya. Kita ngobrol di apartemen Aiden aja."
Tiga orang itu sampai di kediaman Aiden.
Adrian duduk di sofa, Azura di depannya, dan pemilik hunian di samping Azura.
"Jadi, jelasin ke Papi. Gimana bisa kamu nipu Azura soal kokop-kokopan."
"Hah?"
"Iya, waktu itu, kan, kita kokop-kokopan."
"Bajingan kamu, Aiden. Lelaki kardus, sinting, tidak tahu adat, kurang hapal pancasila. Apa yang udah kamu lakuin sama Neng Azura."
"Iya." Azura melipat tangan, setuju dengan perkataan Adrian. "Tukang tipu, lelaki kardus," ulangnya. Menyebut dua dari empat daftar julukkan yang diberi Papi Aiden sendiri.
Yang sedang dirundung hanya diam saja. Mencoba menarik napas dalam dan mengeluarkannya.
Tidak pernah Aiden sangka apa yang terjadi beberapa hari ini akan sangat memusingkan laki-laki itu di masa depan.
Memangnya apa salah dari sebuah ciuman. Semua laki-laki dewasa pasti pernah ciuman meski belum menikah, paling tidak dengan kekasihnya.
"Kalau kamu mau ciuman, jangan sama orang yang nggak ada hubungan apa-apanya sama kamu," ucap Adrian. Seolah menyambung dari apa yang Aiden sedang pikirkan. "Papi nggak mau tahu, kamu harus tanggung jawab dan kita akan ketemu sama orang tua Neng Azura buat menikahkan kalian."
"Nikah?" ucap Azura dan Aiden serentak.
"Saya nggak mau nikah, Pak. Belum boleh. Papi saya bakal marah kalau saya dinikahkan sekarang. Papi saya juga galak."
Aiden melirik Azura yang ada di sampingnya. Membahas masalah Papi dari gadis itu. Aiden sendiri sebenarnya jadi penasaran bagaimana bentukkannya.
Azura bilang, bahwa Papinya sangat dekat dengannya dan agak sedikit strict. Mungkinkah seorang pensiunan jenderal bintang lima?
Kalau iya, agak merepotkan menghadapinya.
"Aiden juga nggak mau, Pi. Menikah itu soal seumur hidup dan Aiden nggak mau milih menghabiskan waktu dengan perempuan nggak jelas."
"Perempuan nggak jelas? Aku maksudnya?" Azura menyerobot bicara. Agak tersinggung mendapat label kurang menyenangkan dari Aiden. "Kakak bilang kita teman."
"Teman nggak ada yang kokop-kokopan, Neng Azura. Kamu ditipu. Maafin anak saya yang gay."
"Aiden nggak gay, Pi. Astaga, stop bilang Aiden gitu. Omongan adalah doa. Nanti Aiden gay beneran Papi sendiri yang rugi."
"Coba kalau kamu beneran nggak gay. Kamu cium Azura. Kalian beneran pernah kokop-kokopan nggak."
Azura baru akan membuka mulut bicara, tapi Aiden tahu-tahu sudah memegang kedua pipinya dan mencium bibir gadis itu cepat.
"Udah."
"Kurang lama."
Aiden sedikit merasa kesal, tapi rasa menyenangkan yang dia dapat dari bibir Azura membuat laki-laki itu mau-mau saja mengulangi.
Dia kembali menoleh pada Azura dan mencium bibirnya. Kali ini agak lama. Mungkin lima detik dan Aiden rasa itu cukup.
Namun, rencana hanya tinggal rencana. Salahkan bibir Azura kenapa begitu membuat Aiden candu sampai mabuk kepayang, harusnya gadis itu berparuh saja seperti burung pelikan. Jadi Aiden tidak perlu untuk terus menggempurnya seperti mainan favorit.
Sementara Azura yang mendapat serangan dari Aiden membola matanya terkejut.
Di lima detik awal, gadis itu mencoba rileks dan masih membiarkan apa yang Aiden lakukan. Ini untuk pembuktian pada Adrian kalau anak tunggalnya tidak memiliki penyakit menyimpang.
Namun, waktu bergulir. Dari yang awalnya lima detik, lama-lama menjadi puluhan, menjadi semenit, dua menit, dan disaat Azura merasa apa yang Aiden lakukan mulai berlebihan.
Tangan gadis itu mendorong laki-laki di depannya sekuat tenaga. "Udah, Kak. Lepas! Sakit tahu."
Aiden terlonjak agak kaget, mengatur napas dan melihat Azura yang memasang wajah masam.
"Sorry," ucap laki-laki itu.
Begitu dia berbalik kembali menatap Adrian. Sebuah ponsel dengan sinar menyilaukan sedang menyorot ke arahnya.
"Papi? Papi ngapain."
"Selesai."
"Papi rekam?"
"Iya, ini buat bukti supaya kamu nggak gay, sekaligus biar kamu menikah." Adrian menatap Azura yang wajahnya memerah. Gadis itu terlihat sedikit linglung. "Ayo Neng Azura. Kita ke rumah kamu. Saya akan melamar kamu mewakili anak saya."
Adrian sudah mau berdiri, tapi Aiden buru-buru mencegah. "Pi? Apaan sih? Ngapain nemuin orang tua dia?"
Telunjuk Aiden mengarah pada Azura. Sementara yang ditunjuk menjulingkan mata karena terlalu fokus menatap ujung jari Aiden yang dekat sekali dengan wajahnya.
"Ya, buat nikahin kalian lah. Enak aja kamu udah kokop-kokop anak orang tapi nggak mau tanggung jawab. Jangan jadi bajingan, Den."
"Pi." Aiden kembali berbicara. "Ini nggak seperti yang Papi duga. Antara Aiden sama Azura nggak ada hubungan apa pun dan seperti yang tadi Aiden bilang. Menikah itu bukan urusan gampang. Asal ketemu cewek, nggak peduli asal-usulnya, langsung main nikah aja. Nikah itu seumur hidup."
"Tapi, Den, kamu itu udah tu--"
"Iya, ya. Aiden tahu. Aiden udah kepala tiga dan udah waktunya menikah karena meneruskan tali darah keluarga, kan? Itu terus yang Papi bahas dari sejak tiga tahun lalu. Aiden sampe bosan dan hapal. Tapi bukan itu yang Aiden mau. Aiden butuh pendamping yang pas, yang bisa menyeimbangi Aiden. Sementara Azura, dia cuma tamatan SMA, belum ngerti apa-apa. Masih terlalu kecil. Dia mana ngerti apa-apa, seumur gitu masih bloon."
"Aku nggak bloon," kata Azura pelan. "Kata Papi aku, aku anak yang pinter kayak Mami."
"Tuh, kan, lihat gaya bicara dia. Masih anak-anak banget. Aiden sama dia nggak bakal cocok."
"Terus kenapa kamu cium dia?"
"Dia duluan kok."
Azura tertegun mendengarnya. Mata bening gadis cantik itu berkedip. Merasa sakit mendengar perkataan Aiden.
"Dia duluan? Kok bisa?"
"Di bandara. Dia lagi ada masalah sama pacarnya dan dia juga pasti punya pasangan. Jadi, ini nggak seperti yang Papi pikirkan."
"Masalah mobil itu gimana?" tanya Azura. "Kan Kakak duluan--"
"Anggap aja lunas." Aiden bicara cepat. Agak galak karena tidak suka Azura ikut-ikut dalam percakapannya dengan Adrian.
Azura langsung menekuk bibirnya. Merasa makin sedih dengan ucapan Aiden.
"Tapi nggak boleh gitu, Den. Meskipun dia masih kecil, kamu juga harus jaga perasaannya. Siapa tahu dia suka sama kamu dan kamu suka sama dia."
Aiden menoleh pada Azura dan bertanya langsung pada yang bersangkutan, "Kamu suka sama saya?"
"Aku ... Emm."
"Saya juga nggak suka sama kamu. Kita nggak ada hubungan apa pun."
Azura kembali hanya bisa membola mata, padahal dirinya belum menjawab, tapi Aiden semangat sekali menolak gadis itu.
Kembali pada Adrian.
"Lagian, Pi. Biasa aja laki-laki dewasa ciuman sama perempuan. Semua yang usia yang mencaai batas tertentu juga pasti dipenuhi feromon untuk hal-hal berbau seksual. Bahkan anak yang masih SMA aja udah banyak tuh nikah dini. Emangnya Papi nggak pernah dulu pas muda ciuman sama perempuan lain?"
"Enggak." Adrian menggeleng. "Papi anak baik dulu."
"Kalau Papi baik, Papi nggak akan nyakitin Mami dan bikin Mami ninggalin kita semua."
Lalu semua mendadak hening.
Adrian terkejut dan Aiden sebenarnya lebih terkejut lagi. Tak menyangka kalimat itu lolos dari bibirnya.
Mereka berdua saling menatap, dengan Adrian yang perlahan mengubah ekspresinya menjadi mendung.
Ada rasa sakit yang bersarang di hatinya. Belasan tahun, sejak dua beranak itu kembali akur. Aiden tak pernah membahas masalah kematian mendiang istrinya. Apalagi sampai menuding Adrian dengan kalimat yang baru saja diucapkannya.
Namun hari ini, kata-kata itu lepas liar dan langsung melesak tepat mengenai hati Adrian yang paling dalam.
"Maafin Papi, ya, Den," katanya pelan. "Ini memang salah Papi yang nggak ngejaga Mami kamu dengan benar."
Aiden diam. Bungkam bibirnya seperti dioles lem. Di momen ini, laki-laki itu jadi salah tingkah karena mengeluarkan kalimat yang selama ini hanya berani dia kumandangkan di dalam kepala.
Momen kematian Maminya adalah yang paling menyakitkan dan yang tidak ingin Aiden ingat atau bahas. Bahkan di depan cermin sekalipun.
Bertahun-tahun dia melupakan itu, tapi rasa sakitnya terlalu permanen dan membekas di kepala.
Adrian tertunduk sedih dan mereka masih diam satu sama lain.
Hingga akhirnya, Aiden dengan segala peperangan di dalam kepala mencoba untuk mengembalikan suasana menjadi kondusif, "Maaf, Pi. Aiden nggak maksud begitu. Aiden cuma ...."
"Nggak apa-apa," potong Adrian. Bibirnya berusaha menciptakan senyum meski rasanya pahit sekali. "Pernikahan pasti menjadi trauma yang cukup besar mengingat Papi tidak memberi contoh yang benar. Kamu terluka, Papi tahu itu, dan sejak lama kamu memendamnya dalam diam. Papi selalu berhutang maaf sama anak Papi, tapi terlalu pengecut untuk minta maaf."
"Pi," kata Aiden pelan. Dia ikut merasa sungkan dan tak enak.
"Papi nggak akan maksa kamu lagi kok, tenang aja. Maafin Papi, ya, karena terlalu menggebu-gebu. Setelah ini semuanya terserah anak Papi aja. Kamu boleh menikah atau memutuskan melajang selamanya. Papi nggak masalah, semua keputusan ada di tangan kamu. Lagi pula, pernikahan bukan sesuatu yang bisa diciptakan asal-asalan. Seperti yang kamu bilang tadi."
Pandangan mata Aiden meredup. Sekarang dia merasa bersalah pada orang tuanya sendiri.
"Hidup memang selalu penuh kejutan, Den. Terlalu banyak hal yang nggak bisa kita kendalikan, terutama soal perasaan orang lain dan Papi lupa kalau kamu adalah individu mandiri yang punya pilihan sendiri. Kita melakukan kesalahan dan jenis yang sudah Papi perbuat adalah sesuatu yang sulit untuk dimaafkan. Jangankan dimaafkan, dilupakan aja sulit."
"Orang-orang masih bisa memaafkan, tapi soal melupakan lah perkara yang sulit."
"Kamu maafin, Papi?"
Aiden terhenyak sebentar, dia menatap lama Papinya yang sudah tidak muda lagi, lalu memutuskan tak mengatakan apa pun.
"Kamu nggak maafin Papi. Papi udah tau jawabannya. Seribu kali pun Papi bilang ke kamu kalau Papi menyesal, tidak akan mengubah apa yang terjadi di masa lalu. Papi memang orang tua yang payah."
"Itu kasus lama," kata Aiden akhirnya merespon. "Sudah seharusnya nggak perlu diangkat dan dibahas lagi. Yaudahlah."
Sangat terbalik dengan fakta utama bahwa dirinya lah yang membawa percakapan pada titik ini.
"Oh, ya. Soal Neng Azura ..." Adrian teringat pada satu sosok yang juga menghuni ruangan ini. Dia menoleh ke arah dimana gadis belia itu berada, tapi tidak menemukan eksistensinya. "Lho? Dimana dia?"
Aiden ikut memandang ke samping dan baru tersadar kalau Azura tidak ada.
"Azura?" panggil Adrian, yang tentu saja tak mendapat balasan. Karena gadis itu pergi begitu saja setelah dirinya mendapat kalimat bermakna penolakkan yang cukup menyakitkan.
Di lift yang menuju lantai satu. Azura bergeming diam dalam kesendirian.
Kata-kata Aiden yang melabelinya perempuan tanpa asal-usul jelas, lulusan SMA, dan tidak seimbang. Begitu menyakiti hati gadis itu sampai ke relung hati paling dalam.
Dia menekuk bibir, ini bahkan lebih menyakitkan dibanding saat mantan gebetannya menyelingkuhi gadis itu dengan temannya sendiri.
Perasaan ditolak, dicampakkan, dan dianggap tidak lebih sebagai wadah menampung nafsu.
Apa dirinya memang serendah itu di mata Aiden. Prempuan adalah objek yang wajar saja untuk dioba laki-lakid dewasa.
"Padahal Papi sayang banget sama aku. Kata Papi aku anak yang hebat kok. Bukan perempuan tanpa asal-usul," ucapnya pelan. "Aku anak Papi."
Tapi mungkin memang seharusnya begitu. Azura tidak boleh banyak berharap mengingat dirinya juga bukan siapa-siapa bagi Aiden.
Harusnya dia biasa saja, harusnya dia tidak sakit hati. Tapi, matanya seperti disengat sesuatu dan sebuah genangan terbentuk di bagian pelupuk.
Azura menunduk. Gadis itu ... dia menangis di jalan pulang.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
