Chapter 1 Devicto Victoris

0
0
Deskripsi

Burung-burung di pepohonan berkicau riang, mengasuh anak anak mereka, sampai mereka bisa terbang dan mencari makan cacing atau serangga. Kabut telah hilang dan matahari bersinar di balik rimbunnya pepohonan. Embun pagi masih menempel di pucuk-pucuk rumput yang kemarin dipangkas oleh tukang kebun. "Mereka akan datang, mereka akan menghancurkan," teriak seorang lelaki tua berpenampilan kotor dan lusuh menggema di sudut pasar sambil memegang sebatang tongkat kayu hitam mengilap seperti akar-akar pohon...

Duduk dengan tenang dan tetap waspada akan sisi kanan dan kiri mu. Bisa jadi apa yang ada di sekitarmu tidak benar benar seperti yang kau kira, atau bahkan kamu sendiri Salah satunya. 

.

.

.

Burung-burung di pepohonan berkicau riang, mengasuh anak anak mereka, sampai mereka bisa terbang dan mencari makan cacing atau serangga. Kabut telah hilang dan matahari bersinar di balik rimbunnya pepohonan. Embun pagi masih menempel di pucuk-pucuk rumput yang kemarin dipangkas oleh tukang kebun. "Mereka akan datang, mereka akan menghancurkan," teriak seorang lelaki tua berpenampilan kotor dan lusuh menggema di sudut pasar sambil memegang sebatang tongkat kayu hitam mengilap seperti akar-akar pohon sonokeling yang ditempa di bara api. Pria tua lusuh itu mengetuk-ngetukkan tongkatnya dengan keras ke tanah berulang kali dan meneriakkan hal yang sama berulang kali. Aku mengalihkan pandangan saya ke toko biji-bijian. 


"Ya, tolong 2 karung," kata saya kepada pemilik toko yang terlihat lebih muda dari saya, tetapi saya tidak yakin karena dia memiliki otot sebesar balok untuk anak seusianya. Dia tersenyum lebar sambil memberikan uang kembalian. 


"Mau saya naikkan ke gerobak Anda juga?" Anak laki-laki itu mengiyakan dengan senang hati. 

"Tidak, terima kasih, saya bisa menanganinya sendiri" aku mengangkatnya satu per satu ke gerobak di sebelah kantong sayuran dan dengan hati-hati meletakkannya. Baru-baru ini, gandum menjadi langka dan mahal karena serbuan serangga musim panas yang merusak dan membusukkan banyak ladang gandum.

Aku bergunam "Beruntung hari ini Masih bisa mendapat 2 karung dengan kualtas yang baik" aku segera menyeka keringat di dahi saya dan mengenakan kembali tudung kepala saya. Saya menepuk-nepuk pelana dari debu dan bersiap untuk menaiki kuda ku. "Hmmm kotor sekali sepertinya kita harus segera mencari danau untuk memandikanmu, vix, karena kamu terlihat mengerikan, Elioth tidak akan suka melihat kuda kesayangannya sekotor ini" kataku sambil tertawa kecil karena teringat akan saudaraku yang sangat terobsesi dengan keindahan kuda ini. Dia akan memandikan Vixon, kuda kami, dua kali sehari karena jika tidak, dia tidak akan menyentuh Vixon karena takut akan penyakit yang mungkin menjangkiti bulunya yang indah dan berwarna hitam pekat seperti malam. Bahkan jika dia disuruh memilih untuk menyelamatkan kuda ini dari monster atau aku, aku ragu pilihan kedua yang ada di pikirannya. Elioth adalah kakak laki-laki ku, tapi aku memiliki kakak perempuan tertua, Emily dan Eiden, adik laki-laki ku. Elioth 5 tahun lebih tua dariku, sementara Emily 8 tahun lebih tua, tapi Elioth selalu mengurus kami semua. Aku dan Eiden sering bertengkar karena berebut menyisir dan memandikan Vixon, tetapi Ayah tidak pernah mengizinkannya karena kami masih terlalu kecil. Sebagai gantinya, dia akan memberi kami tugas untuk berdiri berpura-pura menjadi penjaga di kandang sambil melihatnya memandikan Vixon.

Ayah selalu menyanyikan sebuah lagu yang ia ciptakan sendiri sambil memandikan Vixon, lirik dan irama lagu tersebut selalu berubah setiap kali ia memandikan Vixon. Namun ia selalu mengatakan hal yang sama sebelum ia memandikan Vixon, "menjadi orang yang hebat bukan berarti kita bisa melakukan apapun yang kita inginkan, namun hal tersebut tumbuh seiring dengan besarnya tanggung jawab yang ada, saat kita memiliki tanggung jawab maka kita harus menyelesaikan semuanya dengan baik dan sungguh-sungguh" kemudian ia mengakhiri kegiatannya dengan melemparkan kain lapnya ke udara dan mendarat dengan sempurna di rak di sebelah garpu tanah. Kemudian saya dan Eiden bertepuk tangan dengan gembira. Kami sering mengubah segala sesuatu menjadi kompetisi di antara kami berdua. 

Aku sangat ingat dulu sabgat sering memanggilnya marimo air asin karena Eiden lahir dengan rambut hijau seperti pohon willow Babilonia yang dipangkas menjadi payung setengah lingkaran. Eiden akan sangat marah sampai-sampai dia akan menghela nafas kasar dan berteriak keras sambil mengepalkan tinjunya untuk mengusir ku dari halaman. 


"ahahaha kamu tidak bisa menangkapku karena kamu lamban Eiden, kamu pendek, lihat rambutmu semakin hijau karena keringat karena berlarian mengejarku, sekarang lebih mirip rumput laut layu, ahaha". 


Nafas Eiden semakin memburu ketika aku dengan sengaja membuat wajah mengejek dengan menjulurkan lidah dan mengacungkan jempol ke arahnya. 


"aarrrrrrrgghhh..... lihat saja kalau kamu ketahuan aku akan menggigit telingamu, aku tidak akan berhenti meskipun kamu menangis" kata Eiden dengan wajah memerah karena marah. Kami berlarian sampai akhirnya salah satu dari kami benar-benar tidak bisa berlari lagi dan Emily datang dengan membawa penggiling roti sebagai pemukul dan mengacungkannya ke arah kami karena melewatkan waktu tidur siang. 

"Hei hentikan itu, kalian berdua anak nakal kemari sekarang, atau tidak akan ada makan malam untuk kalian berdua dan juga lagu pengantar tidurku malam ini". 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Chapter 2 Devicto Victoris
0
0
Kami berdua saling berpandangan dan langsung berhenti, aku dan Eiden saling berpandangan dan mengangguk seolah-olah membuat kesepakatan yang tidak terlihat tetapi kami berdua bisa memahaminya. Tak satu pun dari kami yang bisa membayangkan betapa buruknya jika harus tidur tanpa Emily menyanyikan lagu untuk kami. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan