
Deskripsi
Sebenernya Khiya tuh nggak minta macem-macem di hidupnya. Kalau boleh dibilang sih yang penting cukup. Buat makan di michelin star cukup, buat jajan Dior cukup, buat biaya sosialita cukup. Tuh kan, asal cukup Khiya udah bersyukur. Cewek sulung pasangan Ibu Una dan Pak Yuno ini seakan nggak mau dipusingin sama perihal masa depannya, yang penting sekarang dia hepi dan bisa hura-hura. Toh selama apa sih cewek bisa menikmati masa lajangnya? Kalau udah dikawinin sibuk ngurus suami, anak, rumah, dan segala...
7,336 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
Oneshoot
Selanjutnya
No Office Romance 1
42
3
Udah kesekian kalinya aku mengacak rambut. Poniku yang semula rapi kini menjelma bagai surai singa. Bukan masalah pekerjaan kali ini yang bikin aku frustasi. Tapi... sesuatu yang robek di bawah sana.Sampai saat ini aku masih nggak percaya. Bisa-bisanya aku ngelakuin itu. Tiga kali remidi pulak. Kepalaku ku bentur-benturkan ke meja saking gemasnya pada diri sendiri. Khin, lo kenapa sih? Mau bunuh diri? Terjerat pinjol? Atau yang lebih seremnya kena sembur Bu Rena lagi? Nara menyerutup Starbuck yang dibelinya tadi pagi sebelum meletakkan pantatnya di kubikel di sampingku. Emang sih, Ibu manager atasanku itu adalah ratunya galak. Laporan typo aja gak bakalan di kasih ampun. Mana kalau bikin revisian ngalah-ngalahin bimbingan skripsi pula. Dengan karakternya seperti itu, sangat pantas dia menduduki jabatan krusial yang bertanggung jawab atas arus keuangan perusahaan. Sayangnya, ugh... spesies ulet keket cap Blorong. Punya muka aja dua, yang bisa di-switch berdasarkan situasi dan kondisi. Kalau sama cowok-cowok bening atau jajaran direksi, ramahnya setengah hidup. Giliran ke rakyat jelata, macam induk berang-berang. Bukan! Aku menggelamkan wajah di meja. Apa yang terjadi terlalu memalukan untuk diceritakan. Iiih itu kenapa leher lo biru-biru? Salah skincare? tebak Nara ngawur.Aku sama Nara emang punya kebiasaan ngetes produk apapun itu di leher sebelum di pake ke muka. Tapi kali ini bercak kebiru-biruan di leherku terlalu banyak untuk dibilang salah skincare.Aku mengangkat wajah lalu menutupi 'sisa bekas semalam' itu dengan rambut. Kenapa sih lo aneh banget hari ini? Jalan dari toilet aja kek siput. Gumam Nara sembari menyedot tetes terakhir kopinya. Ketika gelas plastik itu sudah kosong dia mengulurkannya kepadaku. Tolong buangin dong. Lo yang deket tempat sampah.Aku menggeleng dan mendengus. Kaki gue sakit Ra buat jalan.Kenapa? Kesleo? Makanya kalau jalan itu pake kaki, jangan pakai mata. Nara mengambil ancang-ancang untuk membuang gelas plastik bekasnya dengan cara dilempar. Matanya menyipit satu membidik tempat sampah yang bertengger di pojok ruangan. Dia sedang memastikan lemparannya akan tepat sasaran. Bukan! Tapi gue abis anuan sama suami gue. Aku menutup wajah saking malunya. Kalimat spontan itu membuat lemparan Nara meleset. Gelas platiknya jatuh menggelinding hingga terbentur pot tanaman. S-s-serius? Mata Nara membesar mengalahkan kacamatanya. Lo... sama... dia... ML? Nay membentuk lingkaran dengan jari kirinya lalu menggerakkan-gerakkan telunjuk kanannya keluar masuk lingkaran itu.Nggak banyak yang tau kalau sebenernya aku udah bersuami. Bukan maksud menyembunyikan, tapi ada alasan khusus kenapa aku belum bisa memublikasikannya saat ini. Toh sebenernya, aku menjalani pernikahan ini juga karena terpaksa. Semuanya dimulai satu hari sebelum Papa meninggal. Ini keinginan terakhir Papa, Khina. Coba liat, kamu udah perawan tua. Sampai sekarang nggak ada yang nanyain kamu ke rumah. Belum juga adik-adik kamu butuh biaya buat sekolah. Sementara kerjaan kamu? Kalau bukan Kafhi yang ngasih, kamu masih pengangguran sekarang!Tapi aku nggak cinta sama Mas Kafhi, Ma!Menurutku, perjodohan itu sangat konyol. Apalagi di jaman yang serba modern ini. Ditambah lagi pola pikir masyarakat yang masih kuno dan tanpa sadar membangun social standart yang berimbas pada tekanan mental seseorang. So what kalau di umurku yang mendekati angka tiga puluh ini aku belum menikah juga? Seolah ada yang salah kalau wanita bekepala tiga belum punya pasangan, belum punya rumah, belum punya anak, belum berpenghasilan cukup dan segala macam standar-standar tak berdasar itu. Dan sayangnya, Mamaku termasuk salah satu dari orang-orang yang berpikiran kuno itu. Anyone di posisiku pasti bisa relate, gimana beratnya tuntutan sosial yang ditudingkan padaku saat ini. Social standart kills life, that's true. Cinta itu nanti bakalan datang dengan sendirinya, Khina. Buktinya Mama Papa dulu juga dijodohin. Malahan belum pernah kenal sebelumnya. Yang penting itu calon suami kamu lelaki baik-baik, sholeh, bertangung jawab, dan Mama sama Papa udah sreg. Restu orang tua itu restu Allah juga, nak, ceramah Mama di luar kamar rumah sakit tempat Papa dirawat. Udah sepuluh tahun Papa menderita hemodialisis. Penyakit yang tidak mudah untuk dilawan. Kata dokter harapan Papa untuk hidup sangat tipis. Selang-selang yang menancap di tubuhnya sudah sangat tidak banyak membantu. Keluargaku sudah diwanti-wanti agar bersiap jika kemungkinan buruk terjadi. Wasiat terakhir Papa hanya satu, menikahkan aku dengan Mas Kafhi.Mas Kafhi bukanlah orang yang asing di keluargaku. Jarak umur kami enam tahun. Dulu waktu kecil, kata Mama kami deket banget. Bahkan dia yang literally 'mengasuh' ku saat ditinggal Papa Mama sekaligus menjadi temen bermainku yang sangat 'ngemong' waktu kecil. Aku nggak inget banyak masa-masa itu karena begitu memasuki bangku SMP, Mas Kafhi dan keluarganya pindah ke luar negeri. Sejak saat itu aku jarang bertemu dengannya. Namun, dia masih sering berkomunikasi dengan Mama Papa. Kadang-kadang datang berkunjung juga jika libur panjang atau hari besar. Sayangnya, saat dia berkunjung aku sering tidak ada di rumah. Aku suka melancong. Sekolahku berada di kota yang berbeda dengan tempat tinggal keluargaku. Makanya aku jarang ada di rumah.Coba kamu pikir, siapa yang selalu ada buat keluarga kita saat kita kesusahan? Biaya pengobatan Papa, sekolah adik-adik kamu, itu semua berkat Kafhi dan keluarganya. Papa sama Mama itu cuma kepengen yang terbaik buat kamu. Bahkan Papa pernah bilang ke Mama, cuma Kafhi yang Papa percaya buat jagain kamu kalau-kalau... Papa nggak bisa jagain kamu dan adek-adek kamu lagi, Khina. Kalimat Mama penuh emosi. Bahkan pundaknya naik turun mengatur nafas yang mulai berat dan tidak berarturan. Aku tau betapa kacaunya Mama belakangan ini. Mengurus semuanya sendirian, memikul tanggung jawab yang besar sebagai kepala keluarga sejak Papa terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit. Matanya mulaiu berkaca-kaca. Buru-buru dia usap pojok matanya kanannya sebelum bulir kristal bening itu terlihat siapapun. tapi melihatku kepala batu, akhirnya Mama hanya bisa mendengus pasrah. Ya sudahlah, terserah kalau kamu masih nggak mau juga. Tapi jangan nyesel kalau nanti Papa meninggal dan kamu nggak bisa ngabulin permintaan terakhir Papa.Orang yang paling kuat di muka bumi itu ada dua. Yang pertama, ibu. Yang kedua adalah anak perempuan pertama di keluarga. Yang samaan sama aku sini salaman dulu. Pasti tau rasanya gimana menanggung semua beban dan tanggung jawab di pundak kecil yang dipaksa untuk kuat itu. Demikian juga aku. Sebagai anak pertama, banyak hal yang harus aku korbankan. Termasuk masalah pernikahan.Kali ini aku menghirup nafas dalam-dalam. Aku memantapkan dalam hati dan memutuskan, Oke! Aku bakalan nikah sama Mas Kafhi. Puas Mama? Sore itu pernikahanku terjadi, tepat satu hari sebelum Papa meninggal dunia.Jawab jujur. Waktu ngelakuin itu, lo pake rasa nggak? Nara memelankan suaranya, berusaha sebisa mungkin biar nggak ada seorangpun yang bisa mencuri dengar pembicaraan kami. Ini rahasia yang tidak sembarang orang boleh tahu.Aku menggeleng. Nggak tau. Gue cuma merem.Nara memukul kecil meja kerjanya. Kok lo mau-maunya sih diajakin gituan? Dia sampai nggak habis pikir. Katanya lo nggak cinta?Ya gimana lagi. Kadung enak, celutukku sembarangan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan