
Warning NC 21++
Pernah dipublikasikan di wattpad
Buitenzorg.
Begitulah dulu orang-orang Belanda menyebutnya. Sebuah wilayah yang artinya aman, tentram, dan tanpa kecemasan. Setelah ditimbun kepenatan bekerja di hiruk pikuk kota Batavia, para kompeni-kompeni itu suka mengistirahatkan diri di kota ini. Kota yang sangat asri, dengan suhu yang begitu bersahabat untuk kulit-kulit kaukasoid mereka, jauh dari kebisingan dan juga polusi udara. Bahkan setelah puluhan tahun berlalu, tempat ini masih menjadi favorit, untuk para keluarga, kekasih, maupun rekan sejawat mengalihkan sejenak penat mereka dari beban ibu kota. Puncak, begitulah mereka menyebutnya sekarang.
Sekitar enam puluh kilometer dihitung dari Jalan Tol Jagorawi, atau kurang lebih satu setengah jam perjalanan dengan menggunakan mobil pribadi, warga ibu kota sudah bisa menghirup aroma khas daun teh siap dipetik yang terbentang sepanjang ladang. Atau kalau ingin lebih cepat, opsi transportasi kereta listrik commuter line bisa dipertimbangkan.
Beruntung sekali ini bukan musim liburan, Porsche Panamera berplat B itu melesat lincah di antara tikungan tajam bukit-bukit pedalaman desa. Hanya satu yang menjadi tujuannya, sebuah desa terpencil yang sangat terkenal dengan wisata seks halalnya.
Javier mendesah. Dia bahkan tidak percaya telah menjejakkan kaki di tanah ini. Hasutan dari salah satu rekan kerjanya mengantarkan pembisnis muda itu untuk mencicip manis madu di balik hijaunya nuansa alami pedesaan.
"Kawin kontrak?" dia mengernyit, dengan segelas wine di tangannya.
"Yoi, bro" Zafran mengiyakan, kepalanya sedikit mendekat membisikkan sesuatu di telinga Javier. "Kalau lo mau, besok gue kasih alamatnya. Lumayan lah, buat hepi-hepi gitu. Nggak bosen lo di Jakarta mulu?"
Javier terdiam sejenak. Bahkan suara dentuman musik yang begitu keras dan kerlipan lampu tempat hiburan malam itu tidak mengganggunya sama sekali. Jujur, tawaran Zafran sungguh sangat menggiurkan. Javier memang sudah menikah. Tapi pernikahannya hanyalah pernikahan bisnis yang diatur kedua orang tua. Walaupun Javier dan istrinya tetap melakukan hubungan intim layaknya suami istri namun tetap saja, semua itu hanya penyaluran hasrat dan sebuah obligasi yang harus dipenuhi.
Lima tahun usia pernikahan mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Cassandra, istri Javier, adalah wanita sosialita yang cukup seksi dan menawan. Bibirnya penuh dan merah merekah, sangat kontras dengan kulitnya yang putih mulus. Aromanya wangi semerbak, sementara payudaranya begitu besar dan montok. Namun dalam sekali remas, Javier tahu bahwa ada konstribusi ahli bedah plastik di dalamnya. Tidak hanya pada bagian payudara, tapi juga bibir, mata, dan dagunya. Semuanya plastik.
"Lo pernah makan nasi kan? Mana yang lebih enak, nasi organik atau yang udah ditambal sana-sini?" Zafran terus mencuci otak Javier.
Jika harus menjawab tentu saja Javier akan memilih nasi organik.
"Cewek juga sama bro. Semakin alami semakin nikmat" lanjut lelaki yang kini menuangkan sekali lagi wine ke dalam gelas Javier. "Cewek Sunda itu cantik-cantik. Apalagi yang di pedesaan. Cantiknya alami, nggak neko-neko."
Javier menyesap kembali wine di gelasnya. Dia masih terdiam, tampaknya sedang menimang-nimang tawaran Zafran.
"Mikir apalagi sih bro? Ini beda sama ONS. Lo bakalan nikahin dulu ceweknya, jadi waktu gitu-gituan udah halal. Ya meskipun nikahnya kontrak, cuma seminggu, sebulan, atau berapa bulan terserah elo. Begitu kontrak habis kalian cerai. Lo bisa pulang lagi ke bini lo. Nggak ribet kan?"
Javier kalah. Dia termakan bujuk rayu sahabatnya itu dan akhirnya menapakkan kaki di desa ini.
"Pak Javier ya?" lelaki bertubuh tambun itu menyambut kedatangan sang pembisnis muda. "Punten, silahkan masuk." Dengan sangat sopan Kang Adeng, seorang jalar, atau yang dalam bahasa orang awam disebut mucikari, mempersilahkannya masuk. Rumah bercat biru itu tentu saja tidak sebesar rumah Javier, namun cukup mewah untuk ukuran rumah di desa pedalaman. Lantainya berkeramik putih, kursinya terbuat dari kayu mahoni, dan beberapa guci khas Pekalongan mengisi kekosongan ruang tamunya.
"Pak Zafran sudah pesen sama saya, katanya hari ini Pak Javier akan datang ke sini." Lelaki itu berbasa basi sembari menyuguhkan kopi dan pisang goreng buatan istrinya.
"Iya Pak. Zafran sudah banyak cerita tentang tempat ini," balas Javier tak kalah sopan.
"Tidak usah panggil Pak. Panggil Kang saja. Orang-orang di sini biasanya manggil saya begitu," ujar Kang Adeng sebelum menawarkan tamunya mencicip kopi yang sudah disuguhkan, "Mari silahkan diminum dulu."
Javier mengangkat gelas itu dan berucap, "Iya kang, nuhun."
Setelah ikut menyesap kopi di cangkirnya, Kang Adeng mulai membuka percakapan. "Jadi Pak Javier maunya yang seperti apa? Dari yang umur delapan belasan sampai tiga puluhan tahun ada, Pak." Lelaki itu mengambil beberapa foto dari tumpukan buku di atas meja, "Ini silahkan Pak Javier lihat-lihat dulu, kira-kira ada yang cocok atau tidak?"
Javier mengambil tumpukan foto itu. Dilihatnya satu persatu dengan teliti. Mereka memang cantik-cantik. Kecantikan khas wanita Sunda. Kulit putih bersih, rambut hitam berkilau, dan senyum yang bisa membuat lelaki lupa diri.
Bukan hanya karena pengaruh orang tuanya yang membuat Javier menjadi entrepreneur muda ternama, namun juga karena kejeliannya memilih sesuatu. Termasuk dalam urusan memilih seorang wanita. Sekedar cantik saja tidak akan memenuhi ekspektasinya. Dia mengharapkan seorang wanita yang lebih dari sekedar cantik secara fisik.
Satu persatu foto itu dia letakkan. Sedari tadi belum juga ada yang memikat hatinya. Alisnya mengerut dan isi kepalanya mulai bergolak. Mungkin memang menikah secara kontrak bukan ide bagus.
Di saat Javier mulai ragu, terdengar suara lembut seorang gadis dari luar, "Punten Kang, Uwa ada? Mau antar pesanan."
Javier menoleh. Matanya terpaku pada sosok gadis yang berdiri di depan pintu. Gadis itu mengenakan gaun berwarna peach bermotif bunga dan rambut hitam sebahu yang dikepang dua. Tingginya sekitar seratus enam puluh lima centimeter. Sejajar dengan dagu Javier. Pasti akan sangat pas jika ingin menenggelamkan gadis itu ke dalam pelukannya. Belum lagi kulit remajanya yang putih mulus tanpa cacat. Manik mata kecoklatan serta pipi yang memerah alami sukses membuat Javier lupa diri. Benar-benar definisi kecantikan bidadari.
"Rengganis? Sini-sini. Duh, jadi ngrepotin kamu," istri Kang Adeng muncul dari dalam. Dia segera menarik gadis itu ke depan teras. Takut mengganggu tamu suaminya.
Tapi tatapan Javier tetap tidak lepas dari paras ayu wanita muda itu. Bagai terhipnotis, dia langsung jatuh pada pesonanya begitu saja.
"Ekhem..." Kang Adeng yang menyadari hal itu berdehem, "Punten, kalau Rengganis tidak bisa Pak. Sudah ada yang booking bulan depan." Seolah-olah bisa membaca pikiran, Kang Adeng secara halus menolaknya.
Tapi tidak ada kata tidak bagi pembisnis muda itu. Semakin ditentang, akan semakin bergelora keinginannya untuk memiliki sesuatu.
"Kenapa tidak bisa, Kang?" dahi Javier berkerut.
"Jadi, ada langganan saya, turis dari Arab. Dia sudah mengincar Rengganis sejak dulu. Tapi mau dibooking belum bisa. Baru hari ini usianya genap delapan belas tahun. Kalau menikahkan anak di bawah umur saya nggak berani, Pak." jelas Kang Adeng.
"Berarti hari ini Rengganis sudah legal kan?" Javier mencoba berkompromi.
"Iya, Pak. Betul."
"Berapa mahar yang ditawarkan turis Arab itu?" tanya Zavier mencari tahu.
Kang Adeng berpikir sejenak, "Err... jadi gini Pak. Rengganis ini masih gadis. Jadi maharnya memang agak mahal." Lelaki itu mengangkat tangan dan membentuk angka empat dengan jarinya. "Empat puluh juta untuk satu minggu."
Kawasan puncak memang terkenal akan wisata seks halalnya. Tidak seperti bisnis lendir di perkotaan yang melibatkan artis-artis dan ongkos mahal untuk semalamnya, bagi masyarakat desa empat puluh juta sudah dinilai harga yang sangat tinggi.
"Saya bayar tiga kali lipat. Plus tiga puluh juta kalau Kang Adeng mau menikahkan saya dengan Rengganis hari ini juga."
Tentu saja mulut sang mucikari itu langsung menganga. Jika ditotal uang yang akan dia kantongi adalah seratus lima puluh juta. Satu juta akan dia berikan kepada penghulu, lima ratus ribu akan dia berikan pada masing-masing saksi, dan dua puluh juta akan dia alokasikan untuk membayar Rengganis. Berarti dia masih bisa membawa pulang lebih dari seratus dua puluh juta rupiah. Jumlah terbesar yang pernah dia hasilkan selama menjalani bisnis ini.
"Masih belum cukup? Saya tambah dua puluh juta lagi," tegas Javier.
Mulut lelaki di depannya itu makin menganga membayangkan nominal yang akan dia dapatkan.
"Penawaran saya hanya berlaku dalam sepuluh detik," kini Javier menggunakan strategi bisnisnya. "Kalau Akang menolak saya akan undur diri dari sini. Satu.."
Benar saja, mana mungkin Kang Adeng menyia-siakan kesempatan emas itu. "Baik Pak, baik. Saya akan atur semuanya. Silahkan Bapak istirahat dulu di sini, saya pastikan nanti sore sudah bisa ijab qabul.”
Semburat senyum terukir di sudut bibir sang pembisnis muda. "Saya punya vila di desa sebelah. Saya akan tunggu di sana. Nanti kalau sudah siap silahkan Akang temui saya di vila."
"Baik Pak, baik. Nanti saya akan utus orang ke sana."
Javier mengangguk penuh kemenangan, "Kalau begitu saya pamit dulu Kang, nuhun."
"Siap Pak, hatur nuhun," ucap Kang Adeng mengantar Javier kembali ke mobilnya.
***
Rengganis baru saja mengangkat tampah-tampah berisi irisan pisang yang dijemur di bawah terik matahari sore itu. Saat pohon pisang di halaman belakang rumahnya berbuah, Rengganis sering mengolahnya menjadi sale pisang untuk dijual di pasar. Hasilnya lumayan bisa membeli beras sampai tiga bulan ke depan. Tidak lupa dia sisihkan beberapa sisir juga untuk dibagi-bagikan ke tetangga dekat.
Namun kegiatannya sore itu terhenti karena kedatangan Kang Adeng yang tiba-tiba.
“Rengganis!” lelaki itu menghampiri dengan sedikit tergopoh-gopoh. Dia tidak peduli jika sandalnya harus kotor karena tanah belakang rumah Rengganis becek.
“Kang Adeng?” gadis itu menoleh ke sumber suara. Lengannya segera ditarik Kang Adeng untuk diajak ke suatu tempat.
“Ayo ikut. Kita siap-siap.”
“Siap-siap buat apa Kang?” alis perempuan itu terangkat. Dia masih belum mengerti kenapa tiba-tiba Kang Adeng mencarinya dengan sedikit tergopoh-gopoh.
“Menemui pelanggan pertama kamu,” ujar lelaki itu.
“P-pelanggan?” tubuh gadis itu secara refleks mencoba melawan tarikan Kang Adeng.
“Iya. Ayo cepat. Kamu harus siap-siap. Mak Ratih udah nunggu kamu buat didandanin.”
Isi kepala Rengganis langsung buyar seketika. Iya, dia memang paham cepat atau lambat dia pasti mengikuti jejak-jejak kebanyakan perempuan muda di desa ini, menikah kontrak dengan lelaki asing untuk bertahan hidup. Namun Rengganis tidak menyangka waktunya akan datang secepat ini.
“S-sekarang?”
“Iya Rengganis. Makanya ayo cepat. Jangan sampai mengecewakan tuan muda yang ini,” Kang Adeng kembali menarik lengan Rengganis.
“T-tunggu!” Rengganis mencoba menghentikan tarikan Kang Adeng. Dia masih butuh waktu untuk memproses semua ini di kepalanya.
Lelaki itu mendesah. “Apa lagi? Bukankah dari awal kamu sendiri yang ingin menjalani pekerjaan ini. Setelah susah-susah aku carikan pelanggan, kamu mau berubah pikiran?” gertak lelaki itu.
“Tapi bukannya Kang Adeng sendiri yang bilang kalau masih sekitar satu bulan lagi?” gadis itu masih belum bisa menerima semua ini.
“Memang. Tapi itu sebelum Tuan Muda yang ini datang. Udah kamu percaya saja sama Kang Adeng. Kang Adeng udah atur semuanya. Ayok keburu sore ini!”
Apalagi yang bisa Rengganis lakukan. Kehidupan yang tak pernah mudah untuknya tidak memberikan pilihan lain selain menjalani pekerjaan turun temurun ini untuk bertahan hidup.
***
Ijab qabul sudah selesai dilaksanakan. Kini di vila mewah itu, hanya tinggal Rengganis dan Javier yang masih kikuk dengan kehadiran satu sama lain. Apalagi Rengganis, dia sama sekali tidak menduga bahwa gilirannya akan tiba secepat ini.
Bagi sebagian besar perempuan di desanya, menjalani profesi seperti ini sudah menjadi tradisi turun temurun. Himpitan ekonomi menjadikan mereka tidak mempunyai pilihan lain. Pun, hanya dengan cara demikian roda perekonomian di desa itu dapat berputar lebih lancar.
Rengganis juga masih belum mengerti, seharusnya slot pelanggan pertamanya adalah untuk bulan depan. Turis Arab yang sudah lama menjadi langganan Kang Adeng baru tiba di Indonesia sekitar empat minggu lagi. Akan tetapi, belum ada sehari setelah umurnya cukup untuk menikah, Kang Adeng malah memintanya untuk melayani laki-laki ini lebih dulu.
Usia lelaki yang baru saja menjadi suaminya itu mungkin sudah menginjak tiga puluhan tahun. Itu berarti hampir dua kali lipat usia Rengganis. Meskipun begitu, pembawaanya terlihat matang, rupanya menawan, dan postur tubuhnya gagah perkasa. Rengganis yakin di balik baju itu tersembunyi otot-otot maskulin dan tubuh bak Gathotkaca.
Meskipun belum pernah berhubungan dengan lawan jenis, tapi Rengganis sudah banyak dibekali oleh senior-seniornya tentang bagaimana mengurus birahi seorang laki-laki. Gadis yang dulunya lugu itu mau tidak mau harus menceburkan dirinya ke kubangan hasrat kaum Adam. Dan malam ini, akan tiba saatnya dia mempraktekkan apa yang telah dipelajarinya.
"A'.." suara lembut Rengganis mencairkan suasana. "Aa' sudah makan?"
Javier yang terkesiap dari kegiatannya memandangi kecantikan Rengganis menggelengkan kepala, "Belum," jawabnya singkat.
"Mau saya masakin? Aa' suka makan apa?"
"Jangan pakai saya-saya begitu. Kita sudah menikah, Rengganis," celutuk Javier tidak suka.
Refleks, Rengganis menutup mulutnya dengan tangan, takut perkataannya tidak berkenan di hati suami pertamanya itu. "Maaf A'."
"Sudah nggak papa," Javier merubah ekspresi di wajahnya.
"Dapurnya sebelah mana A'? Biar aku masakin makan malam," Rengganis sambil celingak-celinguk menebak ke mana arah menuju dapur. Jujur, baru kali ini Rengganis memasuki rumah yang begitu luas dan mewah. Hal itu membuat Rengganis cukup merasa asing.
"Dapurnya ada di sebelah sini," Javier meminta wanita itu mengekorinya menuju dapur. "Tapi nggak ada cukup bahan untuk dimasak. Hanya ada telur sama beras, itu pun karena tadi dikasih Kang Adeng. Aku belum sempat mengisi dapur," jelas Javier menyalahkan dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia lupa mengisi kulkas dua pintu miliknya. Padahal dalam satu bulan ke depan lelaki itu akan menempati vila ini, meskipun harus berbohong kepada istrinya bahwa dia ada perjalanan bisnis ke luar pulau.
"Aa' tidak keberatan kan makan telur dadar malam ini? Sudah malam, tidak ada lagi yang jualan kalau ingin membeli bahan makanan," tawar Rengganis takut-takut.
Senyum di bibir Javier membuat gadis belia itu lebih tenang, "Iya, nggak papa. Kamu masak aja apa yang kamu suka, nanti aku ikut makan."
Dengan itu Rengganis mulai beraksi di dapur. Rengganis dan dapur adalah perpaduan yang sempurna. Lihatlah betapa lihai wanita itu bergelung dengan pisau dan bumbu-bumbu. Belum lagi rambut sebahunya yang dikucir kuda, namun masih menyisakan beberapa helai yang lepas dari ikatannya. Terlihat lugu sekaligus seksi di saat yang sama.
Javier terus saja memandangi bagaimana bibir gadis itu mengerucut dan dahinya yang berkerut tatkala Rengganis tidak bisa menggunakan kompor elektrik di dapurnya. Rengganis belum pernah menggunnakan alat modern seperti ini sebelumnya. Dia menggigit bibirnya sendiri sebelum akhirnya menyerah.
"A' ini gimana pakainya?" alis mata Rengganis bertautan, tapi justru ekspresi itu membuat Javier semakin mengulum senyum lebarnya.
Lelaki berawakan kekar itu melangkah mendekati sang gadis. Dia menghimpit tubuh kecil itu dari belakangan. Dada bidangnya bertautan dengan punggung Rengganis. Tangan kirinya bertumpu pada meja sementara yang lain menyalakan satu buah tombol paling atas. Dengan posisi tubuhnya terpenjara badan Javier seperti ini, Rengganis mendadak kaku, rasanya seperti ada jutaan volt yang menyerang tubuhnya.
"Tekan yang ini untuk menyalakan. Lalu putar yang ini jika ingin mengatur suhu. Awas jangan sentuh bagian ini. Ini untuk meletakkan teflonnya," nada suara Javier yang begitu rendah dan tepat di daun telinganya membuat tengkuk Rengganis merinding. Entah kenapa posisi ini terasa begitu intim. "Mengerti?" pandangan Javier turun ke arahnya.
Rengganis gelagapan menjawab, "Eh, iya A'. Nuhun."
"Kalau begitu aku tunggu di meja makan," sahut Javier menyunggingkan satu senyum di bibirnya.
***
Javier menyelesaikan suapan terakhirnya dengan lahap. Meski pun hanya menu seadanya tapi entah kenapa rasanya begitu enak. Mungkinkah karena yang membuatnya adalah tangan gadis ini? Jika diingat-ingat lagi, bahkan istrinya yang di rumah belum pernah sekali pun memasak. Mengupas wortel saja tidak bisa, bagaimana mau mengharapkan Cassandra memasak? Wanita itu lebih sayang meni pedi kukunya daripada mengenyangkan perut suami.
"Mau tambah lagi A'?" tanya Rengganis menawarkan telur dadar miliknya setelah melihat Javier mengelap sisa-sisa makanan di bibir tebalnya itu.
"Tidak perlu. Buat kamu saja. Kamu kan butuh banyak energi untuk malam ini." Ucapan Javier sedikit membuat Rengganis tersedak. Buru-buru gadis itu menegak gelas air putih, meredakan warna merah di pipinya.
"Aku mau mandi dulu. Kamu selesaikan makannya!" perintah Javier sembari membereskan alat makannya sendiri.
"Sini A', biar aku aja yang beresin!" Regganis mengambil alih piring bekas Javier.
"Tidak usah. Kamu selesaikan saja dulu makannya." Javier menolak.
"Tidak apa-apa. Urusan dapur itu sudah menjadi urusan aku A'. Aa' mandi saja di atas," sanggah gadis itu keras kepala. Sebagai wanita desa, Rengganis selalu diajarkan bahwa urusan wanita itu meliputi tiga hal, yaitu dapur, kasur, dan sumur.
"Ya sudah aku mandi dulu. Kalau sudah selesai kamu nyusul ke kamar ya?" Mungkin itu hanyalah sebuah kalimat, tapi di telinga Rengganis kalimat itu adalah sebuah perintah. Perintah mutlak yang harus dijalankan.
"Iya A',”jawabnya lirih.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
