
Jasmine Fatimah Azzahra. sejak kecil sudah bercita-cita menikah muda. Tapi ketika Ayah dan bunda nya memberitahu kalau dia sudah dijodohkan dengan seorang pria yang jauh lebih tua darinya... dia ragu.
apalagi saat pria itu sangat dingin dan kalem.Berbeda dengan kriteria pria yang di impikannya untuk menjadi imamnya.
Bisakah Jasmine menerima calon imamnya itu?
ikuti kisahnya di sini.
sequel dari Assalammulaikum Jodoh dan Nikah yuk! dua cerita menjadi satu...
PROLOG
Aku duduk gelisah di sofa warna putih yang ada di ruang keluarga ini. Suasananya begitu tegang saat aku dipanggil ke sini. Seperti akan melakukan sidang skripsi. Jantungku berdegup kencang dan tidak bisa mengalihkan tatapan dari kedua orang tuaku yang sudah memanggilku di sini.
"Ayah sudah lama membicarakan ini dengan Bunda. Dia pria baik Zahra. Mas Salman itu sahabat ayah sudah sejak lama, bahkan bisa dikatakan guru Ayah. Jadi ketika beliau menyampaikan usulan ini dan mengatakan putranya yang kedua sudah menyelesaikan pendidikan di Kairo Mesir. Dan pulang ke sini, lalu meminta Mas Salman untuk mencarikan seorang istri. Mas Salman langsung memberitahu Ayah, Zahra sudah cukup umur kan?"
Aku menatap ayah yang kini membicarakan ini dengan sangat hati-hati kepadaku. Selalu, ayah tidak pernah sekalipun memaksakan kehendaknya. Dari kecil aku dan adik-adikku selalu diberi pilihan.
Aku Jasmine Fatimah Azzahra merasa sangat bersyukur memiliki ayah Rasya dan bunda Rere. Dua orang tua yang bisa dijadikan panutan. Meski aku tahu bunda jauh lebih tua dari ayah, tapi itu semua malah membuat manis pernikahan ini. Aku mengimpikan pernikahan seperti ayah dan bunda.
"Maksud Ayah sudah ada yang mengkhitbahku?"
Kubenarkan hijab warna hijau yang sejak tadi pagi aku pakai. Aku sedang membantu bunda di butik saat ayah memanggilku untuk berbicara berdua saja. Sedangkan kedua adikku Fatur dan Rama, yang menggantikan bunda. Iya aku mempunyai dua adik laki-laki yang hanya berbeda jarak satu tahun dan dua tahun dariku. Itu menjadikan kita seperti teman sebaya sejak kecil.
Ayah kini menganggukkan kepalanya. Tapi beliau tersenyum dengan manis.
"Ayah sudah menerimanya. Maafkan Ayah ya? Tapi Ayah ingin kamu mendapatkan imam yang baik. Dan Rasyid adalah pilihan terbaik. Insyaallah dia akan menjadi jodohmu di dunia dan akhirat."
Aku terdiam mendengar ucapan ayah. Usiaku baru 20 tahun, masih mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Masih semester 4 juga. Hanya saja aku memang pingin nikah muda. Sejak dulu itu impianku.
"Jadi aku harus nikah sama Rasyid ini ya?"
Ayah mengernyitkan keningnya. Lalu menganggukkan kepala. Hanya saja kemudian beliau menginterupsi ucapanku.
"Panggil Mas Rasyid. Dia sudah berusia 28 tahun. Sudah mapan."
Aku tentu saja membelalakkan mata mendengar ucapan ayah. Kok udah tua? Kan aku pinginnya dapat yang lebih muda kayak ayah sama bunda. Setiap malam selalu diberi cerita sama bunda gimana manisnya ayah saat dulu melamar bunda. Aku jadi ingin juga.
Aku menatap ruangan kerja milik ayah ini. Jadi kayak wawancara kerja deh. Aku berada di balik meja dan ayah di seberangku.
"Yah tapi kan Zahra pinginnya dapat yang lebih muda. Kayak ayah sama bunda. Manis gitu. Nggak ada apa anak muda yang ngelamar Zahra?"
Kali ini ayah tertawa bahkan menatapku dengan geli. Ih ayah pasti ngejek aku. Tapi kan itu emang impianku sejak dulu. Punya suami lebih muda itu kan bikin kita awet muda terus. Buktinya bunda tuh malah tambah cantik dan sepertinya usianya setara dengan ayah. Aku pingin kayak gitu.
"Ayah. Tuh kan Zahra malah diejek."
Kugembungkan kedua pipiku membuat ayah kini mulai menghentikan tawanya. Beliau mengangkat alisnya dan bersedekap di depanku.
"Kamu mau cari yang kayak Ayah? Enggak ada. Ayah Cuma milik Bundamu seorang."
Aku mencibir. Ayah mulai gombal kalau udah kayak gitu.
"Yah, ada Rasyid di depan."
Suara bunda akhirnya membuat aku menoleh ke arah belakang. Bunda sudah berdiri di ambang pintu dan tersenyum kepada kami berdua.
"Owh persilakan masuk saja Bun. Ini Zahra juga udah mau ketemu."
Bunda menganggukkan kepalanya dan mengerlingkan matanya kepadaku.
"Yaaaaahhh. Zahra nggak mau sama pria yang lebih tua. Nanti Zahra jadi ikutan tua gimana?"
Dan sekali lagi ayah tertawa mendengar ucapanku. Beliau sudah beranjak dari duduknya. Berjalan menghampiriku dan menarikku untuk berdiri juga.
"Pokoknya ketemu dulu ama orangnya ya?" Aku menggelendot manja di lengan ayah. Namanya juga anak perempuan satu-satunya jadi aku lebih manja dari dua adikku itu.
******
"Nah ini dia yang ditunggu."
Suara bunda menyambut kedatanganku dan ayah. Aku sempat bersembunyi di belakang punggung ayah saat melangkah memasuki ruang tamu.
Bahkan kini aku menunduk saat ayah menarikku untuk sejajar dengannya.
"Sini nduk."
Bunda menepuk sisi sebelahnya. Pandanganku aku batasi tidak menoleh ke arah kananku. Aku yakin belum siap untuk melihat pria yang jauh lebih tua itu. Pasti kumisan atau rambutnya udah mulai botak? Aiihh pokoknya gak mau.
Bunda menarikku untuk duduk di sebelahnya.
"Rasyid dari mana?"
Suara ayah mulai membuat jantungku dag dig dug malah. Soalnya aku menunggu suara Rasyid.
"Dari kampus hari ini jadwal mengajar bahasa arab."
Aduh itu suara kok bariton banget. Jenis suara yang berat dan...
"Zahra kenapa nunduk gitu? Katanya mau ketemu sama masnya."
Aiiisshhh. Ayah kok gitu. Refleks aku langsung mengangkat wajahku dan menoleh ke arah ayah. MasyaAllah. Aku sempat tertangkap mata oleh si Rasyid ini. Dia...owh astaghfirullah...
BAB 01 RASYID FATUROHMAN
"Ecieeee yang baru aja ketemu calon imamnya pipinya kok merah gitu ya?"
Tuh rese. Aku menatap galak ke arah Fatur. Adik kandungku yang kini sudah berjalan bersamaku di koridor kampus. Iya aku dan Fatur itu cuma berjarak satu tahun. Dan kuliah di kampus yang sama tapi beda jurusan. Dia satu tingkat di bawahku. Kadang pas awal-awal dia masuk ke kampus ini dikira cowokku. Tingginya yang jauh di atasku memang membuat aku seperti temannya saja. Bukan kakak kandung. Dia juga yang jadi semacam bodyguard untukku. Ke mana-mana aku dan dia memang selalu bersama. Kadang Rama, adik bungsuku juga ikut mengekori kami. Tapi karena dia masih di bangku sma dan sibuk terus jadilah kita sering berduaan saja.
"Calon imam Apa? Dia jadi kayak ayah. Aku nggak mau nikah sama yang lebih tua."
Tentu saja ucapanku langsung menghentikan langkah Fatur. Dia kini merangkulkan lengannya di bahuku membuat setiap orang yang lewat di depan kami sedikit melirik ke arahku.
Bagi sebagian mahasiswa yang tidak mengenalku atau yang mengenalku karena ayah. Iya aku kuliah di kampus ayah mengajar. Jadi mereka pikir aku ini anaknya ayah yang alim tidak tersentuh dan pilih-pilih. Kebanyakan mahasiswa pria takut kalau ketemu sama aku. Gak apa-apa sih soalnya aku juga gak mau terlalu bergaul dengan mahasiswa pria.
Tapi banyak juga yang nekat memberiku surat atau mengajakku Kencan. Hanya saja aku tolak secara halus.
"Dih dikasih yang dewasa kok nggak mau. Mas Rasyid itu pinter loh Mbak. Bahasa arabnya bagus. Lulusan dari Al azhar yang pasti imannya juga baik. Kurang apa coba?"
Fatur kadang kalau nasehati suka kayak orang tua.
"Kurang muda."
Akhirnya ucapanku itu membuat Fatur mencibir. Kini dia membenarkan ranselnya dan menoleh kepadaku.
"Nikah kok cari anak kecil."
"Bunda ama ayah kan juga gitu."
Aku memprotes ucapan Fatur. Kali ini dia tersenyum dengan manis.
"Ya kan bunda ama ayah itu pengecualian. Pokoknya mereka emang jodoh itu. Lah Mbak, dikasih jodoh yang tampan gitu kok gak mau."
Deg
Jantungku berdegup kencang saat mendengar kata tampan dari Fatur. Jadi teringat kemarin saat aku tidak sengaja menatapnya. Subhanaallah. Wajahnya memang benar-benar tampan. Hidung mancung, alis tebal, mata tajam, rambutnya hitam tebal. Dan kulitnya yang putih itu loh. Aku kayaknya kalah deh.
"Ah pokoknya mau yang kayak Ayah."
Akhirnya aku mengatakan itu membuat Fatur tergelak. Lalu dia menjauh dariku dan kini menyentil hidungku.
"Bohong. Padahal situnya juga mau tuh. Udah ah ada kelas."
Setelah mengatakan itu dia berlalu begitu saja. Meninggalkanku dengan bayangan raut wajah si Rasyid. Haisshh.
"Zahraaaaa....aduh kirain aku udah telat masuk kelasnya." Dari arah belakang suara khas Nana temanku satu kelas membuat aku membalikkan tubuhku.
"Eh iya ini jam berapa kayaknya aku belum ngecek kelas kita udah telat belum."
Setelah mengatakan itu aku dan Nana langsung saling menatap. Lalu tanpa dikomando bersamaan berteriak dan berlari menuju kelas. Telat ternyata.
*****
"Itu tuh yang adik tingkat kita. Kemarin yang ketemu di kantin. Yang manggil kamu Mbak Jasmine itu loh."
Aku sedang duduk di halte depan kampus. Bersama Nana. Setelah kuliah maraton sampai sore ini. Akhirnya kami bisa pulang. Si Fatur sudah pulang terlebih dahulu sehingga aku menunggu ayah yang akan menjemput. Ditemani si Nana karena dia kebiasaan suka nebeng pulang. Nebeng kok tiap hari 🙄
"Owh yang wajahnya kayak Luhan Itu?"
Nana langsung tersenyum lebar. "Bener banget. Cakep yak? Kemarin ketemu lagi tuh sama aku terus nanyain kamu."
"Hah?"
Tentu saja aku terkejut. Lha gak pernah menyangka ada yang nanyain aku.
"Iya beneran. Dia bilang suka lihat wajah cantik kamu. Terus katanya lagi suka ada cewek cantik berhijab gitu."
Aku langsung mengernyitkan kening mendengar ucapan Nana.
"Naksir sama Aku?"
Nana menepuk lenganku dengan pelan.
"Iya. Udahlah nggak usah ditolak terus. Dari kapan hari kamu masuk kampus sini juga banyak kan yang naksir sama kamu. Cuma karena takut sama Om Rasya aja tuh. Kemarin Kak Romi ketua senat kita juga kamu tolak. Tempo hari juga tuh si Danu yang aktivis kampus paling keren sekarang ini si Luhan kw itu cakep dan manis sesuai dengan kriteria kamu tuh pengen berondong."
Nana terkikik setelah mengatakan itu. Tepat saat aku akan menjawab sebuah mobil toyota warna hitam berhenti di depanku.
"Hust mobilnya bagus banget."
Nana menyenggol lenganku. Aku menatap seseorang yang baru saja keluar dari balik kemudi dan berputar ke arah kami duduk. Astaghfirullah itu kan Mas Rasyid.
Dia memakai baju kasual. Kaos lengan panjang warna biru navi dan celana jins. Lengkap dengan sepatu ketsnya. Gak keliatan usia 28 tahun.
"Dek Zahra. Om Rasya tidak bisa menjemput karena harus mengantarkan Tante ke Solo. Jadi aku yang jemput."
Nana langsung menyenggol lenganku lagi.
"Heh kamu kenal?"
Aku menoleh ke arah Nana lalu menggeleng kan kepala. Dia menatapku bingung.
"Ada Rama juga kok di dalam mobil. Tapi kayaknya dia tertidur."
Aku langsung menatap mobil dengan kaca mobil tidak bisa dilihat dari luar.
Walaupun Rasyid berdiri di depan mobilnya tapi aku merasa gugup. Dari kemarin itu juga aku belum kenalan sama dia. Sekarang dia ngomong seperti itu di depanku.
"Wah dia kenal gitu kok. Ngajakin Rama juga. Siapanya kamu?"
Nana berbisik di telingaku saat aku beranjak berdiri di barengi sama dia.
Tapi Rasyid sudah beralih untuk membukakan pintu mobil belakang.
"Silakan."
Belum juga aku bereaksi Nana sudah menarikku untuk melangkah ke arah mobil.
"Saya boleh ikut kan, Mas?"
Tuh si centil nana mulai bereaksi. Dan saat aku melihat Rasyid, dia tersenyum. Dan untuk sekali lagi jantungku berdegup tak beraturan.
"Monggo. Nanti aku anterin sampai rumah juga."
"Ah asyik. Makasih Mas ganteng."
Nana langsung masuk ke dalam mobil meninggalkanku yang masih mematung di depan Rasyid. Dia sepertinya tidak nyaman berada sedekat itu denganku. Lalu dia melangkah mundur.
"Adek kenapa belum masuk?"
Astaghfirullah. Panggilannya adek gitu bikin hati langsung nyeessss.
"Owh anu...anu..."
"Zahra buruan ih."
Teriakan Nana akhirnya membuat aku menoleh ke arahnya. Dan langsung masuk ke dalam mobil. Aduh aku malu lagi.
Suara pintu tertutup lalu aku baru bisa melihat dengan jelas Rama yang tidur di jok depan. Oalah itu anak kok ya bisa-bisanya tidur.
"Ramaaaa...oiii."
Aku berteriak di belakang jok dia. Yang membuat dia seketika terbangun dan menoleh ke belakang.
"Ya Allah Mbak Ra, kalau bangunin itu mbok ya yang halus. Cium kek gitu.”
Aku langsung menepuk bahunya dengan kesal dia itu emang.
Tepat saat itu juga Rasyid masuk ke dalam mobil. Dan aku langsung menciut. Refleks berbalik duduk di kursiku. Di sebelah Nana yang kayaknya matanya mulai menatap Rasyid dari balik spion.
"Eh masnya ini siapanya Zahra? Sepupu ya? Kok nggak pernah lihat? Kalau Zahra punya sepupu ganteng kayak gini dari dulu aku udah pepet terus nih."
Langsung saja aku menoleh ke arah Nana yang sudah mengedip-kedipkan matanya dengan centil. Haish ini anak.
"Eh Mbak Nana centil euy. Ini tuh Mas Rasyid calonnya..."
"Ramaaaa kamu nggak aku kasih cokelat loh."
Aku memotong ucapan Rama. Dia itu suka ceplas ceplos. Bisa berabe kalau Nana tahu si Rasyid itu...
"Saya sudah milik seorang wanita Mbak. Maaf."
Astaghfirullah. Aku langsung menatap Rasyid yang kini melajukan mobil setelah mengucapkan hal itu. Lalu menatap wajah Nana yang langsung menatapku dengan curiga. Waduh.
BERSAMBUNG
HALOHA LOVELY READERS CERITA INI AKAN AKU UP PER 3 PART YA YANG BERBAYAR… SEKARANG GRATIS DULU
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
