3. Kencan Buta

49
4
Deskripsi

Menjadi warga Indonesia raya atau disinggkat, Wir. Memang susah lepas dari serbuan disuruh kawin.

Untuk wanita, biasanya dimulai sejak mendapat kartu tanda penduduk. Permintaannya di momen ini masih santai. Masih disertai dengan canda tawa tipis-tipis disertai guyon basa-basi.

"Udah, belajar aja dulu. Raih cita-cita yang tinggi. Ngapain buru-buru kawin. Masa muda nggak datang dua kali."

Menginjak dua puluh lima tahun ke atas. Permintaan nikah mulai agak serius dan tidak lagi disertai senyuman basa-basi

"Ayo buru nikah, mumpung masih muda, biar nanti kalo punya anak nggak tua-tua amat. Lihat si A, anaknya udah masuk TK. Kamu kapan?"

Tahun berganti dan berada di awal usia kepala tiga.

Di momen ini, permintaan untuk menikah dari lingkungan, keluarga, dan teman, menjelma sama rata dengan ancaman pembunuhan.

"Lho? Belum nikah juga?"

"Belum Tante, hehe."

"Banyak milih sih ckckck. Nih, tali buat kamu."

"B-buat apa, Tante?"

"Gantung diri. Masih nanya."

Korban yang menjadi target buru-buru nikah di usia kepala tiga ini. Tidak akan pernah lagi menemukan nyaman dihidupnya.

Selalu risau, macam anak SD lupa bawa lem kayu di mata pelajaran prakarya. Cemas menanggung, tidak nyaman, agak sensitif, gampang menangis.

Sedikit-sedikit obrolan mengait pada desakan kapan married mengacaukan kenyamanan. Kumpul keluarga jadi super was-was. Lebaran niat kenyang makan opor ayam, malah kenyang makan sindiran.

Seolah di Indonesia, kalau tidak segera menemukan jodoh, maka status sosialnya akan setara dengan sapi gila.

Melongo, bolot, murung. Harus diikat dan dijauhi agar tidak menyeruduk warga sembarangan.

Tapi Aiden ... Dia beruntung tidak terlahir sebagai wanita. Dia adalah pria lajang sehat keuangan dan badan, yang memang kebetulan, sesuai kebutuhan cerita, dia dibuat belum dapat pasangan.

Di negeri wakanda, tidak seperti kaum hawa. Kaum Adam agak jarang mendapat paksaan untuk menikah.

Aiden pikir, hidupnya akan nyaman dari tuntutan mengingat dirinya adalah laki-laki.

Namun, dia lupa kalau itu sepuluh tahun lalu. Sekarang, usianya sudah kepala tiga dan beberapa tahun laki akan menjadi kepala empat.

Ini artinya, Aiden memasuki masa gawat. Segala macam rupa tekanan yang perempuan rasakan untuk segera menikah diusia kepala tiga. Satu persatu mulai Aiden alami semuanya.

"Pi, sabar dong. Aiden kan baru pulang. Masa langsung disodorin brosur kawinan sih."

"Siapa bilang ini brosur kawinan? Ini daftar perempuan yang harus kamu kencani. Sembarangan aja, Papi udah susah-susah melakukan riset dan ngumpulinnya."

Mata Aiden menyipit. Melihat nominal angka total dari daftar perempuan yang disodorkan Papinya.

"Tiga puluh enam? Banyak amat!"

"Ya, sesuai umur kamu. Kamu kan udah tua. Ibarat kelapa. Kamu jenis yang udah banyak santan. Nggak gurih, kurang kenyal, banyak serabut, dan keras."

Pening kepala Aiden mendengar bagaimana Adrian menggambarkan dirinya.

Adrian menyamakan anak tunggal kandungnya sendiri dengan kelapa. Ini tergolong penghinaan. Aiden sakit hati, tapi tak bisa berbuat banyak.

Memangnya tidak ada analogi lain yang lebih manusiawi? Jangan samain sama kelapa dong.

Pemerintah harus mengatur undang-undang untuk orang dipaksa kawin macam Aiden ini. Demi isi kepala yang tetap waras dan isi celana yang selalu keras.

Kalau di desak terus. Rasa insekyur dan tertekan bisa merambat ke titit, kalau Pedro minder lalu terjatuh dan tak bisa bangkit lagi, gimana?

"Pokoknya, kamu ikutin apa yang Papi suruh. Jangan membantah. Ini demi kebaikan kita bersama. Kamu itu anak tunggal, udah kewajiban kamu meneruskan tali darah. Kalau kamu nggak nikah, yang gawat bukan cuma kita, tapi nama besar Maccalant grup."

"Tck." Aiden berdecak capek. "Buat apa sih kencan-kencan. Buang-buang waktu. Aiden bisa cari sendiri."

"Ya mana? Kalau emang bisa cari sendiri. Wujudnya harus ada dong. Ini sejak jaman kamu berangkat ke Jepang buat kuliah pertama kali, sampe sekarang. Nggak ada tuh Papi liat kamu bawa perempuan."

Aiden berjalan melewati Adrian. Obrolan ini menyita waktu lebih kurang lima menit dan selama itu Aiden berdiri meladeni percakapan soal kawin-kawinan.

Aiden lelah, pant@tnya rindu tumpuan.

"Terserah Papi deh. Atur aja gimana baiknya."

"Aiden." Adrian menyusul putra semata wayangnya. Lalu duduk tepat di samping. "Papi sebenarnya khawatir soal ini, tapi teman-teman Papi bilang kalau ada laki-laki yang nggak pernah deket sama perempuan. Bisa jadi artinya kena penyakit. Kamu ..."

Adrian menjeda ucapannya, menilik wajah tampan sang anak yang diwarisi dari wajahnya sendiri.

"Kamu nggak gay, kan?"

Nyaris Aiden tersedak ludah sendiri. "Hah? Gay? Mana ada! Aiden normal, Pi."

Mata Adrian menyipit penuh tuduhan. "Terus kenapa kamu nggak mau ikut program kencan buta?"

"Ya, karena ngerepotin."

"Kamu gay, fix. Astaghfirullah, Den. Ya Allah, apa dosa hamba? Anak hamba gay."

"Enggak, Pi."

"Sejauh itu Jepang udah mengubah kamu?" Adrian menunjukkan wajah sedih. Bibirnya tertekuk, pupil matanya bergetar, dan laki-laki itu memalingkan wajah. "Kalau tahu gini, mending dulu Papi sekolahin kamu di pesantren aja. Pengaruh budaya asing memang mengerikan."

"Pi." Aiden menghela napas panjang. Dia menegakkan punggung yang tadinya bersandar dan mendekati Papinya. "Bukan gitu, dengerin Aiden dulu. Aiden bukannya nolak, cuma Aiden lagi capek aja. Aiden mau kok."

Mendengar ucapan anaknya. Adrian di detik yang sama langsung berbalik dan menyodorkan satu dari banyaknya lembar kertas di tangan.

"Nah, kita mulai dari yang ini. Papi udah minta Mbak Vivin PA kamu yang baru buat ngasih tanggapan. Katanya, cewek-cewek modelan kayak artis korea paling banyak diminati."

Aiden melihat gambar yang Papinya perlihatkan. Gadis itu bernama, "Queesha Daielard Aklzwind bala bala. Apaan sih namanya ribet banget."

Adrian menyipit mata, lalu membaca apa yang anak tunggalnya barusan baca. "Kwinsa kulada. Hmm, agak ribet. Papi juga susah bacanya, tapi itu nggak penting. Sekarang misi kamu adalah ketemu sama dia. Besok siang jam dua di restoran. Dia anak temen Papi, asal-usulnya baik kok, Den. Gimana, sip?"

Aiden mengangguk lemah, kembali bersandar dan memejamkan mata. "Hmm, ya."

Daripada dia harus berdebat, ada baiknya dia ikut aturan Papinya saja.

***

Restoran Lavita distrik enam, kota J.

Ramai lalu lintas memadati jalanan. Hawa panas menyengat sampai membuat Aiden pusing sendiri. Tadinya dia membuka sedikit jendela kaca untuk memandang jalanan kota J yang sudah lama tidak dia lihat.

Namun, sengatan panas dan hawa polusi membatalkan niatnya.

"Waduh, kota J panas banget, ya. Mana macet lagi."

"Iya, Tuan. Emang di sini panas, beda sama di Jepang adem. Hehe."

Temperatur di dalam kendaraan diturunkan lebih rendah untuk menyamankan sang majikan.

Aiden sedikit bisa mengembuskan napas lega karena merasa sejuk. Laki-laki itu kembali menoleh ke jalanan berniat membuang rasa bosan.

Namun di tengah lamunan, mendadak sekelibat bayangan yang seharusnya tidak dia bayangkan, muncul di kepala.

"Ini namanya french kiss. Emang wolololo gitu dan sedikit di hisap kayak vacum cleaner."

"Iya. Mas, mau?"

Bibir Aiden otomatis tersedot ke dalam dan diapit di antara gigi. Sensasi ciuman super panas menguasai dirinya tanpa bisa dicegah.

Belum lagi disertai wajah dari gadis asing yang kemarin dia temui. Secara kurang ajar makhluk itu masuk ke dalam ingatan Aiden dan mengobrak-abrik semua yang ada di sana.

"Haiss.."

"Enak, kan?"

"Lumayan," jawab Aiden terang-terangan di waktu sekarang.

"Ya, Tuan? Ada apa? Kurang dingin, ya?"

Ini sulit dijelaskan, tapi Aiden bisa merasa jejak basah dan sapuan lidah di dalam rongga mulut, juga permukaan licin bibirnya.

Lamunan itu sulit terkontrol antara khayalan dan kenyataan.

"Hah? En-enggak, Pak." Buru-buru Aiden klarifikasi. "Tadi itu, ada beberapa masalah sedikit."

"Masalah apa, Tuan?"

"Bukan apa-apa." Aiden menggeleng. Memilih untuk tidak membahas apa yang sedang berkecamuk dalam pikirannya.

"Tuan Aiden lagi nyari jodoh, ya?"

Aiden melirik supirnya dari kaca depan, mata mereka saling tatap sebentar, sebelum laki-laki itu kembali membuang pandangan ke arah jalan.

"Sorry, Tuan. Bukannya mau ikut campur, tapi Pak Adrian sering banget curhat masalah Tuan Aiden ke saya. Katanya pengen anaknya nikah ... Jadi saya penasaran gitu, hehe."

"Hmm, iya, Pak."

Sugiono, supir pribadi Adrian, hanya tersenyum tipis melihat bagaimana dinginnya tanggapan Aiden. Anak dari bosnya.

Sesuai rumor yang beredar. Laki-laki itu sangat pendiam, irit bicara, dan terlihat cuek. Wajahnya sangat mirip dengan Pak Adrian, hanya versi lebih muda saja dan rambut hitam.

Lama berdiam diri dan tenggelam dalam lamunan masing-masing. Perjalanan yang ditempuh dua orang itu akhirnya sampai ke tujuan.

Plang nama Restoran Lavita, terpampang jelas di depan mata.

Sebuah tempat makan yang cukup fancy untuk kalangan atas.

"Sudah sampai, Tuan. Ini mau saya tunggu atau gimana?"

"Tunggu aja. Nggak lama kok, paling cuma sebentar."

"Baik, Tuan."

Aiden melangkah turun. Kaki jenjang berbalut celana hitam mahal adalah yang pertama kali terlihat.

Laki-laki itu mengenakan kemeja polos panjang berwarna biru yang digulung sampai lengan. Memperlihatkan urat tangan yang menjalar di kulit putih bersih yang Aiden punya.

Baru memasuki area depan. Dua orang pekerja yang bertugas menyambut pelanggan terkesima melihat tamu mereka.

Sosok Aiden bagai karakter utama flim romansa. Dimana seorang laki-laki yang biasa menjabat sebagai CEO sedang menunjukkan pesona yang menyala-nyala.

Alisnya tegas, lebat memikat. Dua matanya terlihat tajam, hidung mancung dengan cuping kecil, juga gaya rambut yang di sisir menyamping ke belakang dan bagian lainnya yang dibiarkan sedikit sebagaimana mestinya.

Penampilan Aiden, sama sekali tidak terlihat seperti laki-laki usia kepala tiga. Dia bahkan seperti seorang bos muda dua puluh delapan tahun.

"Selamat siang, Pak. Ingin memesan meja atau sudah reservasi sebelumnya."

"Sudah reservasi online lewat aplikasi, ya."

"Baik. Nomor berapa, Pak?"

"Nomor 36 B. Lantai dua."

Sang pelayan mengangguk, lalu mengonfirmasi sesuatu setelah menanyakan nama dan kodenya.

"Mari, Pak. Saya antar."

Gadis itu berambut panjang. Tipe yang biasa sering ditemui di mall-mall besar, menyambut pemandangan Aiden.

Dia mengenakan gaun dengan warna senada seperti kemeja lawan kencannya gunakan dan juga sebuah tas hitam merek ternama.

Saat Aiden menghampirinya, kesan pertama adalah gadis itu terlihat baik.

Dari bagaimana dirinya menyambut Aiden dengan cara berdiri dari duduk dan mengajak bersalaman.

Senyum Aiden terbit. Segala hal berjalan lancar sampai gadis itu mulai mengucapkan kalimat pertama.

"Mas Aiden, kan, ya?"

"Mbak ..." Jeda.

Aiden membeku di tempat, matanya memandang gadis di depan dengan mata sedikit menyipit. Berusaha menggali ingatan siapa nama sosok di depan.

Ahh, Aiden lupa dia harus kembali membaca data sosok teman kencannya. Yang laki-laki itu lakukan sepanjang perjalanan malah membayangkan adegan agak kurang nyaman saat di bandara kemarin.

Siapa, ya, namanya? Qwien, Qwintal, Qwinnda? Q atau K, ya? Ada da, da, nya perasaan

Melihat lawan bicara hanya diam saja dengan ekspresi khawatir menatap Aiden.

Laki-laki itu mencoba peruntungan dengan menggabungkan semua yang ingatannya punya.

"Mbak Kuda, ya?"

Yang disebut Mbak Kuda menunjukkan senyum tipis agak tersinggung.

"Queensa, Mas," ralatnya membenarkan.

"Oh, ya, ya." Aiden langsung ber'oh'ria. Tampak sedikit merasa bersalah karena salah menyebut nama.

Siapa yang menduga kalau gabungan patahan kata di kepala, malah terealisasikan menjadi Kuda di lidahnya.

"Sorry, saya lupa nama Mbaknya."

"Iya, nggak apa-apa. Panggil Queensa aja, Mas."

Untungnya gadis bernama agak bertele-tele itu tidak terlalu mempermasalahkan masalah yang terjadi, dan obrolan berlanjut tentang aktivitas serta kesibukkan masing-masing.

Daripada bercerita, Aiden lebih banyak mendengarkan. Laki-laki itu hanya diam memasang raut datar sambil menyimak rencana S2 Queensa di universitas luar negeri.

Atau usahanya dibidang fashion yang baru-baru ini mendapat penghargaan.

Seharusnya ini menjadi obrolan menarik, tapi entah kenapa. Pikiran laki-laki tiga puluh enam tahun itu justru melayang pada adegan lain di kepala.

Jejak lidah basah terasa menghantui bibir, mengundang keinginan kuat di alam bawah sadar untuk Aiden merasakannya lagi.

Dia mendadak resah. Sebelumnya ini tidak pernah terjadi, tapi entah kenapa hasrat seksualnya mendadak bangkit hanya karena mengingat bagaimana gadis kelinci itu menyesap bibir bawah, lalu melumatnya cukup keras sebelum memutuskan untuk menerobos mulut Aiden dengan lidah.

Sesuatu di pangkal paha terasa menggelitik. Dahi Aiden berkerut, dirinya kembali menggigit bibir bagian bawah untuk menenangkan gejolak abnormal ini. Tapi bayangan di kepala semakin liar menjadi-jadi. Ini harus dihentikan.

"Ahh. Stop!" desah tanpa sadar keluar dari bibir laki-laki itu dan gadis bernama Queensa, otomatis menghentikan kegiatan bercerita tentang dirinya sendiri.

"S-saya kebanyakan cerita, ya?"

"Ya?"

Senyum Queensa tampak kaku, merasa sedikit bersalah karena mungkin topik yang dia bawa tentang diri sendiri membuat Aiden merasa terganggu.

"Oh." Setelah sadar maksud teman kencannya. Aiden buru-buru menggeleng kepala. "Nggak, sorry. Bukan itu maksud saya. Saya cuma ..."

"Mas Aiden baik-baik aja?"

Pedro bangun dan Aiden merasakan ketidaknyaman di celana. Laki-laki itu menggeleng kepala pelan merespon pertanyaan Queensa.

"Apa ada masalah, Masalah, Mas?"

Tanpa menunggu. Yang ditanya mendadak bangkit dari kursi melantangkan sesuatu yang tidak Queensa sangka, "Sorry, tapi saya rasa pertemuan ini harus berakhir. Saya harus pulang."

"Kenapa, Mas?"

"Saya ..." Aiden memikirkan beberapa alasan, tapi ketegangan Pedro membuatnya sulit menyusun jawaban. "Saya nggak selera." Pada akhirnya, itu yang Aiden ucapkan.

Persetan lah, dia butuh untuk pergi dari sini sebelum makhluk panjang tak bertulang berubah banyak tingkah. Bisa-bisa Aiden dapat masalah di restoran kalau ketahuan ngatjeng.

"Nanti bill pembayaran akan saya bayar," tambahnya lagi. "Terima kasih." lalu berbalik pergi begitu saja meninggalkan Queensa yang penuh tanda tanya.

Apa ini akibat dari dirinya terlalu lama sendiri? Jadi libido atau nafsu seksualnya yang biasa kalem, berubah tak terkendali.

Baru saja akan keluar dari restoran. Sosok yang menjadi virus kecil di dalam pikiran mendadak muncul bersama dengan supirnya, Sugiono.

Jantung Aiden berdetak tak karuan melihat itu. Apa-apaan ini?

Namun, belum selesai keterkejutannya, sesuatu yang keluar dari Sugiono sang supir lebih mengagetkan lagi.

"Tuan, maaf. Mobil kita kecelakaan, ditumbur Mbak ini."

"Hah?"

Zura di sana, menyatukan telapak tangan sambil memandang dengan pupil mata bergetar.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya 4. Ayo ciuman
51
5
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan