
Dyandra, seorang mahasiswi dijodohkan oleh Kania dengan kakaknya sendiri, yaitu Arya. Kania selalu berusaha supaya Dyandra menjadi iparnya dengan menikah dengan kakaknya yang selama ini tidak pernah dekat dengan perempuan mana pun.
Banyak perempuan yang melamar Arya, tetapi tidak ada satu pun yang mampu menyantol hati Arya. Hal tersebut membuat adiknya curiga jika kakaknya itu jatuh cinta dengan sesama jenis. Maka dari itu, dirinya menjadikan Dyandra seseorang pemicu.
Apa yang akan terjadi pada Dyandra? Bagaimana kisah mereka? Selamat membaca
Bab 01. Insiden
Dyandra dan Kania menuruni anak tangga fakultasnya yang mana mereka baru saja selesai kelas, yakni pukul lima sore. Yah, mereka sepakat mengambil jam sore karena supaya saat pulang dari kampus, tidaklah panas.
Pada hari itu adalah hari kamis. Mereka berdua full jadwal mata kuliah karena sesuai kesepakatan kelas bahwa jadwal mata kuliah hari Jumat dipindah ke hari antara Senin-Kamis supaya para perantau yang mau pulang kampung, bisa pulang lebih lama, yakni 3 hari.
"Lo udah buat essay pak Wishnu belum?" tanya Dyandra kepada Kania.
"Belum. Susah nyari sumbernya. Lo sendiri gimana?" jawab Kania yang sudah lelah.
"Sama aja."
Mereka mengobrol sepanjang menuruni anak tangga sehingga mereka tidak sadar jika ada mahasiswa yang membawa banyak barang berada di belakang mereka dan dia tidak sengaja menjatuhkan botol kaca.
Alhasil, botol tersebut menggelinding di anak tangga dan pecah berkeping-keping sehingga salah satu pecahan tersebut tidak sengaja mengenai lengan dan kaki Dyandra karena dirinya yang masih berada di anak tangga, sedangkan Kania berada di depannya sehingga tidak terjangkau.
"Dyandra!" teriak Kania yang menghampiri Dyandra tatkala melihat darah di lengan dan kakinya.
"Eh Kak, maaf-maaf. Gue gak sengaja," ujar mahasiswa tadi karena dirinya benar-benar tidak sengaja menjatuhkan botol tadi.
"Eh lo gimana, sih?! Kalau gak bisa bawa banyak barang, ya gak usah dipaksa dong! Lihat ini akibatnya! Gak hanya nyusain diri lo sendiri, tapi ngerugiin orang lain juga!" maki-maki Kania kepada mahasiswa tadi.
"Iya, Kak. Gue tahu gue salah. Gue akan ganti rugi biaya pengobatannya."
"Ganti rugi doang mah gampang! Enak aja lo jadi orang!"
"Terus gue harus gimana dong?!"
"Udah-udah, jangan ribut! Lo gak usah ganti rugi. Beresin pecahan kacanya. Untung di sini gak banyak orang," lerai Dyandra dan langsung menarik tangan Kania pergi. Namun, Kania masih saja melemparkan tatapan tajamnya kepada mahasiswa tadi.
Kania memberikan tisu kepada Dyandra supaya darah di lengan dan kakinya bisa berhenti. Mereka tidak bisa ke uks karena jaraknya lumayan jauh. Lebih baik memberikan pertolongan pertama terlebih dahulu.
"Kita ke rumah sakit aja, ya," ujar Kania mencemaskan keadaan sahabatnya itu.
"Lo pulang aja. Biar gue ke rumah sakit sendiri. Udah senja, nih. Sebaiknya lo pulang. Lagi pula, jarak rumah sakit ke rumah gue malah lebih deket," ujar Dyandra mencoba menenangkan Kania.
"Gak! Gue tetep nemenin lo ke sana! Nanti kalau di jalan kenapa-napa gimana?"
"Lo doain yang buruk-buruk?"
"Bukannya gitu. Gue cuma khawatir aja."
Dyandra melihat sebuah mobil berwarna putih berhenti tidak jauh dari tempat mereka. Dia tahu betul itu mobil siapa. Alhasil, dia pun kembali menatap Kania yang masih bersikeras mengantar dirinya ke rumah sakit.
"Kania, lo pulang aja. Tuh, lihat! Lo udah dijemput," ujar Dyandra sembari menunjuk mobil putih tadi menggunakan dagunya.
Terjadi perdebatan sengit di antara mereka berdua. Yang satu keras kepala ingin menemani mengantar, sedangkan yang satunya menolak untuk ditemani. Tidak ada yang mengalah satu sama lain karena mereka berdua sama-sama keras kepalanya.
"Kenapa?" Suara bariton menyebab Dyandra dan Kania berhenti berdebat. Seorang laki-laki datang menghampiri mereka.
"Bang Arya, tolong antar Dyandra ke rumah sakit. Lengan dan kakinya terluka kena pecahan botol kaca yang dibawa mahasiswa gak becus," adu Kania.
"Tidak perlu, Bang. Saya janji bakal ke rumah sakit. Kalian pulang saja. Bye bye." Dyandra tetap berpegang teguh dengan keinginannya untuk pergi ke rumah sakit sendiri dan dia langsung berlari meninggalkan mereka dengan menahan rasa sakit di kakinya.
"Bang Arya, gimana kalau terjadi apa-apa dengannya di jalan? Bang, titip dia, ya," rengek Kania kepada kakaknya itu.
Arya hanya berdehem saja sebagai jawaban. Dia langsung mengejar Dyandra supaya tidak pergi semakin jauh. Sementara Kania, dia pulang duluan karena sudah disuruh pulang oleh ibunya karena dirinya belum sampai di rumah padahal waktu sudah hampir memasuki waktu maghrib.
Dyandra memejamkan matanya menahan rasa sakit di kakinya saat dipakai berlari tadi. Dia memilih untuk berjalan saja supaya tidak menimbulkan luka yang semakin dalam. Takutnya, nanti malah semakin parah lukanya.
Akan tetapi, tiba-tiba saja tubuhnya digendong oleh seseorang sehingga membuatnya menjerit kaget. Dirinya menatap wajah orang yang menggendongnya, yakni Arya.
"Bang, turunin saya! Saya bisa jalan sendiri," berontak Dyandra.
"Diam!" ujar Arya sedikit tinggi sehingga membuat nyali Dyandra menciut.
Arya menurunkan Dyandra di mobilnya. Setelah itu dia bergegas menuju ke rumah sakit supaya luka perempuan itu bisa segera mendapatkan penangan dan tidak terjadi infeksi.
***
"Makasih, Bang Arya, sudah mengantar Dyandra ke rumah sakit," ujar Dyandra agak gugup karena dirinya tidak dekat dengan kakak sahabatnya itu.
"Ya," jawab Arya singkat.
Arya berjalan duluan di depan Dyandra. Semantara Dyandra, dia menjaga jarak yang lumayan jauh dari Arya karena dirinya merasa tidak enak berjalan berdekatan dengan cowok seganteng Arya.
Dyandra bertanya-tanya kenapa orang seganteng Arya tidak tertarik sama sekali dengan perempuan. Kania sudah banyak menceritakan tentang kakaknya yang sudah banyak dilamar oleh banyak perempuan, tetapi semuanya ditolak. Padahal, cewek yang melamar Arya adalah perempuan yang cantik-cantik dan status keluarganya bisa dibilang setara dengan keluarga Arya.
Dalam hati, Dyandra sangat menyayangkan hal tersebut. Dirinya juga melihat sendiri tadi sewaktu tiba di rumah sakit, banyak perempuan yang menghampiri Arya untuk sekadar berkenalan bahkan terang-terangan meminta nomor ponsel Arya sekaligus ada juga yang langsung menyatakan cinta.
"Aduh." Saking tidak fokusnya berjalan, mengakibatkan lengan Dyandra yang sakit, tidak sengaja ditabrak oleh seseorang.
Dyandra menatap punggung orang yang menabraknya tadi. Setelah itu dia refleks menoleh ke depan lagi yang mengakibatkan tubuhnya menabrak dada Arya yang entah sejak kapan sudah berada di sana.
"Aduh." Setelah lengannya yang ditabrak, kini dahi Dyandra yang kesakitan. Tangan kiri Dyandra yang tidak terluka, mengusap dahinya yang terasa sakit.
Akan tetapi, gerakan Dyandra terhenti ketika tangan kekar mendarat di dahinya, menggantikan tangannya yang tadi mengelus dahinya yang terasa sakit.
"Sorry, you okay?" tanya Arya dengan nada yang sedikit lebih lembut dari sebelumnya. Dia menundukkan badannya agar bisa melihat dengan jelas wajah Dyandra.
Mata Dyandra mengerjap beberapa kali, mencoba mencerna apa yang tengah terjadi. Dalam hatinya bertanya-tanya kenapa suara kakak sahabatnya itu menjadi lebih lembut. Alhasil, dia pun refleks melangkah ke belakang karena tangan Arya masih mengelus dahinya yang sudah tidak terasa sakit lagi.
"Gapapa, Bang. Saya yang ceroboh," jawab Dyandra menetralkan detak jantungnya.
Entah kenapa Arya menahan senyumnya melihat ekspresi perempuan di hadapannya itu. Perempuan itu bahkan membuang mukanya karena tidak berani menatap dirinya. Ingin sekali rasanya mencubit pipi perempuan tersebut karena menurutnya itu sangat menggemaskan.
"Kamu mikirin apa sampai melamun gitu?" tanya Arya sembari menyentil dahi Dyandra sehingga membuat perempuan itu langsung melotot ke arahnya. "Tangan kamu masih sakit?" lanjutnya menarik tangan kanan Dyandra yang ditabrak orang tadi.
Dyandra menarik kembali tangannya dan tersenyum lebar terpaksa. "Oh jelas tidak sakit, Bang! Sudah sembuh seketika."
Kali ini Arya tidak bisa menahan senyumannya. Dia tersenyum tipis, pasalnya jawaban yang diberikan perempuan tersebut bukanlah jawaban yang sebenarnya, melainkan jawaban yang menyindir dirinya.
Arya membalikkan badannya dan berjalan di belakang Dyandra. Dia memperhatikan Dyandra yang kesulitan berjalan karena kadang dia berjalan dengan menyeret kakinya dan kadang dengan berjinjit agar tidak membuat kakinya terasa sakit.
"Mau saya gendong?" tawar Arya yang membuat Dyandra refleks menjaga jarak dengan laki-laki itu.
"Tidak usah, Bang. Terima kasih atas tawarannya. Lebih baik Abang pulang saja karena sudah larut malam dan pastinya Abang sudah sangat lelah setelah seharian sibuk di kampus dan saya juga harus pulang," tolak Dyandra dengan sopan. Sudah cukup sampai di situ dirinya berurusan dengan kakak sahabatnya itu.
"Saya antar," putus Arya.
"Tidak perlu repot-repot, Bang. Saya bisa pulang sendiri dengan ojek online. Lagian tempat tinggal saya berada dekat sini," ujar Dyandra dengan cepat.
"Kamu itu perempuan, tidak baik pulang malam-malam begini sendirian. Apalagi kamu masih sakit!" tegas Arya.
Dyandra bergidik ngeri melihat tatapan Arya. Menyerah. Dia hanya bisa menyerah saat itu karena sudah malas debat sekaligus takut dengan Arya. Sudah dua kali ini dirinya menyaksikan Arya berbicara dengan nada sedikit tinggi.
Arya langsung menarik tangan Dyandra. "Kakimu masih sakit dan kamu tidak mau saya gendong. Kalau begitu, pegang tangan saya saja supaya tidak jatuh dan kakimu tidak terlalu sakit saat berjalan."
Dyandra sudah tidak berniat membantah lagi karena semua itu akan sia-sia saja. Akan membuang-buang tenaga jika dirinya melakukan penolakan lagi. Dalam hatinya dia mengatakan bahwa entah adik maupun kakaknya sama-sama keras kepala.
"Atau kamu mau tinggal di apartemen saya aja dulu?" Tawaran Arya berhasil membuat Dyandra menatap Arya tidak percaya.
Sungguh? Arya menawarkan Dyandra untuk menginap di apartemennya? Yang benar saja. Bagi Dyandra, kupingnya pasti bermasalah dan salah dengar saja.
Bab 02. Rencana
"Gila! Kok, bisa-bisanya, sih, lo nolak tawaran Abang gue?!" teriak Kania dengan heboh ketika Dyandra menceritakan peristiwa yang terjadi kemarin.
Dyandra melempar bantal ke Kania. "Gila lo, ya?! Gue sama abang lo itu gak ada hubungan apa-apa! Ya kali gue nginep di apartemen Abang lo! Ini Indonesia, bukan luar negeri! Nanti kalau gue diapa-apain sama Abang lo gimana?" cecarnya kesal.
"Gapapa dong! Kalau lo diapa-apain sama Abang gue, nanti lo bakal jadi ipar gue. Gue dukung sepenuhnya kalau lo jadi ipar gue."
"Udah sinting lo, ya?!"
Dyandra semakin dibuat badmood dengan obrolan Kania yang seperti itu. Dirinya mencoba memejamkan mata meskipun tidak mengantuk. Dirinya hanya tidak mau membicarakan lebih lanjut mengenai kakak sahabatnya yang sudah lama menjomblo itu.
Sementara Kania, dia tengah membalas pesan dari kakaknya yang menanyakan dirinya ada di mana. Setelah itu, dia melanjutkan menonton drama kesukaannya yang belum sempat dia tonton sampai akhir.
"Kan, lo pengen, ya, kita iparan?" tanya Dyandra mengubah posisinya menjadi duduk.
Kania mematikan ponselnya dan menatap Dyandra. "Pengenlah, Dyandra. Siapa juga yang gak mau punya ipar sahabat sendiri? Lagi pula, emangnya lo gak mau sama Abang gue? Abang gue ganteng, lho, Dyandra. Banyak cewek yang beraniin diri buat lamar dia. Lah lo? Kayak malah menghindar gitu."
Jawaban Kania membuat Dyandra berpikir keras. Iparan dengan Kania berarti dirinya menjadi istri Arya. 'Apakah pantas?' Itulah yang dirinya pikirkan kala membahas hal tersebut.
Dyandra menghela napas panjang. Dia tiba-tiba saja mengingat tawaran Arya untuk menginap di apartemennya. Dirinya waktu itu menjawab tawaran tersebut dengan tolakan. Jujur, Dyandra melakukan hal tersebut secara alamiah. Yang hanya di pikirannya hanyalah menolak. Tidak ada hal lainnya.
"Gini, ya, Kania. Sejujur-jujurnya gue sebagai cewek normal, gue juga pengen punya suami kayak abang lo. Yang jadi masalahnya adalah abang lo. Emangnya abang lo mau sama gue? Spek cewek-cewek cantik, seksi, pintar, high-class aja dia tolak, apalagi remahan rengginang kayak gue. Lo juga yang bilang, 'kan, kalau abang lo kena desas desus penyuka sesama jenis," jawab Dyandra panjang lebar.
Kania memeluk Dyandra dan menguyel-nguyel sahabat itu. Dia juga tidak tahu bagaimana selera kakaknya itu karena setiap ditanya mengenai cewek, kakaknya itu tidak pernah menjawab dan itu seperti menjadi topik yang sensitif untuknya.
"Jangan-jangan abang lo udah punya cewek, cuma dia gak mau orang-orang tahu sebelum waktunya," ujar Dyandra tiba-tiba terpikirkan oleh hal tersebut karena banyak juga yang menjalin hubungan dengan sembunyi-sembunyi hingga pada akhirnya membuat gempar karena tiba-tiba menyebar undangan pernikahan.
"Gak mungkinlah, Dyandra! Emak gue punya jiwa intel. Dia pasti tahu gerak-gerik abang gue dan bakal curiga kalau ada gerak gerik yang mencurigakan dari abang gue," bantah Kania.
"Serah dah. Abang lo ribet banget bikin pusing semua orang."
"Gimana kalau lo bantuin gue?"
Dyandra mengerutkan keningnya. Firasatnya mengatakan bahwa ide yang dimiliki sahabatnya itu bukanlah ide yang bagus.
"Gimana kalau lo bantuin buktiin kalau Abang gue masih normal? 'Kan, gak lucu kalau tiba-tiba aja abang gue bawa cowok dan mereka akan menikah. Bisa-bisa keluarga gue jantungan semua," ujar Kania dengan raut wajah sumringah.
"Lo kalau punya mulut itu dijaga omongannya!" geram Dyandra yang membungkam mulut sahabatnya yang asal ceplas-ceplos itu. "Emangnya lo pernah mergoki abang lo melakukan hal-hal gak senonoh sama cowok? Gak, 'kan? Kalau gitu ya masih aman aja. Abang lo masih normal."
Kania menatap ke Dyandra. "Emangnya bisa gitu, ya?"
Dyandra hanya memutar kedua matanya malas menanggapi kelakuan sahabatnya itu. Yang bermasalah adalah kakaknya dan dirinya justru malah ikut terseret dalam hal yang tidak berhubungan dengan dirinya sama sekali. Ya memang dirinya bersahabat dengan Kania, tetapi alangkah baiknya dirinya tidak ikut mencampuri urusan keluarga Kania, bukan?
"Oh ya, Dyandra, gue lupa. Sebenarnya kemarin gue sempat ke rumah sakit buat mastiin keadaan lo setelah gue pulang ke rumah. Nah, waktu gue sampai di sana, gue melihat lo yang ditabrak orang dan lo teriak kesakitan tuh. Lo tahu gak? Waktu itu gue lihat dengan mata kepala gue sendiri, Abang gue balik badan dan gue lihat ekspresi kekhawatirannya! Demi apa pun gue baru pertama kali melihat dia cemas, panik, dan khawatir sama cewek selain gue dan emak gue," jelas Kania panjang lebar.
"Ya bagus dong! Itu berarti abang lo masih normal! Terus lo mau bukti apa lagi?!" sewot Dyandra.
"Bukti itu aja belum cukup, Ra! Bisa aja dia menganggap lo sebagai adiknya karena lo sahabat gue, makanya dia seperti itu," bantah Kania yang ada benarnya juga.
"Terus lo mau apa, hah?!" Kesabaran Dyandra yang setipis tisu, malah dihadapkan dengan masalah tersebut.
"Mau gue lo bantuin buktiin kalau abang gue masih normal, Ra," rengek Kania seperti anak kecil meminta permen kepada ibunya.
"Caranya?"
"Malam ini lo nginep di rumah gue aja. Orang tua gue pergi dan gak akan pulang malam ini, jadi sekalian nemenin gue. Besok, Abang gue pasti pulang ke rumah. Nanti akan gue pikirin lagi caranya."
Lagi dan lagi fisarat Dyandra tidak enak. Dirinya tidak yakin hal gila apa yang akan dipikirkan oleh Kania untuk membuktikan bahwa kakaknya itu masih normal atau tidak.
***
Malam harinya, Dyandra dan Kania asyik dengan ponselnya masing-masing. Dyandra memang benar-benar menginap di rumah sahabatnya itu untuk menamaninya sekaligus memancarkan aksinya esok hari.
Dalam hati Dyandra berharap bahwa ada suatu keajaiban tanpa dirinya turun tangan untuk membuktikan kenormalan kakak sahabatnya itu. Dirinya takut jika rencana yang akan diberikan Kania, membuat dirinya menjadi tidak aman atau nantinya berujung menjadi masalah.
"Lo udah nemu caranya belum?" tanya Dyandra yang mulai merasa bosan.
"Gimana kalau lo cium dia?" usul Kania dengan senyuman lebar.
Dyandra menatap tajam ke arah Kania. "Masih waras lo? Gak! Ganti yang lain!"
"Ciumnya jangan di bibir. Cium di pipi aja."
"Gak mau, ya, gak mau! Awas aja kalau lo nyuruh gue kayak pelac*ur!" Dyandra memberikan peringatan kepada Kania.
"Lo goda abang gue aja, gimana?"
"Gak! Terima kasih. Gue masih sayang nyawa gue."
"Maksud lo?"
"Misalnya gini nih, kalau ternyata abang lo beneran belok, gue aman ..., tapi kalau dia normal dan gue gada dia, jatuh dong harga diri gue di matanya. Yang ada nanti lo gak dibolehin temenan lagi sama gue. Terus, kalau abang lo kegoda sama gue, dia pasti mepet gue atau lebih parahnya lagi kalau dia gak bisa nahan nafsunya ke gue gimana? Belum lagi abang lo diincer banyak cewek, bisa-bisa hidup gue kagak tenang karena diteror oleh fans abang lo itu." Dyandra menatap mata Kania. "Kesalahan apa yang gue lakuin ke lo sehingga lo dengan tega membuat hidup gue seperti itu?"
Kania memikirkan perkataan Dyandra dengan baik-baik. Lalu, dia pun menangis dan memeluk Dyandra dengan erat. "Dyandra, maafin gue. Gue gak kepikiran sampai sana. Gue gak mau buat hidup lo menderita."
"Bodolah! Gue lapar."
Dyandra keluar dari kamar dan berjalan menuju dapur yang berada di lantai satu. Namun, saat memasuki dapur, perempuan tersebut dikejutkan dengan seorang laki-laki yang membelakangi dirinya. Laki-laki itu hanya memakai celana selutut, tanpa mengenakan baju dengan handuk yang melingkar di lehernya, dan rambutnya masih tampak basah yang menandakan orang itu baru saja selesai mandi.
Otomatis Dyandra mengerjap dan menelan salivanya dengan susah payah. Jantungnya berdebar tak karuan dan mencoba untuk menjaga pikirannya supaya tetap aman. Alhasil, dia pun membalikkan badannya untuk kembali ke kamar Kania lagi. Namun ....
"Dyandra? Kamu tidak jadi ke dapur?" tanya Arya yang membalikkan badan sehingga melihat Dyandra yang mengendap-endap hendak pergi.
Mampus, ketahuan! Dyandra mengerutuki dirinya sendiri karena tadi seharusnya dirinya langsung pergi saja tanpa terpaku terlebih dahulu. Kalau sudah begini, dirinya harus memutar otaknya.
Dyandra tertawa gugup. "Iya, Bang. Ada sesuatu yang tertinggal di kamar, jadinya mau ambil dulu."
"Menangnya apa yang ketinggalan?" Pertanyaan yang dilontarkan Arya membuat Dyandra harus menyusun kebohongan lain lagi.
"Mie instannya ketinggalan, Bang." Dyandra langsung membalikkan badan hendak kembali, tetapi baru saja melangkah satu langkah, Arya sudah mengatakan sesuatu.
"Kebetulan saya membuat sup ayam, kamu mau?"
Dyandra refleks menggeleng. "Tidak usah, Bang. Saya masak mie instan aja."
Saat Dyandra hendak pergi, tangannya ditarik oleh Arya dan tubuhnya didudukkan di kursi. Sementara Arya, dia mengambilkan piring sekaligus mengisinya dengan nasih dan sup ayam buatannya tadi.
"Makan saja," ujar Arya.
Meskipun tidak ada nada pemaksaan dan ancaman, Dyandra merasa tidak enak hati menolak niat baik Arya. Lagi pula cacing-caing di perutnya juga sudah meronta-ronta untuk diberikan makan.
Mereka makan malam berdua di ruangan itu. Tidak ada satu pun obrolan yang keluar dari mulut masing-masing. Hal tersebut justru membuat jantung dan perasaan Dyandra menjadi tidak nyaman alias canggung sekali. Seperti sedang bermusuhan saja.
"Enak. Sup ayam buatan Abang enak," puji Dyandra dengan senyuman tulus.
Arya mengangguk. "Seneng dengernya kalau kamu menyukai masakan saya."
"Terima kasih, Bang Arya." Dyandra telah selesai makan. Dia langsung mencuci piring yang digunakannya tadi sekaligus mencuci peralatan masak yang dipakai Arya untuk membuat sup ayam.
Arya sudah melarang, tetapi Dyandra tetap bersikeras mencucinya. Alhasil, Arya mengalah dan membiarkannya. Laki-laki itu memandangi Dyandra yang telaten membersihkan dapur.
Setelah selesai, Dyandra mencuci tangannya. Tepat saat itu, Arya berdiri di samping Dyandra mencuci piringnya. Pikiran Dyandra melayang mengenai ide yang diberikan Kania tadi. Hatinya ragu-ragu apakah harus melakukannya atau tidak.
"Dyandra?" panggil Arya kesekian kalinya karena sebelum-sebelumnya Dyandra tidak merespon.
"Eh, iya, Bang. Kenapa?" jawab Dyandra canggung.
"Kamu mel--" ucapan Arya terpotong.
"Bang, maaf, ya, Bang," potong Dyandra. Dia menoleh ke Arya dan langsung menarik handuk yang melingkar di leher laki-laki itu supaya wajah Arya menjadi lebih dekat, sembari berjinjit karena Arya lebih tinggi darinya ... dan, ya, satu kecupan mendarat halus di pipi dekat bibir Arya.
Bab 03. Salah Tingkah
"Bang, maaf, ya, Bang," ujar Dyandra. Dia menoleh ke Arya dan langsung menarik handuk yang melingkar di leher laki-laki itu supaya wajah Arya menjadi lebih dekat, sembari berjinjit karena Arya lebih tinggi darinya ... dan, ya, satu kecupan mendarat halus di pipi dekat bibir Arya.
Setelah melakukan aksinya itu, Dyandra melarikan diri hendak ke kamar. Namun, sialnya tangan kekar Arya berhasil meraih tangannya dan langsung menariknya. Sehingga membuat tubuh Dyandra langsung menabrak dada bidang Arya.
Kedua tangan Dyandra menyentuh dada Arya yang tidak tertutupi satu helai pun kain. Jantungnya semakin berdetak tak karuan. Rasanya dia ingin tenggelam saat itu karena dirinya takut perbuatannya tadi membuat Arya marah.
Namun, yang terjadi malah Arya langsung mencium bibir Dyandra kembali. Peristiwa tersebut terjadi sangat cepat. Arya tidak membiarkan Dyandra sadar. Sementara Dyandra, dia hanya terdiam kaku masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
Dyandra tidak bisa memberontak sama sekali. Tangan kanan Arya melingkar di pinggang Dyandra dan mengangkat tubuh perempuan itu. Sementara tangan kirinya menahan kepala Dyandra supaya tidak bergerak. Ciuman Arya yang semula lembut, lama kelamaan menjadi lumatan yang penuh nafsu.
Tangan kanannya bahkan tidak tinggal diam saja. Tangan itu merangsak masuk di baju Dyandra, menyusuri bagian belakang Dyandra dan berhenti di pinggang sembari mengelusnya dengan lembut.
Arya menggigit bibir Dyandra supaya dia membuka mulutnya. Namun, Dyandra yang sedari tadi berusaha melepaskan diri, dia menginjak kaki Arya dengan keras sehingga tautan bibir mereka terlepas.
"Bang!" Dyandra refleks menampar Arya. Matanya sudah berkaca-kaca. Raut wajahnya menampilkan ekspresi kecewa, takut, dan marah. Dia pun langsung berlari menaiki anak tangga dan masuk ke kamar Kania.
Arya tersadar dari ketidakwarasannya. Dirinya tidak sadar bisa seliar itu. Lampu hijau yang diberikan Dyandra saat dia mengecup bibirnya, membuat dirinya lepas kontrol.
Dyandra mengunci kamar Kania dan dia langsung masuk ke kamar mandi. Dia membasuhi wajahnya sebanyak mungkin sembari menangis karena dirinya benar-benar syok dengan kejadian tadi.
Dia pun langsung memposisikan tidur di sebelah Kania yang sudah tertidur lelap. Namun, seberapa kali dirinya memejamkan mata, bayangan peristiwa yang terjadi di dapur tadi menghantui dirinya. Rasanya dirinya ingin langsung pergi dari rumah tersebut.
"Dyandra bodoh!" maki Dyandra kepada dirinya. "Harusnya lo gak mencium bibir Bang Arya tadi. Mana juga refleks nampar dia, padahal yang salah dari awal itu gue."
"Mau ditaruh di mana muka gue nanti? Gue gak bakal berani nampakin diri di depan Bang Arya lagi," beo Dyandra dengan perasaan tak karuan.
***
Jam menunjukkan pukul 3 dini hari, tetapi Dyandra tidak bisa tidur sama sekali. Sudah berbagai hal dicoba supaya bisa tertidur, tetapi nihil. Perasaannya gelisah dan tidak karuan. Ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman.
Alhasil, perempuan itu menyambar tas yang berada di meja dan langsung keluar dari kamar. Daripada di sana lama-lama, lebih baik dirinya pulang saja ke kost-annya. Setidaknya di kost-annya nanti dirinya tidak akan bertemu dengan Arya.
Dia berjalan dengan sangat hati-hati dan pelan-pelan supaya tidak membuat kegaduhan. Dirinya takut dan was-was jika tiba-tiba saja bertemu dengan Arya seperti semalam. Dirinya tidak ingin hal semalam terulang kembali.
"Dyandra, kamu mau ke mana?" tanya seseorang yang sangat tidak asing di telinga Dyandra.
Akan tetapi, kali ini Dyandra tidak menoleh sama sekali. Dia mempercepat langkahnya menuju anak tangga. Rasa gugup menyelimuti dirinya ketika Arya memanggil-manggil namanya untuk berhenti.
Langkah kakinya semakin cepat menuruni anak tangga. Mencoba menulikan telinga. Berharap bisa secepatnya keluar dari rumah tersebut dan Arya berhenti mengejar dirinya yang sudah ketakutan menghadapi laki-laki tersebut.
Saat hendak membuka kunci pintu rumah dan menarik salah satu pintunya, pintu tersebut didorong oleh tangan Arya yang sudah berada di belakang Dyandra untuk menghentikan perempuan tersebut.
Dyandra terengah-engah, tetapi mencoba menetralkan napasnya. Jantungnya semakin berdetak kencang saat lehernya bisa merasakan embusan napas Arya yang memburu. Ada getaran aneh dan membuat merinding ketika hal tersebut terjadi terulang kali.
Dyandra memilih untuk tetap pada posisinya tanpa mau membalik badan. "Bang, Dyandra harus pulang.
"Kenapa buru-buru, hmm?" respon Arya membuat Dyandra semakin menyiut nyalinya untuk berhadapan dengannya.
Dengan susah Dyandra menelan salivanya sendiri. Mencoba memberanikan diri untuk kuat dan mengatasi masalah tersebut. Dirinya harus bisa keluar dari saat itu.
"Saya minta maaf atas kejadian semalam. Saya sudah kelewat batas sama kamu," ujar Arya yang merasa bersalah.
"Tidak, tidak. Itu bukan salah Abang. Itu murni kesalahan Dyandra. Namun, Dyandra harus segera pulang," timpal Dyandra dengan nada bergetar.
Baik Arya maupun Dyandra, mereka terdiam satu sama lain. Perempuan itu hendak pergi, tetapi tangan Arya masih menahan pintunya.
"Apa kamu sengaja melakukannya, Dyandra." Itu sudah pasti karena sebelum melakukannya, Dyandra malah meminta maaf. Pertanyaannya, mengapa Dyandra melakukan hal tersebut.
Dyandra mengepalkan tangannya erat-erat. Dirinya tidak bisa kabur dari sana. Benar-benar malu. Itulah yang dirasakannya. Melakukan hal seperti itu saja langsung ketahuan kalau disengaja. Namun, dirinya tidak ada maksud yang lainnya.
"Maaf, Bang. Dyandra tahu Dyandra salah karena telah menggoda Abang," ujar Dyandra.
"Dyandra, yang ngomong sama kamu itu saya! Bukan pintunya!" tegas Arya.
Dyandra tetap terpaku di tempatnya. Dirinya lebih memilih dimarahi Arya daripada harus membalikkan badan dan berhadapan dengan laki-laki itu.
"Jadi kamu memang sengaja menggoda saya? Ya ampun, Dyandra. Kamu tahu apakan akib--"
"Iya, Bang, Dyandra tahu. Stop membahas hal itu." Dyandra sudah kesal dengan dipepet seperti itu sehingga dia refleks membalikkan tubuhnya.
Dyandra memalingkan wajahnya ketika tidak sengaja menatap mata Arya dan menaikkan nada bicara tadi. Namun, bagi Arya itu tidak masalah.
Arya memajukan diri satu langkah. Dengan cepat Dyandra berjalan menyerong supaya tubuhnya tidak menabrak pintu. Meskipun begitu, Arya tetap terus mendekati Dyandra dan Dyandra terus mundur menjauh.
Perempuan itu terus mundur untuk menjaga jarak dengan Arya. Berada dekat-dekat dengan laki-laki itu membuat jantungnya tidak aman. Sorot mata yang dia lihat pun juga membuatnya bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkan oleh laki-laki itu. Hingga pada akhirnya tubuh Dyandra menabrak sebuah meja yang membuatnya hampir terjatuh jika saja Arya tidak cepat tanggap melingkarkan tangannya di pinggang cewek itu untuk menjaga kestabilannya.
Alhasil Arya harus memajukan badannya untuk meraih tubuh Dyandra. Kini, jarak antara mereka berdua hanya beberapa centi saja. Mata mereka saling bertemu satu sama lain. Baik jantung Arya maupun Dyandra, berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Dyandra merasakan ada sesuatu di tubuh bagian bawahnya karena tubuh Arya bagian bawah sudah menghimpit tubuh bagian bawahnya. Hanya tubuh bagian atas mereka saja yang masih menyisakan jarak.
Demi apa pun, dalam hati Dyandra mengumpat. Arya itu adalah laki-laki yang masih sangat normal. Dirinya kini yang mendapatkan masalah akan keraguan sahabatnya itu karena dirinya sudah mendapatkan buktinya dengan nyata.
"Bang ...." Arya tidak menghiraukan perkataan Dyandra dan malah mengangkat tubuhnya sehingga membuat tubuhnya sejajar.
Tangan kanan Arya menahan kepala Dyandra membuat perempuan itu tidak bisa berpikir positif lagi. Dirinya takut kejadian semalam terulang kembali. Dia semakin merasa bersalah. Ketakutannya semakin besar. Kakinya tidak bisa digerakan meskipun dirinya ingin lari. Ditambah lagi tatapan Arya semakin dalam menyorot dirinya.
Kedua tangan Dyandra menahan dada Arya ketika laki-laki itu mendekatkan wajahnya dan memiringkan kepalanya. Jarak di antara mereka semakin menipis, Dyandra memejamkan matanya ketika bibir Arya hampir menempel di bibirnya.
Tiba-tiba ponsel Dyandra berbunyi, hal tersebut membuat Arya sedikit teralihkan dan langsung saja perempuan itu lari secepat mungkin untuk menghindari Arya. Tidak lupa pula dia menjawab panggilan dari seseorang yang dia namai "My 911".
Setelah selesai berbicara dengan sang penelepon, Dyandra bisa bernapas lega karena dirinya bisa melarikan diri dari Arya. Dia langsung mematikan ponselnya dan mengarahkan sang sopir taksi untuk ke alamat rumahnya di Semarang. Dia perlu menenangkan diri setelah apa yang terjadi. Mungkin, dirinya juga akan menghindar bertemu Arya, apalagi mampir ke rumah Kania.
Di sisi lain, Arya mengernyitkan dahi ketika dia tadi sempat melihat nama orang yang menelepon Dyandra. Namanya adalah "My 911" dengan emot love. Hal tersebut sedikit mengusik dirinya karena dia penasaran siapa orang yang menelepon jam dini hari seperti itu.
"Bang, lo ngapain di depan pintu kayak gitu?" Kania yang terbangun karena haus pun tersentak kaget melihat Arya yang berada di depan pintu.
"Apa Dyandra udah punya pacar?" Pertanyaan Arya tersebut pun langsung membuat Kania membulatkan mata sempurna.
"Kenapa Abang tanya kayak gitu? Jangan-jangan Abang suka sama Dyandra?!"
Arya memutar kedua bola matanya malas. "Ck. Dia keluar rumah buru-buru dan tanpa pamit, dia gak nyuri apa pun, 'kan, dari rumah ini? Siapa tahu dia tadi telepon sama pacarnya yang berkomplotan."
Kania tidak menyangka jika Arya akan mengatakan hal tersebut. "Astaga, Bang Arya! Dyandra gak mungkin nyuri sesuatu dari rumah ini!"
"Hmm ... kalau ada barang yang hilang, dia yang jadi tersangka utamanya." Setelah mengatakan hal tersebut, Arya kembali ke kamarnya. Sementara Kania, dia sungguh sudah salah berharap karena dirinya pikir kakaknya itu cemburu, ternyata hanya karena mencurigai Dyandra maling sesuatu.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
