SUAMI RASA SAHABAT PROLOG -PART 3

3
0
Deskripsi

Aku tidak pernah bermimpi akan berada dalam kondisi seperti ini

Sebatang kara dan ditinggal suami. Mas Danu, suamiku meninggal dalam kecelakaan mobil 2 hari setelah menikahiku. Kenyataan itu menggerus seluruh jiwaku. Aku terpuruk dan sedih. 
Tapi takdir lain menghampiriku, Zain Hamizan.. sahabat dekat Mas Danu menikahiku karena rasa tanggung jawab dan wasiat terakhir dari Mas Danu.

Dalam keadaan rapuh akhirnya aku menerima, demi kehidupan yang utuh dan wasiat Mas Danu. 
Pria yang belum sepenuhnya...

PROLOG

Aku merasa mual. Mencoba menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan, tapi sepertinya tidak menolong. Suara tegas seorang pria langsung membuatku menoleh ke arah sampingku. Suamiku.

“Kenapa?” Alis matanya yang tebal bertaut. Seperti tidak suka aku terus menunduk. Padahal, seharusnya aku mencoba untuk tersenyum.

“Aku mual,” jawabku. Rasa yang sudah aku tahan sejak tadi memang sudah sampai di ambang batas.

Zain menatapku dengan pandangan tidak suka. Aku tahu ini menyalahi aturannya, tapi kemudian dia beranjak berdiri setelah sebelumnya meminta ijin dengan sopan kepada semua orang yang ada di sekitar kami. Tepatnya, di tengah keluarga besar Zain. Aku bisa melihat tatapan tidak suka dari Bu Ratna, mertuaku—mamanya Zain. Beliau tampak mencela karena aku telah membuat anaknya merusak suasana. Zain mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.

“Maaf,” aku akhirnya menunduk dan meminta maaf kepada semua orang. Zain langsung merengkuh pinggangku, yang membuat tubuhku langsung kaku. Ini kontak fisik pertamaku dengan Zain setelah dia menikahiku.

Setelah mengucapkan permisi, dia menuntunku melangkah meninggalkan ruang keluarga rumah Zain ini. Lantai marmer berwarna putih kini terasa makin dingin di telapak kakiku. Rumah yang sejak pertama membuat aku menggigil. Mewah dan seakan jauh tak terjangkau untukku.

Zain membukakan pintu kamar mandi yang ada di sebelah dapur. Kamar mandi yang sangat besar, ada bathtub berbentuk oval di pojok kamar. Interiornya juga sangat berkelas dengan warna putih bersih mendominasi kamar mandi ini.

Rasa mual kembali menderaku. Aku menunduk di atas wastafel dan memuntahkan semua isi perutku yang sangat sedikit karena sejak pagi aku memang tidak makan apapun. Efek terlalu tegang dengan situasi ini. Aku langsung menyalakan kran dan membersihkan semuanya.

Saat menegakkan tubuh, aku menoleh ke ambang pintu dan terkejut Zain masih berdiri di sana.

“Mas...,” lirihku. Kubasuh mulutku yang basah dengan ujung hijabku saat Zain melangkah mendekati. Dia mengulurkan saputangan.

“Kita pulang,” ucapnya.

Aku menerima saputangan warna putih itu dengan canggung. Lalu, mengamati Zain yang melangkah mendahuluiku keluar dari kamar mandi.

Zain Hamizan. Pria yang dua hari lalu menikahiku karena wasiat dari Mas Danu. Enam bulan yang lalu Mas Danu meninggal karena kecelakaan mobil. Kejadian itu membuatku terpuruk karena baru dua hari kami menikah. Zain-lah yang membantu semuanya. Dia juga yang mendampingi Mas Danu di saat terakhirnya.

Zain memang sahabat Mas Danu yang sangat akrab sehingga saat Mas Danu meninggal, dia yang mengurus semuanya. Ibu Mas Danu—Bunda Nita—juga sangat berterima kasih dengan kehadiran Zain. Bagaimanapun juga, Mas Danu hanya tinggal memiliki seorang ibu yang sudah tua. Keluarganya juga sama sepertiku, sudah tidak ada.

Lama setelah itu. Tepatnya enam bulan kemudian, di saat aku mencoba bertahan hidup dengan merawat Bunda Nita yang jatuh sakit, Zain datang dengan berita mengejutkan. Dia menyampaikan wasiat Mas Danu yang ingin Zain menikahiku, istri dari sahabat yang sangat disayanginya. Aku dilema, masih merasa belum sanggup, tapi akhirnya aku berada di sini. Menikah dengan orang yang belum aku ketahui dengan baik, hanya demi Zain bisa membantuku merawat Bunda Nita dan memenuhi wasiat Mas Danu. Yang kutahu tentangnya hanya sebatas Zain itu pria yang sangat taat dan irit bicara.

“Tapi, Mas.... enggak enak sama mamanya Mas. Ini acara untuk merayakan pernikahan Mas.” Aku menghentikan langkah dan Zain langsung membalikkan tubuhnya.

“Semua demi kamu, Rumi,” tukasnya lalu mengulurkan tangan untuk menggandeng tanganku. Menarikku untuk kembali ke ruang keluarga. Belasan pasang mata langsung menatap kami. “Ma, maaf. Zain dan Rumi mau pamit pulang. Rumi enggak enak badan.”

Bu Ratna langsung menatapku dengan tidak suka. Aku sadar keluarga Zain masih belum bisa menerimaku yang seorang janda miskin, sedangkan Zain adalah putra sulung di keluarga kaya.

“Kalian kan janji nginap di sini,” protes Bu Ratna, tapi Zain malah melingkarkan lengannya di bahuku. Hal itu membuatku berubah kaku. Hari ini Zain terus melakukan hal itu—kontak fisik.

Aku kembali menunduk, tidak mau memicu pertengkaran ibu dan anak.

“Rumi butuh istirahat, Ma. Di sini terlalu ramai. Besok kalau Rumi udah sehat, Zain janji akan menginap.”

 

***

 

Aku duduk resah di tepi kasur. Setelah pulang dari rumah keluarga Zain, kami memang tidak saling bicara. Aku menatap rumah sederhana yang aku sewa dengan Mas Danu.

Aku dan Mas Danu hanyalah orang sederhana. Mas Danu bekerja sebagai karyawan bagian marketing yang kebetulan adalah perusahaan milik keluarga Zain. Sedangkan aku, sebelum menikah dengan Mas Danu hanya seorang karyawan toko kelontong. Aku yatim-piatu sejak kecil dan tumbuh besar di panti asuhan.

Alhamdulillah, ibu panti mengenalkanku dengan seorang pria yang ingin bertaaruf dan serius mencari istri. Mas Danu meminang dan menikahiku. Aku sangat bahagia dan tidak mempermasalahkan apa pekerjaan Mas Danu.

“Bunda udah tidur?” pertanyaan itu mengagetkanku.

Aku melihat Zain yang baru saja melepas peci dan sarungnya. Dia baru saja ikut shalat berjamaah di masjid dekat rumah. “Udah. Tapi sepertinya, Bunda harus rawat inap di rumah sakit, Mas.”

Zain menyugar rambutnya dan duduk di ujung kasur, jauh dariku. Aku sedikit ragu saat Zain mengatakan akan tinggal di rumah kecil ini karena Bunda Nita tidak mau diajak pindah ke rumah Zain. Namun selama dua hari ini, Zain sepertinya bisa beradaptasi dengan baik.

“Aku akan urus semuanya,” jawab Zain yang kemudian menepuk-nepuk bantal. Dia memang hanya bersikap lembut di depan orang lain. Jika berdua saja seperti sekarang ini, dia berubah dingin. Bahkan setelah ijab qobul kemarin, dia hanya mengecup keningku dan tidak terjadi apa-apa lagi. Aku dan Zain justru sibuk merawat Bunda yang drop kondisinya setelah itu.

Dia beranjak berdiri lagi dan mengambil ponsel yang ada di atas nakas. Aku hanya bisa diam, tidak tahu apa yang harus kulakukan. Pria di sampingku ini masih begitu asing.

“Kita bawa Bunda ke rumah sakit.” Zain memasukkan ponsel ke saku celananya. Dia menatapku, tapi kemudian mengernyit. “Kamu juga harus periksa Arumi,” Zain pergi begitu saja setelah mengatakan itu.

Kuhela napasku. Bisakah aku meneruskan pernikahan ini?


 

Bab 1

Canggung

 

BAB 01

"Rumi, Bunda ngerepotin kamu sama Nak Zain terus.”

Aku tersenyum saat mendengar ucapan Bunda Nita. Kugenggam jemarinya yang terasa dingin. Terbaring di brankar rumah sakit membuat Bunda terlihat sedih. Beliau memang tidak suka dibawa ke rumah sakit. Namun, penyakit diabetes Bunda memerlukan perawatan secara intensif.

“Kan biar Bunda sembuh," jawabanku membuat Bunda tersenyum tipis.

“Bunda beruntung Danu meminang kamu," wajah Bunda terlihat makin sedih kalau teringat Mas Danu.

Kuremas jemarinya untuk menguatkannya. “Rumi juga senang dapat Bunda.”

Bunda kembali tersenyum, tapi ada permintaan maaf dalam tatapannya. “Kamu yang tabah ya, Nak. Sudah kehilangan Danu, sekarang harus merawat Bunda.”

Kuulas senyumku. “Rumi sudah ikhlas, Bunda. Ini memang jalan Rumi.”

Saat itulah, pintu kamar yang ditempati Bunda terbuka. Zain masuk ke dalam dengan tegap. Sosoknya memang terlihat mengintimidasi dengan postur tubuh yang menjulang. Mas Danu saja terlihat pendek di dekatnya.

“Bunda, untuk sementara inap di sini, ya? Kamarnya nyaman, kan?” Zain melangkah mendekati brankar dan menatap Bunda.

“Nak, kamu jangan manjain Bunda. Di kamar biasa saja juga Bunda udah nyaman, kok. Enggak perlu di sini.”

Zain memang menempatkan Bunda di kamar VIP rumah sakit ini. Yang luas, ada ruang tunggu sendiri, dan dilengkapi fasilitas layaknya di rumah sendiri. Aku terkejut saat Zain membawa Bunda ke sini setelah diperiksa tadi.

“Bunda enggak usah mikirin itu, yang penting sehat dulu,” ucapan Zain membuatku menoleh ke arahnya. Untuk sejenak tatapan kami bertemu. Namun, aku terlalu malu dan dengan cepat menunduk. “Dek, kamu makan dulu sana. Biar aku yang nungguin Bunda.”

Mendengar ucapan Zain itu, aku kembali menatapnya. Wajahnya tetap datar.

“Bunda mau tidur, kok. Kalian berdua makan saja dulu,” kata Bunda. Zain mengangguk, sedangkan aku dilanda panik. Aku tidak bisa.

“Bunda, kalau perlu apa-apa tinggal pencet tombol ini, ya,” Zain menunjuk tombol putih yang ada di atas brankar.

Bunda mengangguk mengiyakan.

Zain mengulurkan tangan untuk menarikku berdiri. “Kita makan.”

 

***

 

“Kenapa enggak dimakan?”

Aku mengamati soto ayam yang dipesankan Zain di kantin rumah sakit ini, tapi rasanya perutku masih mual. Aku mempunyai penyakit maag dan sepertinya sekarang sedang kambuh.

“Mau aku bawa ke dokter sekarang juga?” Alis tebal Zain bertaut. Rambut depannya menutupi dahi saat dia bergerak. Rambut hitam tebal itu memang terlihat begitu lemas dan lurus, seperti rambut wanita. Ingin rasanya aku menyibaknya.

“Enggak, Mas. Iya, Rumi makan.” Aku langsung menyendok soto itu dan berusaha menyuapkan ke dalam mulut. Sotonya pahit, atau memang lidahku yang tidak bisa mengecap rasa apapun selain pahit saat ini.

Aku melirik Zain yang makan dengan lahap soto di depannya. Dia begitu tak tersentuh. Dan, aku bingung harus bicara apa dengannya.

“Bunda harus disuntik insulin setiap hari. Nanti kalau kondisinya sudah stabil, aku mau memberikan perawat untuk Bunda,” ucapnya.

Aku menatap Zain yang kini menyingkirkan mangkuk sotonya yang sudah kosong. Dia menyesap teh hangatnya, tapi tatapannya fokus kepadaku.

“Rumi bisa merawat Bunda, Mas. Lagi pula, kami sudah terlalu merepotkan Mas.”

Zain menghela napas. Dia mengedarkan pandangan ke sekitar kantin. Hari sudah beranjak malam dan suasana di kantin memang terlihat lengang. Hanya ada beberapa orang sedang menikmati makanannya.

“Dengar ya, Dek. Aku menyayangi Danu sebagai sahabat. Dia sahabat terbaikku. Aku tidak akan mengecewakan Danu. Aku akan memberikan yang terbaik untuk Bunda dan kamu,” tegasnya.

Aku membenarkan hijab yang kukenakan. Masih tidak nyaman dengan pembicaraan ini. “Tapi seharusnya, Mas bisa mendapatkan istri yang—”

Case close,” dia memotong ucapanku dan beranjak dari duduknya. “Aku mau shalat isya' dulu di mushola.” Setelah mengatakan itu, dia langsung melangkah meninggalkanku.

Aku tahu sudah membuatnya marah dengan menyinggung ini. Tapi bagaimanapun juga, ini tidak adil untuk Zain. Dia orang kaya, tampan, dan bisa mendapatkan wanita yang selevel dengannya. Bukan janda miskin sepertiku yang hanya menambah beban untuknya.

Ya Allah, semoga aku bisa menjalani takdir ini.

 

***

 

Saat kembali ke kamar Bunda, aku menemukan Zain tengah sibuk dengan laptop di depannya. Aku tidak mau mengganggu. Melangkah ke arah brankar, Bunda sudah tertidur. Aku membenarkan selimut putih yang dipakai Bunda.

“Kamu tidur sini,” Zain menepuk sofa yang sedang didudukinya. Sofa warna putih itu terlihat mengundang, tapi aku tidak mungkin tidur di sana. Ada Zain yang—

“Dek,” panggilnya dengan lebih tegas.

Aku melangkah mendekatinya lalu duduk hati-hati di sampingnya. Zain menepuk-nepuk pahanya, membuatku mengernyit.

“Tidur sini. Aku mau nyelesaiin kerjaan dulu. Nanti kamu bisa tiduran di sofa. Tapi sementara ini, tidur di pahaku dulu.”

Aku melotot mendengar ucapannya, tapi dia sepertinya tidak peduli. Dengan cepat, dia menarik tubuhku untuk bersandar di pahanya. Aku menahan tubuhku yang membuat Zain mengernyit.

“Jangan takut. Aku menghargai kamu sebagai istri sahabatku. Aku tidak akan berbuat yang tidak sopan. Tidurlah,” ucapnya lembut.

Akhirnya, aku menurutinya. Meringkuk di atas sofa dengan kepala rebah di pahanya, jantungku berdegup kencang. Namun, kantuk mulai menjemputku dan mataku terpejam seiring dengan usapan lembut di kepalaku.

Bab 2

Pertentangan

BAB 02

Aku terjaga saat aku mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an. Mengerjapkan mata dan tersadar kalau aku tidak tidur di atas kasur. Jaket dengan aroma citrus menghangatkan tubuhku. Aku tahu jaket ini milik siapa. Zain.

Kepalaku terasa pening saat aku tiba-tiba duduk dan mengerang sesaat. Dengan lampu terang, aku bisa melihat Zain bersimpuh di atas sajadah. Dia sedang khusuk membaca surat Yasin. Suaranya begitu merdu terdengar.

Bunda tertidur pulas di atas brankar. Aku menatap jam dinding yang berbentuk bulat tertempel di dinding di atas pintu, sudah pukul tiga pagi. Segera aku menyingkirkan jaket jins milik Zain lalu beranjak dari sofa.

Melangkah perlahan menuju kamar mandi yang ada di pojok kamar ini, aku mengambil air wudhu. Selama enam bulan ini aku juga tidak pernah telat mengirim doa untuk Mas Danu. Hanya itu yang bisa aku lakukan, mencoba untuk ikhlas.

Saat aku keluar dari dalam kamar mandi, Zain membuatku terkejut. Dia sudah selesai dan kini menyiapkan mukena yang aku bawa dari rumah. Dia menoleh ke arahku, tapi kemudian terdiam. Ada apa dengannya?

Aku bisa melihat Zain mengerutkan alisnya, lalu berdeham dan langsung mengusap wajahnya. Aku baru tersadar saat kerudungku melorot. Astaghfirullah, aku memang membuka hijabku saat berwudhu tadi. Jadi, Zain melihatku?

Pipiku memanas saat ini. Dengan cepat, aku menutup rambutku lagi dan menunduk saat melangkah menuju sajadah yang sudah disiapkan Zain. Dia menyingkir perlahan tanpa bersuara. 

Apa yang salah dengan diriku? Kenapa aku sangat malu? Bukankah Zain sudah menjadi suami sahku?

***

Zain pergi dari kamar setelah subuh. Dia mengatakan ada rapat mendesak di perusahaannya sehingga tidak bisa menemaniku di sini.

“Rumi,” panggilan Bunda menyadarkanku dari lamunan. Pagi ini aku baru saja menyuapi bubur yang dihidangkan perawat untuk Bunda.

“Iya, Bunda, butuh apa?”

Bunda tersenyum tipis. Beliau masih tampak pucat. Aku sedih melihat keadaan Bunda. Hanya beliau yang aku miliki untuk saat ini, yang masih berhubungan dengan Mas Danu. Aku menyayangi Bunda melebihi ibu kandungku.

“Kamu gadis yang baik, Rumi. Bunda masih belum bisa mengikhlaskan kepergian Danu.” Air mata membasahi wajah Bunda.

Aku ikut menangis kalau Bunda seperti ini. Pertahananku selama enam bulan ini seperti tidak ada artinya. Aku juga merasa sangat kehilangan Mas Danu. Pria yang sangat baik hati, yang melindungiku, dan mau menerimaku apa adanya.

“Bunda jangan seperti ini,” aku mengulurkan tisu untuk mengusap wajah Bunda. Hatiku terenyuh. Teringat cita-cita Mas Danu saat mengatakan dia ingin memberikan cucu secepatnya agar Bunda bahagia. Namun, cita-cita itu belum terlaksana. Terlebih, malam itu aku sedang....

Aku menoleh ke arah pintu saat mendengar suara langkah cepat. Zain  melangkah tergesa ke arahku yang duduk di samping brankar. Wajahnya khawatir.

“Ada apa?” tanya Zain.

Langsung kuusap air mata yang juga sudah membasahi wajahku. Zain langsung menoleh ke arah Bunda.

“Ada yang sakit, Bunda?” Dia tampak sangat perhatian. Tubuhnya condong ke depan dan meneliti keadaan Bunda.

“Bunda enggak apa-apa, Nak Zain," jawab Bunda dengan lirih. “Bunda hanya teringat Danu.”

Saat mendengar nama itu, Zain langsung menoleh ke arahku. Aku menunduk seketika.

“Aku meneleponmu, Dek,” suara berat itu langsung membuatku menatapnya. Tatapannya tidak terbaca, tapi sepertinya dia kesal. Buru-buru aku merogoh saku celana dan mengambil ponselku. Ada sepuluh panggilan tak terjawab. Aku merasa bersalah.

Tiba-tiba dering ponsel Zain terdengar. Dia segera meminta ijin kepada Bunda untuk menerima panggilan itu. Aku hanya bisa menatapnya yang kini berdiri di depan jendela besar yang ada di dalam kamar. Jendela itu menampilkan pemandangan taman yang ada di belakang rumah sakit.

Handle semuanya! Aku sedang tidak bisa diganggu.”

Aku bisa melihat tubuh Zain tampak kaku. Dia marah.

“Bilang sama Natasha kalau aku tidak bisa diganggu hari ini. Nanti aku yang bilang sendiri ke Mama.”

Aku masih menatap punggungnya saat dia mematikan ponsel dan langsung berbalik ke arahku. Merasa terkunci dengan pandangannya, aku tertangkap basah. Lidahku kelu untuk berkata-kata.

Zain melepas dasi yang masih melingkar di lehernya, melangkah mendekati brankar lagi tanpa menoleh ke arahku. Bertanya dengan lembut kepada Bunda dan tidak mengajakku berbicara. Aku hanya seperti patung di sini.

Aku memutuskan untuk memberesi baju kotor yang sudah dipakai Bunda. Memasukkannya ke dalam plastik tempat baju kotor. Aku ingin membawa pulang dan mencucinya. Tas plastik itu aku bawa keluar dari dalam kamar dan kini kuletakkan di dekat kursi yang ada di teras ruangan ini. Bisa menghirup udara segar membuatku bersyukur.

Namun, aku terkejut saat melihat mamanya Zain melangkah ke arahku dengan seorang wanita cantik di sampingnya.

“Tante.”

Bu Ratna menatapku tajam. “Mana Zain?”

Aku melangkah mundur. Sejak awal, Bu Ratna tidak setuju Zain menikahiku. Itu terlihat jelas dari sikapnya.

“Di dalam, Tante,” jawabku.

Bu Ratna mengangkat dagunya, lalu menoleh ke arah wanita cantik di sampingnya. Aku tidak mengenalnya. Saat kemarin kumpul keluarga besar Zain, aku juga tidak melihatnya.

“Sha, kamu tunggu sini, ya.” Bu Ratna masuk begitu saja melewatiku. Aku ditinggalkan dengan wanita yang tampak menatap sebal ke arahku.

Tubuhnya terlihat bagus, tinggi semampai, dengan rambut panjang tergerai yang begitu indah. Bergerak di atas stiletto warna merah, dia tampak sudah terbiasa.

“Zain!” suara Bu Ratna mengagetkanku. Zain sudah melangkah keluar dari kamar diikuti Bu Ratna.

“Mama kenapa ke sini? Bunda lagi sakit. Zain harus merawatnya.” Zain berdiri di sampingku. Aku terkejut saat tangannya melingkar di pinggangku begitu saja. Dia seperti memberikan perlindungan untukku.

“Zain, ini aku. Kamu udah enggak mau ketemu aku?” Wanita cantik di depanku sekarang mendekati Zain. Tangannya yang lentik menyentuh dada Zain. Namun, Zain menyingkir dan merapat ke arahku.

“Sha, aku udah nikah.” Mendengar penolakan Zain, wajah wanita itu langsung pucat pasi.

Bu Ratna pun menggandeng lengan wanita itu. “Tega banget kamu, Zain! Ini Natasha, tunangan kamu!”

Deg!

Aku langsung menatap Zain. Dia memelukku lebih erat, seperti takut aku akan lari darinya.

“Itu Mama yang buat pertunangan. Zain enggak pernah menerima,” timpal Zain.

Satu tamparan keras mendarat di pipi Zain. Aku menatap Zain dengan terkejut. Natasha-lah yang menampar Zain. Lalu, secepat kilat wanita itu pergi.

“Kejam kamu, Zain. Mama mau kita bicara!” ucap Bu Ratna sebelum berlalu dari hadapan kami.

Lututku lemas. Aku tidak mungkin mau menikah dengan Zain kalau dia ternyata sudah mempunyai seorang tunangan.

“Jangan berpikiran buruk,” ucap Zain sambil mengusap pipinya yang memerah. Aku merasa khawatir dan mengulurkan tangan mengusap pipi Zain. Sepertinya, dia terkejut dan kini menjauh dariku.

“Aku mau cari makan,” ucapnya, yang kemudian berlalu begitu saja.

Tubuhku kembali lemas hingga terduduk di atas kursi. Ini sangat sulit untukku. Kenapa banyak sekali cobaan dalam hidupku?


 

Bab 3

Pengakuan

BAB 03

Zain pamit pergi ke kantor lagi, tapi aku tahu sebenarnya dia menghindariku.

Sejak kedatangan Bu Ratna tadi, kondisi Bunda drop lagi. Bunda terus mengatakan tubuhnya sakit. Untung saja dokter segera memeriksa dan memberi obat. Akhirnya, Bunda bisa tidur dengan nyenyak.

Tubuhku juga terasa begitu penat, kepalaku pening. Setelah menyelimuti Bunda, aku beralih duduk di sofa. Rasa kantuk mulai mendera, tapi aku tidak bisa tidur. Takut kalau Bunda terbangun dan minta sesuatu.

Suara pintu terbuka membuatku mengalihkan pandangan. Zain sudah ada di ambang pintu. Kemeja putihnya sudah dikeluarkan dari ban pinggangnya. Jas hitam yang tadi melekat sudah di tentengnya dengan jarinya dan diletakkan begitu saja di bahunya. Dia terlihat begitu lelah.

“Mas.” Aku langsung berdiri dan melangkah mendekatinya. Zain hanya menganggukkan kepala lalu menatap brankar. “Bunda udah diberi obat sama dokter. Tadi gula darahnya naik lagi,” aku mencoba menjelaskan dari pertanyaan tak terucap yang dihadirkan Zain di matanya.

Zain menatap Bunda dengan penuh kasih sayang. Aku tidak meragukan perhatiannya kepada Bunda.

“Mas lebih baik pulang ke rumah saja. Rumi bisa kok jagain Bunda,” aku mencoba memberikan solusi kepadanya. Dia terlihat begitu lelah, tapi dia menoleh ke arahku dan menggeleng.

“Kamu bawa baju gantiku?”

Tergeragap karena dia tiba-tiba menanyakan itu, aku segera menganggukkan kepala. Aku menjauh darinya dan membuka nakas yang ada di samping brankar. Lalu, mengambil kaos dan celana pendek milik Zain.

“Ini, Mas.”

Zain menerimanya lalu segera melangkah ke arah kamar mandi. Kuhela napasku. Dia terlalu irit bicara dan membuatku sulit akrab dengannya. Aku melangkah lagi ke arah sofa. Duduk di sana dan menatap pintu kamar mandi yang tertutup.

Mas Danu memang sudah mengenalkanku dengan Zain saat hari pernikahan kami. Bahkan, Mas Danu menceritakan Zain dengan begitu antusias. Aku sempat mengetahui kalau Zain dulu pernah ditampung di rumah Mas Danu karena Zain berontak dari rumah dan Bunda-lah yang merawatnya. Jadi, aku bisa tahu rasa sayang Zain kepada Bunda itu tulus.

Aku memijat pelipis, memejamkan mata, dan menyandarkan kepala di sandaran sofa. Saat alam mimpi hampir menjemputku, aku terkejut dengan rasa dingin yang kini mengusap diriku. Mataku membelalak saat menatap Zain sudah berdiri menjulang di depanku. Rambutnya basah dan dia terlihat segar. Dia mandi? Malam begini?

Aku langsung menegakkan tubuh. Zain menjauhkan tangannya yang tadi ada di keningku. Dia kini duduk di sebelahku. Baju kotornya teronggok di atas meja di depanku.

“Berbalik!” perintah Zain.

Aku menoleh ke arahnya. Dia memberiku isyarat untuk memunggunginya. Dengan ragu, aku berbalik. Jantungku sudah berdegup kencang. Bulu kudukku tiba-tiba meremang saat tangan Zain yang terasa dingin kini ada di bahuku. Namun, sedetik kemudian aku merasakan pijatan yang sangat lembut di sana.

“Kamu lelah,” ucap Zain. Aku merasa malu dan tubuhku malah terasa kaku. “Enggak usah kaku. Aku hanya mencoba memijatmu.”

Bagaimana aku bisa rileks kalau Zain seperti ini? Bersama Mas Danu saja aku belum pernah disentuh. Hanya sekali saat malam pertama, Mas Danu memelukku di atas kasur dan mencium pipiku.

“Jangan berpikiran macam-macam. Aku dan Natasha tidak ada hubungan,” tiba-tiba Zain mengucapkan itu. Tangannya beralih memijat punggungku. Aku makin dibuat canggung dengan kedekatan ini. Lidahku kelu untuk menjawab. “Dan, jangan takut kepadaku. Aku menghormatimu, Dek.”

Mendengarnya, aku langsung membalikkan tubuhku dan membuat tangan Zain menjauh. Kini, kami saling bertatapan.

“Mas... ta-tapi Rumi sudah istri Mas,” jawabku yang terbata-bata.

Zain menganggukkan kepala. Dia kini menopang tangannya di atas paha lalu mengusap wajahnya.

Lama dia terdiam. Aku juga tidak tahu harus berkata apa lagi. Dengan Mas Danu, aku sudah melakukan taaruf selama tiga bulan baru menikah, jadi aku bisa mengerti sedikit sikapnya. Namun, tidak dengan Zain karena dia tiba-tiba melamar dan menikahiku.

“Dulu, saat Danu mengembuskan napas di pangkuanku, yang aku ingat hanya kamu. Pengantin wanita yang baru dinikahi Danu selama dua hari.”

Rasa sedih langsung menyelinap ke relung hatiku. Mas Danu memang meninggal di pangkuan Zain. Saat itu mereka tengah pergi untuk urusan pekerjaan. Zain mendampingi Mas Danu. Namun, naas bagi Mas Danu saat itu. Truk menghantam sisi mobil tepat di sampingnya. Mas Danu sempat berbicara kepada Zain yang saat itu hanya luka-luka.

“Maka, enam bulan kemudian aku datang untuk memenuhi wasiat Danu untuk menikahimu setelah masa iddah-mu selesai dan memastikan kamu tidak hamil.” Zain menatapku. Aku langsung menunduk. “Padahal, aku berharap kamu hamil darah daging Danu sehingga masih ada keturunan Danu. Meski kalau kamu hamil, kita baru boleh menikah setelah sang anak lahir.”

Zain kini menghela napas. Aku terkejut saat dia mengulurkan tangan untuk menggenggam jemariku.

“Jadikan aku sahabat, Dek, kalau kamu belum bisa melupakan Danu.”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Perjodohan
Selanjutnya SUAMI RASA SAHABAT PART 04-PART 06
4
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan