Spin-Off Nimas-Sion : 15. Celetukan Dan Restu

19
0
Deskripsi

Nimas asyik menatap Sion yang terlelap, dia bangun lebih awal. Lumayan bisa menikmati wajah pacar barunya.

Acie pacar. Nimas mengulum senyum tersipu memikirkannya. Kini hubungannya jelas, membuat Nimas bahagia dengan lepas.

Walau masalah lain masih belum selesai.

"A'a gantengkan, teh? Teteh makin jatuh cintakan? Makin bogoh ke a'a.." ujar Sion yang masih terpejam walau sebenarnya sudah bangun saat Nimas mengusap rahangnya.

Nimas cekikikan dengan wajah terbenam dibantal. Geli sekali perutnya tapi dia suka mendengarnya.

"Ih malah ketawa, jawab teh.." Sion cekikikan sambil memeluk Nimas dengan gemasnya yang khas.

"Iya ganteng, yon." Nimas membingkai wajah Sion dan mengecup pipinya lalu mendudukan tubuhnya.

"Kemana?" Sion menatapnya penuh cinta, tersenyum tipis melihat cantiknya Nimas yang baru bangun tidur.

"Siap-siap, bukannya sore kita berangkat ke desa?" Nimas tersenyum walau sebenarnya terlihat gelisah, cemas dan campur aduk.

"Siap ga?" Sion mengusap punggung Nimas. "Kalau masih belum ga papa, sebisanya kapan aku siap. Kerjaan bisa aku suruh ke yang lain dulu.." lanjutnya.

"Mau sampai kapan di tunda, yon. Sebelum perut besar, aku mau ke desa. Aku ga mau bikin keluargaku malu di sana, lebih baik sekarang aja." Nimas menunduk layu lagi, dia tidak tahu harus jujur atau bohong.

"Yaudah, sini peluk bentar biar tenang." Sion beranjak dan mendekat, Nimas segera menyambut karena dia memang membutuhkan itu.

Keduanya berpelukan cukup lama. Cukup menenangkan satu sama lain di tambah pagi hari ini sangat cerah dan hangat.

"Mau mandi bareng teh?"

Nimas mendengus. "Pasti nungging lagi di sana," dumelnya terdengar lucu.

Sion terbahak lalu mengeratkan pelukannya gemas. 
 

***
 

"Oleh-oleh udahkan?" panik Nimas.

Sion menghela nafas panjang sambil terus fokus pada jalanan. "Udah berapa kali tanya gitu, minum dan tenangin diri, semua pasti baik-baik aja. Mau puter balik aja?" tawarnya tak masalah walau sebentar lagi sampai ke desa di mana keluarga Nimas ada.

"Ha? Engga, udah mau nyampe. Cuma mastiin aja." elaknya sambil membuka air minum dan meminumnya.

Nimas mengatur nafas saat melihat dari kejauhan desanya mulai terlihat, Nimas sampai tidak bisa menikmati pemandangan sawah yang hijau saking gugup.

"Teh.. Pucet gitu, tenang sayang." Sion meraih sebelah tangannya dan menggenggamnya.

"Nanti juga engga, tenang aja yon.." Nimas tersenyum mencoba meyakinkan Sion.

"Tangan dingin gini!" Sion menekuk wajahnya cemas, ingin dia peluk rasanya bumil di sampingnya itu.

Nimas tidak mendengarkan semua ucapan Sion, dia melihat sosok yang dia kenal. Biasanya dia memanggilnya bibi.

"Yon, udah sampe di sini aja."

"Oh oke." Sion mulai memarkirkan mobil, perlahan anak-anak kecil mengelilingi mobil yang sudah berhenti dan terparkir.

"Banyak orang ya," Sion melepaskan sabuk pengaman sambil melihat sekeliling dengan senang.

Lingkungan sehat ternyata Nimas ditumbuhkan, beda sekali dengan dirinya.

"Yon.. Perut keliatan ga?" Nimas panik membenahi dirinya.

Sion segera menoleh. "Aku udah bilang, kamu lagi berisi dan ga keliatan kok." dia usap bahu dan lengannya.

Nimas menggigit bibir bawahnya, dia ingin menangis rasanya. Apa sungguh tidak apa-apa? Terus nanti baiknya dia jujur atau engga?

"Yuk, jangan nangis." Sion menatapnya sedih, sungguh ceroboh tapi semua sudah terjadi, ambil saja sisi baiknya.

Dia akan memiliki anak dan karena anak dikandungan Nimas, hubungannya dengan Nimas membaik dan lebih jelas. 
 

***
 

"Waduh, aya artis euy! (Aduh ada artis)." seru salah satu tetangga yang mengenal Nimas.

"Eh teh, damang?" Nimas bersalaman dan menanggapi obrolan singkatnya.

Mereka terus berpapasan dan ngobrol sebentar, Nimas juga mengenalkan Sion yang disambut baik.

"Teh, di sini belum ada ponsel?" bisik Sion.

"Cuma beberapa ga semua," balasnya.

Sion terus memegang Nimas, memastikan langkahnya benar karena jalan masih tanah sedikit becek dengan bebatuan tak rata.

"Rumahnya terus naik ke gunung ya," Sion menatap sesaat betapa banyak rumah yang semakin naik hampir tinggi di atas bukit.

"Ibu rumahnya ga jauh kok, tuh yang dua tingkat." tunjuk Nimas.

"Ke atas ga banyak orang ya, mulai sepi."

Nimas mengangguk. "Kan sebagian kosong, diisi buat liburan biasanya." terangnya.

"Oh gitu, pantes." Sion merengkuh pinggang Nimas saat jalan sedikit menanjak dan tidak rata.

"Suasana, anginnya, wanginya khas banget. Nenangin pikiran," jujur Sion yang mungkin selama ini dia terus sibuk.

"Enakan? Apalagi pagi, kayaknya tadi siang hujan makanya becek, licin, aduh.."

"Hati-hati," Sion semakin ketat menjaganya hingga sampai di depan rumah yang Nimas maksud.

"Teh simpen didieu we koperna?"

"Oh muhun, ieu buruhna.. Nuhunnya jang,"

Sion tersenyum menatap Nimas, jika sepenuhnya menggunakan bahasa sunda entah kenapa semakin menggemaskan.

"Apa liat-liat! Ayo, jangan cium-cium! Ayah bisa keluarin golok!"
 

***
 

"Ayah, mah.." Nimas memeluk keduanya bergantian, terisak penuh rindu. Dia cukup lama tumbuh jauh tanpa mereka.

"Teh, meni beuki geulis. Anak mamah ieu teh leres?" isaknya harus sambil terus mengusap air mata Nimas.

"Muhun, mah.. Ieu Nimas.."

Sion bersalaman dengan ayah Nimas. "Sion om, pacarnya Nimas." ujarnya.

"Pacar?" tanyanya dengan tak ramah dan serius. "Awas ya kalau sakitin Nimas!"

"Ayah!"

Sion hanya tersenyum agak canggung. Hingga mereka mengobrol dan suasana mulai mencair apalagi saat Sion menjelaskan bahwa dia ingin menikahi Nimas.

Semua hal di bahas bahkan sampai acara pernikahan yang diinginkan.

Malamnya Sion tidak tidur, dia menemani ayah tiri Nimas bermain catur. Dia juga ingin mengakrabkan diri dengan orang-orang yang sayang pada Nimas.

Sion yang sering bergadang jelas tidak masalah, dia terus mengobrol hingga keputusan dia dapatkan.

Restu dia dapatkan.

Secepatnya Sion bisa menikah dengan Nimas. Apalagi Nimas tidak ingin dirayakan dulu katanya, ingin KUA.

Orang tua Nimas tidak berpikiran buruk, mereka justru senang. Resepsi bisa diatur, lebih baik sahkan dulu katanya.

Sehari menginap bahkan Sion ikut berkebun kabar langsung tersebar, ucapan selamat Sion dapatkan.

Keramahan dan kekeluargaan di sana membuat Sion merasa bahagia, ternyata ada kehidupan yang indah.

Sion yang selalu merasa kesepian selama belum mengenal Nimas jelas merasa ada hal yang berubah.

"Yon, bahagia?"

Sion menatap Nimas dengan setelan berkebunnya. "Iya, banget. Di sini baik-baik orangnya ya, mudah akrab." Sion tersenyum lebar sambil menatap hamparan sawah.

"Bagus deh.."

"Boleh cium ga?"

Nimas sontak menoleh dan refleks melihat sekitar, mereka para petani sedang sibuk, bahkan sudah tua juga.

"Posisi kita jauh dari mereka," bujuk Sion.

Sion membuka rekaman video. Dia segera menyosor Nimas dengan satu kecupan lalu keduanya tersenyum. Sepertinya ciuman begini tidak akan ketahuan.

"Pengen ngent*d kamu,"

Nimas sontak menjauhkan wajahnya dan memukul bahu Sion, ucapannya itu asal kek
luar. Sion tertawa pelan sambil menyeka bibir basahhya.

"Sekali lagi dong,"

Nimas tersenyum, dia mengabulkannya. Nimas cukup lega karena Sion sudah mengantongi restu.

Bagi siapa pun sosok Sion memang akan sangat mudah di percaya dan di sukai. Untung saja Sion bisa menghandle keluarganya.

Nimas pun memutuskan untuk menyembunyikan dulu kandungannya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Spin-Off Nimas-Sion : 16. Senam Jantung Dan Potret Mesra
26
0
Komentar dinonaktifkan
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan