
Kenangan tentang Indomie takkan pernah terlupakan hingga kini. Indomie selalu ada tiap kisah kehidupan. Cerita ini mengisahkan tentang kisahku dulu bersama keluarga saat krisis ekonomi di tahun 98. Makan bersama keluarga terasa nikmat walaupun sebungkus untuk berlima.
Tetap bersama Indomie selama 50 tahun!
Kriing ….
Bel sekolah berbunyi tepat saat aku dan adik-adik sedang sarapan pagi. Bapak yang seorang guru menjadikan kami memiliki tempat tinggal gratis di sekitar lingkungan sekolah, yang merupakan jatah rumah untuk tenaga pendidik di tempat kami juga bersekolah dasar.
“Yuk, buruan Rei, Rui … nanti nggak dikasih ikut barisan upacara kena hukuman,” ujarku pada adik-adikku yang duduk di kelas dua dan tiga sekolah dasar. Rei tampak buru-buru menghabiskan sisa nasi di piringnya kemudian beranjak menuju pintu keluar sembari memakai tas diikuti Rui.
“Bu, kami berangkat sekolah, ya.” Kami bertiga bergantian menyalam ibu yang sibuk beberes jualanan di teras rumah. Sedangkan bapak sendiri sudah bergabung bersama guru lainnya dalam barisan upacara. Hari Senin memang menjadi hari awal sekolah yang penuh kesibukan.
“Iya, bersikap baik di sekolah, ya," pesan ibu berteriak kecil saat kami berlari menuju barisan upacara.
“Iya, Bu …,” balas kami bersamaan kemudian ikut berbaris bersama siswa lainnya.
***
Hujan deras mengguyur kota Medan, Sumatra Utara. Rasa lapar cepat terasa di saat dingin ditemani hujan. Tepat satu bulan saat peristiwa demo 98, krisis ekonomi menghantam masyarakat Indonesia. Beruntung bapak adalah seorang guru di sekolah dasar sehingga mendapatkan beras catu gratis, selebihnya ibu selalu memiliki ide untuk memberikan keluarga makanan terbaik.
“Bu … Ai lapar,” ujarku singkat.
"Iya, sebentar ibu selesaikan dulu kue bawangnya, ya." Ibu sedang membakar ujung plastik kue bawang yang akan dijualkan esok hari.
Usai merapikan kue bawang di keranjang, ibu segera mengambil sebungkus Indomie. Meletaknya di meja dekat kompor kemudian keluar memetik daun seledri di teras yang ditanam sendiri. Lalu masuk kembali dengan tatapanku dan adik-adik yang tak sabar membayangkan nikmatnya makan Indomie kuah.
Satu bungkus Indomie dimasak ibu dengan tiga gelas setengah liter air. Selain hemat agar cukup juga dimakan oleh kami sekeluarga yang berjumlah lima orang. Bapak, Ibu, Aku dan kedua adikku. Walaupun kuahnya banjir dengan sebungkus Indomie, tapi rasanya tetap nikmat karena Ibu menambahkan garam dan sedikit penyedap rasa pada Indomie kuah.
"Siap deh," ujar Ibu semangat beriringan dengan wajah bahagia kami.
"Hore ... makan Indomie kuah!" teriak adik bungsuku girang.
"Ai ... Bantu Ibu siapkan nasi dan piring, ya. Rei panggil bapak untuk makan bersama," suruh Ibu sembari menuangkan Indomie kuah ke mangkuk besar.
Bertemankan hujan dan dingin, kami menikmati Indomie kuah buatan Ibu dengan bahagia. Sebuah kebahagiaan sederhana tanpa ada keluh kesah. Senyum dan tawa menghiasai kebersamaan terutama saat makan bersama Indomie.
“Sluuurrpphh ….” Suara berasal dari Rei lalu saling berbalasan dengan Rui anak kedua.
“Eh, makannya jangan begitu,” tegur Bapak pelan.
“Saking nikmatnya, Pak. Hehe,” jawab Rei cengengesan.
“Aku suka kuahnya, Pak, rasanya gurih sekali!” Timpal Rui tak mau ketinggalan.
“Indomie atau racikan masakan ibu yang nikmat?” Goda ibu melirik kami satu per satu.
“Indomie dan masakan ibu, keduanya dong, pas rasanya penuh cinta.” Aku menjawab jujur. Ibu tampak tersenyum bahagia.
“Makasih, anak-anak ibu semua, ibu sayang kalian.”
“Makasih juga, Bu. Kami juga sayang ibu.” Kami menjawab bersama. Bapak tersenyum kemudian mengelus kepala kami bergantian.
“Kebersamaan ini akan Ai ingat sampai nanti, kebahagiaan sederhana yang takkan terlupakan hingga tua.”
Kami berlima pun saling berpelukan, kemudian aku dan Rui mengangkat piring-piring kotor bekas makan kami lalu mencucinya, sedangkan Bapak, Ibu dan Rui ke ruang tamu menonton tv.
Bahagia sederhana bersama Indomie.
Sekian dan terima kasih
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
