RINDU BUJANG. [53], [54], [55], & [56]

6
0
Deskripsi

[53] Pembicaraan macam apa ini?

[54] Bee dan Bae

[55] Pamer Mantu

[56] The Real Tom and Jerry

 

___ Spoiler

 

Begitu sosok wanita itu memasuki ruang tamu, matanya tertuju jelas pada Bujang. Yang tengah asyik memakan pisang goreng bagiannya.

“Abang?” Senyum Ida merekah lebar. Sengaja ia mampir ke rumah Syarifah karena mendengar kabar, Bujang pulang siang tadi. Sudah lama tak ia lihat serta memastikan dengan mata kepalanya sendiri, mengenai sosok pria yang masih bersemayam di hatinya itu.

“Eh, kamu.” Bujang...

 

[53] Pembicaraan macam apa ini?

“Sudah siap?” tanya Bujang memastikan sekali lagi. Di sampingnya, duduk Rindu yang tampak santai dengan sweater oversize dipadu celana jeans lengkap dengan sneakers putih tosca. Semua yang Rindu kenakan pagi ini terlalu manis dan sayang untuk dilewatkan hanya sekelebatan mata Bujang.

Jadinya sejak tadi matanya enggak teralih dari sosok Rindu. Padahal ada Farah yang sesekali berdeham memberi peringatan. Yah … mau dikatakan apa lagi … Bujang terlalu terpesona.

“Sudah.” RIndu sedikit merapikan rambutnya. Lalu ia turunkan kaca mobil Bujang, melambai pada ibunya yang berdiri di tepian pagar. “Aku pergi dulu, Mi.”

“Hati-hati, ya.” Farah tersenyum tipis. “Bilang Pak Bujang, nyetirnya yang fokus.”

Bujang jelas lah mendengar ucapan Farah. Di mana ia nyengir saja. “Ibu tenang saja, Rindu aman bersama saya.”

“Kalau sudah di rumah ibumu, langsung telepon. Saya pantau dari sini, lho. Saya tau jarak Jakarta Bogor berapa lama. Apalagi ini masih pagi. Jalur buka tutupnya masih belum diberlakukan.”

Bujang mengangguk patuh.

“Mami, ih, lebay banget,” cibir Rindu.

“Lebay bagaimana? Anak Mami, lho, perempuan. Kalau dimacem-macemin gimana?”

Sudah lah. Bicara dengan Farah juga Rindu ini memang harus punya stok sabar yang luas. Meski begitu, apa yang dikhawatirkan Farah itu memang benar juga. Tapi Bujang juga enggak mau berbuat aneh-aneh sama Rindu, kok. Kecuali kalau sudah resmi yang mana entah kapan terjadi. Maunya, sih, cepat. Bukan apa. Bujang ini masih sangat normal di mana kepalanya kadang tanpa dikomando ingat rasa bibirnya Rindu.

Kan! Bahaya namanya!

Rindu tertawa mendengar perkataan ibunya. “Sudah, ya. Kami berangkat biar enggak kena macet.”

“Kabari Mami kalau sudah sampai, ya.”

“Beres, Mi!”

“Kami berangkat, Bu,” pamit Bujang setelahnya. Di mana diangguki dengan tatapan merestui dari Farah. Lambaian tangan itu juga mengiring laju sedan yang Bujang kendarai. Pria yang pagi ini mengenakan kemeja biru langit di mana lengannya ia gulung sesiku, tampak tersenyum girang. Yah … gimana enggak girang? Izin mengajak kekasihnya ke Bogor? Bah! Diaprrove tanpa verifikasi khusus! Mami Farah memang luar biasa memberi kejutan.

Padahal sepanjang jalan pulang mengantar Rindu semalam, Bujang agak ketar ketir juga. Meski diajak bicara oleh Rindu dalam perjalanan pulang, hati Bujang tak lepas dari banyak berdoa. Sudah lama sekali ia tak merasakan jantungnya berdegup kencang hanya karena meminta izin mengajak kekasihnya ke suatu tempat. Ia bukan orang yang hobi menculik anak orang tanpa izin. Pantang bagi Bujang melakukan hal itu.

Baginya … restu itu diperlukan untuk mengiring langkahnya agar selalu selamat sampai tujuan.

Ternyata lebih gampang bicara dengan Farah ketimbang membujuk Rindu. Serius. Bujang dibuat pening dengan banyak pertanyaan yang gadis itu ajukan. Cerewetnya naik ribuan persen. Andai saja jenis pertanyaan Rindu ini dalam ambang normal, Bujang tak masalah. Tapi ini Rindu yang mengajukan tanya.

“Tapi saya ke sana enggak untuk dinikahi, kan, Pak?”

Tuhan! Sungguh, luaskan sabar Bujang! Dan berikan fokus yang berlebihan karena ada di dekat RIndu ini membuyarkan semua hal yang Bujang tata dan rencanakan.

“Kamu maunya saya nikahi cepat atau lambat?”

“Ya kali baru jadian belum ada sebulan sudah nikah!” Rindu membuka kaca helmnya. “Saya enggak mau, ya!” Pelukan yang sudah menjadi kebiasaannya ini, ia lepaskan begitu saja. “Lagian kenapa, sih, mesti ke Bogor segala? Pakai nginap? Apa kata orang nanti? Masa cewek nginap di rumah cowoknya?”

Bujang membuang napas panjang. “Kalau pulang pergi, bisa sampai tengah malam, Rin.”

“Memangnya kenapa?”

“Saya sudah tua dan belum mau mati karena sakit pinggang!”

Rindu mana ada belas kasihnya. Yang ada malah tertawa. “Makanya Bapak minta revisi jodoh, gih. Jangan saat Bapak sudah berseragam putih biru, saya baru lahir.”

“Oh, jadi kamu maunya saya sama wanita lain? Gitu?” Sudah lah. Memang Rindu ini memiliki keunikan sendiri yang membuat Bujang tak bisa untuk marah. Motor yang ia kendarai, berhenti tepat di lampu merah sebelum arah Gajah Mada. Sedikit ia tegakkan punggungnya. Meraih tangan Rindu agar kembali berpegangan padanya. “Benar begitu yang kamu mau?”

Rindu agak lama terdiam. “Ya enggak juga, sih.”

“Saya ajak kamu kenal sama Ibu bukan tanpa sebab. Ibu sudah sering banget tanya tentang kamu.”

“Bapak pasti cerita tentang saya yang jelek-jeleknya aja, ya?”

“Iya,” sahut Bujang dengan lugasnya. “Yang jeleknya saja saya jatuh hati, gimana bagian yang bagusnya.”

Rindu memilih mencubit pinggang Bujang saja. Tak peduli ringisan sakit yang ia dengar. “Gombalannya bapak-bapak enggak ada obatnya, ya, ternyata.”

Itu hanya sekelumit dari banyaknya hal yang harus Bujang beri pengertian yang lain, sebelum akhirnya Rindu berkata.

“Oke kalau tujuannya hanya kenalan. Kalau sampai saya diajak tunangan atau sekalian nikah, anterin saya pulang saat itu juga!”

Bujang jelas ngakak sepanjang jalan! Rindu dan pemikiran ajaibnya sangat menghibur sekali.

Sementara dengan ibunya?! Kalian tau apa yang ditanya?

“Saya boleh bicara dengan ibu kamu, Pak Bujang? Memastikan kalau anak saya benar-benar diajak bertemu atas permintaan beliau?”

Bujang melongo tapi tak bisa menolak. Di mana setelah terhubung, ia tak tau kedua wanita itu bicara apa. Yang jelas, terdengar tawa serta kekehan geli dari Farah. Berarti tak ada masalah yang berarti, kan?

“Ini ponselmu,” kata Farah sembari menyerahkan kembali ponsel Bujang. Duduk di tempatnya semula di mana Rindu ada di sisinya, sementara Bujang ada di depannya. “Saya sudah bicara dengan ibumu, Pak Bujang.”

Kalau saja koreksi panggilannya disetujui, rasanya ia tak ingin mendengar Farah memanggilnya dengan sebutan ‘Pak Bujang’. Sayangnya, sampai detik ini panggilan untuknya belum ada realisasinya hanya untuk disebut ‘Bujang’ sesuai dengan namanya saja.

“Pak Bujang hanya alasan aja, kan, Mi?” tanya Rindu yang membuat Bujang terperangah.

“Enggak,” Farah menggeleng cepat. “Pak Bujang jujur, kok.”

Lega rasanya mendengar Farah bicara seperti itu.

“Lagian, Rin, hanya berkenalan kenapa kamu repot banget, deh. Kenapa memangnya?”

Rindu manyun. Sepertinya tak berani mengungkapkan apa yang ada di hatinya.

“Bicara di telepon tadi, sepertinya ibunya Pak Bujang baik, kok. Kamu enggak akan dimakan.”

“Mami, ih!”

“Lagian kalau setelah bertemu, beliau cocok sama kamu, terus enggak lama beliau datang ke sini untuk lamaran, Mami terima aja. Yang penting pihak laki-lakinya siap. Pertanyaannya, kan, simple. Pacar kamu ini siap enggak melamar kamu kalau diminta segera?”

“Siap,” sela Bujang dengan cepatnya.

“Mami!”

“Tuh.” Farah tertawa. “Mami beri waktu tiga puluh menit untuk ngobrol. Setelahnya kamu pulang, ya, Pak Bujang. Bukan ngusir. Kalian juga pastinya lelah, kan, pulang kerja? Besok berangkatnya pagi ke Bogor, toh?”

Bujang hanya mengangguk paham. Mematuhi apa yang Farah katakan sembari memastikan Rindu bersiap untuk besok. RIndu bisa menolak? Jelas tidak. ibunya mengizinkan, Bujang terlihat berharap, jadinya ia mengangguk saja lah. Selain biar cepat, ibunya juga bilang, tak jadi soal hanya berkenalan biasa.

Astaga! Kalian salah kalau menganggap Bujang mengajak Rindu ke Bogor hanya untuk kondangan! Tuhan! Bujang tak perlu menunjukkan siapa gadis yang berhasil merebut perhatiannya sekarang! Untuk apa? Mematahkan anggapan kalau dirinya laku? Tak lagi jomlo? Bisa move on dari Ida setelah bertahun-tahun lamanya? Atau memamerkan betapa cantik gadis yang mulai menempati hatinya?

Tidak.

Bujang mengajak Rindu memang murni untuk diperkenalkan secara resmi pada ibunya. Saat seharusnya ia menemani Rindu bertemu Tio tiga hari lalu, ibunya memang mendesak Bujang untuk pulang. Ingin berkenalan langsung dengan Rindu disertai banyak alasan. Inginnya Bujang segera selesai bicara, malah terus-terusan ia bercerita. Memang ibunya paling pandai membuat Bujang buka suara.

Jadi lah di sini mereka. Di dalam sedan yang biasanya Bujang gunakan ke kantor. Tapi pensiun sementara karena antar jemput Rindu pakai kendaraan yang lain.

“Rin,” panggil Bujang pelan. Agar tak telalu mengejutkan Rindu yang duduk bersandar lengkap dengan seat belt-nya.

“Ya?”

“Kamu mau musik seperti apa? Bebas pilih. Perjalanan kita cukup jauh nantinya.”

“Ah,” Rindu mencebik. “Yakin banget saya kalau Bapak enggak suka.”

“Apa memangnya?” Bujang mengerutkan kening.

“BTS, Blackpink, Red Velvet, Super Junior.” Rindu terkekeh. “Tau?”

Bujang menggeleng saja. “Saya yakin kamu bakalan jawab dengan hal yang enggak familier untuk saya.”

Rindu tergelak. “Kan kalau ditanya harus dijawab.”

Tak tahan, Bujang mengacak rambut Rindu jadinya. “Pintarnya membuat alasan.”

“Ih!” Rindu inginnya menyingkirkan tangan Bujang, tapi ternyata pria itu justeru menyisipkan jemarinya. Menggenggam Rindu dengan eratnya. Dibawanya genggaman tangan itu ke sisi sang pria. Sementara tangan satunya, fokus mengendalikan setir. Jalan yang mereka lalui tak ditemui hambatan sama sekali. Lancar jaya. Mungkin karena masih terlalu dini untuk beraktifitas serta ini hari weekend.

“Terima kasih sudah mau mengabulkan permintaan saya. Saya jamin kamu pasti cocok bersama Ibu.”

“Gimana bisa menolak kalau dari sana sini saya terdesak?”

“Kamu jadinya terpaksa?” tanya Bujang dengan tatapan bingung.

“Bukan gitu,” Rindu menghela pelan. “Saya enggak pernah merasa terpaksa di dekat Bapak. Hanya belum terbiasa kalau geraknya terlalu cepat.”

“Masa, sih?” Bujang tampak berpikir. “Tapi wajar, sih, kalau kamu merasa gerak saya terlalu cepat.”

“Macam enggak sabar betul Bapak ini.”

Bujang tertawa. “Gimana saya bisa sabar kalau kekasih saya itu kamu, Rin?” Terserah lah kalau Rindu nantinya marah atau merajuk. Tapi tangan di dalam genggamannya ini ingin sekali ia labuhkan satu kecup singkat. Dan saat bibirnya menyentuh punggung tangan itu, aroma krim pelembab yang Rindu pakai, terhidu samar. Wangi sekali. Membuat Bujang rasanya ingin menghujani Rindu dengan banyak kecupan di sana.

“Saya laper, belum sarapan. Enggak ada niat beli makan dulu, Pak?” keluh Rindu. Dibiarkan tangannya terus digenggam Bujang. Di mana sebenarnya keluhan ini untuk menutupi segala gugup yang ia rasakan. Gila aja! Di mobil ini hanya ada mereka berdua, lho.

Kalau setan yang menyertai mereka iseng dan jahil? Membuat atau berbisik pada Bujang agar kembali mendekat padanya lalu …

Stop, Rin! Berhenti! Jangan mulai gila! Kenapa menyalahkan kehadiran setan coba? Yang tergoda itu, kan, Bujang! Atau malah kamu yang menggodanya! Bukan salahnya setan dong! Sudah lah. Jangan mulai aneh, Rindu Anjani Sari. Lebih baik fokus mencari sarapan apa untuk mengganjal perutnya yang lapar. Mungkin karena lapar makanya pikiran yang ia punya agak sengkleh.

“Kamu mau sarapan apa?”

“KFC.”

Kening Bujang berkerut. “Yakin?”

“Iya, biar enggak kelamaan. Bisa sarapan juga di mobil.”

“Saya sarapannya gimana?” Bujang menatap Rindu dengan herannya. “Saya pegang setir, lho.”

“Bisa saya suapi.”

Bujang hampir menginjak rem mobilnya kuat-kuat. Saat ia pastikan kalau memang Rindu yang bicara, gadis itu justru menatapnya dengan kerjapan polos. Tak tau kah Rindu ucapannya barusan membuat jantung Bujang tak sehat? Sepertinya ia memang harus berkala memeriksa kesehatan jantung. Ia belum ingin mati di usia sekarang! Menikahi Rindu dan punya anak darinya serta menghabiskan banyak waktu berdua dengan Rindu, belum ia gapai!

Duh!

Tapi memang bicara dengan Rindu ini sangat menguji adrenalin jantungnya.

“Enggak mau, ya, Pak?”

“Bisa jangan bikin saya shock?” tanya Bujang sembari memejam kuat. “Pertanyaan kamu buat saya berpikir macam-macam.”

“Lho?” Rindu melongo. “Memangnya disuapi itu bikin punya pikiran aneh?”

“Kalau di dekat kamu itu jelas bisa terjadi.”

“Berarti pikiran Bapak yang ngawur. Saya, kan, cuma bantu. Lagian kalau harus menepi dulu, kelamaan. Nanti macet.”

Bujang tertawa jadinya. “Ini … kita serius panggilannya masih seperti di kantor? Bahkan mami kamu juga ikutan panggil saya ‘Pak’. Dengarnya aneh betul.”

“Ehm … Bapak, sih, ketuaan. Saya jadi bingung mau manggilnya apa.”

Mulut Rindu ini memang butuh dicolek sambal sepertinya. Atau sekalian, kembali disenggol bibirnya Bujang biar enggak serampangan bicara? Sepertinya itu ide yang bagus, kan?

“Kemarin saat kamu panggil saya ‘honey’, saya suka.” Bujang kembali menggenggam erat tangan Rindu. “Suka sekali sampai buat saya ingin terus kamu ulangi panggilkan itu.”

“Saya enggak nyaman,” keluh Rindu. “Itu, kan, karena di depan Tio.” Kalau mengingat Tio, rasanya Rindu kesal bukan main. Ia belum bercerita, sih, mengenai intervensi Tio beberapa hari belakangan yang mulai intens. Mungkin nanti kalau mereka sudah agak lebih santai. Atau nanti setelah mereka sarapan? Rindu memang sudah tak tahan menyimpannya sendirian.

Mereka berhubungan, kan? Di mana hubungan mereka bukan hal yang remeh sampai harus merahasiakan hal seperti ini? Iya! Rindu bertekad setelah mereka sarapan nanti, akan ia ceritakan bagaimana Tio mengganggunya.

“Enggak nyaman gimana?” tanya Bujang bingung. “Padahal saya suka, lho.”

“Aneh aja, Pak. Masa ‘honey’? Nanti Bapak panggil saya ‘bunny’?” Rindu mencebik. “Enggak, ya. Saya bukan kelinci.”

Bujang menggeleng makin heran dengan tingkah Rindu. “Atau ayang beb?” goda Bujang akhirnya.

“Enggak juga.” Rindu sedikit mengubah posisi duduknya. Matanya memperhatikan bagaimana tangannya yang ada di dalam genggaman Bujang. Telapak tangan Bujang itu cukup besar bersanding dengan miliknya. Jemarinya yang menyusup dalam sela jemarinya seolah berkata akan melindungi dan menjadi orang yang bisa ia percaya untuk seterusnya.

Tanpa sadar, Rindu mengangkat genggaman tangan itu. Membuat Bujang jadi sedikit banyak sering menoleh mengamati Rindu yang terdiam menatap genggaman tangan mereka.

“Bapak tau, saya enggak pernah memercayakan tangan ini digenggam orang lain kecuali Mami. Tembok Mami itu tinggi banget untuk dilampaui, Pak. Bapak, kok, mudah banget bikin tembok itu runtuh perlahan.” Rindu terkekeh. “Mami selalu berpesan, suatu hari nanti akan ada pria baik hati datang menjemput saya dan membawa pergi. Jauh dari Mami. Saya sedih banget pas Mami bilang gitu.”

Bujang memilih diam.

“Saya hidup hanya bersama Mami. Enggak ada siapa pun tempat bersandar dan bergantung. Saya sebenarnya takut kalau Bapak bawa pergi jauh. Nanti Mami sama siapa? Bapak sudah saya beritau bagaimana Mami, kan? Tapi sepertinya, Bapak enggak jadi soal?”

“Secara perasaan, yang terhubung itu saya dan kamu. Bukan saya dan mami kamu. Pekerjaan mami kamu enggak ada hubungannya dengan perasaan yang saya punya. Mendengar kisah mami kamu justru saya merasa, mami kamu itu keren. Saya juga bangga karena kamu jujur mengatakan bagaimana keadaan kalian. Makanya saya ajak kamu pulang, biar kamu tau, seperti apa latar yang saya punya.”

Senyum Rindu mulai tampak di wajahnya yang manis.

“Lagi juga, saya enggak berniat pisahkan kamu dengan Mami. Sama halnya seperti saya dan Ibu. Kami juga hanya tinggal berdua. Ibu aja yang belum mau pindah. Katanya sendirian juga di Jakarta. Enggak ada teman kecuali nanti kalau saya sudah menikah, ada menantunya yang temani beliau.”

“Lho? Saya, kan, kerja. Masa di rumah? Enggak mau,” pungkas Rindu dengan cepatnya

“Oh, jadi mau menikah sama saya, kan?”

Rindu mengerjap heboh jadinya. “Ah, bicara sama Bapak penuh jebakan.”

“Ya enggak, dong, Rin. Kan, kamu yang merespon enggak mau ada di rumah? Kamu maunya kerja.”

Gadis itu mencebik tak terima. “Salah terus bicara sama Bapak.”

“Jangan Bapak gitu, Rin. Aa’, Abang, Akang, atau Mas boleh lah. Honey atau ayang beb juga enggak jadi masalah. Asal jangan Bapak gitu. Saya merasa tua sekali di samping kamu.”

“Memang sudah tua, kan? Inget, empat belas tahun lho jarak kita berdua.”

Bujang rasanya ingin mengacak rambut Rindu sampai gadis itu marah-marah.

“Itu,” tunjuk Rindu dengan cepatnya. “Ada KFC. Beli sarapan dulu, Bae.”

Kening Bujang jadilah berkerut banyak. Sudah tua, ditambah makin tua karena kelakuan Rindu. “Iya saya tau itu KFC. Saya sudah pasang sein untuk belok, kok. Tapi tadi saya dengar ada yang aneh? Kamu panggil saya apa?”

“Bae,” katanya singkat tapi penuh dengan cengiran. Ehm … ada rona malu-malunya juga, sih, yang membuat Bujang makin jadi kebingungan.

“Apa itu?”

“Cari sendiri di google.”

Bujang … melongo, lah! Hanya karena panggilan saja harus banget cek google! Rindu memang keterlaluan. Untungnya Bujang sayang! Sayang banget malah! Saking sayangnya, ia jadi ingin segera diseret ke KUA saja!

 

 

 


 

[54] Bee dan Bae

“Nah, ini rumah aku,” kata Bujang sembari menarik tuas persneling. Mesin mobilnya pun ia matikan. “Alhamdulillah sampai juga.”

Rindu melepas seat belt-nya. Bersamaan dengan itu juga, Bujang menahan sekilas lengan Rindu.

“Biar aku bukakan pintu buat kamu.”

“Oh, tidak!” Rindu menggeleng tegas. Cengirannya lebar sekali. “Enggak mau! Saya enggak mau dimodusin Ba—“ Rindu meringis. “Oke, Bae. Aku enggak mau, ya, dimodusin kamu lagi. Ogah! Bahaya!”

“Memang aku ini virus? Berbahaya?” Bujang tertawa lah. Apalagi melihat kelakuannya Rindu yang langsung melesat keluar dari mobil begitu saja.

Sementara Rindu rasanya ingin menutup wajahnya dengan apa pun. Tapi mana bisa, kan? Kenapa, sih, dirinya harus berurusan dengan pria model Bujang?

Belum bisa ia lupa, lho, saat mereka memesan makan untuk sarapan. Bujang tak mau dengan layanan drive thru entah apa sebabnya. Padahal paling mudah, kan? Tinggal tunjuk ingin pesan yang mana tanpa harus turun dari mobil. Saat ditanya, dengan entengnya ia berkata, “Kenapa memangnya? Saya mau melihat menunya lebih jelas.”

Tuhan! Berikan Rindu sabar yang luas menghadapi Bujang lengkap dengan tingkahnya. Kadang Rindu lupa, dirinya juga ajaib dan membuat Bujang terkikis sabarnya. Jadi … bisa dibilang mereka pasangan yang klop, kan? Doa saja sampai serupa begitu.

Pesanannya juga tak jauh dari ayam lengkap dengan nasi juga aneka snack yang terpampang di layar menu. Ditambah kopi serta waffle yang ingin Bujang nikmati. Sesaat setelah Bujang bayar semua tagihannya, mereka diminta untuk menunggu. Di mana Rindu memilih duduk di salah satu kursi paling dekat dengan meja kasir. Sementara Bujang malah terlihat asyik dengan ponselnya.

Tadinya ingin Rindu interupsi, tapi keburu namanya dipanggil lengkap dengan beberapa kantung pesanan mereka.

Bujang? Masih asyik ternyata dengan gadgetnya.

“Pak,” panggil Rindu. “Ayo.”

“Oh, sudah.” Bujang segera memasukkan ponselnya. “Biar saya yang bawakan.” Ia pun mengambil kantung berisi aneka makanan serta berhati-hati dengan kantung lainnya. Berisi minuman yang meski ditutup rapat, tapi bisa jadi tumpah kalau tak diperhatikan cara membawanya, kan?

Rindu mengekori saja. Namun langkahnya terhenti begitu saja saat Bujang mendadak menghentikan langkah. “Bapak!” Untung saja Rindu tak menabrak punggung Bujang begitu saja. “Kenapa, sih?”

“Kok, Bapak lagi?” Bujang menoleh. “Padahal panggilan tadi saya suka, lho.”

Rindu mencebik. “Memang sudah tau artinya?”

“Barusan.” Bujang terkekeh. Ah … ucapan pria itu membuat Rindu menyadari kalau Bujang sibuk dengan ponselnya untuk mencari tau arti nama yang tadi ia sebut. Hal ini membuat Rindu bingung mengalihkan mata ke mana karena Bujang malah makin mengikis jarak.

“Before anyone else,” kata Bujang. “Panggilannya membuat konsentrasi aku buyar, Bee.”

Jelas lah Rindu kelojotan. Apalagi saat tangan Bujang terjulur merapikan helai rambut Rindu. “Ketimbang aku enggak konsentrasi nyetir, lebih baik menjinakkan dulu jantung aku ini.”

Rindu mau tertawa tapi enggak bisa! Karena sekarang, Bujang benar-benar ada di depannya. Sampai ia harus mendongak demi untuk menatap matanya karena sungguh, cara Bujang menatapnya tampak berbeda.

“Bisa-bisanya kamu menggoda sekaligus menggemaskan di saat yang bersamaan, Bee.”

“Bee?” ulang Rindu. “Kenapa, Bee?”

“Bae dan Bee, biar imbang. Suka?”

“Suka, sih, tapi aku enggak goda kamu, lho, dari tadi. Ngaco banget pikirannya,” sungut Rindu tak terima.

“Memang enggak,” Bujang mengusap puncak kepala Rindu pelan. “Tapi cara kamu ada di sisi aku itu enggak lazim. Aku enggak bisa berkutik sama sekali. Bahkan hal sesepele panggilan saja, sudah membuat aku rasa setengah gila.”

Rindu berdecak. “Gini amat punya pacar yang beda jauh usianya.”

“Justru karena beda usianya jauh, aku terasa muda lagi.” Bujang terkekeh. “Mulai sekarang panggilan itu berlaku untuk kita. Deal?”

 “Deal, sih, deal,” Rindu sedikit merengut padahal salah tingkah, Pemirsah! Bagaimana tidak? Bujang ini tak mau menyingkir barang seinchi, lho! Tak tau kah ia kalau mereka ada di dekat pintu masuk restoran? Siapa tau menjadi bahan tatapan orang lain? Tadi Rindu sempat melihat ada beberapa pengunjung dan banyak juga staff restoran yang

Kenapa, sih, moment yang Bujang ciptakan tak pernah sesuai?

“Tapi kenapa wajah kamu keliatan enggak suka? Ada yang salah?”

Makin jadi lah Rindu cemberut. “Sadar enggak kita di mana?”

“KFC,” sahut Bujang dengan cepatnya.

“Ck!” Rindu melipat tangannya di dada. “Saat Ba—oke, enggak usah melotot kenapa? Seram tauk!” dumelnya. “Saat bilang mau mendekati aku, tau di mana? Tepi jalan. Di tepian kedai ecel ayam! Berapa kali juga menanyakan hal yang sama tapi bukan di tempat yang romantis, kek. Suasananya pas gitu, lah. Ini enggak. Pas di kantor juga. Kapan, sih, momentnya enggak pernah bagus?”

Sudah lah. Bujang menyerah bicara dengan Rindu. Jadinya ia tertawa saja dengan semua keluhan yang keluar dari bibir kekasihnya ini. “Iya juga, ya.”

“Aku juga masih ingat, lho, saat kamu bilang bersiap kalau mendadak sikap kamu berubah manis. Mana? Enggak ada, ya. Yang ada tiap hari makin nyebelin.”

“Termasuk sekarang?” Bujang sudah tak tau harus bagaimana lagi selain ngakak.

“Iya, lah!”

Puas tertawa, barulah Bujang berkata, “Semua moment itu kamu rusak sendiri, Bee. Sudah, ayo masuk dulu. Nanti orang lain lihat, enggak enak.”

“Baru sadar?”

Bujang menggeleng saja. Tangan Rindu yang bebas, ia genggam. Dan rasanya tepat sekali saat Rindu membalasnya. Dibukakannya pintu untuk Rindu, memastikan gadis itu duduk dengan nyaman. “Dengar,” kata Bujang setengah berjongkok di depan Rindu. Di mana bisa ia lihat keterkejutan gadis itu karena tingkahnya. Tapi mau bagaimana lagi? Bujang tak bisa menahan diri terlalu lama.

“Buat aku, bukan tempat yang penting terciptanya satu moment manis, Bee. Tapi dengan siapa terciptanya moment yang enggak mudah untuk aku hilangkan dalam hidup. Di mana moment itu ada karena kamu.” Bujang tersenyum tipis. Mata yang ia punya sepertinya menemukan kegemaran baru. Tenggelam dalam manik sehitam kelamnya malam milik Rindu.

“Seperti sekarang,” Ia pun sedikit mencondongkan diri. Sebelah tangannya memegangi tepian kursi yang Rindu duduki, satunya menahan tengkuk Rindu. Dilabuhkan satu cium yang tak peduli andai orang lain melihatnya. Tempat parkir yang Bujang ambil juga sepertinya aman. Lagi pula andai ada yang tak senang dan menyeret mereka ke KUA, justru Bujang jadi bersorak girang.

Rindu yang mendapat serangan tiba-tiba barusan hanya bisa mendelik tak percaya. Apalagi rasa yang menyapa permukaan bibir Rindu jauh lebih dari sekadar bertemu. Lembut sekali Bujang memberi sentuhan. Seolah waktu terhenti di antara mereka. Tak ada gerak yang terburu-buru dari Bujang. Semuanya dalam gerak yang begitu membuat Rindu makin terbuai. Sampai rasanya, tangan Rindu tak sadar mencengkeram kemeja Bujang sebagai pegangan.

Di saat Bujang melepaskan dengan amat perlahan, Rindu seolah mengalami distorsi waktu. Yang ia rasakan, bibir Bujang masih bermain di atasnya dengan gerak yang begitu perlahan. Seolah memperlakukan ia memang butuh kehati-hatian. Yang mana membuat Rindu tak bisa berpikir apa pun selain menikmati, serta berusaha untuk mengimbangi. Kening mereka bersatu sembari menormalkan laju napas masing-masing.

“Ucapan kamu kemarin serius, Bee?” tanya Bujang sembari sedikit memberi jarak. Poni Rindu yang agak berantakan, ia rapikan.

“Yang mana?”

“Your first kiss? Did I steal it?”

Rindu merengut. “Memang aku ini berpikiran untuk punya pasangan? Pikirku cuma kerja. Berteman dengan lawan jenis, oke aja. tapi kalau sampai pacaran gitu masih mikir-mikir. Punya pasangan itu ada di prioritas ke sekian tauk.”

“Kenapa?” Bujang cukup penasaran sebenarnya. Seorang Rindu? Yang ia tau memang memiliki wajah cukup menarik. Tapi bertambah memberi kesan yang jauh dari sekadar menarik setelah ia tau bagaimana kepribadiannya.

“Entah.” Rindu sendiri tak tau kenapa ini terjadi padanya. Memang dalam pikirnya selama di Gajah Mada, hanya bekerja dengan baik, tekun, tak terlibat masalah karena ia berkaitan langsung dengan uang, jujur. Hanya itu. Tak ada kepikiran aneh untuk menjalin asmara. Mungkin kalau hanya sekadar kagum dengan rekan kerjanya, ada sedikit. Tapi tak sampai membuatnya merasa tolol dipermainkan perasaan.

Ia sendiri heran, kenapa justru dengan Bujang seperti tertarik magnet yang sangat kuat. Tak ingin mendekat atau didekati, tapi kalau dirunut sejak awal, mereka berdua memang tak bisa lepas satu sama lain.

“Nunggu Tuhan bermain di antara kita?”

Rindu sukses tertawa. “Bahasanya! Macam pujangga aja!”

“Lho, serius itu. Kalau kamu enggak tergerak punya pasangan tapi langsung setuju aku dekati, apa namanya kalau bukan tangan Tuhan yang bermain?”

“Bicara sama kamu butuh banyak kosa kata untuk membalik keadaan, ya,” Rindu masih setia dengan tawanya. “Ayo, ini keburu siang nanti. Belum sarapan juga, ih.”

Bujang pun bergegas masuk ke dalam mobil. Apa yang Rindu katakan memang benar. Semakin ia lambat bergerak, bisa jadi saat melewati arah Puncak, peraturan sudah berlaku dan membuar mereka terjebak lama sebelum masuk ke sana.

“Kamu jadi suapi, kan” tanya Bujang begitu melihat Rindu mulai membuka satu demi satu pesanan tadi.

“Iya,” sahut Rindu cepat. “Waffle, kan?”

“Siram gulanya jangan terlalu banyak. Sudah cukup hidup aku manis karena kamu.”

Rindu berdecak. “Enggak usah ngomong asal.” Ia memotong bagian roti panggang itu dengan cepat. “Makan aja.”

“Kegedean, Rin. Itu namanya kamu mau bunuh aku.”

“Ini kecil, astaga!”

“Bisa tersedak nanti.”

Rindu potong bagian itu menjadi lebih kecil lagi. padahal tinggal HAP, kunyah, telan, beres! Susah banget kalau sama Bujang. Itu belum seberapa ketimbang saat ia meminta Rindu untuk meniupi kopinya. Tuhan! Di mana warung isi ulang sabar? Ada tidak, ya?

Bujang dan segala kerepotannya perkara makan! Benar-benar menghabiskan sabar yang Rindu punya!

***

Sambutan Syarifah saat mobil Bujang berhenti di depan halaman rumahnya? Jelas girang. Ia tergopoh keluar tak peduli kalau masih meninggalkan kompor menyala. Niatnya mau membuat sambal ati ampela kesukaan Bujang, tapi karena terlalu senang menyambut kedatangan putranya, ia lupa.

Sampai …

“Bu, kok ada bau hangus?” tanya Bujang memecah keseruan obrolan antara Rindu dan ibunya.

“Eh!” Syarifah bangun segera. “Lupa Ibu, ya ampun! Lagi masak!”

Pria itu dengan cepat melesat pergi ke dapur. Disusul Syarifah serta Rindu. wajah mereka jelas panik, lah. Dimatikan dengan segera kompor yang masih menyala tadi. wajan berisi masakan ibunya, sudah pasti gosong di bagian bawah.

“Ya ampun, Ibu lupa!”

Mau memarahi ibunya juga percuma. jadi bujang memilih untuk menarik kursi makan saja. duduk dengan menghela lega berulang kali. “Jangan sampai lupa, Bu. Bahaya, lho.”

Ibunya? Nyengir tanpa dosa. “Yah, padahal masakan kesukaan kamu, lho, Jang. Eh, Rindu suka makanan apa? Ibu buat, ya.”

“Apa aja. Yang pengin enak.”

“Kamu suka masakan khas Sunda gitu?”

“Khas Sunda itu macam mana, Bu?” Rindu menerima uluran tangan Syarifah untuk duduk di sampingnya.

“Itu, lho, Lotek? Karedok?”

“Oh. Suka, kok. Aku enggak pilih makanan, Bu. Yang penting bikin kenyang perut dan enggak keracunan.”

Syarifah ngakak. “Tega benar Ibu meracuni kamu, Rin.”

Rindu ikut larut dalam tawa yang Syarifah buat. Sambutan Syarifah membuat Rindu mengikis habis rasa takutnya.

“Kita bikin lotek aja buat makan?” tawar Syarifah. “Kamu mau, Jang?”

“Terserah Ibu. Aku ikut aja.”

“Alah. Kamu, mah, ada Rindu aja ikut maunya apa. Coba kalau enggak. Milih maunya ini itu.”

“Ih! Ternyata gitu, ya, Pak Bujang kalau di rumah.” Rindu tampak kegirangan. Saking girangnya juga sampai ia bertepuk tangan. “Tadi aja, ya, Bu, ribet banget mau sarapan. Jangan terlalu manis, lah. Jangan terlalu besar potongannya, lah. Enggak mau banyakan daging ayamnya. Sausnya harus banyak, lah. Alah!”

Syarifah makin puas tertawa. “Tuh, dengar Rindu. Bikin repot aja perkara makan.”

“Makan itu yang penting enak, bikin kenyang, dan sehat. Ya, Bu?” Rindu mengacungkan jempolnya.

Syarifah segera merangkul RIndu. “Mantu Ibu mah juara udah.” Matanya melirik sinis kea rah putranya. “Dah, kamu jaga rumah. Kami mau belanja.”

“Ayo.” Rindu berdiri. “Itu di depan motor siapa? Bisa dipinjam enggak? Biar Rindu bonceng Ibu. Kita jalan-jalan belanja.”

“Lah itu yang punya,” tunjuk Syarifah pada putranya yang menahan senyum sejak tadi. “Kalau di sini, Bujang pakainya motor itu keliling sana sini.”

“Serius, Bu?” Rindu tak percaya.

“Iya. Memangnya kenapa?”

“Ih! Bilangnya enggak mau pakai matic! Enggak LAKIK gitu katanya.”

“Kapan aku bilang gitu, Rin?” Bujang bersuara juga. Tapi wajahnya penuh dengan senyuman. Melihat kedekatan mereka berdua, sudah cukup bagi Bujang untuk bahagia.

“Bilang aja, sih, kalau lupa. Aku enggak keberatan, kok, kalau Bapak banyak alasan.”

“Ngawur!” Bujang ngakak. “Sudah lah. Kalian memang cocok bersatu padu mengejek saya. Nyerah kalau harus melawan dua perempuan.”

“Memang kamu harus mengalah sama kita berdua,” kata Syarifah dengan puasnya. “Ayo, Rin. Duh, enaknya punya anak perempuan. Bisa temani belanja, ngobrol dari tadi sampai lupa masakan, eh … Ibu bilang sama mami kamu dulu kalau sudah sampai. Nanti anaknya dicariin. Atau pas pulang besoknya, kamu tinggal di sini aja. Biar Bujang yang kerja. Kamu sama Ibu di sini.”

Akhirnya Rindu sadar kalau Bujang berbakat menjebak orang lain dari perkataan, diajarkan dengan sangat sempurna oleh ibunya. Tidak! Rindu tak akan terjebak untuk kali ini. Ia memilih untuk tidak menyahuti apa-apa kecuali pamer deretan giginya yang putih dan rapi.

Setelah menunggu Syarifah selesai dengan urusannya, di mana juga Rindu bicara dengan sang ibu, mengabarkan kalau ia sampai di rumah Bujang dengan selamat tanpa kurang apa pun. Lalu bersiap untuk keluar mengantarkan wanita yang ternyata jauh sekali dari kata menyeramkan. Bayang Rindu mengatakan, kalau Bujang di awal saja kaku dan menyebalkan, bisa jadi ibunya lebih dari itu, kan?

Tapi ternyata ia salah total. Dari penyambutan Syarifah beberapa waktu lalu, bagaimana cara wanita itu mengajaknya bicara, juga beberapa kali tak membiarkan Rindu dalam keadaan canggung, sudah bisa ia rasakan ketulusan wanita yang masih menyisakan kecantikannya meski sudah mulai digerus usia.

Setidaknya, Rindu tak merasa asing ada di sini.

“Duh, anak Ibu kenalan di mana bisa punya calon istri cantiknya seperti ini?” Syarifah entah sudah berapa kali mengatakan hal ini. Ditambah kali ini, ia rapikan helai rambut Rindu. “Coba pakai ini, Rin. Biar enggak berantakan. Sayang rambut kamu bagus.” Diserahkan kuncir rambut miliknya agar Rindu bisa gunakan.

“Makasih, Bu,” Rindu tersenyum lebar. “Mau ambil di tas tapi mobilnya dikunci.”

“Nanti biar Bujang yang turunkan barang-barang kamu.” Syarifah mengusap bahu Rindu pelan. “Doa Ibu dikabulkan Tuhan dengan cepat.”

“Ehm … hubungan kami belum sejauh yang Ibu kira, kok.”

“Enggak jadi masalah.” Syarifah terkekeh. “Nanti juga bakalan cepat Ibu diajak ke Jakarta buat ngelamar kamu.” Dijawilnya pelan ujung dagu Rindu.

Rindu nyengir aja, lah!

“Pokoknya Ibu memberi restu untuk kalian. Ibu senang banget ini.”

“Yakin, Bu?” tanya RIndu dengan nada sangsi.

“Yakin. Kenapa enggak?”

“Kalau Rindu punya sesuatu yang mungkin menurut Ibu memalukan? Masih tetap merestui?”

Sorot mata Syarifah penuh tanya jadinya.

“Soalnya … hal ini bisa menjadi pertimbangan khusus untuk restu Ibu.” Rindu tersenyum tipis. “Ayo, Bu. Kita belanja dulu.”

 

 


 

[55] Pamer Mantu

 

Ehm … hampir berapa lama, ya, Rindu berkutat dengan banyak obrolan seru bersama Syarifah? Tak terhitung sepertinya. Mulai dari pintu gerbang sepertinya. Saat mereka berdua mulai berkendara dari atas motor. Ada saja yang mereka jadikan bahan obrolan. Bahkan belanja saja, entah kenapa malah melipir ke mana-mana. Ada saja yang Rindu beli. Etapi yang lebih heboh ibunya Bujang, lho. Pokoknya yang menurut beliau Rindu pasti suka, dibeli! Enggak tau dimakan atau enggak. Padahal Rindu sudah menolak tapi tetap saja, satu bungkusan tercangklong di cantolan motor.

Itu belum seberapa dibandingnya satu hal.

“Eh, Ibu Ratih, kenalin ini calon mantu saya. Cantik, kan?”

“Bu Sopiah, apa kabar? Enggak ngaji lagi di taklim Bu Ipah? Padahal seru ceramahnya. Enggak bikin ngantuk. Etapi bahas ngaji mah belakangan atuh, ya. Ini kenalan dulu sama calon mantu saya.”

“Ya ampun, Bu Riska. Mau ke mana? ini saya mah mau belanja. Calon mantu saya datang. Mau buat lotek. Kenalan dulu atuh, Bu. Kapan lagi kenalan sama calonnya si Bujang.”

Tuhan! Gigi Rindu kering, tenggorokannya juga jadi ingin dibasahi banyak air, minum satu galon juga sepertinya kurang. Belum lagi kadang ia juga ditanya oleh ibu-ibu yang memberondongnya dengan banyak pertanyaan.

Kadang ingin melarang Syarifah menjajakan Rindu ke muka umum, tapi ia tak tega. Wajah Syarifah begitu berbinar. Macam menang lotere lima milyar! Enggak mungkin Rindu rusak kesenangan itu dengan mendadak, kan? Padahal ia sudah memberi peringatan pada sang wanita paruh baya ini. Ada sesuatu hal yang mungkin saja menjadi sandungan tersendiri bagi hubungan mereka.

Apalagi mengingat tempat tinggal Syarifah yang masih kental memegang luhurnya budi pekerti serta pandangan yang tak lazim mengenai pekerjaan Farah. Jangan sampai itu menjadi masalah yang meski di awal dimaklumi, tapi nanti di masa depan, justru membuat Rindu merasa sangat sedih. Sangat tak lucu rasanya kalau sudah memperkenalkan Rindu ke mana-mana, malah enggak jadi nikah lantaran terhalang restu.

Sebentar. Memangnya Bujang langsung mengajaknya menikah?

Astaga! Belum, Rin! baru diperkenalkan oleh ibunya. Tapi kenapa ibunya sudah heboh begini? Macam mau nikah minggu depan aja!

“Ini, sih, enggak perlu masak, ya Rin?” Syarifah terkekeh melihat banyak kantung yang ia bawa. “Kamu masih mau loteknya, Rin?”

“Besok aja, Bu. Ini sudah banyak makanannya.” Rindu mengangkat kantungnya yang lain. “Enggak mungkin habis sama aku aja.”

“Iya juga, ya.” Syarifah tertawa. “Mau beli apa lagi mumpung masih di luar.”

“Enggak ada, Bu. Sudah cukup.”

“Camilan?”

“Katanya mau buat pisang goreng. Ini sudah beli pisang, lho.”

Syarifah tertawa lagi. “Lupa.” Ditepuknya pelan kening yang sudah agak keriput ini. “Maklum sudah tua, Rin. Tapi kamu suka pisang goreng, kan?”

“Suka, Bu,” Rindu nyengir lebar. “Pokoknya aku itu sama makanan enggak rewel. Yang penting perut aku kenyang.”

Sorot mata tua Syarifah tampak jauh lebih berbinar. “Ya ampun, Ibu senang deh kalau enggak ribet perkara makan. Enggak nolak kalau Ibu masakin sesuatu.”

“Memang pernah ada yang nolak Ibu buatkan makanan?” Rindu memilih mengambil kantung yang Syarifah tenteng. “Biar Rindu aja yang bawa. Berat.”

“Enggak ada, sih.” Syarifah terkekeh. “Bujang itu enggak pernah bawa pasangannya ke rumah. Selalu saja menghindar. Baru Rindu, lho.”

Kening Rindu berkerut jadinya. “Bapak bilang, punya beberapa mantan pacar. Enggak dikenalin ke Ibu?”

Syarifah mencebik. “Jangankan dikenalin, mau ngobrol aja enggak boleh! Katanya nanti ada waktunya. Eh, enggak lama putus. Katanya enggak cocok. Entah sudah berapa lama dia begitu. Ibu mah bosen ngasih taunya jangan pilih-pilih. Penting itu baik, santun sama orang tua, rajin solatnya. Cantik mah urusan belakangan.”

Rindu meringis saja.

“Tapi ternyata ada untungnya juga, ya, si Aa’ pemilih. Yang ditungguin datang ke hidupnya model kamu, Rin. Jelas aja enggak mau buru-buru.”

“Enggak gitu juga, Bu,” Rindu tertawa saja. “Memang Bapak naksir sama Rindu aja kali.”

“Kok, kamu manggil Bujang Bapak, sih? Akang atau Aa’ gitu.” Syarifah menasihati.

“Aduh … lidah aku keserimpet, Bu. Lagian, ya, enggak pantas Bapak dipanggil gitu. Orangnya aja nyebelin dipanggil Akang. Kang siomay? Kang Bakso? Atau Aa’? Ya ampun, ih … enggak mau!”

Ya Tuhan! Bujang nemu Rindu ini di mana, sih? Kenapa kata-katanya selalu spontan seolah tak merasa kalau tengah bicara dengan orang tua yang membesarkan Bujang sejak bayi?

“Umur kamu berapa, sih, Rin? Ibu penasaran,” Syarifah tak marah sama sekali dengan ucapan Rindu, kok. Malah menurutnya, Rindu ini tampil apa adanya. Tak malu untuk turun ke pasar dan berkeliling mengekori dirinya membeli banyak bahan makanan. Tak peduli ujung sepatunya kotor, gadis itu riang saja mengikuti Syarifah. Wanita itu awalnya berpikir, kalau Rindu pasti akan mengeluarkan keluhan.

Tidak. Syarifah tak berpikir untuk menguji nyali seorang anak gadis yang besar di kota, penampilan sudah seperti Cinderella, belum lagi tampangnya yang kelewat cantik sampai membuat banyak orang tak percaya. Sayangnya, semua itu patah begitu saja saat Rindu dengan entengnya ke sana ke mari untuk membantu Syarifah menemukan apa yang diinginkan.

Malah … Rindu pintar menawar! Astaga, Tuhan! Kejutan dari Rindu itu tak main-main. Di mana banyak yang memberi diskon khusus. Katanya, “Semoga ini mah beneran calonnya Bujang, ya. Bapak tambahin ini ikannya. Buat Neng Geulis. Betah-betah main ke sini, ya.”

Atau.

“Aduh, Neng Geulis mah kalau nawar sadis. Sudah pintar ini jadi ibu-ibu. Tapi berhubung katanya calon istrinya Bujang, mah, Ibu kasih. Mau berapa banyak? Sekilo? Dua kilo? Mau bikin apa sama kentang ini?”

Dan masih banyak lagi yang membuat Syarifah tak berhenti mengulum senyumnya. Ternyata mengajak Rindu keluar dan memperkenalkan dengan bangga sebegai calonnya Bujang kali ini tak ada salahnya sama sekali. Malah banyak yang mendoakan semoag cepat diberikan undangan resmi. Kalau banyak yang turut berdoa, bisa cepat dikabulkan, kan?

“Umur aku baru dua puluh tiga.” Rindu memberikan jaket untuk Syafirah serta helm. Sama seperti dirinya yang mulai mengenakan helm juga jaket.

“Tapi enggak baik panggil Bujang dengan sebutan Bapak, ah. Di kantor mungkin kalian atasan bawahan, tapi kalau di luar itu bukan, kan?” Syarifah naik ke motornya perlahan. “Tapi kalau nanti jadi suami istri juga atasan dan bawahan, sih, ya.”

“Ya?”

“Enggak. Ucapan Ibu jangan dianggap serius.” Syarifah nyengir jadinya. “Ayo, kita pulang. Nanti Aa’ kamu sudah keburu pingsan kelaparan.”

“Tapi aku malu, Bu, manggil Bapak gitu. Serius, deh.” Rindu nyengir. “Soalnya Bapak jauh banget usianya sama aku.”

Pokoknya jangan tanya Rindu kenapa mudah sekali mengeluarkan isi hatinya pada Syarifah. Macam dirinya ini tengah bersama Mami. Sungguh! Enggak ada sungkan serta canggung yang ia rasakan sepanjang jalan berkeliling entah di mana ini, Rindu tak mengerti.

“Makanya belajar. Pasti terbiasa. Panggil aja Aa’ biar sopan. Kan juga didengarnya manis gitu.”

Rindu menganguk pelan saja. “Aku coba, deh.”

“Harus dicoba. Enggak beracun, kok.”

Gadis berambut pirang itu ngakak jadinya.

“Nanti malam tidur sama Ibu, ya. Ibu masih pengin ngobrol sama kamu. Tapi jangan keras-keras. Pasti kita diomelin Bujang. Dia bawel kalau Ibu tidurnya larut. Kamu enggak apa-apa, kan, ya?”

Sudah lah. Syarifah ini tipe dan sosok yang begitu menyenangkan untuk selalu ada di dekatnya. Meski banyak ucapannya yang tak mudah untuk ia cerna, tapi sorot mata serta ketulusannya begitu menyentuh Rindu.

“Beres!” Rindu mengacungkan jempolnya. “Kadang aku juga masih suka tidur sama Mami.”

“Kamu dekat banget sama Mami?”

“Iya.”

“Kenapa kemarin enggak diajak sekalian, ya. Biar Ibu juga kenal gitu.” Syarifah sedikit menyesal. “Padahal ditelepon kemarin sudah Ibu ajak, lho. tapi enggak mau. Katanya kerja. Mami kamu masih kerja memangnya?”

“Masih.”

“Kerja apa?”

“Nanti Rindu cerita, Bu. Ini di jalanan. Takutnya Ibu shock.”

“Eh?”

Rindu tertawa saja. “Di depan ini kita belok, kan, Bu? Aku enggak hapal jalanan di sini. Nanti nyasar.”

“Iya, belok. Habis itu kamu lurus aja ikutin jalan sampai ketemu masjid gede itu, lho. Baru belok ke kanan.”

“Kamu serius enggak mau cerita, Rin? Ini Ibu jadi penasaran, lho. Enggak baik bikin orang tua penasaran.”

Ya kali Rindu cerita mengenai pekerjaan ibunya di tengah jalan gini? Yang ada bukannya didengar dengan baik dan benar, tapi bertanya terus saking mungkin tak jelas bicara. Disambar angin serta bertubrukan dengan suara kendaraan yang lainnya. Jadi enggak konsentrasi, kan?

***

“Pak?” panggil Rindu sembari mengetuk pintu kamar yang agak terbuka meski sedikit. “Bapak di dalam?” Rindu tak mau melangkah lebih jauh dari pintu kamar ini. Ia takut, selain Bujang tak ada di tempat, bisa jadi mungkin Bujang sedang berpakaian? Atau malah tidur?

“Kenapa, Rin?”

Rindu menghela panjang. “Pisang gorengnya sudah jadi. Mumpung masih hangat, Pak.” Piring berisikan pisang goreng yang masih mengepul ini masih ada di tangan Rindu. Siap untuk disajikan di ruang keluarga di mana Syafirah sudah lebih dulu ada di sana. Membawa nampan berisi cangkir serta teko teh dan juga kopi. Untuk Bujang, siapa lagi?

“Oke. Kopi saya sudah dibuatkan belum?”

Subhanallah!!!

Rindu jadinya melotot saking kagetnya! Bujang keluar menggunakan hoddie biru langit. Tampilannya jauh lebih santai ketimbang biasanya. Mata Rindu ini biasa melihat Bujang dalam tampilan rapi. Makanya jangan salahkan keterkejutan yang ia punya karena Bujang sore ini. Rambutnya juga agak berantakan.

“Kenapa kamu melihat saya begitu?”

“Bapak macam anak muda mau olah raga aja.”

Disentilnya dahi Rindu seenaknya. “Iya. Memang mau olah raga keliling kampung. Puas kamu?”

“Ih! Kejam banget jadi pacar!” Rindu mengusap keningnya yang tadi kena sentil. “Ingat, lho, dilarang KDRT sama pacar apa lagi sama istri! Nanti diceraikan dan dibuat viral baru tau rasa!”

Bujang ngakak. Bicara sama Rindu ini memang membuat kepalanya refresh mendadak.

“Pak,” panggil Rindu di mana langkahnya mengekori dengan segera.

“Hem.”

“Serius mau olah raga?”

“Iya.” Bujang memang berniat seperti itu, kok. Percuma ada sepeda yang ia beli beberapa bulan lalu tapi tak digunakan. “Kenapa?”

“Aduh!” Rindu menarik sedikit ujung lengan hoddie yang Bujang kenakan. “Jangan, ih.”

“Kenapa?” Bujang jadi heran, kan? Apa salahnya sampai dilarang.

“Bisa diturunkan sedikit enggak kadar gantengnya? Kalau Bapak seperti ini olah raganya, yang ada pulang-pulang bawa perempuan lain.”

Tunggu. Ini … RIndu bicara apa, sih? Bujang jadi menoleh, kan. Saat ia menatap tepat pada gadis yang ada di belakangnya, binar mata itu tampak gusar.

“Gimana?”

“Jangan olah raga, ih. Ngapain, sih? Mau pamer tampang gitu di sini?”

“Subhanallah!!!” Bujang tak bisa mengendalikan dirinya. Ia tertawa keras sekali sampai perutnya sakit. Sudut matanya bahkan sampai berair saking tak bisa menahan rasa yang menggelitik perutnya.

“Kalian kenapa?” Syarifah datang tergopoh mendatangi mereka. Menatap keduanya dengan raut khawatir.

“Itu, Bu, si Aa’ reseh banget.” Rindu masa bodo. Pokoknya ia harus melindungi diri. Menyelamatkan diri dari rasa malu yang sudah menyentuh ubun-ubunnya ini. Lagian kenapa, sih, mulutnya pandai sekali berkata seperti tadi? Memangnya tak ada yang bisa ia katakan lagi? Kadang rasanya Rindu harus mencuci otaknya dulu. Atau menyikat bibirnya agar lebih waras bertingkah.

“Aa’ jitak jidat aku, Bu. Lihat,” Rindu menunjuk bagian kening yang tadi mendapat sentuhan iseng Bujang. “Merah, kan? Pas aku ngeluh sakit katanya aku berlebihan.”

“Wah, kamu curang namanya, Rin. Enggak baik, lho, curang begitu.”

“Enggak, ya, Aa’ Bujang yang nyebelin. Memang itu kenyataan yang ada.” Rindu sudah berdiri di belakang Syarifah. Menjulurkan lidahnya. Meledek Bujang yang masih belum bisa mengendalikan dirinya ini. “Ayo, Bu. Kita ke depan. Kita habiskan aja pisang gorengnya.”

“Jangan jahat sama mantu Ibu, Jang.” Syarifah mendelik kesal. “Bukannya terima kasih dibuatkan camilan, malah iseng terus.”

Bujang mengeleng dengan tawa saja, lah.

“Kamu mau ke mana, Jang, pakai baju gitu? Sepedahan?” Sang ibu masih belum mau menurunkan kadar kesalnya pada anak sendiri. Lagian Bujang ini kadang kelewatan. Mana ada bersikap begitu ke pacarnya sendiri? Memangnya mereka masih ABG? Astaga, kalau ingat umur, Bujang ini enggak baik kalau terus-terusan bertingkah konyol.

“Enggak, Bu. Ngapain.” Bujang masih menyimpan kekehan geli di ujung bibirnya. “Ada yang marah, Bu, kalau Bujang keluar sekarang. Ketimbang ngebujuknya susah dan bingung, mending aku di rumah. Lagian lebih enak menikmati sore makan pisang beserta kopi.” Pria itu pun mendekat pada ibunya. Mengecup singkat pipi Syarifah lalu mengacak pelan rambut Rindu seenaknya. “Mana pisang goreng buatan kamu? Sudah lolos uji layak makan belum? Ada yang gosong enggak?”

Rindu mencebik sembari menyodorkan piring yang sejak tadi ia bawa. Meski begitu, sudut bibirnya tanpa sadar tertarik tipis. Matanya tak mau menatap ke arah lain selain pada Bujang. Di mana sekarang, pria itu dengan santainya mengamati sajian yang Rindu bawa. Sedikit mengocehi mengenai ini dan itu tapi Rindu tak peduli. Yang ingin ia lakukan hanya …

“Assalamu’alaikum,”

Buru-buru Rindu singkirkan pemikiran anehnya! Kenapa bisa, sih, otaknya justru menyuruh Rindu mendekat dan memberi satu kecup di pipi? Gila aja!

“Wa’alaikum salam,” sahut Syarifah cepat. “Siapa?” Ia pun berjalan menjauh dari Rindu juga Bujang.

Bujang tak terlalu menghiraukan tamu ibunya. Lebih memilih mengamati Rindu yang tampak nyaman, banyak senyum, tak merasa tertekan, juga bisa menikmati harinya di sini. juga … “Coba tadi ulangi panggilan untuk aku, Bee.”

“Enggak mau. Enggak ada siaran ulang,” cibir Rindu. “Ih, Aa’ jangan diacak-acak susunannya.” Satu pukulan kecil Rindu layangkan pada punggung tangan Bujang. Membuat pria itu terkekeh bukan karena pukulannya, tapi keberhasilannya meledek Rindu. Lagi.

“Mau pilih yang agak garing, Rin. Aku sukanya kalau digoreng agak kering gitu. Tapi jangan gosong juga. Ingat baik-baik.”

Bibir Rindu masih menampilkan cebikan.

“Jangan merengut gitu. Nanti aku cium baru tau rasa.”

“Mulut dijaga, A’. Ada Ibu juga.”

“Biar seru kalau Ibu tau aku cium kamu sembarangan.” Bujang tertawa. Apalagi mendapati rona wajah Rindu yang semakin nyata memerah di kedua sisinya.

“Masuk dulu, Ida.” Syarifah mempersilakan tamunya masuk. Membuat Rindu juga Bujang mengalihkan fokus pada Syarifah juga tamu yang mengekorinya.

“Iya, Bu, terima kasih. Hanya antar berkatan aja sekalian ingatkan jangan lupa besok datang.”

Begitu sosok wanita itu memasuki ruang tamu, matanya tertuju jelas pada Bujang. Yang tengah asyik memakan pisang goreng bagiannya.

“Abang?” Senyum Ida merekah lebar. Sengaja ia mampir ke rumah Syarifah karena mendengar kabar, Bujang pulang siang tadi. Sudah lama tak ia lihat serta memastikan dengan mata kepalanya sendiri, mengenai sosok pria yang masih bersemayam di hatinya itu.

“Eh, kamu.” Bujang tak terlalu peduli, sih, siapa tamu ibunya bahkan kalau itu Ida. Iya, benar! Ida yang itu. Ida yang memilih menerima dan menikah dengan pria lain hanya karena dirinya masih biasa saja. Tujuannya ke sini juga bukan untuk bertemu Ida. Apalagi datang ke pesta yang wanita itu adakan meski ia mendapat undangan.

“Apa kabar, Abang?”

 


 

 

[56] The Real Tom and Jerry

Rindu sudah bergelung dengan selimut serta guling. Nyaman sekali. Sesekali ia masih bisa merasakan adanya usapan lembut di kepalanya. Penyejuk ruangan ini hanya disetel pada suhu yang tak terlalu rendah. Udara di sekitar wilayah perumahan Bujang masih terbilang cukup dingin bila malam hari.

Syarifah memandangi gadis yang tertidur di sampingnya ini dengan senyum tulus. Tiap usapan yang ia beri, mengandung jutaan doa. Hanya agar gadis ini mau dan betah menghabiskan waktunya di sisi sang putra. Permintaannya mengenai kehadiran seorang menantu tak pernah muluk. Apalagi menerapkan standart terlalu tinggi. Ia ingat, siapa dan dari mana ia berasal. Apa yang ia nikmati sekarang adalah buah kerja dan keringat anaknya yang hidup di rantau. Ada kerja keras serta kegigihan Bujang untuk mengangkat derajatnya di muka masyarakat tempatnya tinggal.

Kebahagiaan Bujang adalah prioritasnya. Belum pernah ia lihat binar mata Bujang secerah hari ini. Hari di mana ia bawa Rindu berkenalan padanya. Ah, pernah. Syarifah ingat Bujang juga pernah bersemangat seperti ini. Dulu. Saat bersama Ida. Yang mana semangat dan binar bahagia itu dipatahkan sampai remuk oleh wanita yang menurutnya kurang ajar itu.

Tapi Syarifah tak bisa marah. Justru ia kecewa dengan dirinya sendiri sebagai orang tua, tak bisa memberi banyak kebahagiaan untuk anaknya. Masih harus mereka bekerja keras demi menyambung makan. Mulai meredakan kemarahan di hatinya, serta mendukung sang putra di rantaunya. Berdoa agar Bujang bisa membuktikan dirinya kalau ia mampu. Hanya masalah waktu saja yang belum didukung kala itu.

Suatu hari kelak, Ida pasti menyesali tindakannya menghancurkan Bujang. Syarifah yakin itu. Tak perlu ia bersikap antipati atau kesal karena penolakan seorang wanita untuk putranya. Jodoh, maut, kematian, serta rezeki bukan dirinya yang tentukan. Tapi Tuhan-nya. Maka ia berkeyakinan, jodoh Bujang pastinya datang di saat yang tepat dan siapa tau saja, jauh lebih baik dari sosok Ida.  

Dan sekarang, putranya kembali memiliki semangat itu bahkan jauh lebih membara ketimbang sebelumnya. Lantas hanya karena pekerjaan ibunya Rindu, seperti yang gadis itu khawatirkan, akan ia buat mereka menjauh satu sama lain?

Enak saja!

Di mata Syarifah, itu bukan perkara besar. Yang terpenting bagaimana Rindu ditempa yang sepertinya Farah, berhasil membuatnya menjadi gadis yang pantang menyerah. Ceria. Tau sopan santun. Bisa menempatkan diri dengan baik. Dan yang paling penting menurut Syarifah, Farah menjaga Rindu sebaik-baiknya orang tua. Tak menginginkan anaknya ada di hidup yang sama dengannya.

Dari cerita Rindu barusan, sosok Farah terbayang dalam benak Syarifah. Wanita yang gigih untuk memperjuangkan kehidupan mereka meski jalannya berbeda dengan jalan yang ia tempuh.

“Tidur yang nyenyak, Neng.” Syarifah mengecup singkap kening Rindu. “Doa Ibu biar Neng cepat jadi istrinya Aa’. Kasihan anak Ibu, sudah tua.” Syarifah terkikik. “Maafin Aa’ kalau nyebelin sama Neng, ya. Tingkahnya mah karena sayang banget sama Neng.”

Rindu bergeliat pelan di mana Syarifah sedikit membenahi posisi tidur gadis itu. Setelah memastikan selimutnya terpasang dengan baik, ia pun beranjak keluar. Belum juga langkahnya genap kembali ke kamarnya, matanya tertuju ke ruang tamu yang masih menyala TV-nya. Sayup terdengar suara pekikan serta riuh dari siaran … bola?

“Kamu belum tidur, Jang?”

Bujang sontak menegakkan punggungnya. “Ibu kenapa bangun? Berisik, ya?”

Syarifah berdecak. “Ini sudah jam sebelas malam. Tidur sana.”

“Tanggung, Bu. Kalau hari biasanya enggak bisa nonton bola. Takut bangun kesiangan,” kekeh Bujang. “Rindu sudah tidur?”

“Sudah. Nyenyak banget. Kecapekan juga kayaknya.”

Bujang tersenyum saja. “Menurut Ibu, Rindu bagaimana?”

“Kok, menurut Ibu?” Syarifah duduk di samping putranya. “Kamu sendiri bagaimana?”

“Lho, aku harus tanya pendapat Ibu dulu. Sejak datang, Ibu monopoli Rindu. Aku ngobrol cuma pas sore aja. Padahal mau tanya dia nyaman enggak di sini. Betah enggak.”

“Memang kamu pikir Ibu bakalan jahat sama Rindu?”

“Bukan gitu,” Bujang mengusap bahu ibunya. Repot kalau Syarifah yang merajuk. “Tapi melihat Rindu happy banget sama Ibu, aku jadi enggak khawatir.”

“Sayang banget, Jang?” tanya Syarifah memastikan.

“Gimana, ya, Bu?” Bujang tadinya tertawa. “Aneh aja kalau Bujang bilang jatuh cinta di usia sekarang. Apalagi perbedaan usia kami cukup jauh. Ada saat di mana nantinya, perbedaan usia ini jadi penghalang. Sekarang, sih, belum. Tapi mengingat sabar yang Rindu punya itu pendek banget, berarti aku yang harus punya sabar banyak untuk imbangi. Gitu, kan, Bu?”

Syarifah mengangguk dengan cepatnya.

“Aku tau ini terlalu cepat untuk dikatakan, tapi Bujang cuma mau sama Rindu. Menghabiskan waktu bersama Rindu itu nyenengin, Bu. Enggak bosan sama sekali. Dan ada satu hal yang buat aku yakin, Rindu jodoh aku.”

“Apa itu?” Senyum Syarifah merekah. Sudah lama mereka tak bicara dari hati ke hati seperti ini. Dulu, Bujang selalu menghindari topik mengenai gadis yang ada di sekitarnya. Alasannya, sibuk kerja. Enggak penting keberadaan perempuan di hidupnya. Sekarang?

Bahkan rasanya Syarifah harus siap tidur larut malam mendengarkan ocehan Bujang kali ini.

“Meski harus berdebat dulu untuk memberitahu suatu hal ke Rindu, tapi setelahnya, Rindu selalu turuti arahan Bujang. Menjadi pribadi yang lebih baik. Ini perkaranya di kantor, ya, Bu. Belum ranah pribadi yang terlalu jauh. Hanya sekelumit aja dari hal yang menyangkut pribadi dan perlakuannya sama.” Bujang menyeringai tipis. “Rasanya enggak rela kalau harus tau pribadi Rindu berubah menjadi lebih baik tapi bersama orang lain. Bukan sama aku.”

“Kalau begitu jangan ditunda lagi. Nungguin apa memangnya?”

“Restu Ibu, lah. Apalagi?” Bujang sedikit bersandar pada bahu ibunya. Tak terlalu memberatkan karena ia sadar, dirinya jauh lebih besar dari sosok sang ibu. “Restu Ibu bukan sekadar menyukai Rindu sekarang. Tapi sama seperti Bujang nantinya. Di saat kami memang berakhir di pelaminan nanti, bukan hanya kami berdua yang ‘kawin’. Tapi dua keluarga lengkap dengan latarnya masing-masing. Saling menerima juga jangan jadikan hal itu penghalang menggapai bahagia lainnya, kan?”

“Anak Ibu sudah dewasa banget, ya.” Syarifah mengacak pelan rambut Bujang. “Sepertinya kamu sudah tau latarnya RIndu, ya?”

Tanpa ragu Bujang mengangguk. “Lengkap dengan semangatnya bercerita mengenai maminya itu.”

“Kelihatan sekali kalau Rindu itu sayang betul dengan ibunya, Jang. Tadi juga cerita dengan menggebu gitu. Lucu lihat tampangnya. Enggak ada rasa sungkan, malu, atau canggung. Seolah tersirat bilang sama Ibu kalau seandainya Ibu enggak merestui kalian juga, RIndu enggak jadi soal. Asal enggak terungkit bagaimana ibunya membesarkan Rindu. mereka sebagaimana apa adanya. Kalau memang mau menjalin hubungan, ya harus diterima dengan baik. Jangan jadikan itu sandungan sendiri ke depannya.”

Bujang tertawa. “Yah … gitu lah. Gimana enggak makin pengin dikejar kalau begitu, Bu.”

“Pikir Rindu terlalu simple, dia dan ibunya satu kesatuan yang lengkap. Enggak bisa dipisahkan. Jangan sampai orang baru yang masuk dalam hidup mereka, justru membuat jarak malah ada. Kamu sanggup begitu, Jang?”

“Kenapa enggak sanggup?”

“Ada kemungkinan direcoki hidup kamu bersama Rindu nantinya?”

Bujang tersenyum simpul. Diambilnya tangan wanita paruh baya ini. Tangan yang sejak ia mengenai rasa sayang teramat tulus tanpa jeda bernama kasih seorang ibu, ia usap lembut dan dihujani kecupan. “Aku yakin, Ibu pun akan mencampuri kami. Aku harus bisa menerima dari sisi Rindu, begitu juga sebaliknya. Tapi aku percaya, campur tangan kalian adalah bentuk kasih sayang karena enggak ingin anaknya terluka. Sakit hati. Atau merasa mendapatkan perlakuan semena-mena dari pasangannya. Aku paham.”

Syarifah menyimak saja karena rasanya Bujang masih akan bicara.

“Tinggal bagaimana kami berdua menyikapi campur tangan kalian, kan? Karena ada kalanya membiarkan kami jatuh agar bisa bangkit jauh lebih kuat, lebih mandiri, dan lebih solid lagi diperlukan, Bu. Biar kami enggak memandang hidup yang Tuhan beri segitu entengnya. Almarhum Bapak pernah bilang, aku masih ingat.”

“Kamu dekat sama Bapak, sih, ya, dulu.”

Bujang tertawa. “Saking dekatnya, sampai enggak sangka beliau pergi sebelum sempat aku bahagiakan.”

“Enggak usah sedih gitu, ah. Kamu anak kebanggaan Bapak sampai kapanpun. Buktinya sekarang jadi sosok yang membanggakan Ibu.” Ditepuknya pelan bahu Bujang

“Bapak bilang, jangan meminta banyak pengertian dari istrimu kelak. Dia sudah menahan banyak air mata meninggalkan rumahnya demi kamu. Bicara sama Ibu, minta tolong biar istrimu itu disayang. Di rumahnya sana, istrimu itu anak kesayangan orang tuanya. Diperhatikan segala kebutuhannya. Dicintai setulus hati. Jangan hanya karena keenggakmampuannya yang sedikit, kamu marah. Ibumu ikut menyudutkan.” Tanpa Bujang sadar, air matanya menggenang. “Ibu … mau kan sayangi Rindu nantinya?”

“Kok, kamu tanya gitu, Nak?” Syarifah bergetar suaranya. “Ibu sayang, lho, sama Rindu meski belum resmi jadi menantu. Makanya, atuh ih, cepat diresmikan.” Ia usap sebagian pipinya yang basah. “Justru Ibu ini ketar ketir juga. Mau enggak Rindu terima kamu, ya, Jang? Kalau kamu dan Ibu enggak jadi soal dengan Rindu seperangkat dengan ibunya. Kalau Rindu? Sepertinya bisa dapat yang lebih dari kamu, ya, Jang?”

“Bu,” Bujang membenahi posisinya. “Jangan gitu dong, Bu. Sama aja Ibu dorong aku ke jurang.”

Sebenarnya ini pembicaaannya agak mellow, kan? Kenapa jadi malah Bujang yang kembali disudutkan? Lagi-lagi ibunya selalu bisa membuat ia geram dan kesal. Tapi enggak bisa ia lontarkan kemarahannya pada sang ibu. Karena setelahnya, ia dapatkan peluk hangat beserta doa agar Rindu jangan meninggalkan hidup Bujang kali ini. Restunya full untuk hubungan mereka.

Tinggal membujuk bagaimana agar Rindu mau cepat dinikahi. Sulit enggak, ya?

“Eh, bicara tentang perasaan kamu. Sudah enggak mikirin Ida, kan, Jang?”

“Kenapa jadi Ida dibawa, Bu?” Bujang terperangah.

“Yah … kali aja kamu masih teringat Ida, Jang. Apalagi tadi mampir, kan?”

“Enggak, lah.” Bujang menegakkan punggung. “Sudah ada Rindu yang buat Bujang enggak bisa memikirkan hal lainnya, Bu.”

“Awas aja kamu kalau sampai macam-macam. Kamu termasuk beruntung Rindu mau sama kamu. Coba enggak?”

“Ibu serius ngomong gini ke aku? Tega amat, ya?”

***

Rindu bangun pagi ini dengan perasaan yang jauh lebih baik. Iya lah. Tidurnya nyenyak banget enggak ada gangguan sama sekali. Alarm saja sepertinya lupa ia nyalakan. Lagian ini, kan, hari minggu. Kebetulan juga besok senin tanggal merah. Merdeka banget, kan, hidupnya kali ini?

Rencana Bujang pulang di hari senin siang setelah makan siang. Long weekend seperti ini bisa menjadi perjalanan mengerikan kalau salah jam kepulangan. Puncak Bogor adalah destinasti yang populer disinggahi banyak warga ibu kota. Jangan sampai mereka terjebak macet berjam-jam dan membuat suasana tak nyaman sepanjang pulang nanti.

Rindu mengedarkan pandangan pada kamar ini. Kamar yang ia tempati adalah milik Bujang. Rumah ini hanya ada dua kamar. Bujang mempersilakan Rindu untuk tidur di sana. Bicara banyak dengan ibunya sepanjang malam dengan obrolan yang seru. Termasuk sebenarnya menceritakan Bujang saat masih berseragam sekolah dulu. Tak jarang Rindu cekikikan mendengar semua cerita dari Syarifah. Dan tak lengkap rasanya tanpa ada foto masa lalu yang menjadi bumbu kisah tersendiri.

Album foto itu masih ada di meja yang di sudutnya berdiri banyak buku mengenai bisnis dan perbankan. Bujang memang memiliki minat tersendiri mengenai pergerakan dunia yang ia tekuni sekarang rupanya. Rindu kembali mengambil album itu. Membuka satu demi satu lembaran yang ada di sana. Yang mana sejak semalam ada satu yang menarik perhatian Rindu.

Foto Bujang saat mengenakan seragam putih biru. “Ih, beneran lho ya. Dia SMP, aku baru lahir.” Rindu terkikik. “Tapi pas SMP, Bapak biasa aja lho. kenapa makin tambah usia malah makin ganteng coba?” Dikeluarkan selembar foto itu dari tempatnya. Diperhatikan dengan amat teliti di sana.

Agak memudar background tempat diambilnya foto tersebut tapi tak mengurangi kenangan yang ada di dalamnya.

Syarifah bercerita semalam mengenai foto ini. “Aa’ kamu pas itu juara lomba. Apa, ya? Ibu agak lupa. Puisi atau matematika. Duh, pokoknya menang lomba. Hadiah itu dipajang,” tunjuknya pada satu tas yang tergantung apik di salah satu sudut ruangan ini. Dilapisi plastic bening agar tak mengotori kulit permukaan tas selempang berwarna hitam. “Zaman dulu tas itu buat Bujang mah berharga banget.”

Rindu setuju. “Foto ini boleh buat aku enggak, Bu?”

“Oh, boleh atuh! Kenapa enggak boleh? Ambil semuanya juga enggak apa-apa. Ibu masih punya satu lagi di ruang tamu.”

Gadis berambut pirang itu menggeleng cepat. “Ini aja sudah cukup. Pas Aa’ sudah berseragam gini aku baru lahir.”

Syarifah jadinya tertawa. “Iya, ya. Kamu, mah, masih orok kali.” Diusapnya pelan puncak kepala gadis yang masih menatap foto itu dengan kagumnya. “Ibu doain pokoknya mah kalian berjodoh. Ibu terlanjur sayang sama kamu. Kalau Aa’ macem-macem, bilang Ibu. Biar Ibu marahin.”

“Kalau akunya yang macem-macem gimana, Bu?”

“Oh, badung enggak mau dibilangin Aa’? Suruh si Aa’ lebih sabar ngadepin kamu, lah. Masa iya enggak bisa? Jangan cuma tua di umur tapi pemikirannya pendek.”

Rindu kembali tertawa. “Pokoknya Rindu selalu benar, ya, Bu.”

“Perempuan selalu benar,” koreksi Syarifah.

Yang mana membuat Rindu, kalau mengingat pembicaraan semalam rasanya ingin tertawa terpingkal-pingkal. Ibunya Bujang memang semenyenangkan itu. Membuatnya betah berlama-lama ada di dekatnya. Semoga juga bukan karena euphoria semata tapi suasana menyenangkan ini terjalin untuk waktu yang lama.

Doanya Rindu pagi ini kurang lebih seperti itu.

Etapi tunggu.

Rindu menegakkan punggungnya. Kalau doa seperti itu, bukannya sama saja meminta Bujang untuk segera menikahinya? Tuhan! Bagaimana ini? Masa di usia dua puluh tiga, dirinya sudah punya suami? Tapi kalau suaminya model Bujang, Rindu mana bisa menolak. Ya, kan?

“Rin,” panggil seseorang sembari mengetuk pintu kamarnya. Hal ini membuat Rindu segera memasukkan foto yang baru ia ambil ke dalam dompet miliknya. Juga album barusan ke tempat semua.

“Rin, sudah bangun belum?” tanya Syarifah sekali lagi. Ia takut menganggu tidur Rindu sebenarnya. Tapi rasanya sayang kalau sampai gadis itu melewatkan sarapan yang ia buat. Bujang sendiri sejak tadi asyik merapikan taman di samping rumahnya. Katanya hanya mau sarapan kalau sudah ada Rindu.

“Sudah, Bu,” sahut Rindu segera sembari membukakan pintu.

“Ibu buat nasi liwet. Ayo, makan dulu.”

“Ih, kok Ibu enggak bangunin aku?” Rindu merasa bersalah jadinya. “Kan, kemarin katanya mau masak bareng. Jam berapa sekarang?”

“Jam delapan,” sahut Bujang dengan cengiran lebar. “Sudah gagal kamu jadi calon mantu yang baik di mata Ibu.”

“Ih, mohon maaf ya Aa’ Bujang yang nyebelin. Tolong itu diralat ucapannya. Sarapan aku lewatkan bantuin Ibu, nanti makan siang aku bantuin Ibu masak. Awas aja kalau ketagihan masakan buatan aku.”

Bujang mencibir. “Yakin?”

“Iya, lah.”

“Biarin aja Bu nanti siang dia yang masak. Kita lihat, apa dia hancurkan dapur atau sekelas Chef Renata masakannya.”

“Enggak sekalian Chef Arnold atau Chef Juna dibawa-bawa?”

Sudah lah. Rumah Syarifah pagi ini ribut karena yang satunya hobi meledek, satunya lagi bersumbu pendek. Tak ingin Syarifah jeda pertengkaran mereka. Toh … jadinya ramai rumah yang biasanya sepi ini. Sesekali mendengarkan keributan itu perlu, kan?

 

 

 

 

 

 



 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Bujang-Rindu
Selanjutnya PREMAN ITU SUAMIKU. [70]
2
3
[70]] Tertaut__ SPoiler : “Kenapa?” Pras masih berusaha untuk menenangkan Lavi lewat usapannya. “Kalau saat itu Tuhan enggak baik hati ke aku dan Abang … aku …” Napas Lavi tercekat. Bayang mengerikan mendadak menghantamnya. Membuat ia mengeratkan pelukannya pada sosok yang masih berkendara dengan fokus. Meski jalanan tak terlalu ramai, tapi track yang ditempuh cukup membuat nyali Lavi sedikit ciut. Mirip dengan jalan yang ia temph saat mengunjungi mansion Quassano di bukit perbatasan wilayah Utara dan Selatan.Perbedaannya, perjalanan kali ini Lavi tak disuguhi hutan pinus. Tapi laut yang biru tenang di sisi kirinya. Indah sekali, sungguh, kalau Lavi boleh mengutarakan pemikirannya. Tapi sebelum mencapai garis pantai, ada jurang yang terjal di sepanjang jalan yang mereka lalui. Lavi benar-benar asing dengan jalan yang mereka lalui ini.“Semua sudah berlalu. Lo enggak perlu takut, Neng.” Pras tertawa kecil. “Selama napas gue masih ada, gue pastikan perlindungan utama untuk lo. Paham?”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan