RINDU BUJANG. [49], [50], [51], & [52]

6
0
Deskripsi

Isi konten :

[49] Rindu dilawan? Slebew!

[50] Pilih RIndu sebagai lawan itu salah

[51] First Kiss

[52] Pak Tio mau apa lagi?

 

***

Spoiler 

“Oiya untuk laporan sore ini, kamu yang buat, ya, Dela.”

“Bukannya itu tugas Yuni?”

“Seminggu lalu sudah Yuni yang kerjakan. Iya, kan, Yun?”

“Ah!” Yuni menoleh dengan tatapan bingung. Sejak tadi memang ia sibuk menghitung uangnya kembali. “Iya kayaknya. Aku enggak ngecek, sih, Kak.”

“Iya. Saya tau, kok.” Rindu tersenyum, “Jadi … semingguan ini kamu yang buat, ya, Dela.”...

[49] RINDU DILAWAN? SLEBEW!

Dela santai saja melangkah ke ruangan Bujang. Pokoknya bagi Dela, Rindu itu salah. Dan semua yang berkaitan dengan Rindu akan ia jegal juga. Lagian di Senayan ini, Rindu hanya punya Yuni, kan? Ayana masuk tiga bulan kemudian, itu juga selinting kabar terdengar kalau Ayana mau resign. Bagus lah kalau Ayana resign. Jadi masih banyak waktu untuk Dela berbuat semaunya dan menyalahkan kinerja Rindu. Menyudutkan Rindu dan membuat gadis itu tak memiliki teman.

Lantas … resign dengan sendirinya. Ah, kalau sampai itu terjadi ia yakin dirinya pasti diminta untuk menggantikan Rindu. Tujuannya tercapai! Dia sudah kegirangan memikirkan rencana busuknya itu. makanya sepanjang menaiki anak tangga menuju ruang Bujang, ia menyeringai penuh licik.

Marta bilang, penilaian Rindu juga enggak bagus-bagus amat. Kenapa juga malah dikasih kesempatan oleh Pak Kurniawan. Beliau, lho, yang langsung turun tangan dan ikut campur. Bukan lagi Bujang atau Marta. Hebat, kan? Apa, sih, yang Rindu punya sebenarnya? Apa keistimewaannya gadis itu! Enggak ada, lho! Ck! Akan Dela buat mereka semua tau, Rindu itu tak pantas menggantikan Ayana.

Termasuk kesalahan yang sebenarnya ia tau. Dela sengaja melakukannya dan dengan entengnya nanti berkata, “Tapi yang posting terakhir, kan, Kak Rindu. Kenapa sebagai atasan enggak diteliti dengan baik?”

Belum juga berkata seperti itu di depan Bujang juga Marta, ia sudah senyum senang duluan. Merasa semua rencananya bisa berjalan dengan baik.

“Pagi, Pak,” sapa Dela dengan ramahnya. Apalagi ia juga sudah mendengar kalau dirinya dipersilakan masuk. “Ada apa, ya, Pak?”

“Duduk dulu.” Bujang belum mau mengangkat matanya dari laporan yang tengah ia diskusikan bersama Marta. Sejak kedatangannya tadi pagi, Marta ternyata sudah menunggu. Bukan untuk dibawakan sarapan, ya. Bujang pastinya nolak, kok. Tapi membahas mengenai kinerja Dela selama di BBRI Senayan. Marta sudah sadar diri kalau ia kalah telak.

Termasuk masalah absensi yang sering dilakukan Dela.

Dela tersenyum lebar saat matanya bersitatap dengan Marta. Padahal menurut Dela, mereka pasangan yang serasi. Dekat dengan Marta, kadang membuat atasannya itu terkadang bercerita mengenai sosok Bujang. Memang hampir serupa penilaian Dela dengan apa yang Marta katakan. Itu lah kenapa Dela merasa Bujang pantasnya dengan Marta. Bukan Rindu.

Makanya Dela berharap Marta saja yang berhubungan dengan Bujang. 

“Kamu sudah sehat?” tanya Marta berbasa basi sekilas.

“Yah … saya paksakan masuk, Bu. Enggak enak juga kalau Yuni harus sendirian jadi teller.” Dela berkata dengan suara lemah. “Sebelumnya ada apa, Bu, saya dipanggil ke sini?” Ia mengerjap polos.

Sampai Rindu masuk ke dalam ruangan dengan membawa laporan, Dela memilih menyimak saja. Tak ada yang bicara juga baik Marta atau Bujang. Mereka berdua sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

“Pak, Rindu sudah datang.”

Bujang pun menghampiri Rindu yang sudah duduk di sisi Dela. Marta ada di depan mereka berdua, sementara ia memilih duduk di sofa single. Lebih aman. Ketimbang dirinya mendapatkan lirikan sinis dari Rindu? Ia masih sayang nyawa dan kesempatannya untuk mendekat pada gadis berambut pirang ini.

“Kamu tau kenapa kami panggil, Dela?”

Mata Dela menatap Bujang tanpa ragu. Lalu tersenyum tipis seraya menggeleng. “Ada apa memangnya, Pak?”

Rindu meletakkan slip yang bermasalah tepat di depan Dela. Termasuk laporan di hari sebelumnya. 

“Kenapa ini, Kak?”

“Coba kamu teliti ada apa?”

“Kenapa saya harus yang meneliti? Kan … saya sudah beri tanda di mana sudah saya crosss check.” Dela terkekeh. “Seharusnya yang meneliti itu Kakak. Bukan saya.”

Rindu tersenyum tipis. “Betul memang. Harusnya saya yang mengecek.” Ia pun membuka laporan sore itu. “Saya baru tau kalau pekerjaan teller itu seserampangan kamu.”

Kening Dela berkerut banyak. Tak suka menatap Rindu yang seenaknya bicara. “Saya enggak serampangan, ya. Yang seharusnya teliti itu Kakak.”

“Oh! Saya rupanya yang harus teliti. Sementara kamu enggak, ya?”

Dela mengepalkan tangan.

“Kalau memang enggak serampangan seperti yang kamu bilang, seharusnya postingan ini sesuai, Dela.” Rindu menunjuk pada tanggal terposting serta nominal yang tertera. “Tapi kenapa bisa salah? Yang memegang slip awal itu kamu, Dela. Sebagai teller, sudah kewajibannya untuk posting sesuai dan menurut prosedur yang ada. Kalau pun saya memang kurang teliti karena enggak mengecek satu demi satu nama yang tertera di slip, sepehamanan saya sebagai seorang teller hampir tiga tahun lamanya, itu tugasnya teller.”

Rindu menyeringai. 

“Tugas Head Teller memastikan nama tersebut sesuai dengan postingan yang ada.” Sekali lagi Rindu menyodorkan slip yang memang mendapatkan coretan dari Dela. “Sementara di sini? Ada tanda tangan kamu di mana menyetujui. Paham, kan, ya menyetujui di sini dalam arti apa?”

Dela menelan ludah pelan.

“Artinya kamu sudah konfirmasi ke nasabah yang ternyata salah posting ini mengenai perubahan datanya. Ada lho paraf kamu.” Rindu melingkari tipis paraf Dela di sana. “Artinya, postingan ini sengaja kamu lakukan.”

“Jangan asal nuduh, ya, Kak!”

Rindu tersenyum. “Saya sudah minta maaf dengan Bu Marta dan Pak Bujang terkait salahnya kamu, kok. Tenang aja.”

“Iya, lah, bukan salah aku, kok. Lagian kesalahan ini juga bukti kalau Kakak enggak kompeten jadi head teller, kan? Gitu kok masih sok!”

“Oh, menurutmu Rindu enggak layak?” sela Bujang. “Dan kamu merasa jauh lebih layak?”

“Iya, Pak. Kak Rindu itu sama sekali enggak layak. Masa iya seperti ini saja enggak teliti. Harusnya ia lebih teliti dong. Jangan sampai ada kesalahan posting seperti ini.” Dela berdecih penuh kemenangan. “Masa hal sesepele mengecek nama yang ada di slip dengan sistem enggak bisa? Sampai kelolosan gitu? Yang salah siapa jadinya?”

“Padahal kamu yang ubah datanya, ya, Dela? Konfirmasi di saat nasabahnya agak sibuk dengan telepon.”

“Saya memastikan aja, Pak, tulisannya benar. Tapi ternyata salah. Jadi wajar kalau salah posting. Saya sudah lakukan prosedurenya dengan baik, kok.”

“Termasuk ini?” Bujang menyodorkan ponselnya. Rekaman CCTV di mana juga terdengar jelas suara Dela konfirmasi nama yang salah tapi ia samarkan dengan suara yang lebih rendah untuk mengecoh nasabahnya. Di mana saat itu, kondisi counter memang agak ramai. Lantas terlihat juga bagaimana saat ia mencari data nasabah yang muncul nama berbeda. 

Lalu dengan lancarnya ia input sesuai dengan data yang masuk.

“Saya sudah pelajari kasus kamu sejak kemarin bersama Bu Marta.”

Dela mendadak menatap Marta yang tampak lain dari biasanya. Wajahnya tak lagi ramah. Sorot matanya juga tampak tak suka. “Coba kamu jelaskan kenapa bisa salah seperti ini, Dela?”

“Ya sesuai dengan yang tadi aku katakan, Bu.” Dela sedikit menarik slip yang tadi. “Ini, lho, Bu. Sudah aku revisi dan input, kan? Sudah disetujui juga sama Kak Rindu? Kenapa aku yang dipertanyakan?”

“Yang saya pertanyakan jelas, Dela,” Marta menghela pelan. “Kamu sengaja membuat transaksi yang salah, mengecoh Rindu termasuk saya juga, Dela. Kalau dari teller melakukan kesalahan, semuanya berdampak.”

“Kenapa hanya saya yang dipersalahkan? Kenapa Kak Rindu enggak?”

“Padahal sudah jelas kamu sengaja berbuat salah?” Bujang tak tahan jadinya. “Kamu sendiri sudah melihat rekaman CCTV-nya. Dua nasabah ini kamu tukar data transaksinya. Di sistem tepat nominal balancing tapi di nasabah enggak seperti itu, Dela.”

Dela meremas ujung roknya kasar.

“Slip ini yang kamu koreksi adalah bukti, kalau kamu memang sengaja menukar transaksi mereka. Bisa jelaskan alasan kamu?”

Tak ada yang bersuara di antara mereka.

“Sejak tadi saya dengar kamu selalu bicara mengenai Rndu yang enggak teliti. Saya merasa ditukarnya transaksi ini untuk melempar kesalahan ke Rindu.”

Tadinya Rindu yang ingin bicara mengenai hal ini. Menyudutkan Dela di depan Marta dan Bujang. Tapi ternyata, ia sudah keduluan dengan suara Marta. Ia sampai menatap tak percaya pada Marta, lho.

“Saya pelajari semua mengenai case ini bersama Pak Bujang sejak kemarin. Enggak. Saya enggak memihak siapa pun di sini. Meski kamu dekat dengan saya, tapi kalau cara yang kamu lakukan seperti itu, saya enggak mau membela.”

“Enggak, Bu. Saya enggak seperti itu. Memang Kak Rindu yang enggak teliti approve postingan saya, kan? Oke, saya salah karena enggak teliti dua nama itu. Tapi saya enggak terima kalau dituduh seperti itu, Bu.”

Bujang menggeleng tak percaya. “Padahal buktinya jelas, ya, Dela. Penyebutan nama customer yang sengaja kamu pelankan, belum lagi slip yang dikoreksi beberapa kali, itu sudah jelas kalau kamu memang sengaja. Ah … enggak usah katakan sengaja. Tapi enggak teliti dalam hal konfirmasi dan menginput di sistem, diawali dari teller.” Slip yang sejak tadi dipermasalahkan, Bujang lingkari dengan jelas namanya.

“Nama Satryo Cakra Wijaya, kamu coret dan koreksi menjadi Satrio Cakra Wijaya. Di postingan kamu tukar kedua nama tadi. Benar? Tapi kalau kamu bersikeras bilang, kenapa Rindu yang enggak teliti? Lantas kamu bagaimana? Tanggung jawab kamu sebagai teller seperti apa?”

Dela menggeram kesal ditambah sorot matanya makin tak terima melirik Rindu.

“Beruntung Rindu langsung ambil alih dan rapikan semuanya. Kalau sampai baru diketahui beberapa hari setelahnya?”

Bujang sekali lagi menghela panjang. “Dari kejadian ini, semuanya saya marahi termasuk Rindu dan Bu Marta. Mereka berdua dalam dunia teller dan laporan slip pastinya jauh lebih paham tapi bisa-bisanya tidak teliti seperti ini.” Bujang menekan sekali kata ‘tidak teliti’ di dalam ucapannya. “Mereka saya beri peringatan besar termasuk kamu. Kalau sampai hal seperti ini terjadi lagi, saya enggak segan keluarkan surat peringatan kedua untuk kamu, Dela.”

***

Rindu beraktifitas seperti biasanya. Memeriksa satu demi satu laporan yang ada.

“Dela,” panggil Rindu begitu mendapati slip yang akan ia tanda tangani sebagai double check. “Kamu bilang saya suruh teliti, lho, jadi Head Teller. Terima kasih, lho, ya.” Ia pun mengembalikan slip barusan. “Coba itu dicek slip macam apa yang saya terima. Saya enggak mau kalau enggak lengkap penulisannya.”

Dela berdecak sembari mengambil slip itu dengan agak kasar.

Rindu menahan senyumnya saja. 

Entah sudah berapa kali Rindu kembalikan slip yang Dela beri untuknya. Disertai nada sindiran yang tak pernah Rindu lupakan di tiap kali berurusan dengan Dela.

“Duh, ini saya yang enggak teliti atau kamu, ya? Kan, kamu bisa bicara sama customernya untuk koreksi dulu.”

Atau.

“Dela, kamu ini bicara seolah paling pandai, lho, tadi. Tapi ini dibacanya apa, ya? Seratus lima ribu rupiah arau seratus lima ratus rupiah. Beda, lho. Uangnya saya terima enggak segitu.”

Yang mana segala tingkah Rindu hari ini membuatnya sangat geram! Bahkan saat isitrahat ia tak izin terlebih dahulu untuk ambil bagian di jam pertama. Rindu dan Yuni tak jadi soal, tapi memang attitude Dela benar-benar patut dipertanyakan.

“Jadi gimana, Kak, akhirnya?”

“Yah … enggak mau ngaku juga. Biar aja. Tapi enggak mudah untuk keluar dari jerat Rindu. Enak aja! Dia duluan yang nyinggung aku enggak teliti.” Rindu menyeringai penuh licik. “Aku buat dia enggak betah di sini. Kalau perlu, sampai mohon ampun sama aku.”

Yuni terbahak.

Setelah jam istirahat berakhir, di mana Rindu dan Yuni juga sudah kembali ada di counter, semua berjalan kembali dengan normal. Normal di sini bagi Rindu. Bagi Dela, rasanya mulai tercekik tapi tak bisa melawan karena ucapan Rindu memang benar.

Selama menggantikan Ayana beberapa hari lalu, tak pernah Rindu protes mengenai kesalahan yang menurutnya kecil. Bisa ditutupi dan tak dipersoalkan juga. Tapi sekarang? Semua aturan teller yang seharusnya dijalankan di mana memang prosedurnya lebih kaku dan tak sangat SOP sekali, Rindu terapkan.

Membuat Dela kesal bukan kepalang.

“Duh, Dela. Masa kamu enggak paham cara merapikan uang? Ini ada yang keselip satu, lho.” Rindu memperlihatkan uang yang sudah Dela rapikan. “Kamu maunya saya teliti, kan? Artinya kamu harusnya jauh lebih teliti dibanding saya. Tapi mana?”

Dela ingin sekali menghardik Rindu. Tapi tak mungkin ia lakukan di sini, kan?

“Oiya untuk laporan sore ini, kamu yang buat, ya, Dela.”

“Bukannya itu tugas Yuni?”

“Seminggu lalu sudah Yuni yang kerjakan. Iya, kan, Yun?”

“Ah!” Yuni menoleh dengan tatapan bingung. Sejak tadi memang ia sibuk menghitung uangnya kembali. “Iya kayaknya. Aku enggak ngecek, sih, Kak.”

“Iya. Saya tau, kok.” Rindu tersenyum, “Jadi … semingguan ini kamu yang buat, ya, Dela.” Ditepuknya pelan bahu Dela.

“Oke, Bu Bos,” kata Dela dengan nadanya yang sinis. 

“Karena kamu yang paling teliti, pastinya mudah, ya.” Rindu tersenyum lebar. “Etapi, kalau paling teliti kenapa salah terus dari tadi, ya? Ehm … enggak hari ini aja, sih. Sebelumnya juga. Sayangnya aja saya pura-pura buta. Berhubung kemarin Bu Marta maunya lebih hati-hati, baiklah, saya ikuti arahannya.”

Tangan Dela terkepal kuat.

“Lagian, ya, selama kita bekerja jujur, pasti cepat ketemu permasalahan yang mau menjatuhkan. Berhubung aku selalu jujur, jadinya enggak sampai bikin Bu Marta dalam masalah. Secara, kan, beliau lho yang tangani operational di Senayan. Masa iya kita kecewakan.” Rindu sedikit bertampang memelas. “Aku jadi shippernya Bu Marta, deh. Kemarin beliau bantu banyak untuk aku segera selesaikan. Enggak banyak alasan padahal beliau masih sakit. Enggak pura-pura sakit gitu.”

“Bicara apa, sih, Kak Rindu!”

“Bicarain Bu Marta. Memang apalagi?” Rindu bersidekap. “Kamu dengar, kan? Memangnya saya bicarain siapa?” gadis berambut pirang itu pun merapikan poninya. “Sudah, ya. Saya tunggu laporannya.”

Namun sebelum Rindu benar-benar keluar dari ruang counter untuk menghitung kembali uang yang ada untuk setoran hari ini, ia pun berkata. “Ingat, Miss yang paling teliti, jangan sampai salah posting laporan. Oke?”

 

 


 

[50] PILIH RINDU SEBAGAI LAWAN ITU SALAH BESAR.

“Gila memang lo!” pekik Riana dengan nada yang kelewat girang. Mereka ulang kembali keseruan video call setelah di atas jam Sembilan malam. Seperti rutinitas tersendiri yang mana ternyata mengasyikkan untuk mereka berempat berbagi cerita.

Termasuk kali ini, obrolan lebih banyak Rindu yang kuasai. “Makanya jangan senggol gue. Udah tau gue macan. Disenggol yang gue cakar!”

“Auw! Mau dong dicakar sama macan macam Rindu,” seloroh Dio.

“Diem ah! Berisik!” sela Riana dengan cepatnya.

“Ih! Lo dari tadi teriak enggak gue marahin. Kenapa godain Rindu gue kena sembur coba?”

“Ya lo mikir aja. Rindu udah ada yang punya kali. Masih aja lo godain. Enggak mempan!”

Yuni akhirnya terbahak lantaran kejujuran Riana ini menurutnya lucu sekali. “Aku penasaran kalau Kak Riana dan Kak Dio pacaran itu seperti apa, ya, jadinya.”

“IH!!!”

“Gelay!!!”

Kompak mereka bersuara.

“Ini kalian kalau mau teriak, sekalian aja di lapangan jangan di sini! Suara kalian persis pakai toa masjid!” Rindu mencebik. Dua sahabatnya ini memang keterlaluan jadinya. “Gue lagi curhat dan memberi kalian gosip paling viral sejagad BBRI, malah teriak macam orang enggak waras.”

Mereka ngakak, lah!

“Tapi serius, lho, Kak Rindu serem banget kalau sudah nyindir. Bicaranya pelan, tapi sorot matanya bikin gemetaran. Udah gitu bikin enggak bisa berkutik. Aku aja takut jadinya,” kata Yuni memberi pendapat.

Yang mana membuat Riana makin terbahak. Dio juga menyeringai puas sekali.

“Rindu dilawan!” kata mereka kompak. “Kita semua sudah tau kalau Rindu enggak suka dan melancarkan aksi balas dendam, enggak bakalan bisa berkutik lawannya.”

“Mampos kau, Dela!” kata Dio dengan puasnya. “Rasain! Macem-macem sama Rindu!”

“Lanjutkan sampai dia minta maaf sama lo, Rin,” sahut Riana dengan girangnya. “Dia belum minta maaf, kan?”

“Boro-boro,” dengkus Rindu sembari sedikit membenahi posisi rebahnya. “Di depan Bu Marta sama Pak Bujang aja cuma bilang, maaf kalau begitu.”

“Ih!” Riana bergidik. “Enggak ada attitudenya banget!”

“Biasanya yang songong gitu, circle-nya juga toxic. Untung kalian enggak dekat banget.” Dio menimpali di mana diangguki dengan segera oleh Riana.

“Aku begitu tau kalau Kak Dela agak egois, aku menjauh aja. Secara personal, Kak Dela baik kok. Cuma, yah … gitu lah.”

“Ngapain, sih, kamu belain Yun,” sela Riana dengan cepatnya. “Kalau memang jelek, mah, jelek aja!”

Mereka terbahak sekali lagi. Malam ini pokoknya Rindu puas sekali. Dirinya tidak memperlakukan Dela dengan semena-mena. Malas. Rindu punya cara tersendiri untuk balas dendam serta jauh lebih hati-hati memperhatikan cara kerja Dela. Tak mau lagi ia sampai membuat Marta serta Bujang kerepotan lantaran dirinya yang kurang teliti.

Hampir satu jam lamanya mereka bergosip, di mana Rindu akhiri dengan peringatan lantaran sudah agak larut. Bukan apa, Rindu dapat protes dari Bujang. Bukan karena pesan pria itu tak dibalas. Bujang tak mempersoalkan hal itu. Tapi jam tidur Rindu yang jadinya agak larut.

Benar saja. Begitu ia matikan sambungan video call ghibah mereka, ada serentetan pesan dari Bujang. Ia hanya baca pesan paling akhirnya saja.

[Bujang. A : Telepon saya kalau sudah selesai bergosip.]

Rindu terkekeh jadinya. Segera ia geser icon hijau untuk membuat panggilan pada Bujang. Entah mungkin teleponnya memang ditunggu atau Bujang yang belum terlelap ke alam mimpi. Tapi yang jelas, telepon itu segera mendapatkan respon.

“Sudah selesai bergosipnya?”

Rindu jelas tertawa. “Tau aja!” Senyumnya tak lagi ia lepas. “Oiya, Pak, saya loadspeaker ya. Saya mau buat susu dulu biar bisa tidur.”

Bujang di sana mengernyit. “Susu?”

“Iya. Saya enggak bisa tidur kalau belum minum susu.”

“Astaga!” Bujang ngakak di ujung sana.

Tapi rindu tak peduli. Memang ini dirinya. Apa yang mesti ditutupi? Lagian tadi pagi dengan entengnya ia berkisah mengenai sang ibu. Seharusnya jangan dulu tapi mau bagaimana lagi? Hatinya senang kala itu mengingat bagaimana ucapan ibunya mengenai resign. Harapan Rindu itu! dikabulkan ibunya tanpa banyak debat lagi.

“Jadi malam ini kamu tidur sendirian?”

“Selalu. Mami libur seminggu dua kali tapi enggak nentu. Tergantung jadwalnya.”

“Sudah kamu kunci rumah? Pagar? Motormu sudah di dalam?”

“Sudah semuanya, Pak.” Rindu kembali mengambil ponselnya. “Saya sembari minum susunya, ya.”

“Saya baru tau kebiasaan kamu ini, Rin.”

“Bapak sendiri, punya kebiasaan apa di keseharian?”

“Ehm … apa, ya? Enggak ada yang spesial, sih. Pulang kerja, makan, nonton serial NCIS itu. Kamu tau, kan?”

“Enggak,” sahut Rindu dengan cepatnya. 

“Payah.”

“Bapak juga enggak tau BTS apa, kan?”

“Balas dendam terus.”

Rindu tergelak. “Seru tau balas dendam itu.”

“Jangan keterlaluan yang terpenting. Jaga sikap kamu juga. Kamu masih dalam penilaian, lho. Belum benar-benar jadi Head Teller.”

“Iya, Bos.”

“Kapan kira-kira saya bisa bertemu ibu kamu, Rin?” 

Dahi Rindu agak berlipat jadinya. “Mau apa, Pak?”

“Bicara.”

“Ya maksudnya bicara apa.”

“Kamu belum boleh tau.”

“Lho?” RIndu melongo. “Mana ada begitu.”

“Nanti kalau ibu kamu sudah izinkan, pasti saya bicara.”

“Ya sudah kalau gitu enggak saya kasih tau jadwalnya Mami.”

Bujang tertawa. “Padahal niat saya baik, lho. Saya selalu menyukai segala sesuatunya dengan restu.”

Bicara sama Bujang makin lama makin membuat jantung Rindu enggak waras berdetak. Maksudnya apa coba dengan kata ‘restu’?

“Enggak mau macam-macam, kan, Pak?”

“Bisa kalau bicara enggak ngawur?”

Rindu gantian yang ngakak. “Tapi kenapa enggak bilang pas pulang tadi?”

Bujang agak lama terdiam.

“Pak?”

“Yah … pokoknya saya mau bertemu ibu kamu. Sebentar saja.”

“Asal jangan macem-macem, ya, Pak.”

“Misalnya?”

“Laporan kalau saya lagi menghukum Dela karena kelakuannya itu. Ditambah saya yang enggak teliti. Nanti Mami kepikiran.”

Di sana terdengar suara Bujang berdecak. “Urusan saya dengan Mami itu pribadi, nyangkut ke kamu. Bukan bicara mengenai pekerjaan meski ada kamu di dalamnya.”

“Jadi saya enggak diberitahu?”

“Saya besok bicara di depan kamu biar enggak dua kali ngomong. Gimana?”

Senyum Rindu jadinya lebar. “Oke. Deal. Besok pagi saya sampaikan kalau bapak mau bicara. Tapi jangan lama, ya. Mau berangkat kerja, kan, takut terlambat.”

***

Baru juga Bujang menyisir rambutnya, ponsel yang tergeletak di dekat nakas kembali berdering. Ia berdecak kesal sebenarnya kalau pagi hari sudah ada yang menganggu. Saat bangun tidur tadi, sudah ia kirim kabar untuk menjempt Rindu lebih awal. Selain karena ingin bicara dengan ibunya, ia juga tak mau membuat Rindu lama menunggu. 

Begitu dilirik nama pengganggunya pagi ini, kesal yang Bujang punya segera ia hilangnya.

“Wa’alaikum salam, Bu.”

“Sudah mau berangkat, ya?”

“Gitu lah.”

“Sarapan?”

“Bareng Rindu.”

Syarifah di ujung sana terkekeh. “Duh … Ibu jadi pengin lihat wajah kamu. Makin ganteng atau bagaimana. Setiap hari bertemu Rindu, kalau enggak tambah ganteng, enggak bagus itu.”

“Apa pengaruhnya, Bu,” Tapi ucapan ibunya Bujang tanggapi dengan tawa.

“Jangan lupa minggu ini acaranya, ya, Jang.” Syarifah memperingati. “Kamu harus datang pokoknya sama Rindu. Ibu mau pamer.”

“Bu,” erang Bujang dengan frustrasinya. “Bujang enggak bisa ajak Rindu gitu aja kalau belum ada izin.”

“Tadi abis subuh Ibu banyak doa. Pasti diizinkan. Makanya kamu juga bilangnya yang benar. Atau beri ponsel kamu ke ibunya Rindu. Biar Ibu yang bilang.”

“Sudah lah, Ibu tunggu kami datang aja.”

“Awas, ya, kalau sampai enggak datang. Ibu sudah enggak sabar mau pamer Rindu ke seantero kampung. Pokoknya anak lanang ibu paling kaseup se-Bogor sekarang sudah punya calon istri.”

Sebenarnya semangat ibunya ini tak ada kesalahan sama sekali. Tapi Bujang berhubungan resmi dengan Rindu saja kategorinya masih seujung kuku. Melewati tahap lamaran juga belum. Kenapa bisa-bisanya disebutkan kalau Rindu ini calon istri?

Memang, sih, itu harapannya Bujang. Tapi ia sendiri juga takut banyak berharap. Bisa jadi Rindu menolaknya, kan? Aduh … kalau begini ceritanya, Bujang benar-benar meminta ibunya berdoa yang tepat guna. Doa seorang ibu biasanya mustajab. Bujang yakin itu.

“Bu, Bujang sudah mau berangkat, ya.”

“Titip salam buat Rindu, ya. Kenalkan gitu, Jang, biarpun cuma di telepon.”

Bujang berdecak. “Ada masanya, Bu. Sabar.”

“Yasudah, lah. Kamu memang anaknya kaku. Untung aja Rindu mau. Coba kalau enggak? Jadi bujang lapuk terus kamu. Mau?”

Ibunya dan segala perkataan asalnya.

Tapi juga tanpa ibunya, Bujang pasti tak bisa mendapatkan Rindu dengan mudah. Soalnya, setelah malam penuh nasihat di mana membuatnya ragu, eh … paginya dia ketimban rezeki nomplok, kan? Si Rindu nemplok tanpa perlu diminta. Ditegaskan pula kalau ia tak masalah didekati. Padahal sebelumnya astaga Tuhan! Bujang sampai mengusap dadanya biar lebih sabar menghadapi Rindu. Apa namanya kalau ini semua karena ibunya merevisi doa?

Iya, kan?

“Ya sudah kamu hati-hati berangkat kerjanya. Ibu tunggu kamu pulang Sabtu ini.”

Bujang memilih tak menyahuti apa pun kecuali salam yang ibunya beri. Termasuk mengaminkan doa sang ibu untuknya pagi ini. Maka di sini lah ia sekarang setelah menempuh perjalanan yang cukup lancar. Tak terlalu banyak ditemui hambatan mungkin juga karena lebih pagi ketimbang biasanya. 

Dua cangkir teh hangat Rindu siapkan sebagai sajian. Sebenarnya cukup aneh situasi ini. biasanya kekasih itu bertemu orang tua, entah itu malam hari di saat sudah jauh lebih santai. Bicara yang cukup menyenangkan termasuk mungkin saja bicara mengenai masa depan hubungan mereka.

Sebentar.

Ini Bujang enggak lagi aneh isi kepalanya, kan?

Jangan bilang kalau …

“Rindu bilang, Bapak mau bertemu saya? Ada apa?” tanya Farah begitu mereka sudah lebih nyaman duduk di ruang tamu sederhana yang ia miliki ini. 

“Maaf saya ganggu waktu istirahatnya.”

Farah tertawa. “Sepertinya Rindu sudah beri tahu mengenai saya, ya.”

Bujang tanpa ragu mengangguk. “Andai waktunya jauh lebih banyak, saya ingin bicara lebih lama lagi, sih.”

Farah memilih menyesap teh buatan Rindu. “Mengenai saya atau seputar anak saya?”

“Anak Ibu pastinya.”

Wanita berambut magenta itu tersenyum lebar. “Boleh. Nanti malam waktu saya luang. Kalian juga seringnya pulang terlambat, kan? Untung Rindu enggak melewati jam malamnya. Bisa saya gorok kamu, Pak Bujang.”

Bujang justru tertawa mendengarkan ucapan Farah barusan. “Alhamdulillah, masih selamat saya sampai detik ini.”

“Jadi apa yang mau Bapak bicarakan di waktu yang singkat ini?”

“Saya ingin mengajak Rindu bertemu ibu saya.”

Diletakkannya cangkir teh itu dengan perlahan. “Rumah kamu di mana?”

“Di Bogor.”

“Pulang pergi?”

“Enggak. Ibu saya pasti meminta kami untuk menginap di sana.”

Farah menatap lekat lawan bicaranya. “Entengnya bicara seperti itu di depan saya. Apa jaminan saya tau kamu membawa anak saya ke rumah ibumu? Kalau kamu bawa ke hotel?”

“Mami!” Rindu terbeliak. “Ih! Bapak juga! Bikin saya jantungan pagi-pagi!”

“Lho?” Bujang tersenyum tipis. “Kenapa mesti jantungan? Saya katakan dengan jujur keinginan saya untuk sabtu ini. Izin ke mami kamu biar beliau tau.”

“Iya tapi sebelumnya Bapak enggak bicara apa-apa, lho, ke saya.”

“Lebih baik langsung bicara dengan orang tuamu, Rin. Biar tau.”

Rindu bersidekap. Manyun juga. Matanya mendelik tak terima ke arah Bujang.

“Lebih baik kalian berangkat sekarang aja. Nanti malam kita bicara lagi. Kalian bisa terlambat kalau berdebat terus.”

Bujang mengangguk setuju. “Seenggaknya saya sudah sampaikan maksud utama saya bertemu Ibu.”

Sementara Rindu?

Bah! Sepanjang jalan menuju Senayan pokoknya ngambek! Merajuk karena menurutnya Bujang ini serampangan sekali jadi pria! 

“Rin, tunggu saya.” Bujang masih belum mau menahan kekehannya karena Rindu kali ini memang benar-benar tak memedulikan semua ucapannya. Berjalan menghentak meninggalkan Bujang yang masih merapikan perlengkapan berkendaranya. Langkah Bujang sengaja ia perlebar demi mengejar Rindu.

“Kalau kamu masih manyun gini, saya gandeng kamu lewat lobby.”

Rindu masa bodo. Padahal ia cukup jumpalitan juga kalau sampai Bujang lakukan itu. Bukan apa. Ia memang tak ingin orang lain semakin bergosip mengenai dirinya. Meski … hal itu tak bisa dihindari lagi.

“Oh … memang minta digandeng rupanya.” Bujang menjalankan niatnya. Tepat di mana mereka ada di depan pintu lobby, Bujang menggandeng Rindu seraya berbisik, “My Fairy Girl kalau ngambek cantiknya berkali-kali lipat. Andai hari ini hari libur, sudah saya pastikan kita habiskan waktu kencan bersama.”

Rindu?

Melotot lah!

Apalagi di depan ruang depan juga banyak staff lain!

Ck!

Bujang memang hobi cari masalah baru!

Sebentar. Rindu baru menyadari sesuatu ketika ia melewati pintu lobby. “Tadi panggil saya apa?”

Bertepatan dengan itu juga, banyak mata memandang ke arah mereka. Di mana genggamgan tangan Bujang dipererat, belum lagi agak menunduk macam tengah mencium sisi kepala Rindu. padahal tidak! Bujang hanya berbisik lirih, “My Fairy Girl.”

Bola mata itu mengerjap bingung karena perkataan barusan, bukan karena Rindu tak mengerti artinya. Tapi …

“Hidup saya jauh lebih berwarna sejak kamu datang di sini,” Bujang semakin mempererat genggamannya. “My Fairy Girl. Rindu Anjani Sari.”

 


 

[51] FIRST KISS?

Pokoknya seharian ini Rindu tak bisa tidak cemberut. Tidak di depan nasabah, sih. Itu lain cerita. Tapi kalau berkenaan dengan kejadian tadi pagi, jelas Rindu akan kembali bersungut-sungut. Walau begitu, Tuhan! Tolong hentikan semu merah di wajahnya! Kenapa selalu muncul, sih? Kenapa juga ucapan Bujang terngiang terus di kepalanya macam kaset rusak?

Tiap kali akan ia hitung manual uang yang Yuni beri, bisikan Bujang terngiang lagi. Atau saat Dela serahkan slip untuk ia cek. Tapi kalau untuk Dela, konsentrasi Rindu langsung ada di seribu persen! Tak akan ia biarkan Dela bernapas lega. Apalagi sampai bisa menampilkan senyum di wajahnya.

Ew!!! Tak akan Rindu biarkan itu terjadi!

Matanya perlahan mengamati tiap detail koreksi yang Dela lakukan. “Ehm … gini dong.” Rindu berikan kembali slip itu pada Dela yang merengut. Tatapan juga sinis sekali pada Rindu. andai mencungkil mata itu diperbolehkan, pasti Rindu sudah lakukan sejak pertama kali Dela berbuat ulah. Etapi Rindu tak sekejam itu, kok. Dengan gayanya yang anggun dan elegan membalas semua kelakuan Dela, sudah cukup baginya mengibarkan bendera kemenangan.

“Ini sudah benar. Ternyata Dela banyak belajar, ya,” kata Rindu dengan senyumnya yang tipis. 

Tapi setelahnya … Rindu tetap merasa aneh. sangat aneh. terutama kalau teringat Bujang! Tuhan! Tolong berikan kembali fokus Rindu meski tak berurusan dengan Dela lagi! Jangan hanya di depan Dela fokusnya Rindu ada. selebihnya ada di lantai empat, tempat Bujang bekerja! Masa iya dirinya harus ke sana demi untuk bertanya maksud ucapan bosnya itu?

“Kenapa, sih, Kak?” tanya Yuni agak penasaran. Sejak pagi sepertinya ia merasa, Rindu ini dalam mode senggol bacok. Sorot matanya sudah bisa menjelaskan kalau gadis berambut pirang ini memang sedang tak ingin diganggu. Tapi hebatnya, ia masih bisa dalam mode balas dendam.

Tapi yang mengherankan bagi Yuni, meski bertampang menyeramkan pagi ini, senyum Rindu kadang muncul. Kan … Yuni takut juga kalau Rindu kesurupan atau mendadak gila. Tapi sepertinya enggak, sih. Apa karena tadi pagi, ya, yang membuat kantor ini mendadak dilanda gempa cinta? Siapa yang tak melihat adegan mesra sang bos pada Rindu? Ehm … ketinggalan cerita itu!

Buktinya, berhasil membuat Dela menggeram kesal lantaran laporannya tiga kali ditolak Rindu. Alasannya membuat Yuni sakit perut, sih, tapi memang benar-benar Rindu jalankan aksinya balas dendam. Hanya satu slip yang lolos dari matanya, sisanya? Bah! Rindu memainkan aksinya dengan sangat hebat.

Rasanya Yuni ingin sekali berkata, “Enak enggak diperlakukan seperti itu, Dela?” Tapi Yuni masih punya hati. tak ingin menambah kisruh meski Rindu rasanya tak jadi soal. 

“Coba, deh, kamu lihat. Padahal saya sekali cek doang, lho. Kenapa, sih, kamu hobi banget berinisiatif buat laporan padahal ada draft yang sudah tinggal kamu input aja.”

“Kan memang ini draft dari Kak Ayana.” Dela membela diri. “Kak Rindu jangan cari gara-gara, ya. Saya sudah benar, lho, buat laporannya. Kalau tingkah Kak Rindu kekanakan gini, enggak pantas jadi atasan!”

“Wih! Hebat! Pandai betul protes,” Rindu tak sakit hati atau merasa kesal. Malah makin jadi membuat Dela tak nyaman. “Coba, deh, kamu lihat emailnya Bu Marta. Saya selalu update, sih, apa yang atasan saya informasikan. Draft yang kamu pakai masih yang lama. Bu Marta enggak mau. Saya, kan, sudah bilang kemarin sore. Nanti menggunakan draft yang terbaru. Kenapa ngeyel?”

Dela melotot tak percaya.

“Itu tugas teller untuk buat laporan middle day. Kamu … teller, kan, Dela?”

Tak ada yang bisa Dela lakukan kecuali menggeram kesal juga mulai mengerjakan bagiannya. Mau protes lebih keras juga percuma karena ini memang pekerjaannya. Selain itu juga ia harus mencari jalan untuk membuat Rindu kembali tersandung masalah. Tapi sayangnya, Dela dibuat sibuk terus oleh Rindu.

Sial sekali gadis itu.

Kalau ingat bagaimana tindakan Rindu pada Dela, membuat Yuni rasanya ingin terus tertawa. Apalagi sekarang Dela tak ada di tempatnya. Kebetulan juga hari ini nasabah tak terlalu banyak. Juga Rindu meminta Dela untuk meminta tanda tangan Bu Marta sebelum melaporkan ke kantor pusat seperti biasanya.

“Kenapa apa?” tanya Rindu tanpa menoleh ke Yuni. Di tangannya terdapat beberapa gepok uang yang tengah ia hitung manual.

“Dari tadi cemberut mulu.”

Rindu berdecak. “Itu, lho, si Bapak! Kenapa, sih, bikin kesal terus kerjaannya.”

Yuni terkekeh. “Apalagi memangnya?”

“Tadi, ya, datang ke rumah minta izin sama Mami. Sabtu ini ajak aku ke Bogor, ke rumahnya tapi nginep! Gila, kan?” Rindu sudah berusaha sekali menekan nada suaranya agar tak terlalu terdengar ke luar. Ia tetap harus menjaga attitudenya di depan counter.

“Bagus dong, Kak!” Yuni malah berbinar cerah banget. Kalah department store Matahari ini, sih! “Kalau pria ajak kekasihnya ke rumah, berkenalan sama orang tuanya, udah gitu nginap di sana. Berarti dia serius, Kak. Tapi, sih, aku yakin kalau Pak Bujang ini serius sama Kak Rindu.”

“Bukan itu masalahnya,” erang Rindu setengah frustrasi. “Semalam pas pulang kerja, Bapak enggak bilang apa-apa, lho. Kesal, kan?”

“Jadi kejutan kali, Kak. Atau ada sesuatu yang terjadi?”

Rindu menghentikan gerak tangannya menghitung uang. “Terjadi? Maksudnya?”

“Siapa tau aja mungkin ibunya sakit atau entah lah. Enggak mungkin kalau mendadak gitu, Kak, tanpa alasan. Memang kakak enggak tanya?”

Rindu jelas menjawab dengan gelengan. Memangnya ia bisa berpikir sampai ke arah sini kalau Bujang saja sudah bertindak seenaknya gitu. Yang ada malah semakin cemberut karena Bujang bicara tanpa konfirmasi dulu? Ia pikir, bicara dengan ibunya perkara lain. Bukan izin untuk bertemu dengan orang tua Bujang. Ini, sih, sama saja mendorong Rindu yang belum siap apa pun ke dalam jurang.

Sebentar.

Memangnya Bujang sejahat itu? Sepertinya enggak. Ini hanya praduga Rindu saja yang terlalu aneh dalam berpikir. Tapi Bujang ini pria penuh jebakan. Yang sayangnya, Rindu senang dan rela sepertinya terjebak bersama Bujang. Buktinya, protes beberapa kali juga Rindu kembali mengiakan. Ah … Rindu saja mungkin yang munafik. Tak mau mengakui kalau senang terjebak bersama Bujang.

“Tapi Kakak sendiri mau enggak diajak ke sana?”

Sekali lagi, Rindu terdiam. “Enggak tau, sih.”

“Menurut aku, ya, kenalan doang enggak jadi masalah. Biar sama-sama saling mengenal. Yang saling kenal orang tuanya aja bisa batal di tengah jalan, kok, pertunangannya.”

“Aku belum tunangan, ya! Aku aja baru berapa lama, sih, berhubungan sama Pak Bujang?” Rindu kembali merengut. Matanya kembali tertumbuk pada gepokan uang yang ada di mejanya. Mendesah pelan, ia pun berkata, “Hitungan aku tadi berapa coba? Aku hitung ini dulu, deh.”

Yuni terkekeh saja. “Sebentar tapi rasanya sudah lama, ya. Itu tandanya cocok, lho. Aku setuju, ah, sama ucapannya Kak Riana pas gathering. Dua bulan lagi aku terima undangan.”

Lantas tawa yang Yuni keluarkan berganti ringisan lantaran Rindu memukul pelan bahunya. Lalu kembali mereka tertawa. 

“Bu Marta enggak masuk,” Dela masuk ke counter dengan wajah tak kalah masam. Laporan yang tadi dibawa olehnya, ditaruh agak kasar. “Pak Bujang enggak mau kalau belum ada paraf Kak Rindu di tiap bagian.”

Rindu menghela pelan. “Kamu teruskan, Yun. Biar saja aja yang laporan kalau begitu.”

“Oke, Kak.”

“Bilang aja mau pacaran,” desis Dela tak suka. Bicaranya pelan, tapi karena sepi dan jarak mereka yang memang dekat, Rindu bisa mendengar jelas. Rindu marah? Ngapain. Yang ada dia membalas dengan kata-kata yang tak kalah ajaib. Pokoknya kali ini ia tak akan membiarkan Dela menang.

Baik ucapan, tingkah laku, apalagi sampai berbuat kesalahan di dalam pekerjaan yang bisa menyeretnya. Tidak akan ia biarkan! 

“Kalau iya memangnya kenapa? Salah?” tanya Rindu dengan kerlingan jahil. “Atau kamu pengin macam aku? Punya pacar bos?” Tangannya pun bersidekap persis di depan Dela. Matanya menatap Dela penuh dengan ejekan. 

Dela berusaha untuk mengabaikan Rindu.

“Kalau mau seperti aku,” Ia pun memainkan ujung poninya. Mengerling jahil ke arah Dela yang belum mau menatapnya. “Perbaiki dulu hatinya. Perempuan yang baik hati pasti jodohnya pangeran yang jauh lebih baik hati dan juga ganteng.”

Cibiran Dela beri pada langkah Rindu yang meninggalkan counter. Di mana Rindu sendiri ingin terbahak dengan semua ucapannya. Bisa-bisanya di saat yang bersamaan, ia mengejek Bujang serta memujinya. Kalau saja ada penghargaan gadis yang kurang ajar terhadap kekasihnya, pasti nama Rindu Anjani muncul sebagai pemenang.

Memilih untuk menggunakan lift karena laporan middle pastinya sudah ditunggu, Rindu menekan angka empat. Di mana juga matanya tak ia lepaskan untuk memperhatikan tiap lembar laporan. Jangan sampai sudah sampai di ruangan Bujang, malah ada sesuatu yang kurang. Bujang termasuk bos yang teliti dan perfeksionis. Rindu tau itu dengan pasti.

Langkahnya tanpa sadar sudah ada di depan ruangan Bujang yang sedikit terbuka. Samar bisa ia dengarkan ada diskusi terjadi di sana. “Siang, Pak.” Rindu tetap memakai soapn santunya mengetuk pintu.

“Siang. Masuk saja,” katanya yang membuat Rindu mendorong pelan pintu tadi. Di mana sekarang ia lihat ada beberapa marketing termasuk juga Kiara yang tengah membahas pengajuan serta beberapa penolakan. Sebenarnya ia tak ingin masuk tapi Rindu butuh chop Bujang. Atau minimal paraf karena Bu Marta tak ada. 

“Eh, ada Rindu,” kata Kiara dengan kerlingan jahilnya. “Sini duduk dulu.” Ia menepuk bagian sofa di sampingnya. “Kita lagi sedikit ngerecokin Bapak.”

Rindu meringis saja. 

“Rindu gimana di sini?” tanya Kiara sembari menatap gadis berambut pirang ini dengan lekatnya. “Betah enggak?”

“Yah … betah aja, Kak.”

“Betah aja apa betah banget?” tanya Kiara dengan kedipan mata. “Atau sangat betah karena ada Bapak?”

“Ini kalian sudah resmi, kan, ya?” tanya Yusup dengan seenaknya. Menatap ke arah sang bos, malah sibuk memperhatikan form pengajuan. Sementara melirik ke arah Rindu, gadis itu pura-pura melengos. Ditanya Kiara saja tak mau menjawab, lho! Wah! Mereka berdua minta diejek di depan semua karyawan ternyata.

Yusup paling jago kalau hal itu, sih!

Apalagi kejadian tadi pagi. Heboh satu kantor karena ternyata mereka bukan sekadar saling flirting seolah punya hubungan. Tapi memang benar-benar terjadi. Di mana Bujang menggenggam erat tangan Rindu, memastikan gadis itu masuk ke ruang loker lalu jaket serta helmnya juga dibawakan sang bos. Belum lagi, astaga Tuhan! Rasanya Yusup mau bertemu istrinya saja! Mengulang manisnya berpacaran. Seolah enggak ada yang melihat mereka. Hanya ada mereka berdua berbagi keromantisan.

Bujang sedikit merapikan poni Rindu di mana gadis itu tampak tak senang. Seperti merajuk. Tapi di mata yang melihat mereka, baik Rindu dan Bujang pasangan yang cocok. Satunya datar dan tegas, sementara lainnya jauh lebih berekspresi. Jadi hidup Pak Bujang pastinya lebih seru, kan? Belum ia lupa, kok, mengenai ucapan Bujang kala gathering beberapa waktu lalu.

“Pak, kalau belum resmi, si Rindu mau saya kenalkan ke Kepala Cabang Mercedes Bens di Pancoran itu. Yang jadi nasabah prioritas di sini.”

“Sembarangan kamu!” Bujang mendelik. Yang mana respon itu ditanggapi dengan tawa membahana. Di mana juga, Rindu menjadi korban ejekan mereka. Sampai Bujang akhirnya meminta mereka semua keluar karena berisik itu juga setelah janji makan siang bersama di salah satu restoran di Senaya City.

“Pajak jadian karena resmi berpacaran sama Rindu,” kata Yusup sebelum benar-benar keluar ruangan Bujang.

Setelah memastikan mereka semua keluar, Bujang menghela napas lega. Tapi Rindu jadinya mendelik kesal. “Bapak kenapa setuju, sih?”

“Setuju apa?”

“Ih!” Rindu bersidekap. Matanya garang menatap Bujang. Bisa-bisanya pria itu seolah lupa akan apa yang baru saja dilakukan. “Kenapa segala bilang kalau mau traktir semua tim marketing coba?”

“Memangnya kenapa?”

Rindu memutar bola matanya jengah. “Enggak bisa semuanya keluar pas makan siang, kan, Pak? Saya gimana?”

“Ya, kan, yang saya traktir anak yang lainnya. Kamu setiap hari makan bersama saya, kan?”

Subhanallah! Punya kekasih macam Bujang ini memang menguji sekali kesabarannya! Itu makan malam. Weilah! Apa Bujang takb bisa membedakan mana makan siang dan makan malam? Mendengar ucapan Bujang barusan membuat wajah Rindu makin jadi menampilkan cebikan. 

“Mana coba lihat laporan kamu.” Bujang mendekat ke arah Rindu yang sejak tadi juga tak beranjak ke mana-mana. Berhubung Rindu agak kesal karena tingkah Bujang siang ini, ia agak sedikit berlebihan menggeser laporannya. Yang berujung ada beberapa lembar terjatuh begitu saja.

Bujang berdecak, Rindu mencibir. Namun gerak mereka terlalu seirama untuk mengambil bagian yang terjatuh barusan. Sampai tanpa sengaja … Tuhan! Ini ada rekaman CCTV di ruangan Bujang tidak, ya? Kalau ada mampus lah mereka berdua! Bagaimana bisa mereka bisa sebodoh ini! Etapi bukan bodoh, sih, ini murni kecelakaan. Kecelakaan yang rasanya terlalu indah untuk diingat sekelebatan bagi Bujang.

Bibir mereka bertemu!

Sumpah, bertemu! Singkat, ehm … singkat tidak, ya? Tapi Rindu jelas membuka bibirnya, kok, tadi. Apa karena ia sempat berdecak sebal pada Bujang? Serius, lah. Ini tak baik bagi kesehatan jantung Bujang sekarang! Rasa manis bibir Rindu saja masih tertinggal untuk Bujang. Aroma parfum Rindu membius pusat syarafnya begitu cepat.

Wajah mereka kelewat dekat. Embus napas yang saling bertabrakan juga, seolah bukan perkara sulit bagi mereka. Belum lagi tatapan keduanya tak teralih ke mana-mana selain memandangi satu sama lain. Bahkan Bujang bisa jelas melihat, betapa elok mata Rindu. Serupa dengan boneka. Manik matanya hitam kelam. Bulu matanya lentik. Selebihnya, meski terpulas make up tapi bagi Bujang masih dalam tahap wajar. Malah kesan cantik dan anggun yang Rindu miliki benar-benar membuatnya tak bisa berpaling.

“Bapak … cium saya?” Rindu melotot tak percaya. Gadis itu mengerjap beberapa kali. Seolah tersadar apa yang telah terjadi. Sementara dari sorot mata Bujang juga tak memercayai kalau dirinya menyentuh Rindu begitu saja.

“Menurut kamu?”

“Ih!!!” Rindu segera melayangkan satu pukulan ke bahu Bujang! “Kembaliin first kiss saya!!!”

“Kalau dikembalikan, berarti saya boleh cium kamu lagi? Gitu maksudnya?”

 

 


 

 [52] PAK TIO MAU APA?

Apa sudah selesai jantung Rindu kerja ekstra? Ya belum, lah!

Setelah dibuat sangat amat terkejut dengan tindakan Bujang, ehm … dirinya juga tak bisa menyalahkan Bujang begitu saja, sih. Mereka kompak banget nunduk mengambil lembaran yang terjauh lalu terjadi lah insiden yang belum bisa RIndu lupa sampai sekarang.

Rindu jadi berpikir, kira-kira ada CCTV tidak ya di ruangannya Bujang? Kalau ada, lantas diperiksa seperti misalnya saat audit internal. Bagaimana mukanya nanti? Ungu? Merah? Hijau? Astaga, Tuhan! Kenapa juga moment yang Rindu alami harus seperti ini, sih?

Bagaimana bisa lupa kalau wajah Bujang kelewat dekat dengannya? Belum lagi Rindu juga masih bisa merasakan pertemuan dua bibir yang tak disengaja itu? Entah lah rasanya. Tak bisa Rindu lukis dengan kata. Jantungnya macam ditabuuh kuat! Seperti mau perang tapi dengan siapa?! Dan yang lebih konyolnya lagi, dia kejedot! Iya! kejedot tepian meja, Pemirsah! Ini semua kumpulan dari rasa salah tingkah, malu luar biasa ditambah akar pangkat jadinya kuadrat, terkejut, ingin segera menjauh dari Bujang. Niatnya baik, tak mau terlalu dekat lagi dengan Bujang. Eh … nasibnya sial! Membuat kepalanya justru tak selamat dari tepian meja.

“ADUH!!!”

Bujang jadinya tertawa seru sekali. Katanya di sela tawa yang ia ciptakan, “Mau ke mana memangnya? Buru-buru gitu, hem?” 

Rindu yang cemberut sembari mengusap bagian kepalanya yang terbentur, jadinya bersungut tak terima. “Bukannya ditolongin malah diledekin.”

“Apa yang mesti ditolong kalau kamu aja grasak grusuk gitu.”

Rindu tambah manyun. “Bicara sama Bapak memang nyebelin. Sekali nyebelin enggak akan berubah.”

“Saya juga bukan power ranger, kan?”

“Sudah ah! Ini laporannya periksa dulu. Saya mau kembali ke counter. Nanti disangkanya pacaran lagi di sini.” Disodorkan segera lembaran yang Rindu ambil tadi. Tak mau menatap Bujang terlalu lama. Malunya sudah tak tau lagi sebesar apa. Bagaimana bisa, sih, di saat ciuman pertamanya diambil Bujang, dengan keadaan seperti ini!

Enggak romantis amat, ya!!!

Rasanya Rindu mau menyalahkan lembaran yang terjatuh saja! Etapi kalau lembarannya yang disalahkan, pasti juga mereka tak terima. Ini semua juga, kan, salahnya Rindu. Kenapa harus marah-marah karena kesal tak bisa makan siang bersama? Yang mau traktir staff lain itu, kan, Bujang. Kenapa dirinya tak terima?

Jadi … insiden ini siapa yang salah?

Meski begitu, Bujang dengan sigap mengambil lembaran yang RIndu beri. Memberi stempelnya tanpa perlu diperiksa lagi. Senyumnya tipis sekali muncul karena kepalanya memutar kembali … apa yang terjadi barusan. Rasanya juga masih tertinggal di bibir Bujang.

Ehm … manis gimana gitu.

“Sini saya usap biar cepat sembuh.” Bujang mendekat pada Rindu yang untungnya, tak ditolak. Gadis itu diam saja saat ia benar-benar ada di depannya. Pasti sakit kepala itu terantuk tepian meja. Bisa jadi timbul luka, kan? Duuh jangan sampai itu terjadi. “Di sini?”

Rindu mengangguk saja. “Sakit tau,” keluhnya.

“Makanya kalau gerak itu lihat sekitar.”

Gadis berambut pirang itu berdecak. “Sekitar saya paling dekat Bapak. Gimana mau lihat yang lainnya?”

“Ya kalau itu jangan, lah. Cukup saya aja yang kamu lihat.”

Andai menyambar sedikit saja bibir Rindu yang kini masih merengut diperbolehkan, pasti sudah Bujang lakukan. Apalagi gadis ini mendongak dan menatapnya dengan sorot mata memelas. Manik matanya yang hitam itu memang memiliki pesona sendiri untuk Bujang. Rasa yang tertinggal di bibir Bujang juga masih begitu dapat ia rasakan, kok. Inginnya sih mengulang terus sampai …

Tunggu! Kenapa isi kepala Bujang justru bibirnya Rindu saja?

Ini sih bukan perkara yang baik! Haruskah saat nanti pulang ke Bogor, sekalian meresmikan hubungan? Merengek pada ibunya ikut kembali ke Jakarta, lantas melamar Rindu sekalian? Iya, kan? Lebih baik ketimbang nanti kepalanya terisi hal aneh terus? Dekat dengan Rindu di saat seperti ini memang tak ada baik-baiknya saja.

“Pelan-pelan, Pak, sakit,” ringis Rindu. “Bapak pakai kira-kira kalau mau usap kepala saya, ih!”

“Maaf, ya.” Bujang tersenyum saja. “Saya berinisiatif mentraktir mereka bukan hanya karena resmi kita berhubungan, kok. Anak marketing memang tembus targetnya. Makanya saya mau ajak mereka makan siang bersama. kerja keras mereka patut diapresiasi, lho.”

Rindu masih mencebik. 

“Kalau kemarin kamu enggak ada masalah, pasti saya berikan hadiah. Makanya teliti.”

“Tapi, kan, bukan saya yang benar-benar salah, Pak,” kilah Rindu.

“Apa pun alasannya, kamu yang approve. Dan itu tanggung jawab kamu. Dari kesalahan itu kamu jadikan pelajaran berharga kalau ketelitian itu sangat diperlukan.”

“Iya,” sahut Rindu dengan lesunya.

“Ini laporannya sudah saya cek sejak tadi sebenarnya. Di sistem saya terbaca, kok.”

Rindu melotot garang jadinya. “Jadi Bapak sengaja, ya, nyuruh saya ke sini?”

“Memang kenapa?” tanya Bujang dengan cengiran tanpa dosa. “Melihat kamu lewat CCTV itu kurang, Rin. Lebih baik seperti ini. Nyata.”

“Ih!” Rindu lebih baik menyingkir dari Bujang sekarang! Sekali menyebalkan memang akan terus bertingkah seperti itu! Dan kenapa Rindu terjebak bersama Bujang?!

Tuhan! Kenapa saat itu Rindu seolah dibuat tak sadar menyetujui keinginan Bujang mendekatinya?

Etapi … ia enggak rela juga, sih, kalau Bujang sama wanita lain.

Sudah lah, Rin, terima nasib!

Begitu langkah Rindu masuk ke counter, suasana agak ramai. Yang membuat ia pun segera membantu Dela juga Yuni. Di depan nasabah, jangan sampai terlihat kalau Rindu mengibarkan perang dingin dengan Dela. Tapi kalau dibilang Rindu yang memulai, ia tak terima. Semua ini karena Dela, kan?

Awas saja! Rindu tak akan beri ampun sampai Dela meminta maaf dengan cara yang layak. Bukan seperti kemarin yang seenaknya bicara. Kalau ingat semua alasan dan perkataan Dela, Rindu tak akan mudah memberi maaf untuk gadis itu. Cantik tapi hatinya busuk!

Ew!!!

“Selamat siang, Rindu.”

Rndu, yang baru saja menyelesaikan pengecekan slip milik Yuni mendongak. Di depannya, atau lebih tepatnya di depan counter teller Dela, Tio berdiri di sana.

“Siang, Pak.” Rindu berusaha untuk ramah saja.

“Saya mau transaksi tapi nominalnya agak besar.” Tio mengeluarkan kartu yang menandakan kalau dirinya nasabah prioritas.

Rindu dan Dela bersitatap sekilas di mana Rindu memberi izin untuk Dela tak melakukan apa pun selain menerima transaksi dari Tio seorang. 

“Pak Hasan,” panggil Rindu yang meminta agar jalur penerimaan nasabah pada bagian Della dialihkan sejenak. Hasan segera mengikuti instruksi yang Rindu beri.

“Yuni, kamu fokus, ya.” Rindu tersenyum tipis. Matanya tak ia lepaskan dari Dela. Jangan sampai ia berbuat ulah lagi.

“Tapi saya enggak mau dengan Mbak ini.” Tio terkekeh. “Saya mau Rindu yang bantu saya hari ini.”

“Ehm … tapi prosedurenya seperti itu, Pak.” Rindu berusaha untuk memberi pengertian. “Lagi pula ada saya di sini, kok.”

Tio tampak mempertimbangkan sesuatu. “Bisa bertemu Marta?”

“Bu Marta kebetulan hari ini enggak masuk, Pak,” sela Dela dengan cepat. “Bisa saya bantu keperluannya apa?”

“Begitu rupanya.” Tio sedikit mengalah akhirnya. Dikeluarkan beberapa dokumen serta identitas lainnya untuk pemindahbukuan serta penyetoran uang dalam nominal cukup besar. Beberapa slip yang sudah ia persiapkan juga disodorkan pada Dela untuk dicek.

“Ini sudah semuanya, Pak?” tanya Dela yang meneliti ada delapan slip berbeda yang akan ia cek dan input.

“Sudah. Jangan sampai salah, ya, Mbak. Saya enggak punya waktu untuk membereskan kesalahan kecil.”

“Baik, Pak.” Dela mengangguk. Agak sebal dengan ucapan Tio barusan. Apa menrang-mentang nasabah prioritas? Tapi saat ia buka data nasabah tersebut, matanya terbeliak. Ia juga merasakan kalau Tio menatapnya dengan lirikan tajam.

Sebagai seorang nasabah prioritas, memang mendapatkan previllage khusus di hampir semua cabang BBRI termasuk Senayan. Di mana Tio diantarkan ke dalam ruangan khusus sembari menunggu sampai semua transaksinya selesai diinput. Biasanya ia meminta salah satu asisten untuk mengurus tapi karena mengingat Rindu ada di BBRI Senayan, rasanya tak jadi masalah untuk sekadar bertemu.

Di BBRI ini ia sempat berkenalan dengan Marta. Selain karena memang kala itu Marta yang turun langsung menangani transaksi miliknya, wanita itu juga teman satu almamaterya. 

“Oiya, Pak Hasan namanya, kan?” tanya Tio sebelum petugas bank itu meninggalkannya di ruangan yang cukup nyaman ini.

“Iya, Pak.”

“Nanti minta tolong panggilkan OB untuk bantu supir saya turunkan beberapa kotak dari dalam mobil.”

Meski agak bingung, Hasan mengangguk saja. 

Tak lama berselang, Rindu masuk ke dalam ruangan yang sengaja pintunya tak ia tutup. Masih bisa ia lihat beberapa nasabah lain yang menunggu giliran juga Hasan serta Yuni di postnya masing-masing. Bukan apa. Ia tak mau kalau sampai Tio mendekatinya. 

Tipe pria seperti Tio ini sangat berbahaya kalau hanya berdua saja. Ia tak mau mengulang seperti kala mereka makan malam beberapa waktu lalu.

“Siang, Pak,” sapa Rindu berusaha seramah mungkin. Di kantor ini, Tio adalah nasabahnya. 

“Siang, Rindu.” Tio sedikit mengubah posisi duduknya. “Jadi saya tetap dipanggil Bapak, ya? Bukan Mas?”

Rindu tersenyum saja. “Ini semuanya sudah saya koreksi dengan lebih teliti. Saya pastikan juga tidak ada yang salah dalam mutasinya.”

Tio mengangguk sekilas. “Saya percaya kalau begitu.”

“Terima kasih atas kepercayaannya.” Rindu sedikit bernapas lega. “Ada lagi yang bisa saya bantu? Mohon dicek juga untuk kartu identitas dan beberapa dokumen lain yang saya masukkan ke dalam amplop. Saya sudah periksa di meja counter, tidak ada yang tertinggal. Tapi Bapak bisa cek ulang.”

Tio hanya melirik sekilas pada amplop cokelat yang Rindu berikan. Mengambil kartu identitasnya dan kartu yang ia tunjukkan tadi. “Sudah oke.”

“Kalau saya sering berkunjung ke sin, kamu enggak jadi soal, kan?”

Rindu mengerjap pelan. “Selama kunjungannya hanya berkaitan dengan BBRI, saya enggak jadi soal.”

Tio tergelak. “Astaga, sukar sekali dapat perhatian kamu. Pesan saya yang sebanyak itu saja tak ada yang mendapatkan respon satu pun.”

Gadis berambut pirang itu hanya menampilkan senyum tipis.

“Saya orangnya enggak gampang menyerah, lho.” Tio memilih bersandar di punggung sofa. Menyamankan dirinya seolah ini ruang kerjanya. “Selama di jari kamu belum ada cincin yang melingkar, saya masih bebas untuk mengejar kamu.”

Tangan Rindu terkepal kuat. “Berarti Bapak ini tipe pria perusak, ya.”

“Ya?”

“Iya. Perusak hubungan orang. Saya pikir perusak itu hanya ada di sosok perempuan murahan, lho, Pak. Eh, ternyata ada juga di sosok pria.”

“Kamu bilang saya murahan?” Tio sampai terperangah lebar saking tak percaya mendengar ucapan Rindu barusan.

“Enggak. Saya bilangnya ada juga di sosok pria. Kalau Bapak merasa, yah … bukan urusan saya, sih.” Rindu terkekeh. “Lagian, ya, Pak. Bapak ini bukannya orang sibuk, ya? Kok, menyempatkan diri sekali untuk mengejar saya?”

Tio tertawa jadinya. “Saya boleh beri penilaian?”

“Saya sudah enggak ingin bicara mengenai pribadi, Pak. Obrolan kita ini masuknya ranah pribadi.”

“Kalau begitu kapan saya bisa ngobrol santai dengan kamu?”

“Enggak ada waktunya.”

“Sibuk sekali?” Tio tak percaya dengan alasan yang Rindu beri. “Pulang kerja nanti saya jemput kamu.”

 “Terima kasih untuk tawarannya, tapi maaf, saya menolak.” Rindu pun berdiri dari duduknya. “Kalau semua transaksinya sudah dicek kembali, saya undur diri. Terima kasih sudah mempercayakan BBRI sebagai salah satu perbankan yang Bapak miliki. Selamat siang.”

Tio hanya bisa memandangi punggung Rindu yang menjauh. Sampai sosok gadis itu hilang ditelan pintu ruang yang terbuat dari kaca. Hanya menyisakan parfum yang ia kenali sejak pertama kali bertemu. Ia tak menyangka, dirinya ditolak? Benar-benar ditolak padahal baru juga memulai?

“Jangan salahkan kalau saya enggak peduli dengan hubungan yang kamu punya, Rin.” Kali ini Tio bertekad. “Lagian kamu lebih cocok bersanding dengan saya ketimbang pria itu,” cibir Tio. “Lihat saja nanti.”

 

 

 

 

****

 

Nah Tio yang ada di kisah Bujang RIndu ituuuu aku buatkan kisah sendiri ya. Judulnya HANDLE ME

 

SELAMAT MEMBACAAA

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Bujang-Rindu
Selanjutnya PREMAN ITU SUAMIKU. [69]
2
5
[69] Mulai membaik“Semua antek-antek Joseph sudah kubereskan. Kuminta Ferdi menghukum dengan seberat-beratnya. Aku tak ingin terlalu banyak mencampuri urusan yang sudah diselami polisi.”“Kenapa tak kau persingkat, sebagai balas jasa karena polisi membantumu, Pras?” Alfred mencibir yang mana ditanggapi oleh kekehan geli dari Pras.“Aku hanya memperhalus bahasa, Tuan. Kau menyukai aku yang sopan, kan? Seperti inilah bentuk sopan santunku.”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan