
Bagian part yang gratis sudah selesai, ya.
Sisanya berbayar.
___Spoiler
“Ibu enggak mau nunda kelamaan lagi. Kalian berbahaya ditinggal berdua. Bisa-bisa cucu Ibu lahir kalian belum sah menikah.”
Bagus Rindu enggak lagi mengunyah porsi sarapannya. Kalau ada makanan di mulut, pasti dia sudah tersedak. Kenapa ucapan ibunya Bujang selalu tak terduga? Selalu buat jantungnya bekerja ekstra? Ditambah kalau ingat mengenai kejadian siang kemarin, Tuhan … Rindu ganti muka saja lah!
[57] Siapa melamar siapa
Suasana di rumah Bujang itu membuat Rindu betah berlama-lama sekadar duduk menikmati udara segara serta hijaunya daun di sekitaran area belakang. Kebun yang tertata rapi belum lagi di sekitarnya masih banyak ditanami padi dan tanah dipenuhi tumbuhan hijau lainnya. Berbeda kalau Rindu duduk di depan rumahnya. Selain motor, mobil, serta anak-anak yang bermain di tepian jalan saking tak ada tempat untuk bermain. Kalau di sini?
Rindu bisa melihat mereka tertawa bebas bergumul dengan lumpur atau juga berguling sekehendak hati, saking lebarnya area yang bisa dijadikan tempat bermain itu. dan yang paling ia senangi di rumah ini adalah area belakang. Begitu pintu dapur dibuka, sengaja dibuat tempat yang cukup lapang di mana ada dua kursi yang terbuat dari bambu. Biasa disebut bale serta meja dan diatapi agak menjorok ke luar bangunan rumah. Lantas pemandangan dari tempat ini tak jauh berbeda dari tempat di sekitaran rumah; area persawahan serta perkebunan.
Jarak satu rumah dengan rumah lainnya meski dijeda petak sawah, tapi bisa dibilang berdekatan.
“Di sini kamu rupanya,” tegur Bujang yang membuat perhatian Rindu teralih.
“Enak di sini.” Rindu kembali menyesap teh buatan Syarifah. Padahal merk yang dipakai juga sama seperti yang ada di rumah, tapi kenapa rasanya lebih enak, ya? Apa membuat teh ada resep khususnya? Kalau ada Rindu mau, lah!
“Memang enak. Sengaja Ibu buat bagian belakang seperti ini. Biasanya Ibu pelihara ayam atau bebek.”
“Enggak ada kandangnya?” Rindu heran sendiri jadinya. Karena tempat ini jauh lebih lapang.
“Aku suruh jual. Ibu kecapekan jadinya.”
“Padahal aku mau lihat anak ayam, lho.” Rindu cekikikan jadinya.
“Buat apa?”
“Ih, lucu tau warna warni. Ada ungu, kuning, hijau, merah.”
Yah lagi-lagi jawaban Rindu bikin Bujang sakit perut. Bicara dengan gadis yang sekarang menatapnya dengan kerjapan polos ini memang butuh kekuatan perut super. Takutnya diguncang dengan hal konyol seperti sekarang. “Mana ada anak ayam begitu, Rin, Rin.”
“Tapi kalau di dekat rumah yang jual begitu, Bae,” Rindu tak mau kalah. “Anak-anak kalau beli berwarna gitu, lho.”
“Itu diwarnain, Bee. Anak ayam aslinya enggak gitu. Tergantung jenisnya. Yang sering diberi warna itu ayam negeri. Kalau ayam kampung, ya, tergantung induknya.”
“Masa, sih?” Rindu mana mau cepat percaya sama Bujang. Trauma. Kadang kadar isengnya Bujang ini di atas rata-rata. Ia bahkan tak menyangka ternyata memang itu sifat asli pria yang kini duduk di sampingnya.
“Nanti Mang Ujang suruh bawain biar kamu percaya.”
Rindu manggut saja.
“Tadi makan siangnya enak, lho. Aku suka. Pintar masak rupanya.”
Gadis berambut pirang itu berdecak. Memainkan poninya sekilas lalu berkata, “Kamu itu sering banget underestimated aku, Bae. Dasar pacar enggak sopan. Minta maaf dulu.”
Bujang terkekeh. “Bukan underestimated, tapi enggak sangka aja kamu benar bisa masak. Enak pula. Kaget lah aku. bahkan Ibu aja muji terus masakan kamu.”
Bibir Rindu masih merengut.
“Maaf, ya,” Dirangkulnya perlahan bahu Rindu. Dijatuhkan satu kecup lembut tepat di sisi kepalanya. “Lain kali aku enggak gitu, Bee.”
“Eh, kemarin kamu mau cerita siapa wanita yang datang sore-sore itu. Sampai sekarang enggak jadi.”
“Bukan enggak jadi. Gimana aku mau cerita kalau kamunya sibuk terus sama Ibu?”
Rindu nyengir. “Sekarang aku enggak sibuk.” Ia pun melepas rangkulan Bujang. “Ayo, cerita.”
“Namanya Ida. Anaknya kalau enggak salah aku ingat dari cerita Ibu dua atau tiga gitu.” Bujang menyeringai. “Mantan pacar aku dulu.”
Rindu mengangguk saja. “Oh, sudah punya anak, toh. Aku pikir masih single. Berapa lama kalau sama si Ida ini.”
“Berapa, ya? Bisa dibilang paling lama di antara yang lainnya. sejak lulus SMA aku sama dia. Sekitar lima tahun.”
“Lho? Tapi sekarang dia sudah nikah? Berarti … kamu enggak mau ngajak dia nikah atau kamu ditinggal nikah?”
“Kamu mau menertawakan bagian yang mana?” tanya Bujang dengan cengiran lebar. “Aku tau otak kecil kamu pasti mempersiapkan sesuatu untuk bisa membuat aku semakin menggenaskan.”
“Oh, enggak, Bae. Tuh, kamu sudah nuduh aku lagi?” Ini Rindu lagi nahan ketawa, lho, Pemirsah. Meledek Bujang bagi Rindu sekarang adalah kesenangan yang hakiki. Apalagi sampai bisa membuatnya menghela berkali-kali lantas sang pria pun berkata, “Sabarkan luas aku ya Tuhan. Pacar aku kelewat nyebelin ternyata.”
Sesama orang menyebalkan dilarang saling mendahului, kan?
“Aslinya kisah yang mau aku ceritakan agak mellow, tapi kenapa tiap sama kamu jatuhnya lawak, sih, Bee?” Bujang mengacak rambut Rindu dengan gemasnya.
“Kalau mellow berarti masih ingat sosoknya Ida dong?”
“Ya enggak lah.” Bujang menjawil ujung dagu Rindu. “Untuk apa aku ingat dia? Macam enggak ada yang bisa kupikirkan.”
“Misalnya?” Harap Rindu itu … Bujang bilang, mikirin kamu.
“Slip setoran yang salah posting atau kurang tanda tangan.”
Gagal ternyata! Bujang memang pria yang kadar pekanya jauh banget! Hal ini membuat Rindu mencebik kesal. “Pak, ini di rumah. Bukan kantor, weilah!”
Bujang ngakak!
“Sudah enggak ada lagi yang aku ingat dari sosok Ida. Dibilang sakit hati, aku sakit hati banget. Lagi berjuang malah ditinggal nikah,” kata Bujang sembari melirik pada Rindu yang tampak menyimak dengan baik ucapannya. “Tapi aku pikir, kenapa meski aku sakit hati? Bodoh banget ada tahun di hidup aku di mana masih mikirin dia. Dulu tapinya. Di awal pernikahannya dia. Aku akui, aku sedih dan terpuruk banget.”
“Itu juga kah yang bikin kamu jaga jarak sama wanita lain?”
“Bisa dibilang gitu.” Bujang tersenyum tipis. “Aku pernah bodoh, kok, soal perasaan. Makanya enggak mau terulang lagi.”
“Dalem banget kayaknya cinta kamu dulu.”
“Mungkin karena enggak memikirkan hal lain selain kerja dan Ida. Makanya saat dia memutuskan menikah dengan pria lain, yang jauh lebih hebat ketimbang aku yang dulu, rasa sakitnya double.”
Rindu memilih diam.
“Tapi itu sudah berlalu belasan tahun lalu.” Bujang sedikit menggeser duduknya. “Coba kamu sandar di sini, Bee. Aku mau rebahan.”
“Sandar gimana?” Rindu heran jadinya. “Enggak ada bantal, Bae, buat kamu rebahan. Sakit, lho, nanti.”
“Ada paha kamu. Berdayakan, lah.”
Bujang benar-benar merealisasikan ucapannya. Merebahkan diri dengan paha Rindu sebagai alas. Enak betul hidupnya Bujang sekarang? Memangnya Rindu enggak pegal? Ngawur sekali pria ini kalau bertingkah! Tapi sialannya, Rindu tak bisa menolak. Saat kepala itu tepat ada di paha Rindu, justru tangannya perlahan memberi usapan lembut di sana.
“Kamu enggak perlu khawatir mengenai perasaan aku di masa lalu, Bee,” kata Bujang sembari memejam. Usapan yang ia terima dari Rindu memang membuai. Rasanya tenang dan nyaman. Bisa Bujang rasakan juga kelembutan jemari Rindu yang memijat pelan di kepalanya. Ah … begini kah rasanya dimanjakan seorang kekasih? Duh, seharusnya Bujang ingat umur. Malu! Sudah tua tingkahnya malah manja! Tapi mau bagaimana lagi kalau bertingkah di depan Rindu selalu ia temui rasa yang jauh lebih menenangkan meski di saat yang bersamaan juga … mendebarkan.
“Sudah enggak ada lagi Ida di hati aku. Sama sekali. Kalau dibilang aku enggak nikah karena belum bisa move on dari dia, salah banget.” Sebelah tangan Bujang sengaja mengambil dan menggenggam tangan Rindu. “Aku merasa hanya harus menunggu meski enggak tau apa yang aku tunggu.” Satu kecup ringan Bujang beri pada punggung tangan itu. “Ternyata kedatangan kamu yang aku tunggu selama ini.”
“Lain, ya, kalau punya pacar usianya terlalu jauh. Enggak bisa ngimbangi kata-katanya,” cibir Rindu. “Bisa biasa aja enggak, sih, kata-katanya? Jangan buat aku merasa spesial banget gitu.”
“Lho? Memang begitu adanya, Bee.” Bujang sedikit menggeser posisi kepalanya. Yang semula sedikit memunggungi Rindu, kali ini benar-benar berhadapan dengan gadis yang kini menatapnya. “Apa yang aku ungkap mengenai sosok kamu, ya … memang seperti itu. Aku sendiri heran, kenapa sama kamu berbeda. Beberapa perempuan yang pernah dekat sama aku dulu, enggak bisa meyakinkan aku untuk dibawa ke depan Ibu. Sementara kamu? Enggak sampai hitungan bulan aku yakin kalau kamu memang untuk aku, Bee.”
Rindu mengerucut sebal. Kalau dalam mode manis seperti ini, Bujang tak terkalahkan pokoknya. Semua ucapannya membuat jantung Rindu enggak dalam kondisi baik-baik saja. Belum lagi rasa panas yang menjalari wajahnya. duh … kalau dirinya bercermin pasti ronanya kelihatan sekali. Sepertinya Rindu harus banyak searching kata romantis untuk membalas semua ucapan Bujang padanya.
Harus!
Tak mau kalah pokoknya.
“Usap-usap lagi, Bee. Aku jadinya pengin tidur. Enggak bisa tidur peluk kamu enggak jadi soal. Tidur di pangkuan kamu aja.”
“Ngaco, ih!” Rindu tergelak. Bujang semakin menarik tangan Rindu dan menaruhnya di atas dada. Melingkari jemari itu dengan jemarinya. Dibiarkan Rindu mengusap kembali kepalanya. Semilir angin yang menemani mereka, semakin membuat suasana semakin nyaman dan sayang untuk dilewatkan.
Bujang benar-benar ingin tertidur jadinya.
“Makanya ayo nikah, Bae. Biar kamu bisa tidur peluk aku. Capek, ih, ditindihin pahanya gini.”
Ini … Bujang mendengar Rindu bicara kenapa tingkah ngaconya ribuan persen, ya?
“Dengar enggak, sih, aku ngomong?” Rindu berdecak kesal jadinya.
Entah Bujang yang baru menyadari kalau ucapan tadi itu benar-benar Rindu yang katakan, atau memang pria itu ketiduran. Rindu tak paham. Yang ia tau, Bujang langsung bangun dari rebahnya. Menatap Rindu dengan sorot tak percaya.
“Coba bilang lagi.”
“Enggak ada siaran ulang.” Rindu melipat tangannya di dada. Wajahnya segera ia palingkan ke arah lain.
“Aku dengar dengan jelas, kok.” Bujang sedikit menarik dagu Rindu agar gadis itu mau kembali menatapnya. “Harusnya kata-kata itu milik aku, Bee.”
“Lama,” dengkus Rindu. Tapi jangan tanya bagaimana rasa yang Rindu punya, ya! Malu banget! Lagian kenapa bibirnya cepat sekali berkata itu, sih? Macam enggak tau kapan dikeluarkan, kapan diucapkan di dalam hati saja?
“Lamanya aku bukan tanpa perhitungan, Bee. Aku mau kamu nyaman sama Ibu dulu. Aku juga mau Ibu restui kita sebelum melangkah lebih jauh. Dan aku juga harus pastikan Mami kamu rela anaknya aku bawa nanti.”
Rindu menunduk jadinya. Sungguh, ia menyesal sudah berkata seperti tadi! lagian kenapa bisa dan dari mana asalnya, sih, ucapan se-ngawur itu? Apa karena membawa nama Ida dalam topik pembicaraan kali ini? Yang membuat Rindu tak suka karena Bujang bisa sesantai itu berkisah?
Etapi kalau Bujang bertampang sedih atau tatapannya jutru menerawang jauh ke depan, bukannya isi kepala kekasihnya itu masih penuh dengan Ida, ya? Sementara tadi? Bujang santai sekali bercerita mengenai masa lalunya. Itu artinya … memang Ida sudah tak ada lagi di hati Bujang.
Begitu, kan?
Lantas kenapa Rindu serampangan bicara? Tuhan! Tak cukup kah ia sering diperingati kalau tindakannya terlalu impulsive? Macam kali ini! tolong lah siapa pun yang bisa meminjamkan wajahnya untuk Rindu. Sekali saja bergantian biar dirinya tak malu-malu amat!
“Tapi aku suka ucapan kamu tadi.” Bujang mendekat. Dibawanya tubuh gadis itu masuk dalam pelukan. Mendekapnya lebih erat dari biasanya serta berbisik, “Ayo, kita nikah.”
“Memang Ibu kasih restu, Bae?”
“Kasih dong. Malah kalau bisa mungkin aku ini ditukar tambah.”
“Hah?”
“Iya.” Bujang tertawa. “Katanya pengin punya anak seperti kamu.”
“Ngaco!” Rindu sedikit memukul dada Bujang. Pelan. Enggak akan menciderai Bujang, kok. Malah mungkin Bujang inginnya dipukuli gemas seperti ini terus oleh Rindu.
“Kalau Mami gimana? Memangnya kasih restu?” Rindu baru menyadari satu hal. Ibunya. Maka ia pun sedikit mengurai peluk yang Bujang beri.
“Kalau beliau enggak restuin kita, kamu enggak boleh ikut aku pulang, Bee.” Gemas jadinya, kali ini sasaran Bujang adalah hidung Rindu yang mancung. “Masa gitu aja enggak paham?”
“Aku enggak bisa napas, Bae!” pekik Rindu tak terima di mana pekikan itu dibungkam Bujang dengan satu lumatan lembut. Teramat lembut sampai membuat Rindu tanpa sadar mengalungkan tangannya pada Bujang. Juga entah bagaimana ceritanya di mana Rindu ada di atas pangkuan Bujang. Ia sendiri tak tau kapan Bujang memosisikan dirinya sedemikian intim?
Yang jelas, ini semua karena cium Bujang yang terlalu sukar untuk Rindu jabarkan. Dan Rindu sendiri mulai bisa membalas apa yang Bujang lakukan padanya. Tak terburu-buru. Semuanya dilakukan dengan sangat hati-hati dan perlahan. Yang mana justru membuat Bujang juga Rindu makin terlena.
“Ya ampun dua anak ini!” Syarifah datang dan cukup terkejut karena Bujang sedikit keterlaluan.
Jelas saja mereka berdua saling melepaskan diri! Rindu rasanya sudah enggak punya muka lagi melihat Syarifah. Yang ada ia pilih sembunyikan saja di balik dada Bujang.
“Ibu kira kalian datang kondangan malah asyik di sini.” Syarifah duduk di samping Bujang. Dicubitnya pinggang sang putra dengan cubitan paling kecil.
“Bu, sakit. Serius ini sakit.”
“Jangan macam-macam! Nikahi dulu baru terserah mau gimana kalian!”
“Ya sudah besok Ibu ikut kami pulang aja.” Bujang masih meringis sakit tapi tak bisa melepaskan Rindu begitu saja. Gadis ini macam koala yang bersembunyi di balik tubuhnya! Pastinya ia malu karena apa yang mereka lakukan barusan dan dipergoki begitu saja!
Tuhan!
Kenapa, sih, biarkan Syarifah muncul di saat tak tepat?
“Ibu ikut ke Jakarta, lamarkan Rindu secara resmi buat Bujang,” kata Bujang masih dengan ringisannya. “Sakit, Bu. Ampun ini.”
“Benar?” Syarifah melepas cubitannya. “Kamu serius bicara tadi?”
“Iya.”
Dalam sekali pelintir di mana Bujang mengaduh sakit, barulah Syarifah melepaskan. “Jangan macam-macam sama Rindu!”
“Iya, Bu.” Duh, Bujang ini macam anak kecil saja!
“Rindu, sini Ibu mau bicara.”
“Jangan diomelin Rindunya. Aku yang salah, Bu.” Bujang belum mau melepaskan Rindu begitu saja. “Dia takut kena marah sama Ibu ini makanya enggak mau lepasin aku.”
“Siapa juga mau marahin anak Ibu. Kamu yang harusnya Ibu marahin, Jang!”
Astaga! Jadi anak Bu Syarifah ini … Bujang atau Rindu, ya?
[58] Bertemu Ida
Sebenarnya jarak tempuh dari rumah Bujang menuju tempat terselenggaranya pesta khitanan putra Ida ini tak terlalu jauh. Hanya saja motor yang kemarin Rindu gunakan berkeliling bersama Syarifah dipakai. Kalau harus jalan kaki, Syarifah ngomel. Katanya, “Punya mobil untuk apa kalau enggak digunakan?”
Maha benar Syarifah dan segala ucapannya.
Apa Rindu diceramahi? Tentu saja tidak. Yang ada, justru wanita paruh baya itu mendumel sepanjang kereta jurusan Bogor-Tanah Abang karena kelakuan putranya. Dia bilang, “Mami kamu sudah berpesan jagain Rindu dengan baik. Malah diajak silat bibir. Kalau sudah resmi, sih, terserah lah kalian mau seperti apa, Ibu enggak larang. Malah kalau bisa setiap hari saja bermesraan biar cepat jadi anak.”
Rindu habis sudah kosa kata yang akan dipergunakan untuk sedikit menyanggah. Ucapan Syarifah selalu tak terduga.
“Tapi yang dibilang Bujang itu benar, Rin?” tanya Syarifah. Kali ini dengan nada penuh harap. Sebelum ia benar-benar masuk ke dalam kamarnya.
“Ehm … tadi Aa’ enggak bilang mau ngelamar langsung. Cuma bilang ngajak nikah aja.”
“Tadi kamu mau, kan, Rin?” Binar di mata Syarifah mengalahkan lampu LED yang di iklan itu. Yang menyala paling terang seantero rumah. Rindu tertawa aja lah. Bingung harus merespon apa.
“Nanti kita bicarain mengenai ke Jakarta. Tapi sebelumnya, kita kondangan dulu. Nanti keburu selesai acaranya. Ibu malas kalau harus ke rumahnya. Enggak enak. Kenal mereka sudah lama juga.”
“Kondangan ke mana, Bu?”
“Bujang enggak ngasih tau?”
Rindu menggeleng lah.
“Kalau enggak ada niat memang begitu, tuh, si Bujang. Enggak bakalan mau jalan kalau enggak dipaksa,” dumel Syarifah. “Ke tempatnya Ida. Anaknya sunat. Nanti kamu pilihkan baju untuk Bujang, ya. Tau, kan, tumpukan pakaiannya di kamarnya itu?”
“Iya, Bu.”
“Kamu juga siap-siap sana. Biar berangkat bareng aja.”
Rindu meringis saja. Kepalanya tengah berpikir, isi dalam kopernya apa ada baju yang sesuai untuk ia kenakan mendatangi pesta Ida? Ia pun bergegas masuk ke dalam kamar Bujang. Membongkar isi kopernya dengan cepat. lalu ia temukan blouse soft blue yang sebenarnya akan ia gunakan saat pulang nanti. Rasanya blouse ini cukup cocok untuk datang ke sana.
Perkara dipadu dengan apa dan sepatu yang sesuai, Rindu tau harus apa.
Sementara untuk Bujang, ia pun mencarikan warna yang mirip dengan blouse miliknya. Toh, Bujang tak akan keberatan menggunakan yang hampir sama. Selama ini juga baik jaket serta helm yang mereka kenakan kembaran. Masa iya hanya perkara warna pakaian saja Bujang protes?
“Rin,” panggil Bujang sembari mengetuk pintu kamarnya. Pria itu tau, ada Rindu di dalam karena sang ibu pasti meminta RIndu untuk bersiap. Ia tak bisa menolak jadinya, kan? Padahal rasa malas kalau harus berkumpul dengan banyak warga kampung di sekitar rumahnya. Hanya saja karena sang ibu lah ia rasa, harus sesekali menyapa tetangga.
Bukan apa.
Hampir kebanyakan dari mereka selalu bertanya hal yang sama. Selain kapan punya istri, juga pekerjaan yang Bujang lakoni. Serta apa pun yang ia bisa dapatkan. Entah rasa ingin tau semata atau membalas ucapan Bujang tak ingin kalah? Padahal ia tau, untuk mendapatkan apa yang mereka pamerkan, menjual tanah adalah jalan keluarnya. Sementara Bujang?
Menabung dulu sembari mengumpulkan asset lainnya.
Belum lagi statusnya yang masih melajang di saat hampir kebanyakan teman sebayanya sudah menggandeng minimal satu anak. Dirinya? Menggandeng sang ibu. Juga dikatakan kalau ia belum bisa melupakan Ida. Astaga! Pemikiran dari mana coba? Ngapain mikirin wanita yang sudah bersuami? Sudah jelas tak akan mungkin didapatkan. Lebih baik Bujang mencari orang lain yang bisa menerima perjuangannya untuk menata masa depan. Ketimbang harus selalu menerima perbandingan?
Meski tak semudah itu dikatakan, tapi Bujang berhasil melewati semua itu dan terbilang sukses dalam hal karier.
Perkara perempuan? Sekarang sudah bisa ia mengangkat topi tinggi-tinggi. Ada Rindu yang membuatnya tak ragu melangkah. Bukan ragu, tapi Bujang takut ditinggal pergi Rindu begitu saja. Mengingat gadis ini terlalu impulsive bertingkah. Apa yang ia katakan, biasanya itu lah yang dipikirkan.
Seperti tadi.
Apa katanya? Menikah saja sekarang? Tuhan! Kalau ingat, Bujang maunya senyum terus. Sampai giginya kering! Itu artinya Rindu memang sudah mau menerimanya sebagai calon suami, kan? Tujuannya tercapai, kan? Tak ia sangka saja waktunya lebih cepat dari perkiraannya. Niatnya juga ia mau melamar ditempat yang cukup romantis. Karena mendapat protes dari Rindu di mobil kemarin. Ia juga berpikir, kok.
Tapi kalau ajakan nikahnya berasal dari Rindu? Yang dikatakan persis di tempat yang tak terduga? Yang salah jadinya siapa?
Sudah lah. Rindu memang harus segera ia nikahi! Jangan sampai jatuh ke tangan orang lain! Bujang tak rela. Kalau sampai hal itu terjadi, Bujang rusak semuanya sekalian. Mengacak akad nikah Rindu dengan orang lain kalau perlu. Terserah nantinya berurusan dengan pihak berwajib atau dokter kejiwaan. Bujang hanya mau Rindu. Atau paling ekstrim sekalian menculik Rindu dan ajak kawin lari!
Titik.
“Rin,” panggil Bujang sekali lagi. Setelah berhasil menyingkirkan segala pemikiran anehnya barusan.
“Sabar, Aa’,” dumelnya dari dalam. “Tanggung ini rambutnya.”
“Iya.” Bujang terkekeh. “Baju Aa’ sudah disiapkan?”
Tak berapa lama RIndu keluar dari kamar. Rambut pirangnya digerai indah menggunakan semat kecil agar tak terlalu berantakan. Poninya tersisir rapi, make up yang dikenakan selalu bisa membuat Bujang merasa tangan itu memang pintar sekali berhias, belum lagi kemeja yang dikenakan, begitu pas memeluk tubuhnya yang memang ramping.
“Di meja sudah aku siapkan.”
“Terima kasih, Bee.” Andai ia tak ingat rasa sakit di pinggangnya tadi, mungkin sedikit merangkul dan memberi kecup singkat di pipi RIndu tak jadi soal. Tapi tidak. Berdekatan dengan Rindu penuh risiko. Jadi lah ia bergegas saja masuk ke dalam kamarnya. Berganti pakaian yang sudah dipersiapkan Rindu sebelumnya.
Sementara Rindu memilih memainkan ponselnya. Sembari menunggu Syarifah keluar kamar.
“Lho? Kamu cepat amat dandan?” Syarifah tampak terkejut tapi matanya menatap kagum pada sosok Rindu. “Cantiknya mantu Ibu.”
“Sopan enggak, Bu?” tanya Rindu sembari berdiri. “Aku enggak bawa baju khusus karena enggak tau mau ada acara seperti ini.”
Syarifah berdecak. “Bujang kalau bilang enggak mau datang, pasti enggak bakalan datang.” Wanita paruh baya itu pun sedikit memutar tubuh Rindu. “Sopan, kok. Cantik dipakai kamu. Ah, kapan kamu jelek, ya?’ Ia pun tertawa.
“Kenapa enggak mau datang? Karena Ida mantannya?” tanya Rindu dengan spontan. Tak terlalu ia pedulikan pujian barusan.
“Bukan. Biasanya kalau ada acara di warga sini pada ngomongin Bujang kapan nikah, lah. Kerja terus, lah. Sering juga menyudutkan mengenai hubungan mereka dulu. Padahal Bujang dengan suaminya Ida juga enggak ada masalah. Biasa saja. Buat suasana enggak enak jadinya. Malas kali dia dengar dan kumpul jadinya.”
“Payah,” cebik Rindu. “Harusnya dibalas ucapan begitu biar mingkem mulutnya.”
Syarifah tergelak. “Mana mau Bujang gitu, Rin, Rin.”
Rindu nyengir saja, sembari berpikir, apa perlu dirinya yang bicara? Belum juga ia menggenapi rencananya, Bujang keluar kamar. Kemeja birunya dikenakan begitu pas dengan tubuh Bujang. Seperti biasa. tampilan Bujang mengenakan kemeja adalah favorit Rindu. Apalagi dibalut setelan serta dasi. Rasanya Rindu mau melempar diri memeluk pria itu. Tapi mana bisa.
Sebelumnya tingkat ketampanan Bujang itu tertutup dengan tingkahnya yang menyebalkan. Bahkan rasanya Rindu mau menyemprot banyak cairan peluntur tingkah yang membuat Rindu naik darah. Awalnya. Tapi makin ke sini, Rindu mulai memahami kalau Bujang memiliki maksud tersendiri dari tingkahnya ini.
“Anak Ibu ganteng amat, ya, Rin?”
Rindu tertawa jadinya. “Yang bilang Pak Bujang jelek itu enggak ada, Bu, di kantor. Dia favoritnya para wanita di BBRI. Sayangnya dia nyebelin makanya males berurusan sama dia.”
Syarifah menggeleng saja dengan segala ucapan Rindu. Sementara Bujang tak terlalu memedulikannya. Memilih untuk memanasi mesin mobil sebelum digunakan.
“Neng pakai sandal itu?” tanya Syarifah saat Rindu mengambil selop miliknya. Tak mungkin ia gunakan sepatu yang kemarin terkena noda lumpur.
“Iya. Pas, kok, sama bajunya.” Rindu mengerjap bingung.
Bujang melirik ke arah sepatu Rindu yang ada di rak. Memang terlihat kotor makanya Rindu tak mau gunakan. Segera ia ambil tisu pembersih yang ada di mobil.
“Jangan pakai yang itu,” kata Bujang sembari mengambil sepatu putih toscanya. Akan tampak santai dan pas karena pemilihan pakaian Rindu juga casual. Tak cocok kalau menggunakan selop yang Rindu sudah kenakan.
“Kenapa?” Rindu jadi bertanya-tanya.
“Duduk,” perintah Bujang.
Rindu mau tak mau duduk di kursi yang tersedia. Memperhatikan bagaimana Bujang membersihkan kotoran di ujung sepatunya dengan telaten. Lantas memasangkannya di kaki Rindu. Mengikatkan tali simpul serta memastikan gadis itu nyaman.
“Nah, begitu jadinya cantik.” Bujang tersenyum tipis. Menatap Rindu yang sama-sama mengukir senyuman di wajah. Kalau tak ingat ada ibunya yang sewaktu-waktu muncul dan membuat memarahinya lagi, sudah pasti sedikit mencuri cium bibir yang dipulas warna pink lembut ini akan ia lakoni.
Ehm … kenapa Bujang jadi selalu memikirkan bibir Rindu, ya? Seperti kata iklan; habis enak, sih!
“Terima kasih, Aa’.”
Mereka tak sadar, ada seseorang yang mengabadikan moment sederhana tapi penuh makna, di mana ia tau cinta yang ada di antara keduanya sama-sama saling mengikat. Juga berat.
***
Aula tempat diselenggarakannya pesta itu cukup mewah. Rindu baru tau kalau suami Ida ini memegang jabatan cukup penting di wilayah tempat tinggal mereka. Pantas lah kalau seperti ini. Pesta ini tak akan sesederhana kelihatannya. Selain karena membawa nama baik orang tua, pastinya juga sebagai ajang pamer. Itu juga karena Syarifah bicara terus menerus id dalam mobil. Bukan untuk memuji lebih tepatnya, tapi bernada penuh sindir.
Begitu turun dari mobil dan mulai berjalan memasuki aula, banyak pasang mata mengarah pada mereka. Terutama Rindu. Termasuk di dalamnya, kasak kusuk mengenai kedatangan Bujang yang tak lagi sendiri. Dan benar saja. Hampir kebanyakan memberondong Bujang serta Syafirah dengan pertanyaan yang sama; “Siapa Neng Geulis yang digandeng Bujang?”
Tak perlu Rindu bersuara karena Bujang sudah katakan lebih dulu. “Calon istri.”
Andai saja senyum-senyum di aula ini diperbolehkan pasti sudah sejak tadi Rindu lakukan.
Dan kali ini langkah mereka terhenti begitu tepat berdiri tak jauh dari sang pemilik pesta; Ida dan suaminya. Begitu melihat kehadiran Bujang, Ida segera menghampiri mereka. Sementara pria yang Rindu yakini suami dari Ida, membiarkan istrinya beranjak dari sisinya. Rindu menyeringai tipis melihat ini semua.
“Abang datang?” tanyanya dengan senyum ramah. Tadinya ia melirik ke arah gadis yang ada di sisi sang pria, namun ia tak terlalu memedulikan sekarang. Meski tau namanya siapa, tapi ia benar-benar hanya ingin bicara dengan Bujang. Sayangnya sang gadis tak mau menyingkir barang sejenak.
Bahkan saat kunjungannya kemarin sore, Ida bisa melihat Bujang tak terlalu memedulikan kedatangannya. Bujang perkenalkan gadis itu sebagai calon istrinya. Setelah itu? Mana ada mereka bicara! Justru pria itu asyik bicara dengan sang gadis entah apa yang menjadi topik pembicaraan. Lantas mereka izin undur diri ke samping rumah hanya untuk menunjukkan bunga matahari?
Tuhan! Gadis itu ternyata membuat Ida tak bisa sedikit saja meminta waktu yang Bujang punya. Padahal sejak lama ia tunggu kepulangan Bujang yang jarang sekali ini. Ada hal yang ingin ia sampaikan dan itu sudah lama sekali dipendam. Jangan sampai kesempatan ini tak lagi ada. Pikirnya begitu.
Dan sekarang, Ida tak peduli kalau harus merendahkan diri. Ia juga menyadari banyak tatapan mata mengarah padanya terutama orang tua serta suaminya. Ia tak tahan lagi.
“Iya,” sahut Bujang singkat.
“Boleh aku bicara sama Abang?”
“Bicara saja.”
“Berdua.”
Rindu tersenyum simpul. Tangan yang semula digenggam Bujang, ia lepaskan. Meski Bujang agak heran dengan tindakan sang gadis tapi kemudian sudut bibirnya tertarik lantaran tangannya digamit mesra oleh Rindu. Seraya setengah bersandar gadis itu padanya. “Bicara aja, ehm … aku panggilnya apa, A’? Teteh? Mbak? Kakak? atau Tante?”
“Teteh kalau di sini untuk panggilan seorang kakak perempuan.” Bujang tau nada suara Rindu berubah. Lembut dan manis tapi mengandung racun level tinggi.
“Sayangnya Bu Ida ini bukan kakak aku, A’. Bicaranya sampai harus banget berdua? Suaminya enggak diajaK? Atau suaminya saya yang temani? Gimana?”
Mata Ida terbeliak. “Enggak sopan bicara begitu.”
“Lebih enggak sopan lagi, Ibu. Kan, sudah jelas punya suami. Dibawa suaminya. Bicara dengan yang bukan muhrim itu mesti pakai pendamping, lho. Atau minimal ada orang lain biar enggak salah paham. Jelas saya ada di sini biar enggak salah paham. Malah saya mau diusir. Gimana atuh, Bu?” Rindu terkekeh.
Apa yang Rindu katakan memang benar, sih. Tak bisa disanggah juga oleh Bujang. Ternyata lucu juga melihat Rindu bicara demikian enteng tapi Bujang menyadari, kata-kata itu setajam silet yang melukai lawan bicaranya. Bisa Bujang lihat juga, Ida yang tak nyaman mendengar ucapan Rindu barusan.
“Tapi enggak apa, deh. Bicara aja. Menu di booth itu enggak enggak? Kalau enggak enak, aku enggak mau kasih amplop, lho.” Rindu melepas Bujang perlahan. Di mana ucapan barusan juga membuat Ida jauh lebih mendidih ketimbang sebelumnya.
Benar kah ini calon istri Bujang yang ramai orang bicarakan? Kenapa nada dan sikapnya tak sopan? Padahal kabar yang sampai ke telinganya, calon istri Bujang ini ramah, sopan, santun, serta cantik. untuk beberapa hal terutama cantik, Ida setuju. Kedatangan gadis ini membuat banyak pasang mata mengarah padanya. Selain karena penasaran ingin tau seperti apa calon istri Bujang. Selebihnya? Ida tak setuju. Di mata Ida, Rindu ini perempuan tak punya sopan.
Dan Bujang terlihat sama sekali tak membantah atau menasihati? Astaga!
“Aa’ bicara aja dengan Bu Ida. Aku enggak masalah. Tapi ingat, aku letakkan kepercayaan ini di sini.” Rindu menepuk dadaa Bujang pelan. Sedikit mendongak hanya demi menatap Bujang yang sudah lebih dulu memperhatikannya. “Jangan dirusak.” Juga bagian yang Rindu suka dari tindakannya kali ini; Satu kecup singkat di pipi sang pria. “Lima menit cukup,” bisiknya tepat di telinga Bujang.
[59] Saya hanya milik Rindu
“Saya enggak punya banyak waktu, Ida,” kata Bujang sembari melirik jam tangannya. Matanya juga sejak tadi berkeliling mencari keberadaan Rindu. Di booth makanan yang tadi ditunjuk oleh sang gadis, sosok itu tak ada di sana. “Ke mana Rindu?” gumamnya pelan.
Ida memejam kuat. Bujang selalu membuat batas yang tinggi sekali setiap kali ia berusaha bicara. Panggilan serta caranya bertutur saja jauh lebih kaku. Tak seperti dulu yang mesra dan membuat Ida susah lupa bagaimana mereka berdua menjalin kisah asmara.
“Sebenarnya banyak yang mau aku bicarakan, Abang.” Tak jadi soal kalau Bujang seperti itu. Ida harus menahan diri. Ia yakin, Bujangnya akan kembali. Ida sendiri bingung harus memulai dari mana karena selain singkatnya waktu, ia juga tau, ini bukan tempat yang pas untuk bicara banyak. “Atau besok? Biar lebih nyaman bicara?”
“Yang mau bicara itu kamu. Bukan saya. Saya enggak ada kepentingan lain selain datang ke sini memenuhi undangan kamu.” Bujang menghela pelan. “Saya rasa memang enggak ada yang meski dibicarakan, kan?” Ia pun menepuk pelan pahanya. Merapikan kain celana yang ia gunakan. “Saya permisi dulu. Selamat atas aca—“
“Aku mau cerai, Abang.”
Bujang menghentikan langkah, menoleh sembari menatap Ida dengan herannya. “Cerai?”
“Iya.” Ida pun lantas berdiri. Menyamakannya posisi dengan Bujang. Meski tak bisa mendekat, tapi setidaknya ia bisa memandangi sosok pria yang tak bisa ia singkirkan dengan mudah dari hatinya. Cinta yang ia punya memang hanya untuk Bujang semata.
Ia selalu menghargai apa yang Bujang lakukan untuknya. Menjaga hatinya meski banyak yang meragukan mereka akan berhasil menikah. Mengingat keluarga Ida yang selalu mengukur dengan materi saja. Dan benar. Hubungan mereka kandas begitu saja padahal ia masih ingat betul penerimaan ayah dan ibunya perkara Bujang. Bukan hanya sang pria yang patah hati, tapi juga Ida.
Meski berulang kali mencoba untuk jatuh cinta pada suaminya, Ardi Pranjaya, tapi tetap saja tak bisa. Yang bisa ia lakukan hanya menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri semata.
“Jangan berkata yang aneh, Ida.” Bujang memperingati. “Saya tau Ardi.”
“Apa yang aneh, Abang?” Ida mendelik tak percaya. “Aku sudah coba untuk mencintai Kang Ardi tapi enggak bisa. Aku memberanikan diri mengambil keputusan ini karena enggak tahan dengan semua perlakuan Ardi, Abang!” Andai menjerit di sini sebagai bentuk frustrasinya bisa dilakukan, Ida yakin sejak tadi nada bicaranya sudah berubah.
“Itu sudah ranah personal, Ida. Kamu mau bercerai, silakan. Kamu punya masalah dengan Ardi, mau kamu selesaikan atau enggak, enggak ada sangkut pautnya dengan saya.”
“Ada,” tukas Ida dengan cepatnya. “Justru aku menguatkan diri karena Abang.”
“Saya?”
“Abang sampai detik ini juga belum punya pasangan, kan? Neng yakin kalau Abang masih cinta sama Neng, kan? Enggak gampang cinta kita itu dilupakan. Iya, kan, Bang? Tunggu Neng, Abang, sampai semuanya selesai.”
Entah kenapa justru Bujang tertawa jadinya. Sampai membuat Ida menatapnya dengan keheranan. “Abang … menertawakan keputusan, Neng?”
“Seharusnya kamu malu bicara ini, Ida.”
“Malu?” Ida mengerjap pelan.
“Saya sudah punya pasangan meski belum resmi menikah. Lamanya saya enggak punya pasangan bukan karena masa lalu saya bersama kamu, Ida.” Bujang menyeringai. “Tapi saya memantaskan diri. Begitu sosok yang berhasil menguasai ini,” Ia tunjuk kepalanya pelan. “Serta ini,” Pun dadanya. “Datang di hidup saya, setidaknya gadis itu dan keluarganya enggak meremehkan saya hanya karena materi.” Bujang menghela pelan.
“Saya tau ini terdengar kejam di telinga kamu, tapi rasanya menyakitkan dibuat perbandingan hanya karena saya dari keluarga biasa saja. Tapi saya ini enggak tinggal diam, Ida. Saya berjuang. Sayangnya saya dipandang sebelah mata. Akan jadi apa saya dan kamu, andai kita bersama. Baik di masa lalu, atau masa depan yang kamu khayalkan itu?”
Ida mengerjap pelan. Matanya berkaca-kaca.
“Lebih baik kamu singkirkan pemikiran bercerai dengan suamimu. Juga ingin kembali menjalin hubungan sama saya. Ardi itu baik, saya tau. Rasanya sosok Ardi ini untuk bertindak kasar adalah kemustahilan. Pikirkan anak-anak saja.” Bujang tersenyum tipis. “Saya permisi.”
“Aku yakin Rindu melihat Abang di saat sudah memiliki segalanya.”
Ucapan Ida membuatnya lagi-lagi berhenti melangkah. Bujang terkekeh jadinya. Memutar pelan memorinya mengenai Rindu. Mulai dari uang jajan dua juta yang dikembalikan, protes karena motornya tak nyaman padahal keren dan bisa dipamerkan, lebih menyukai makan di tempat sederhana penuh makna ketimbang restoran mahal. Weekend jarang mau keluar rumah karena banyak hal yang ia kerjakan.
Mendekati Rindu itu hemat. Uangnya tak banyak terkuras seperti saat dirinya bersama gadis lain.
“Andai benar begitu, saya enggak jadi masalah. Pasti saya tambah semangat kerjanya biar uang yang saya miliki bisa segera dihabiskan Rindu.”
Ida terperangah, tak percaya ucapan Bujang begitu saja.
“Aku masih cinta sama Abang,” kata Ida pelan. Air matanya sudah jatuh membasahi wajahnya. “Aku melakukan ini semua karena Abang. Aku rela dicap sebagai istri enggak tau diri, anak enggak tau diuntung, asal nantinya bisa bersama Abang.”
Bujang menatap Ida lekat. “Saya bisa lupakan kamu meski butuh waktu dua tahun. Kenapa kamu enggak bisa?” Ditepuknya bahu Ida pelan. “Pikirkan wajah anak-anak saja sembari berpikir semua kebaikan yang Ardi lakukan untuk hidup kamu, Ida. Kisah kita sudah selesai lama.”
“Sudah?”
Bujang sedikit berjengit saking kagetnya. Rindu ada di belakangnya. Tersenyum lebar sekali sembari membawa cangkir entah apa isinya.
“Sudah. Lima menit persis.” Bujang tersenyum lebar. “Bawa apa itu?”
“Kopi untuk kamu, Bae. Apalagi? Baik banget, kan, aku? Kamu yang ngobrol, aku yang siapkan minum,” cibir Rindu sembari mengangsur cangkir yang ia bawa.
“Terima kasih.” Bujang pun menyusupkan jemarinya pada tangan Rindu yang bebas.
Ida yang sejak tadi memperhatikan mereka berdua, semakin menatap Rindu dengan sinisnya. Rindu? Sekali lagi ia berjinjit, mengecup singkat pipi Bujang. Sedikit bersandar mesra pada lengan Bujang yang ternyata enak juga dijadikan sandaran. Kalau dipeluk Bujang, sih, ia tau rasanya nyaman.
Buktinya … Rindu pernah tanpa sadar masuk ke dalam pelukan Bujang.
“Kami permisi,” pamit Bujang.
Meninggalkan Ida yang geram sekali. apalagi melihat Rindu yang bergelayut mesra pada Bujang. Ditambah, sorot mata sang pria yang sama sekali tak teralih ke mana-mana selain pada sang gadis. Sorot mata yang pernah Bujang tujukan hanya untuknya. Yang penuh dengan cinta dan perhatian.
“Bu,” panggil Nisa, anaknya. Ida sampai tak menyadari kalau Nisa ada di dekatnya.
“Ya, Teh? Kenapa?”
“Ibu dicariin Bapak.”
Ida menghela pelan. Mengaturnya napas agar bisa mengendalikan diri. “Di mana bapakmu?”
Sementara langkah Bujang juga Rindu sudah ada di parkiran. Dibukakannya pintu untuk Rindu. “Aku telepon Ibu dulu.”
Rindu hanya mengangguk saja. Menyamankan duduknya. Menunggu Bujang masuk ke dalam mobilnya. Tak lama berselang, sosok pria itu pun masuk ke dalam dan menyalakan mesin mobil.
“Lho, Ibu mana?”
“Ibu masih lama. Kita duluan saja.”
“Enggak ada orang di rumah, Bae. Kamu bawa kunci memangnya?”
Bujang menggeleng tapi juga disertai seringai tipis. “Kita enggak pulang ke rumah, kok.”
“Terus?”
“Ke hotel.”
“Bae!!!!”
***
Suara air sungai yang menabrak bebatuan di sekitarnya, membuat syahdu suasana di kafe ini. Bunyi ranting yang bergesekan terkena angin juga seirama bersatu padu menambah suasana tenang di sini. Mengusung tema outdoor dengaan tema alam, sukses menjadikan tempat ini sebagai referensi melepas lelah. Juga tempat untuk sekadar menghabiskan waktu bersama pasangan.
Macam Rindu dan Bujang ini.
“Kamu tau dari mana tempat ini, Bae?” tanya Rindu penasaran. Sup Tomyam-nya sudah habis ia makan. Rindu kelaparan karena di pesta tadi, ia tak menyentuh makanan sama sekali. Jangan lupa, di mejanya masih ada camilan lain yang akan Rindu sikat. Hari ini dia lapar dan harus makan banyak.
“Enggak tau. Searching dadakan aja tadi.”
“Kalau enggak nemu tempat seperti ini, memangnya mau ajak aku ke mana?”
“Di sekitaran Puncak banyak banget tempat nongkrong, Bee. Enggak akan habis seharian dikunjungi.”
Rindu tertawa. Benar juga yang Bujang katakan. Tapi ia masih penasaran akan satu hal. “Enggak mau cerita tadi bicara apa sama Bu Ida?”
“Pasti cerita, kok, cuma nunggu yang pas. Dan sekarang waktunya pas. Soalnya kamu sudah kenyang, jadi bisa mencerna ucapan aku dengan baik.”
“Ya Allah, punya pacar begini amat, ya.”
Bujang ngakak. Memang bicara dengan Rindu itu penuh dengan hiburan.
“Dia mau cerai katanya.”
“Hubungannya sama kamu apa coba? Habis dia cerai, terus balikan sama kamu? Nikah sama kamu? Gitu?”
Kan, apa Bujang bilang? Serentetan ucapan Rindu barusan juga membuatnya kembali menderaikan tawa. Padahal Bujang tau, pertanyaan tadi dimaknai dengan banyak kecemburuan. Bujang jadinya girang lah!
“Makanya Pak Bujang, itu ganteng kadarnya turunin kalau di depan umum. Gantengnya cukup buat saya aja. Jadi enggak bikin istri orang gagal move on.”
“Coba jelaskan sama aku cara turunkan kadar ganteng? Aku enggak paham, Bee.” Bujang berkata sembari menahan tawa. Rambut Rindu sedikit berantakan karena angin yang membuat Bujang gemas untuk dirapikan.
“Mana aku tau!” cebik Rindu. “Etapi aku sudah menduga dia bakalan bicara itu sama kamu, sih.”
“Maksudnya?”
“Saat aku tinggalin kamu bicara sama Bu Ida,” Pokoknya Rindu tak pernah suka bibirnya mengatakan nama Ida. Tapi mau bagaimana lagi? Harus ia sebut, kan? Masa iya namanya Ida diganti? Ngaco! “Aku enggak sengaja ngobrol suaminya.”
Bujang memilih diam untuk menyimak.
“Dia berdiri enggak jauh dari aku, tapi matanya melihat terus ke arah kalian bicara.”
Ingatan Rindu kembali memutar pembicaraan dengan sosok asing yang baru ia temui di pesta tadi. Dari caranya berpakaian serta bagaimana orang lain menyapa, RIndu bisa tebak kalau dia lah sang tuan rumah. Ehm … maksudnya suami si Ida itu. Entah siapa namanya Rindu tak berkenalan.
Seperti yang Rindu bilang tadi, mata pria itu tak pernah dialihkan ke tempat lain kecuali sosok wanita yang bicara dengan Bujang. Berkali-kali juga Rindu dengar pria itu menghela napas. Mungkin begitu menyadari ada orang lain di sisinya, ia tersenyum canggung.
“Selamat menikmati hidangan yang ada,” katanya begitu. Membuat Rindu terkekeh dengan respon sang pria.
“Apa rasanya menikmati makan di saat orang yang kita sayang, bersama orang lain. Ya, kan, Pak?”
Sang pria menatap Rindu dengan lekatnya, lantas tertawa pelan. Jenis tawa yang rasanya Rindu tau, seolah menertawakan dirinya sendiri. “Bukankah kamu gadis yang bersama Bujang tadi, ya?”
Rindu mengangguk tanpa ragu.
“Kamu enggak jadi masalah lihat Bujang bicara dengan wanita lain?”
“Sudah biasa,” Rindu menyeringai.
“Benar kah?” sang pria menatap Rindu tak percaya.
“Di kantor, Bujang banyak bertemu klien wanita, kok.”
Ucapan Rindu malah ditanggapi dengan tawa. “Kamu satu kantor dengan Bujang?”
“Ya.”
“Saya cukup penasaran sebenarnya, gadis seperti apa yang bisa merebut perhatian Bujang.” Sang pria mengulurkan tangannya. “Boleh berkenalan.”
“Mohon maaf, Bapak yang enggak mau saya kenali namanya. Cukup kenal nama saya aja, Rindu. Saya enggak butuh kenal Bapak.”
Tawa sang pria, Ardi, lepas begitu saja. Namun tak berselang lama, kembali Ardi mengarahkan matanya pada sang istri. “Saya yakin, istri saya mengungkapkan pemikiran gilanya pada Bujang.”
“Asal enggak buat Bujang ikutan gila aja, Pak.” Rindu tersenyum tipis.
“Kita berandai-andai kalau begitu.” Ardi sedikit menegakkan punggung. “Andai Bujang mengikuti pemikiran gila istri saya, kamu bagaimana?”
“Saya?” Dahi Rindu berkerut dalam. “Enggak jadi soal. Itu sudah keputusannya. Artinya juga, rasa cinta Bujang untuk saya enggak besar. Saya enggak mau mempertahankan pria yang sedikit kadar cintanya untuk saya.”
“Enggak menyesal?”
Rindu tertawa. “Justru yang akan menyesal Bujang. Mungkin juga istri Bapak, kan?”
“Kenapa begitu?”
“Istri Bapak menyia-nyiakan rasa cinta yang besar, yang bisa Bapak beri. Kalau Bujang? Selalu terjebak dengan masa lalunya. Simple.”
Sang pria terdiam.
“Berhubung saya tau kadar cinta Bujang ke saya, Bapak pastikan saja istri Bapak enggak mengganggu kami. Ini pertama dan terakhir saya biarkan mereka bicara. Setelahnya?” Rindu menyeringai tipis.
“Sudah saya usahakan banyak hal untuk bisa membuat istri saya jatuh cinta. Tapi rasanya, saya sendiri sudah menyerah.”
“Payah,” sahut Rindu.
“Bukan setahun dua tahun usia pernikahan saya, Rindu.” Ardi tersenyum masam. “Saya tau peringai istri saya. Kalau memang melepaskannya bisa membuat istri saya bahagia, saya enggak jadi soal.”
“Anda benar-benar payah sebagai lelaki apalagi suami.”
“Apa saya harus mendengarkan masukan dari gadis yang belum pernah tau rasanya berumah tangga?”
“Terserah, sih. Tapi yang jelas, perempuan itu sukanya dimanja, kan? Perhatiannya harus penuh. Kalau sebagai suami dan ayah merasa sudah memberikan yang terbaik, bisakah berpikir, sudahkah saya menjadi yang terbaik sebagai teman hidup?”
Ardi terdiam.
“Kalau belum, berusaha dulu. Saya serius soalnya dengan kata-kata tadi.” Rindu menepuk bahu sang pria pelan.
“Kata-kata yang mana?”
Rindu memilih menjawab dengan cengiran lebar.
“Saya permisi. Sudah habis waktu yang saya beri untuk mereka bicara.”
Pria itu membiarkan Rindu meninggalkannya. Gadis itu membuat sekitarnya banyak menoleh, memberi sekelumit perhatian. Bukan hanya karena penampilannya yang terlihat mencolok, tapi parasnya. Selain menarik, sorot mata serta gestur tubuhnya seolah berkata tanpa suara, ia tak mudah ditundukkan.
“Kamu beruntung, Bujang,” kata Ardi sembari mengambil gelas minum miliknya. “Menjadi teman hidup terbaik, ya?” ia berpikir sejenak. “Baik lah. Kita coba.”
Kalau ada setitik keberhasilan, sepertinya mengucapkan terima kasih pada Rindu adalah keharusan. Atau nanti pas mereka menikah, Ardi beri kado spesial? Mengingat hubungannya dengan Bujang sebenarnya baik-baik saja. Ah … ide yang bagus.
Tapi sebelumnya, ia memang harus menyelesaikan urusannya dengan Ida.
[60] Pawangnya Bujang itu Rindu
Seingat Rindu, rasa kantuknya semalam besar sekali. Sampai enggak tahan untuk memejamkan mata padahal Bujang tengah menyetir. Hujan yang mengguyur area Puncak memang membuat udara turun cukup drastis. AC mobil Bujang saja dibesarkan suhunya agar tak terlalu dingin.
Lantas ia bersandar nyaman lalu … tak ingat apa-apa.
Begitu membuka mata, ia merasa ranjang empuk lengkap dengan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya masih melekat. Tunggu sebentar. Ia tak ada di hotel, kan? ia ingat, kok, ucapan Bujang yang mau mengajaknya ke hotel!
“Enggak mau!!!” pekiknya heboh. Ia bangun dengan penuh keterkejutan.
“Rin?”
Suara Syarifah.
“Kamu kenapa?” Syarifah masuk begitu saja. Bersama Bujang yang menatap Rindu dengan khawatir.
“Ada apa?” tanya Bujang.
Rindu segera mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Ini kamar Bujang rupanya. Ia juga melihat pakaiannya makin lengkap. Dan ada syarifah juga. Artinya … pemikiran gila tadi hanya sebatas pemikiran. Fiuh! Rindu lega jadinya.
“Rin? kamu enggak apa-apa? Mimpi buruk?” tanya Syarifah sembari mendekat. Diusapnya pelan dahi Rindu. “Apa kamu sakit?”
“Enggak, Bu.” Rindu nyengir. “Kayaknya aku kebanyakan tidur, deh.”
“Benar enggak ada apa-apa, Rin?” tanya Bujang masih menampilkan raut khawatir.
“Enggak, Aa’. Serius.” Makin lebar lah cengiran Rindu. “Jam berapa sekarang, sih?”
“Masih jam lima.” Syarifah yang berkata.
“Aku bantuin Ibu buat sarapan, ya.”
Syarifah mana mau menolaknya. Malah ia ulurkan tangannya pada Rindu yang langsung mendapatkan sambut. “Kalian pulang nanti siang. Ibu pasti kanget banget, lho.” Dan banyak celotehan lain yang akan menemani mereka membuat sarapan.
Bujang mengiring mereka keluar dari kamarnya dengan senyum yang makin lebar. Rasanya … sudah lama ia tak sebahagia ini. Doanya hanya satu pada Tuhan; Agar selalu dijaga rasa bahagia yang penuh dengan syukur ini. Bujang tak meminta banyak hal mengenai hidupnya. Terlalu banyak tuntutan pada Sang Maha Pemberi Rezeki sementara dirinya? Solat saja masih sering ia lalaikan.
Ah … kalau ingat itu, Bujang malu sendiri. Sudah lah belajar tanpa lelah untuk menjadi pribadi yang lebih baik adalah yang bisa ia lakukan sekarang. Padahal kamar Bujang ini selalu diberi pengharum ruangan khas kesukaannya, Ocean Escape. Tapi kenapa aroma parfum Rindu yang selalu terhidu olehnya. Selain manis dan membuat Bujang selalu terbayang sosoknya, aroma ini mulai menjadi favoritnya.
“Merk parfumnya apa, sih?” Ia pun mendekat pada koper milik Rindu. Di sisinya tas make up kecil serta satu kotak yang berisikan sepatu. Bujang rasa parfumnya ada di kotak make up. Serta ponselnya yang memang sengaja Bujang taruh tak jauh dari tas yang Rindu pakai kemarin.
Ada satu notifikasi pesan yang muncul di layarnya.
[Tio cust : Bisa balas pesan saya, Rin?]
“Mau apa Tio kirim chat?” Bujang mengerutkan kening. “Sejak kapan juga mereka saling berkirim pesan?”
***
“Duh, Ibu pasti kangen nasi goreng buatannya Rindu ini, sih.” Syarifah berkata sembari menyendok kembali nasi goreng buatan Rindu. ini sudah porsi keduanya. Sama seperti Bujang yang meminta tambahan di piringnya lagi. sepakat dengan ibunya, nasi goreng ini memang enak.
Apalagi bersanding dengan irisan timun, tomat, juga kerupuk udang.
Mantap pokoknya apalagi tinggal makan, kan? Macam Bujang ini. Entah sudah berapa kali bertanya, kapan sarapannya siap. Di mana akhirnya membuat Rindu marah dan jengkel. Katanya Bujang ini menganggu konsentrasinya masak. Padahal niatnya bukan itu.
Hanya … ingin melihat Rindu berdecak kesal dan manyun. Sepertinya menjadi kesenangan tersendiri untuk Bujang meledek Rindu.
“Di Jakarta pasti Rindu enggak akan sempat buatkan sarapan, ya, Rin?” tanya Syarifah.
“Enggak, Bu. Kalau telat nanti ada yang marah,” cebik Rindu. “Bos di kantor Rindu itu galak banget.”
Syarifah tergelak. “Kita berangkat jam berapa, Jang?”
“Jam sebelas kita-kira, Bu. Takut macet.”
Rindu menatap Syaridah dan Bujang bergantian. “Ibu … serius mau ke Jakarta?”
“Lho memangnya kamu pikir Ibu bercanda, ya?” Syarifah terkekeh. “Mami kamu juga sudah tungguin kita pulang.”
“Mami?”
“Iya. semalam Bujang bilang mau bertemu Mami kamu sepulang dari sini.”
“Kok aku enggak tau?” tanya Rindu dengan raut bingung.
“Kamu tidur, Rin, lelap banget. Mana berani aku ganggu. Yang ada aku bisa dicincang sama Ibu.”
Rindu mau tak mau tertawa.
“Ibu enggak mau nunda kelamaan lagi. Kalian berbahaya ditinggal berdua. Bisa-bisa cucu Ibu lahir kalian belum sah menikah.”
Bagus Rindu enggak lagi mengunyah porsi sarapannya. Kalau ada makanan di mulut, pasti dia sudah tersedak. Kenapa ucapan ibunya Bujang selalu tak terduga? Selalu buat jantungnya bekerja ekstra? Ditambah kalau ingat mengenai kejadian siang kemarin, Tuhan … Rindu ganti muka saja lah!
Kalau macam Dela mukanya, kan, banyak. Apa Rindu berubah jadi Dela, ya? Yang gampang berganti wajah sekehendak hatinya demi keuntungannya saja?
Karena ucapan Syarifah tadi, selesai sarapan mereka pun bersiap merapikan apa saja yang akan dibawa ke Jakarta. Lebih tepatnya menyortir barang bawaan Syarifah. Bujang berkali-kali berdebat dengan sang ibu agar jangan terlalu banyak membawa makanan. Tapi Syarifah paling tau cara membuat Bujang bungkam.
“Lagian yang mau Ibu temui bukan cuma maminya Rindu, Jang. Tapi juga penghuni kost kamu yang lain. Biasanya kalau Ibu ke Jakarta kan beri oleh-oleh. Mereka aja enggak protes, kok.”
Sudah lah bicara dengan Syarifah memang menguji nyalinya. Membiarkan Bujang dan ibunya berdebat di dapur, Rindu memilih untuk merapikan koper mereka saja. Jangan sampai ada barang yang tertinggal nantinya. Namun belum genap langkahnya masuk ke kamar Bujang, yang mana lekatnya agak di dekat ruang tamu, ada seseorang yang mengucap salam serta mengetuk gerbang depannya.
“Siapa, ya?” Rindu bergegas menghampiri. Begitu dibukakan gerbangnya, Rindu berdecak pelan.
Ida ada di sana. tersenyum tipis sembari berkata, “Abang Bujang ada?”
“Ada apa?”
“Saya mau bicara.”
“Kemarin sudah, kan?”
Ida kembali mengukir senyum di wajahnya. “Kalau ada yang bertamu, lebih sopan dipersilakan masuk? Lagian ini bukan rumah kamu, kan?”
Rindu terperangah tapi kemudian terkekeh. “Oh, Ibu benar. Silakan masuk.” Ia pun membukakan gerbangnya cukup lebar.
Ida melangkah penuh percaya diri memasuki rumah yang beberapa kali disambangi hanya untuk menanyakan keberadaan Bujang. Namun belum sampai ia masuk ke pintu rumah, Rindu menahannya. “Kenapa?”
“Anda tamu, kan? Tamu duduknya di sini,” tunjuk Rindu pada deret kursi yang ada di depan. Di mana di dekat kursi tersebut terdapat banyak pot tanaman yang dirawat dengan baik. Menjadikan sudut itu nyaman untuk dijadikan tempat bicara. Sayangnya kalau bicara dengan Ida, tak akan ada kenyamanan sama sekali bagi Rindu.
Ida berdecak kesal tapi tak bisa membantah ucapan Rindu.
“Saya tunggu Abang di sini kalau begitu. Bisa tolong panggilkan?” tanya Ida masih dengan rasa sopan. Jangan sampai ia menurunkan harga dirinya di depan gadis yang menurutnya menyebalkan ini. Lihat penampilanya sekarang? Rambut pirangnya digelung berantakan. Kaus kebesaran serta celana yang membalutnya dengan ketat meski sampai pangkal betis? Astaga! Sengaja ia berpakaian seperti ini di rumah lelaki? Pastinya juga ia menginap, kan? Dan kenapa juga Bu Syarifah membiarkan mereka?
Tangan Ida terkepal kuat jadinya.
“Enggak mau,” Rindu melipat tangannya di dada.
“Kalau begitu, saya panggil sendiri,” tukas Ida yang segera berdiri dari duduknya.
“Panggil saja kalau kamu enggak punya malu, Bu Ida.” Rindu tertawa pelan. “Jalankan apa yang kamu rencanakan. Tinggalkan suami sama anak kamu. Puaskan khayal kamu mengenai calon suami saya.”
Ida menoleh, menatap Rindu dengan sorot tak percaya. Di mana gadis itu tampak santai sekali bicara. Bukannya memperhatikan dirinya yang kini menatap lekat, justru Rindu sibuk memainkan ujung kukunya. Seolah keberadaan Ida di sini bukan perkara yang besar.
“Apa maksud kamu?”
Rindu berdecak. “Masa iya enggak paham ucapan saya, Bu? Pastinya usia Ibu jauh lebih tua di atas saya, kan?”
Ida mengertakkan rahang. “Saya hanya ingin bicara dengan Abang. Enggak ada urusannya dengan kamu!”
“Jelas ada, lah!” Rindu sedikit bersandar. “Kalau kamu lupa siapa saya, kita berkenalan lagi juga enggak jadi masalah.” Rindu menyeringai. “Saya Rindu Anjani Sari. Calon istrinya Putra Bujang Anom.” Sengaja ia tekan sekali kata ‘calon istri’ pada ucapannya barusan.
“Nama saya bakalan ada di surat nikah resmi kami nantinya. Ehm … mungkin sebulan lagi. Nama Bu Ida siapa panjangnya? Oh … enggak perlu, sih. Nanti saya tulis, Ida dan keluarga beserta anak. Atau … Ibu Ida yang single?” Rindu masih mempertahankan senyumnya yang meremehkan.
“Jangan kurang ajar kamu!”
“Niat Ibu saja sudah kurang ajar. Kenapa saya enggak boleh balas dengan hal yang lebih kurang ajar lagi?” Ia pun kembali memperhatikan kukunya yang belum dipoles apa pun. Bisanya kalau tidak berwarna pink atau tosca sebagai penghias.
“Bujang itu hanya cinta dengan saya!” Ida mendekat pada Rindu. “Kami akan bercerai dan saya pastikan Bujang bersama saya. Selamanya. Seperti keinginan kami dulu.”
“Dulu, lho. Belasan tahun lalu, kan?” Rindu terkekeh. “Ibu ini benar-benar lucu, ya. Masa iya enggak bisa memikirkan anak dan suaminya? Ah … tapi rasanya juga Ibu enggak punya pikiran ke sana, sih. Otak Ibu sudah terlalu lama terjebak dalam masa lalu.”
Napas Ida menderu kesal.
“Makanya, Bu, kalau cinta itu berjuang. Dulu tapinya, ya. Bukan malah menuruti apa yang enggak sesuai sama Ibu suka. Begini, kan, jadinya? Duh … saya doakan Ibu jadi cerainya. Kasihan suami Ibu sama anak-anak. Punya istri juga jadi ibu tapi enggak bisa berperan dengan baik. Bukannya bersyukur punya suami seperti Bapak. Atau saya doakan Bapak direbut pelakor, deh. Gimana?”
“Kamu!” tuding Ida dengan amarah yang sudah sampai ke ubun-ubun. Astaga! Mulut gadis ini membuat seluruh darahnya mendidih! Lantas ia menghela panjang. Jangan sampai terpancing dengan semua ucapan gadis ini. Tujuannya ke sini hanya bertemu Bujang. Maka itu yang akan ia lakukan. Ia pun berbalik dan memilih masuk ke dalam rumah.
Namun ucapan Rindu lagi-lagi membuatnya terhenti.
“Ibu ngotot, ya? Selangkah lagi kaki itu masuk ke dalam rumah, jangan salahkan kuku saya yang menyasar di wajah cantik Ibu. Eh … cantik enggak, ya? Cantik, sih, tapi kelakuan murahan.”
Ida kalap jadinya. Tanpa banyak berpikir lagi, ia pun melangkah lebar ke arah rindu yang masih menatapnya dengan sorot menjengkelkan juga menantang. Tangannya sudah terayun penuh amarah dan siap dilepaskan pada pipi Rindu.
Namun …
“Cukup, Ida!”
Sebuah tangan kekar menahannya dengan cepat. Ia bahkan tak tau kapan datangnya sosok sang pemilik tangan. Cekalannya sangat kuat, ditambah sorot matanya yang tak suka menatap Ida.
“Abang?”
Diempaskan tangan Ida begitu saja. Bujang memilih mendekat pada Rindu yang masih duduk santai di kursinya. “Kamu enggak apa-apa, Bee?”
“Aku enggak butuh ditolong kamu, Bae.” Rindu sengaja mengalungkan tangannya pada Bujang. “Aku bisa sendiri mengusir wanita macam ini.” Dikecupnya sekilas sudut bibir Bujang. Seolah berkata tanpa suara, Bujang miliknya.
“Dia yang mengatakan aku murahan, Bang.” Ida sedikit menarik bahu Bujang.
“Sudahi, Ida. Cukup.” Bujang melepaskan diri dengan cepat. “Tolong hargai privasi kami. Ini calon istri saya. Apa pun yang mau kamu katakan, Rindu berhak tau. Dan lagi, Ardi ada di depan gerbang. Jemput kamu.”
Tangan Ida terkepal, matanya juga memanas. Menatap Bujang dengan sorot tak percaya. Selama ini ia pikir, Bujang memilih sendiri karena saking cintanya pada Ida. Tak tergantikan cinta itu dengan wanita lain. Sampai di mana Ida punya setitik keberanian untuk mewujudkan harapan mereka dulu.
Menikmati kisah asmara yang dirajut sampai tutup usia.
“Aku cinta sama Abang.”
“Saya enggak.” Bujang sedikit menarik tubuh Rindu untuk mendekat. “Yang saya cinta itu Rindu.” Membalas perbuatan Rindu tadi. Meski ada ibunya yang berdiri melipat tangan di dada, matanya juga tampak memberi peringatan, tapi Bujang tak peduli.
Ini … Rindunya. Gadis yang ia cintai. Cintanya pada Ida telah lama mati.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
