RINDU BUJANG. [24], [25], [26], & [27]

5
1
Deskripsi

Bab masih bisa dibaca free

[24] Kirain manis, enggak tahunya pahit!

[25] Bujang yang sakit, Rindu yang repot

[26] Hari Rindu makin pahit

[27] Dugaan Dela

 

____ Spoiler

 

“Kalau dasarnya memang menyebalkan bakalan seperti itu sampai tua nanti, Pak. Eh … Bapak sudah tua juga, kan? Nah, jadi sifat nyebelin yang Bapak punya itu enggak akan berubah.”

“Ngaco!” Bujang gemas jadinya. Diacak rambut Rindu dengan seenaknya. “Nanti kalau saya bersikap manis sama kamu, kamu enggak kuat berlama-lama berjauhan sama saya.”...

 

[24] Kirain manis, enggak taunya pahit!!!

Sekali, Rindu memeluk gulingnya erat. Dua kali, ia ubah posisi bantalnya agak mundur ke belakang ranjang. Kali ketiga, Rindu menutup tubuhnya dengan selimut! Gerak itu sudah Rindu lakukan berkali-kali sepanjang ia tak bisa tertidur. Bahkan konyolnya lagi, ia pun menghitung domba juga ikan yang terbang di angannya agar ia mudah lelah lantas jatuh tertidur.

Sayangnya semua usaha itu terlihat sia-sia. Bukannya capek dan mengantuk, dirinya malah semakin segar dan matanya terbuka lebar. Persis saat dirinya masih ingin menonton siaran ulang kontes BTS di beberapa negara. 

“Argh!!”

Ia sibak selimutnya saking tak bisa bernapas. Salah siapa memakai selimut sementara ia tidur dengan kipas angin? Dilihatnya jam dinding sudah menunjuk pukul satu malam. Sejak ia memutuskan untuk tidur jam sepuluh tadi, ia sama sekali belum terpejam juga? Belum ada yang membawanya ke alam mimpi?

Pulang dari rumah sakit, satu bungkus nasi goreng sudah ibunya tinggalkan untuknya. Berhuubung lapar, Rindu segera menghabiskannya tanpa sisa. Ehm … tersisa bungkusnya saja, sih. Juga acar wortel yang memang tak terlalu ia gemari. Segelas teh hangat sebagai penemannya sembari menunggu perutnya lebih nyaman untuk tidur. Harusnya tubuh ini bisa dengan segera jatuh terlelap, kan?

Perut kenyang, hati senang, pikiran tenang! Tapi kenapa tak bisa Rindu dapatkan malam ini?

Ya Tuhan!!!

Rindu kesal bukan main. Ini semua karena siapa? Bujang! Benar! Semuanya salah Bujang! Kalau bukan kata-katanya yang menganggu Rindu, ia tak akan seperti ini. Mau bersikap manis padanya? Dia harus menunggu? Ini Rindu kalau salah tafsir bagaimana? Kan … enggak lucu!

Beberapa minggu ia habiskan di Senayan, sepertinya ia sudah bisa membaca peringai Bujang entah pada staff lainnya atau juga kepadanya. Yang mana jelas kalau tertuju padanya selalu dengan nada sinis dan menyebalkan. Tapi pada staff lain, entah itu Ayana, Dela, atau Yuni, Bujang bersikap selayaknya bos yang berwibawa. Tak banyak bicara juga ada keramahan tersendiri! Lantas kalau dirinya mau bertingkah manis pada Rindu, bukan kah sama saja mencari masalah di kantor?

Belum lagi Marta!

Bujang ini punya pikiran tidak, sih? Kenapa menyeret RIndu dalam masalah percintaan yang aneh begini.

Sebentar! Rindu juga kenapa memikirkan percintaaan. Memangnya Bujang mengucapkan kata cinta untuknya? Sejak awal kedatangannya ke rumah sakit, tak ada kata-kata itu meluncur dari bibir Bujang. Kenapa dirinya kepedean sekali, sih? Ia masih belum lupa apa yang mereka bicarakan selama di rumah sakit.

“Pak, kalau bicara jangan suka asal bisa, kan?” Rindu melepas pelukannya dengan segera. Ia juga akhirnya menyadari, kenapa juga bisa masuk dalam pelukannya dan malah menangis tersedu di sana? Astaga, otak dan tubuh Rindu! Ayo lah bekerja sama untuk enggak berbuat keanehan luar biasa saat dekat dengan Bujang! Malam ini niat utama Rindu adalah menjenguknya, kan? Memastikan kalau Bujang ini sudah jauh lebih baik.

“Kenapa harus asal?” tanya Bujang memberi tatapan heran. “Saya terlihat bercanda memangnya?”

Tanpa ragu, Rindu mengangguk.

“Enggak lah.” Bujang terkekeh. “Dari pada kamu enggak berguna di sini, coba itu makan malamnya bawa. Saya belum makan.”

“Dari tadi belum makan, Pak?” Rindu heran jadinya. Ia pikir makanan itu meman tergeletak di sana karena sudah selesai dimakan Bujang.

“Belum. Tadi yang mengunjungi saya cukup banyak.” Bujang terkekeh. “Sampai saya capek bicara terus. untung saja mereka enggak berlama-lama. Mungkin karena wajah saya yang agak pucat? Apa memang saya kelihatan semenderita itu, Rin?”

“Biasa aja,” tukas Rindu. “Wajah Bapak masih sama seperti biasanya yang nyebelin.”

Bujang berdecak. “Sudah ambilkan saja makanannya.”

“Untung semuanya sudah pulang pas saya datang, kalau enggak saya bisa kena gosip sama Bapak.” Rindu nyengir kuda tapi sembari mengangkat nampan yang ada di nakas. Makanan yang tersedia khas sekali orang sakit perut. Rindu mengernyi aneh jadinya. Pasti rasanya tak enak tapi mendadak juga perasaan bersalahnya timbul lagi. 

Terutama saat Rindu ingat Bujang yang makan ayam bakar dengan lahapnya. Pasti nanti pria itu protes kenapa makanannya tak enak. Minta ditukar segala macam dan membuat Rindu repot. Bayang di mana Rindu harus mencari makanan pengganti atau berusaha keras untuk membujuk Bujang menghabiskan makan malamnya seliweran tanpa bisa Rindu kendalikan.

“Ih! Jangan sampai, ya, begitu. Aku enggak mau!” dumel Rindu tanpa sadar. 

“Kamu kenapa?” Bujang sejak tadi memperhatikan Rindu ini aneh sekali. 

“Eh, enggak ada, Pak.” Rindu lagi-lagi nyengir lebar. Ia pun duduk lengkap dengan nampan yang baru saja diambilnya. “Sendoknya sudah saya bersihkan lagi, Pak. Takut kena debu.”

“Baik sekali kamu.” Bujang pun melepaskan satu demi satu plastik pembungkus yang ada. “Bantu saya, Rin. Saya lapar.”

“Ini dibantuin,” kata Rindu dengan cebikan.

“Maksudnya, itu kuahnya tolong tuang ke nasinya. Ayamnya tolong disuwirin biar cepat saya makannya.”

Rindu terdiam tapi kemudian dengan cepat ia laksanakan apa yang Bujang minta. Matanya tak lepas memperhatikan bagaimana Bujang makan dengan lahap. Tak ada keluhan sama sekali mengenai makanan yang tersedia dari rumah sakit. Semuanya tandas habis tak bersisa. “Laper banget, Pak?”

Bujang yang tengah mengusap ujung bibirnya yang seperti berlapis kuah, terdiam sejenak. “Antara lapar dan ingin cepat sembuh.”

“Tapi katanya makanan rumah sakit enggak enak. Bapak bisa habiskan?”

Pria itu menatap Rindu makin heran. “Enak aja buat saya.”

“Mami saat di rumah sakit ngeluh enggak enak buburnya. Saya cobain juga memang enggak terlalu enak, Pak. Hambar.”

Bujang jadinya tertawa. “Mungkin Mami kamu makan enggak pakai bismillah.”

“Ih, Bapak ngawurnya enggak kira-kira, deh.”

“Lho benar, Rin. Ibu saya sering bilang, makan itu berdoa. Apa pun makanannya, sesederhana apa pun lauknya, atau malah hanya ada nasi saja saking enggak ada uang untuk beli lauk, rasanya tetap enak.”

Rindu terdiam.

“Saya pernah merasakan susah sampai enggak bisa beli telur satu.” Bujang terkenang saat pertama ia merantau di Jakarta. Keadaannya dulu cukup menyedihkan. Gajinya masih belum seberapa tapi ia harus menanggung hidupnya di sini serta biaya pengobatan ayahnya di kampung. Tak lupa juga ia harus bekerja ektra demi mengumpulkan uang untuk pernikahan dengan … ah, kenapa jadi ingat perempuan itu lagi.

Sadar diri, Jang! Perempuan itu sudah berbeda hidupnya denganmu!

“Saya enggak langsung ada di posisi sekarang, kok, Rin. Saya juga berjuang untuk membuktikan diri kalau saya mampu. Makanya kemarin nasihat saya apa? Kamu itu bagus, tapi kamu perlu menyesuaikan diri dengan Senayan dulu baru tau head teller Senayan ini bagaimana. Sudah mulai memahami ucapan saya, kan?”

Rindu mau tak mau mengangguk. “Iya, Pak.”

“Makanya jangan ngambek dulu. Sudah besar, kok, ya ngambeknya gitu.”

Mulut Rindu mencebik. “Saya itu lagi tanya mengenai makanan rumah sakit. Bukan malah bahas saya lagi, Pak.”

“Kan berkaitan.” Bujang tertawa. “Tolong pojokkan di sebelah sana. Sebentar lagi perawat datang untuk ambil.”

Gadis itu mengangguk cepat. “Bapak enggak ada yang jagain?”

“Enggak.”

“Bapak sendirian aja dari kemarin?”

“Ditemani selang infus. Berarti saya ada temannya, kan?”

“Lucu banget, Pak!” Rindu mencibir. “Saya serius tanyanya.”

“Kalau kamu lihat ada enggak yang nungguin saya di sini?”

“Enggak ada sih.”

“Terus kenapa tanya, logikanya dipakai kenapa?”

Ya Tuhan! Sakit saja, tangannya kena selang infus saja, kenapa sosok Bujang masih begitu menyebalkan? Ada kah obat untuk sedikit mengurangi sifat menjengkelkan ini?

Itu belum seberapa dibanding saat Rindu pamit pulang. 

“Sekali lagi saya tanya, saya ini harus menyebalkan atau menyenangkan untuk kamu?”

“Kenapa memangnya, Pak?” Rindu menghentikan langkah sebelum benar-benar keluar ruang rawat Bujang. “Kalau bicara jangan suka melantur, Pak. Bapak sendirian lho di rumah sakit. Kalau Bapak diganggu penghuni rumah sakit, enggak ada yang nolongin baru tau rasa.”

“Ngaco kamu,” dengkus Bujang tapi disertai kekehan. “Sudah sana pulang. Hati-hati. Salam untuk ibumu. Beritahu, kalau putrinya ini kurang ajar sama bos. Bosnya dikerjain sampai masuk rumah sakit.”

“Ih! Saya kan sudah minta maaf setulus hati, segenap jiwa, kenapa masih dibahas terus? Bapak jangan jadi orang pendendam, Pak. Enggak baik.”

Bujang iring kepulangan Rindu dengan tawa. Belum juga langkah Rindu sampai parkiran, satu pesan dari Bujang masuk.

[Bujang. A : Saya putuskan untuk bersikap manis saja. siap-siap aja kamu, Rin.]

Karena pesan itu juga, ucapannya Bujang yang masih terngiang itu pula, Rindu tak bisa tidur!!! Sulit sekali terpejam padahal perutnya kenyang sebelum ia pergi tidur. Apa sekarang sudah lapar lagi? Segelas susu sepertinya bukan ide yang buruk. Maka yang Rindu lakukan adalah menyeduh susu bubuk yang selalu tersedia di laci penyimpanan.

Padahal ada satu pesan masuk ke ponselnya yang sampai sekarang belum terbaca. Itu juga dari Bujang.

[Bujang. A : selama saya dalam pengawasan dokter perkara makanan, kamu yang harus siapkan saya makan. Yang enak. Inget, Rin. saya masuk rumah sakit karena siapa? saya enggak minta tanggung jawab biaya perawatan lho.]

Apanya yang bersikap manis? Pesan minta dibawakan sarapan atau makan siang saja seperti orang ngajak berantem! 

***

“Kamu … kenapa, Kak Rin?” tanya Yuni penasaran. ia baru datang, tapi melihat RIndu sudah bersungut-sungut di depan meja pantry. Di depannya juga ada dua kotak bubur ayam yang sepertinya lezat. “Kok enggak dimakan?”

“Kamu laper, Yun?”

“Iya, lah!” Yuni langsung meletakkan tasnya dengan segera. 

“Makan lah.”

“Benar, Kak?”

Rindu mengangguk cepat. “Makan yang banyak. Satenya ada di plastic satu lagi. aku enggak tau kamu sukanya yang mana.”

“Makasih, Kak!” Yuni lahap saja makan sarapan gratisnya ini. tak tau apa yang Rindu rasakan dengan kotak buburnya. padahal RIndu sudah capek antri untuk dapatkan bubur yang terkenal di dekat area Senayan ini. Lengkap dengan taburan cakwe dan suwiran ayam yang banyak. Kuah kaldunya saja sampai Rindu minta pisah biar masih enak dimakan Bujang.

Rindu baca pesan itu pagi harinya. Ia tak jadi soal sebenarnya meski ngedumel sepanjang jalan karena apa yang Bujang minta itu. Mana ada dirinya harus tanggung jawab perkara makan sang bos? Lama-lama Bujang ini harusnya tak lagi disemat label bos menyebalkan, tapi juga setengah gila!

Sudah begitu, ini yang paling menjengkelkan di antara yang lainnya.

Bubur itu ditolak, pemirsah!!! Katanya, “Memang saya pesan bubur? Saya maunya kamu yang masak. Enggak paham juga?”

Ya Tuhan! Di mana sikap manis yang katanya mau ditunjukkan dan Rindu harus bersiap? Ini sama saja menabur bubuk sambiloto ke tenggorokan Rindu!!! Pahit rasanya! 

“Harusnya Bapak bilangnya yang lebih jelas dong!” kata Rindu sembari menghentak. “Capek lho ini saya ngantrinya. Kemarin aja bilangnya makanan enggak boleh dibuang-buang! Sekarang?”

“Saya maunya kamu bawakan kotak bekal untuk saya. Susah amat!”

“Nyusahin!”

“Oh, berarti pengin saya beritahu ke khalayak ramai kalau kejadian saya sakit kemarin itu murni karena kamu, ya?”

“Ih!!!” Rindu makin geram jadinya.

“Ingat, bawakan makan untuk saya jangan terlalu asin. Lidah saya masih berfungsi dengan baik, Rin.”

“Argh!!!” teriak Rindu tak tahan. Hal ini membuat Yuni terperangah.

“Kenapa, Kak?”

“Nyebelin banget tuh orang!”

“Siapa, Kak” mata Yuni menatap Rindu dengan polosnya. Bubur yang ada di sendoknya tergantung di udara saking kagetnya ia mendengar Rindu berteriak.

Andai saja tak ingat ini lingkungan kantor, mungkin Rindu sudah mendaraskan makian yang ia tuju untuk Bujang! Keterlaluan memang Bujang ini!

 

 


 

 

 

[25] Bujang yang sakit, Rindu yang repot.

Mau bagaimana pun juga, sebagian besar hatinya Rindu itu dipenuhi rasa bersalah. Seolah mata Bujang itu di mana-mana, lalu berkata, “Saya sakit karena ulah kamu. Tanggung jawab!”

Bulu kuduk Rindu meremang begitu ia menyalakan mesin motor. Padahal tempat parkir yang biasa ia sambangi, ramai para pekerja lainnya bersiap pulang. Tak seedikit juga terdengar obrolan santai mengenai hal-hal yang Rindu tak terlalu mengerti. Tapi kenapa ia merasa Bujang ada di sekitarnya? Menatapnya tajam, mulutnya siap sekali memuntahkan amarahnya, juga bersikap ketus padanya.

Membuat Rindu ingat, sakit Bujang hari ini karena ulahnya. Andai saja ia tak main-main dengan kopi dan garam, pasti perasaan seperti ini tak ia rasakan, kan?

“Alah! Bodo amat! Salah siapa ngeselin?” Rindu memilih untuk mengenakan jaket dan helmnya saja. memastikan tak ada yang tertinggal, kaca spion juga sudah sesuai dengan sudut pandang yang ia butuhkan. Bicara mengenai kaca spoin, bagi Rindu itu sangat dibutuhkan. Ia bisa melihat pengendara lain tanpa perlu menengok belakang atau samping dan membuat gerakan mendadak. Jangan sampai dirinya membahayakan orang lain di belakangnya. 

Dirinya yang aman dan biasa saja berkendara bisa celaka, bagaimana kalau ia tak hati-hati? Makanya Rindu heran kalau ada pengendara yang mengabaikan kegunaan kaca spion. Merasa punya mata di belakangnya mungkin, ya?

Baru juga ia keluar parkiran, hatinya kembali tertuju pada Bujang. Terutama saat di mana cangkir itu diminum sampai habis oleh sang bos.

“Ya Allah!!!” Rindu membuka kaca helmnya. Tak peduli kalau jeritannya ini mendapat perhatian dari orang lain di sekitar jalan. Sampai ada yang berhenti dan memastikan kalau Rindu tak apa-apa. Tak enak sebenarnya, tapi Rindu memang merasa gundah jadinya.

Segera ia keluarkan ponsel dari ranselnya. Menghubungi Dela adalah tujuanya sekarang.

“Del,”

“Eh, kamu gimana? Masih sakit perutnya?” tanya Dela begitu mengangkat telepon dari Rindu.

Yang bisa gadis itu lakukan hanya meringis. Itu alasan yang sangat dibuat-buat. Rindu tak sakit perut, kok. Hanya pura-pura sakit agar tak ikut rombongan menjenguk Bujang sore ini. sayangnya … malah bosnya itu terbayang terus yang membuat Rindu memutuskan untuk ke sana. memastikan sendiri kalau sang bos dalam keadaan baik-baik saja. jangan sampai terjadi hal buruk sekali dan Rindu terseret di dalamnya.

Rindu mendadak dihantui perasaan mengerikan sekarang.

“Rin, kamu ditanya malah diem aja?”

“Eh ah … itu, iya au baik-baik aja kok.” Rindu terkekeh. “Kamu masih di rumah sakit?”

“Baru sampai. Aku enggak lama, sih, takutnya macet juga pulangnya.”

“Bisa sharelock enggak?” tanya Rindu pelan.

“Kak Rindu mau ke sini? Yakin?”

Rindu bingung harus jawab apa. “Enggak, sih. Cuma pengin tau aja kalau merah semua lalu lintasnya, ya … aku enggak ke sana.”

“Oke aku kirim. Tapi kalau ke sini kabarin, ya. Takutnya kita semua sudah pulang.”

“Beres.”

Tak seberapa lama, maps lokasi tepatnya rumah sakit tempat Bujang dirawat tertera di layar ponsel Rindu. mengecek dengan benar jalur yang bisa ia lewati, meski kebanyakan merah dan tersendat, Rindu tetap memperhatikannya lekat. Sebelum akhirnya ia pun memberi kabar pada sang ibu kalau kepulangannya hari ini terlambat.

“Rindu mau jenguk Pak Bujang, Bu.”

“Memang kenapa dia?”

“Sakit.”

“Sakit apa?”

“Enggak tau.” Rindu tak akan mengakui perbuatannya pada sang ibu. Bisa-bisa ia dipecat jadi putrinya. Ibunya memang jarang bicara padanya tapi sekalinya marah, wah … singa betina lewat. Jangan sampai Rindu mendapatkan murkanya. 

“Ya sudah hati-hati. Salam untuknya dari Ibu, ya.”

“Iya, Bu.” 

Baik lah, Rindu mengambil napas dalam-dalam. Ia pun memasang maps ponselnya di dudukan yang ada di dekat spion motor. Sengaja ia miliki alat seperti ini untuk jaga-jaga siapa tau dirinya tersasar entah ke mana. Ia mengumpulkan niat dan keberanian menjenguk Bujang. Kalau niat menjenguk orang sakit, Rindu selalu ada. Ta pi kalau keberanian? Apalagi ini Bujang, Rindu harus benar-benar memastikan hal itu ada.

Karena menurut hemat Rindu, dirinya lah yang membuat Bujang berakhir di rumah sakit. Jangan sampai bosnya yang aneh dan menyebalkan itu tambah menjengkelkan karena sakitnya ini.

“Terserah lah mau jadi apa nantinya. Ketimbang rasa salah ini makin besar. Bisa-bisa gue enggak tidur malam ini,” kata Rindu dan mulai menyalakan mesin motor. Berdoa semoga Bujang tak marah padanya.

***

Apa Rindu bilang mengenai keinginannya menjenguk Bujang? Pasti jadi masalah!

Benar saja. sejak ia datang, Bujang bersikap sinis sekali padanya. Untungnya, ini Rindu bisa kategorikan keberuntungan tersendiri. Rekan kerjanya yang lain sudah pulang, tak ada satu pun yang ia temui di sana. hanya jejak peninggalannya saja berupa parsel buah dan beberapa kantung makanan kecil.

“Bapak … sudah jauh lebih baik?” tanya Rindu memberanikan diri. Untuk bertanya saja, ia lihat wajah Bujang dulu. Meski di depannya, pria itu terbaring dengan tampang tak suka, ketus, judes, sinis, dan galak tapi Rindu tetap tak bisa berdiam diri kan? percuma kalau ia sudah ada di ruang rawat Bujang tapi hanya berdiam diri seperti ini.

“Menurut kamu?” tanya Bujang sembari melirik pada Rindu berdiri di ujung ranjangnya. “Ngapain di situ? Kamu berubah status jadi perawat di rumah sakit ini?”

“Enggak, Pak,” kata Rindu tertunduk.

“Duduk sini.” Bujang menunjuk dengan ujung dagunya. Tangannya masih kena infus dan satunya sengaja ia buat lemah. Meski sebenarnya, Bujang sudah jauh lebih baik. Tidak. Bukan karena kopi asin buatan Rindu dirinya berakhir di ranjang rumah sakit ini. 

Sepulang dari rumah Rindu, ibunya membuatkan sup kari udang yang agak pedas. Entah karena Bujang yang terlambat makan atau memang daya metabolismenya hari itu lemah, sup kari itu lah yang membuat perutnya bermasalah. Sampai ia dibawa ke rumah sakit saking lemahnya. Sang ibu sudah sangat khawatir dengan keadaan Bujang dan bersumpah tak akan membuatkan sup itu lagi. padahal Bujang menyukai masakan ibunya itu.

Tiap kali ibunya berkunjung ke Jakarta, pasti Bujang selalu dimanjakan dengan berbagai macam jenis masakan rumahan. Bahkan Bujang sudah punya rencana untuk membawa makan siang ke kantor. Semacam menjadi kebiasan khusus saat sang ibu ada di kostnya. Namun sepertinya hal itu urung ia lakukan karena malah berakhir di sini. 

Kenapa Bujang malah menyalahkan Rindu? sekalian untuk menghukum gadis itu agar tak lagi menyuguhkan dirinya kopi yang sangat asin itu. astaga kalau ingat tampang Rindu yang puas sekali saat ia habiskan kopinya, membuat Bujang geram juga. Dan tepat sekali balasannya sekarang. makanya Bujang mendalami peran sekali kali ini. akan ia buat Rindu susah beberapa hari ke depan.

Tekadnya begitu.

Demi mewujudkan tekadnya itu, Bujang sampai mengusir ibunya pulang. Dengan alasan, Syarifah pasti lelah karena seharian menjaga Bujang. Ia harus beristirahat dan kembali esok pagi saja. membantu Bujang bersiap untuk pulang karena dokter juga sudah memperbolehkannya pulang. Namun Bujang mau ekstend semalam lagi, tujuannya jelas, menunggu Rindu datang.

Dan berhasil.

Gadis itu datang dengan raut wajah agak pucat dan takut. Iya, lah takut! Bujang tau kalau kopi itu bisa membuat perutnya bermasalah. Atau malah kopi itu juga pemicu dirinya ambruk seperti ini? Ah … sialnya Bujang. Andai Rindu tau bagaimana lelahnya ia berjongkok hampir lima menit sekali, Bujang rasanya ingin menjewer gadis itu agar tak lagi sembarangan!

“I-iya, Pak.” Rindu tak bisa membantah. Perlahan ia pun mendekat dan duduk di kursi yang ditunjuk Bujang. Matanya tak berani lama menatap pria yang terbaring ini. wajah Bujang agak pucat dan terlihat tak sehat. Astaga, Rin! kalau Bujang sehat, dia tak akan ada di sini tapi ada di kantor dan mungkin sekarang dalam perjalanan pulang ke rumahnya! Rindu ini pemikirannya konslet atau apa, sih? Apa karena sepanjang jalan memikirkan kemungkinan terburuk pada kondisi Bujang?

Rindu takut kalau Bujang harus melewati banyak serangkaian operasi karena ulahnya. Ah … Rindu rasanya mau nangis kalau ingat pemikiran bodohnya ini. 

“Saya sakit.”

Rindu juga tau hal itu tapi ia tak menyahut sama sekali. 

‘Kamu tau karena siapa?” Bujang berusaha untuk sedikit menggeser dirinya. Duduk lebih nyaman agar bisa bicara dengan Rindu yang malah menunduk ini. “Kamu bantu saya bangun, Rin. Mana bisa saya sendirian begini?”

Rindu mendongak dan segera membantu Bujang untuk duduk seperti keinginannya. Menerima segala macam kecerewetan bos yang pada dasarnya menyebalkan ini termasuk protesnya mengenai tinggi bantal yang menjadi ganjalan punggungnya. Rindu tak banyak membantah. Pokoknya nurut dan tak akan beradu argumentasi kali ini.

Ia merasa bersalah membuat sang bos tak berdaya.

“Kalau enggak ada pesan saya, kamu juga enggak ada niat ke sini? Jenguk saya? Atau tanya kabar perut saya yang sudah kamu racun?”

“Bukan gitu, Pak,” erang Rindu. “Saya niat mau ke sini tapi …”

“Tapi apa?” Bujang tak sabar jadinya mendengar apa yang akan Rindu katakan. Matanya mendelik tajam pada gadis yang kini duduk jauh lebih dekat dengannya. 

“Takut,” cicit Rindu pelan. bahunya agar gemetaran juga. Di mana Rindu ini tengah menahan tangis. Ia benar-benar ketakutan sekarang. 

Pertama, takut Bujang mendadak meninggal karena sakit yang disebabkan olehnya. Berterima kasih lah pada pemikiran Rindu sepanjang jalan tadi. kalau tidak, ia tak akan buru-buru ke rumah sakit ini dan memastikan keadaan bosnya.

Kedua, kemarahan Bujang yang sudah ia rasakan bahkan dari caranya mengirim pesan. Bahkan sampai ia merasa sepanjang jalan pun diikuti tatapan Bujang yang tajam.

Ketiga, ia tak mau ikut rombongan karena pastinya tak terlalu lama bicara dengan Bujang.

“Takut?” ulang Bujang. “Takut apa? Saat kamu kasih kopi asin itu kamu enggak ada takut-takutnya sama saya. Malah kamu senyum puas gitu,” dengkus Bujang. “Kamu sengaja berikan kopi itu untuk saya?”

Makin ciut lah nyali Rindu.

“Kenapa malah diam? Tuhan beri kamu mulut itu untuk bicara, Rin. Bukan malah bungkam.” Bujang berdecak. “Macam koruptor aja kamu enggak mau mengakui kesalahannya di depan pengadilan. Bungkam macam orang enggak punya salah aja.”

“Kenapa sangkut pautnya sama koruptor, sih, Pak?” Rindu manyun. “Saya enggak korupsi uang apa pun, lho. Ada niat begitu aja enggak,” sungutnya tak terima.

“Makanya bicara.” Bujang kembali berkata. “Kamu sengaja buat kopi itu?”

Sudah lah, Rin, pasrah saja. memang kenyataannya begitu, kan? Yang mana akhirnya, Rindu pun mengangguk pelan.

Bujang menghela panjang. “Kenapa memangnya seperti itu? Saya punya salah sama kamu? Capek, lho, Rin bolak balik kamar mandi karena ulahmu itu.”

“Maafin saya, Pak.” Rindu berkaca-kaca. Mau mewek aja rasanya karena Bujang berkata begitu. Ia tak pernah membayangkan bagaimana repotnya Bujang akibat ulah usilnya itu. “Maaf, ya, Pak.”

“Jelaskan dulu alasannya kenapa kamu begitu? Kamu enggak suka saya antar ke rumah?”

Rindu makin jadi lah isaknya. 

“Ditanya bukan malah nangis.” Bujang berdecak sebal jadinya. “Sudah, jangan nangis.” Direntangkan tangannya pada Rindu yang tak jauh darinya. Tak peduli ada sedikit rasa perih yang datang di tangannya yang terkena infus, ia memeluk gadis itu. Yang mana tindakannya ini malah membuat Rindu menangis lebih banyak. Aroma manis parfum Rindu pun terhidu. Lembutnya rambut pirang yang sejak pertama mencuri perhatiannya ini mengenai telapak tangannya. Bujang tak ingin pikirkan kemarahan Rindu nantinya kalau ia mengusap rambut yang tergerai itu.

Pelukan mereka membuat keadaan Bujang jauh lebih baik. Tak salah, kan, meminta extend tinggal di rumah sakit semalam lagi? Kalau yang ia dapat adalah pelukan Rindu, ia rela habiskan banyak waktu di kamar ini.

“Saya seperti kekasih yang jahat, lho, Rin.”

“Maafin saya, ya, Pak.”

Bujang terkekeh. “Jangan diulangi lagi, ya.”

Rindu mengangguk cepat.

“Bilang kalau kamu enggak suka saya antar. Saya enggak akan antar kamu lagi.”

“Bukan gitu,” Rindu mengurai pelukan mereka. “Bapak ini terlalu nyebelin jadi orang makanya kalau aku kerjain enak kali, ya. Lagian menurut saya enggak mungkin bikin sakit perut. Eh … ternyata saya salah.”

Tawa Bujang pecah sudah. “Jadi saya bahan eksprerimen usilnya kamu?”

Rindu mengusap air matanya dengan bibir cemberut.

“Kamu maunya saya nyebelin atau bagaimana?”

“Kalau dasarnya memang menyebalkan bakalan seperti itu sampai tua nanti, Pak. Eh … Bapak sudah tua juga, kan? Nah, jadi sifat nyebelin yang Bapak punya itu enggak akan berubah.”

“Ngaco!” Bujang gemas jadinya. Diacak rambut Rindu dengan seenaknya. “Nanti kalau saya bersikap manis sama kamu, kamu enggak kuat berlama-lama berjauhan sama saya.”

“Ih!” Rindu melotot tak terima. “Mana ada gitu.”

“Serius?”

Rindu mencebik.

“Ya sudah, mulai besok kalau perlakuan saya manis ke kamu, terima dengan tulus, ya.”

 


 

 

[26] Hari Rindu makin pahit

Marta dengan senyumnya yang lebar mengetuk pintu ruangan sang pujaan hati. Tapi jangan salah, hatinya sendiri menabuh bendera kekalahan meski tak ia benarkan. Dirinya belum kalah, kok. Hanya sering mendapatkan penolakan. Saking seringnya, ia sampai hapal kalau senyum Bujang itu kebanyakan kamuflase. Bujang hanya mau makan di mana stu frame bersama Marta kalau ada anak buah lainnya.

Jangan harap dirinya bisa mendapatkan moment bersama Bujang hanya berdua.

Oh … kecuali malam di mana ia diantar lantaran Marta tak membawa kendaraan sendiri. Itu juga, ugh … andai saja Bujang mau banyak bicara. Ini tidak, Pemirsah! Bujang diam seribu bahasa. Menjawab pertanyaan Marta hanya sekadarnya saja. Selebihnya mengenai persiapan gathering yang lebih banyak Marta beritahu termasuk kesiapan kostum yang hari ini berdatangan. Karena tema kali ini yang Senayan ambil adalah princess serta gaun malam yang anggun, ada sebagian yang menyewa kostum agar seragam. Ada juga yang tidak tapi menyewa perlengkapannya saja.

Marta mengatur agar seluruh staff Senayan dapat tampil dengan penampilan yang terbaik. Karena ada satu kategori khusus yang diperebutkan nanti saat malam Gala Dinner dimulai. Cabang dengan kostum terbaik dan kostum terunik. Marta tak mau ketinggalan satu moment pun karena beberapa kali, sesuai arahannya Senayan selalu menyabet juara itu.

Termasuk di dalamnya, Cabang terbaik yang memang layak mereka dapatkan.

“Pokoknya Ibu atur saja semuanya dengan baik, ya. Saya enggak terlalu paham masalah seperti itu. selama ini dengan Bu Marta yang atur, selalu dapat tempat yang sesuai dan malah terkesan dari tahun ke tahun,” kata Bujang begitu. Padahal niatnya Marta ingin bertukar pikiran atau sebatas jadi bahan obrolan baru karena kostum yang dipilih Marta nantinya cukup menarik perhatian.

Eh … Bujang lagi-lagi hanya merespon seperti itu. Mau kesal, tapi dia naksir Bujang. Tidak kesal, hawanya ingin sekali berkata, bisa enggak sih Pak yang benar gitu respon saya? 

Sudah lah, keluhannya memang tak pernah dapatkan tanggapan yang bagus dari Bujang. Sukar sekali menundukkannya. Padahal Marta ini bisa dibilang cantik dan elegan. Dewasa juga dan siap untuk menikah. Apa susahnya melakukan pendekatan? Ia juga sudah mapan dan mandiri. Tak ingin merepotkan pihak lelaki. Dan juga di kantor pusat, ada Pak Jerry yang sejak lama mengincarnya. Tapi karena hati Marta sudah tertuju pada Bujang, Jerry selalu mendapatkan penolakan darinya.

“Masuk,” kata Bujang dari dalam.

“Jangan cemberut, Ta. Senyum yang lebar pokoknya. Biar selalu dilihat sama Bujang kalau kamu itu cantik,” katanya mengafirmasi diri sendiri. Ia pun penuh percaya diri membuka pintu ruang Bujang. Di tangannya sudah ada bahan untuk ia jadikan bahan obrolan dengan Bujang meski sebatas pekerjaan. 

“Pak, saya bawa laporan dari tim audit untuk resultnya.”

Bujang mengangguk sekilas. “Duduk dulu, Bu. Saya masih harus croscek mengenai pengajuan Ahmad.”

Marta tau nama siapa yang baru saja disebut Bujang. Ahmad, salah satu staff marketing yang cukup bagus traffic pengajuannya. Ditambah para nasabahnya pun bukan sembarang nasabah. Nilai acchivement serta tunggakan nasabah yang Ahmad tangani nyaris menyentuh angka minimum. Artinya ia benar-benar bertanggung jawab mencari dan prospek nasabah dengan baik.

“Baik, Pak.” Marta memilih kembali tersenyum. Berkas di tangannya sudah ia serahkan tepat di meja Bujang. Ia juga menarik salah satu kursi dan kembali mengamati ruang Bujang yang ia sudah hapal di luar kepala. Tapi demi mengusir sepi karena lawan bicaranya sama sekali tak banyak ucap, Marta akhirnya mengisi waktu dengan jadi pengamat ruang.

“Sejauh ini persiapan sudah oke, Bu?”

Marta tau arah bicara Bujang. “Sudah, Pak. Siang nanti kostumnya datang. Biar sorenya bisa dijajal anak-anak. Kalau ada yang kurang bisa segera dilengkap. Seminggu lagi acaranya, kan, Pak?”

Bujang manggut saja. matanya masih belum ia lepas dari deret form yang masih ia teliti. “Ibu sudah pelajari result auditnya?”

“Sudah, Pak. Enggak banyak temuannya, hanya beberapa yang sepertinya terlewat. Dari divisi administrasi dan itu enggak berat, kok, Pak. Diminta untuk lebih teliti lagi.”

“Kerjakan kalau begitu, Bu.”

Marta rasanya mau mendengkus saja. Ia tau lah harus dikerjakan. Masa iya dia diamkan begitu saja? Ini masuk dalam penilaian cabang mereka, kan? Membawa nama Marta juga. Tapi ia tak ingin menyanggah. Biar saja Bujang dan kata-katanya. Ia sudah terbiasa mendengar Bujang berkata dengan ketus dan banyak permintaan yang mengarah pada kesempurnaan yang dimau sang bos. Jadi yang bisa ia katakana hanya, “Baik, Pak.”

“Oiya, Bu, sudah dipastikan siapa saja yang ikut?”

“Sudah, Pak. semuanya jelas ikut, Pak. saya juga sudah bagi nama mereka untuk penempatan kamar. Kebanyakan inginnya satu cabang saja. Enggak mau berbaur mungkin karena enggak nyaman juga.”

“Terserah mereka saja yang penting enggak buat onar dan gaduh.”

Marta tertawa. “Rasanya anak Senayan jarang ada yang berbuat ulah, Pak.”

Ucapan Marta memang ada benarnya. “Hanya Rindu, sih, Pak yang minta satu kamar dengan Riana. Anak cabang Gajah Mada.”

Goresan pulpen milik Bujang terhenti begitu saja. matanya segera menatap Marta dengan lekatnya. “Kapan dia minta itu?”

“Ehm … dua hari lalu, lah. Ada apa, Pak?”

Bujang mengerjap pelan. “Enggak apa-apa. Pastikan saja Rindu memang sekamar dengan Riana atau siapa lah itu. Kalau enggak salah masih punya hubungan kekerabatan dengan Kiara, kan?”

“Iya, Pak.” Marta meski tersenyum tapi juga timbul tanya di benaknya. Kenapa Bujang mendadak ingin tau? Rasanya sejak dulu, andai ada staff yang ingin satu kamar dengan cabang lain, yang mana ia kenali dan tak akan berbuat aneh-aneh, Bujang membiarkan. Karena bagi Bujang, acara gathering untuk refresing. Bukan untuk berdebat di kamar siapa harus tinggal.

“Panggil Rindu ke sini, Bu. Kenapa enggak izin saya dulu mau bersama anak Gajah Mada.”

Makin jadi lah penasaran yang Marta punya. Tapi ia tak bisa bertanya lebih jauh. “Baik, Pak.” Mungkin nanti akan ia interogasi Rindu saja. Harus.

***

Kali ini makan siang Rindu adanya di mall. Dela ingin makan ayam goreng tepung lengkap dengan burger dan kentang goreng. Padahal belum lama Rindu makan menu seperti ini bersama Riana dan Dio. Kenapa harus ia ulangi lagi? Tapi melihat wajah Dela yang sepertinya berharap ditemani, Rindu tak tega juga. Maka di sini lah ia sekarang. Duduk manis menikmati potongan ayam.

Tak usah tanya bagaimana Dela dengan makanannya. Lahap sekali macam tak diberi makan beberapa hari. Tapi biarlah. Hari ini memang counter sibuk sekali. Banyak nasabah yang membuka rekening dan lainnya pun setoran dalam jumlah yang cukup besar.

“Kak, kamu sewa baju, kan?” tanya Dela sembari mengusap ujung bibirnya yang berlumuran saus. “Aku sewa aja, lah. Ribet soalnya enggak ada kostum. Lagian tempat sewa yang Bu Marta pakai memang sudah dikenal untuk acara kayak kita gini. Dari tahun ke tahun selalu pakai dari mereka.”

“Aku kemarin bongkar lemari dan masih ada gaun yang pas. Jadi enggak perlu sewa.”

“Ih, padahal murah aja lho.” Dela berdecak. 

Rindu tertawa saja. Murah bagi mereka tapi mahal untuk Rindu. Ia harus berhemat karena memang punya kebutuhan lain. Lagi juga ini hanya sebatas acara gathering, kan? Tapi mengingat gencarnya Marta mengatakan jiak Senayan harus paling unggul, ia jadi berpikir jangan sampai dirinya dikeluarkan dari lingkaran Senayan. Tidak. bukan ia disuruh kembali ke Gajah Mada, itu sih Rindu rela sekali untuk angkat kaki. Tapi dalam hal pergaulan.

Dunia perkantoran memang agak berbeda dari lingkungan perumahan. Jika di rumah pamernya anak sudah bisa ini dan itu, atau bisa belanja di toko yang mahal dengan pembelian yang macam rupanya, sementara kantor? kalau tak bisa membawa diri dan menyesuaikan, bisa jadi bahan pergunjingan diam-diam. Padahal di depannya tersenyum dan ajak bicara, tapi di belakang mereka? Wah … habis dirinya diceritakan sampai ada yang stalking kehidupan pribadinya. 

Dan Rindu tak ingin menghadapi hal itu di Senayan.

“Tapi mungkin aksesorisnya aja, sih. Dressku agak terbuka di dada.”

“Kamu pede pakainya?” tanya Dela dengan sorot heran.

“Kenapa enggak pede? Lagian temanya itu, kan? toh juga beberapa jam aja. enggak aku pakai lagi dan ke tempat Gala Dinnernya pakai cardigan. Aku enggak seterbuka itu lah,” kata Rindu dengan tawa.

“Aku pengin pakai ala Belle gitu, deh. Ada enggak ya?”

“Masa iya enggak ada.” 

Dela banyak bicara setelahnya mengenai apa pilihannya. Kalau Rindu tak melihat langsung mana bisa ia beri penilaian? Sementara gadis itu suka dengan warna kuning. Apa tak terlalu mencolok dikenakan malam hari? kalau kuningnya soft mungkin bukan perkara besar, kalau kuning stabile? Bukannya Dela macam marka jalan, ya?

Perbincangan seru itu terinterupsi dengan ponsel Rindu yang berdering nyaring. Sebenarnya ia enggan untuk melirik siapa pengganggunya siang ini tapi sepertinya, sang pengganggu tau untuk memicu kemarahan dalam dirinya.

Bujang.

“Alah!” Rindu berdecak. “mau ngapain, sih, ini orang?”

“Siapa, Rin? tukang kartu kredit, ya?”

Rindu terkekeh saja. “Bukan. tukang tagih makanan.”

“Hah?”

“Aku angkat teleponnya sebentar, ya. Kalau enggak direspon nanti aku kena masalah.”

Dela mengedikkan bahu saja. Rindu pun menggeser kursinya untuk sedikit menjauh. Ia tak mau kalau sampai Dela mendengar pembicaraan mereka. bisa jadi nanti akan dilanjut gosip mengenai dirinya. Eh … tapi Rindu ini percaya diri sekali. ia sudah mematahkan banyak persepsi mengenai dirinya yang diajak makan siang oleh Bujang dengan pernyataan, pembahasan penilaian kinerja untuk head teller. 

Kebanyakan dari mereka percaya.

Lagian juga, Rindu tak menengok Bujang saat sakit. Hanya bertanya di mana lokasinya. Mereka beranggapan memang tak ada yang spesial di antara Bujang dan Rindu. meski sebenarnya, Rindu datang ke rumah sakit dan seperti menyetorkan leher untuk disembelih dengan banyak permintaan konyol Bujang. Termasuk di dalamnya, menyiapkan makan untuk Bujang yang berasal dari tangannya sendiri. Tak mau pria itu kalau Rindu membelinya dan menyajikan untuk Bujang.

Memangnya Rindu ini istrinya!!!

Sinting betul pemikiran Bujang!

“Kenapa, Pak?” tanya Rindu dengan segera. 

“Jawab salam dulu baru bertanya, Rin. yang sopan kenapa, sih.”

RIndu berdecak. “Waalaikum salam Pak Bujang yang resehnya setengah dewa.”

Di sana Bujang ngakak. “Kamu itu.” 

“Ada apa?” tukas Rindu tanpa basa basi. Malas sekali kalau harus berlama-lama bicara dengan Bujang apalagi mengingat mengenai penolakan buburnya tadi pagi. 

“Saya lapar.”

“Urus perut sendiri, lah.”

“Kamu di mana?”

“Di mana-mana hati saya senang.”

“Rin,” peringat Bujang tegas. “Saya lapar dan kamu tau peringatan dokter, kan? saya enggak boleh telat makan.”

Rindu menghela lelah. “Di mall, makan KFC. Bapak mau makan apa? Kalau saya disuruh masak di sini, enggak mungkin. Dan kalau di rumah juga, saya enggak mau. Saya bukan pembantu Bapak atau ahli gizi sewaan Bapak.”

Meledak lah tawa Bujang di sana. 

“Cepat Bapak mau apa? Nanti saya dibilang gadis yang enggak tau diri, sudah berniat mencelakai bos, enggak tanggung jawab pula.”

“Saya mau chicken mozarellanya Solarai, ya. Minta pangsit gorengnya juga.”

“itu aja?”

“Iya. itu saja. sudah saya transfer uangnya untuk beli makan.”

“Oke.” Rindu segera menutup telepon tadi dan mengecek saldo mutasinya. Detik itu juga ia terperanjat. “Gila!!!”

“Kenapa, Kak?” tanya Dela. Ia sudah selesai makannya, berniat menyusul Rindu untuk segera keluar dari restoran cepat saji ini. Jangan sampai ia terlambat kembali ke kantor lagi.

“Bos kamu gila, ya, Del?”

“Bos?” Dela masih belum mengerti pembicaraan Rindu kali ini.

“Iya!” Rindu memperlihatkan saldonya. “Dia transfer aku dua juta cuma untuk beli makan siang yang hanya seratus ribuan!”

Bertepatan dengan itu juga, satu pesan masuk di mana Dela dan Rindu pun bisa membaca dengan jelas.

[Bujang. A : kalau kamu mau jajan, pakai saja. anggap pembayaran bubur tadi. maaf, saya memang enggak suka bubur. Kemarin lapar aja jadinya saya habiskan. Tadi besok pagi bawakan saya nasi uduk ya. Jangan lupa, Rin]

 


 

 

[27] Dugaan Dela

Dela pokoknya tak habis pikir dengan apa yang baru saja terjadi. Tenang, tak ada gempa, tsunami, atau runtuhnya mall yang mereka pijaki. Tapi ada yang lebih dahsyat ketimbang tornado di tenggaranya Asia. Dela tak mungkin salah salah baca pesan, tak mungkin juga mengabaikan wajah Rindu yang mendadak merah. Bukan malu. Rindu itu marah, lho.

Pesan makanan saja sampai berkata ketus pada pelayannya. Padahal si pelayan tak bersalah, Dela tau itu. bilang terima kasih setelah pesanannya selesai saja, Rindu masih belum bisa bersikap normal. Apa pesan bosnya itu, dalam hal ini jelas Pak Bujang, ya. Terlalu membuat Rindu marah? Padahal enak, kan, dikasih uang dua juta rupiah cuma-cuma.

Tapi.

“Kak,” panggil Dela akhirnya. Setelah berhasil menyusul langkah Rindu yang selebar lapangan bola demi sampai di kantor secepatnya. Dari belakang saja sudah terlihat asap mengepul dari tubuh Rindu. kalau di anime, itu pertanda marah besar dan siap mengamuk. 

“Kak, jangan buru-buru ih. Aku baru kelar makan. Sakit perut nantinya.”

Rindu sedikit menyadari kesalahannya. Kenapa juga Dela harus menerima kemarahannya? Ia kan tidak bersalah. Tapi sungguh, telepon dan chat, jangan lupakan uang yang masuk ke rekening Rindu hari ini benar-benar membuat dirinya tersulut. Bagaimana bisa Bujang bertingkah seenaknya begini?

Memangnya dia pikir, dia ini siapa?

“Sorry, Del,” kata Rindu menyesal. “Ayo, aku memang agak buru-buru selain karena makanan ini takutnya enggak hangat lagi, aku mau bicara sama Pak Bujang.”

Dela terkekeh. “Kenapa buru-buru, sih? Di ruang pantry yang ada di lantai tiga, ada microwavenya kok. Pak Bujang pasti bisa hangatkan sendiri makanannya kalau kurang.”

Rindu berdecak. “Mau mampir ke ATM juga, Del.”

“Ngapain, Kak?”

“Balikin uangnya Bujang, lah! Enak aja. Aku enggak terima ya dia seperti itu. lagian kalau mau titip makanan itu yang wajar aja biar aku enggak marah.”

Dela mengulum senyum lalu merangkul rekan kerja barunya yang masih cemberut itu. “Sadar enggak, sih, Kak Rin?”

“Aku dalam keadaan sadar dan sehat wal afiat lah!” dengkus Rindu tak tahan. 

“Pak Bujang kayaknya naksir kamu, deh.”

“IH!!!” pekiki Rindu tak peduli kalau teriakannya barusan membuat ia menjadi pusat perhatian. Jam makan siang memang membuat mall tampak ramai pengunjung ketimbang sebelumnya. Makanya Rindu jadi mendapatkan tatapan aneh karena berteriak seperti tadi. tapi mau dibilang apa kalau Rindu ini jadinya bertambah kesal? Pemikiran dari mana coba yang mengatakan kalau Bujang naksir dirinya?

Andai benar juga, Rindu ogah!!! punya pacar macam Bujang yang; jauh usianya dengan Rindu, menyebalkan, tukang bikin emosi, sok cari muka di depan orang tuanya, belum lagi meski Rindu akui dia ganteng tapi enggak perlu terlalu ditonjolkan kadar gantengnya, kan?

Enggak! Rindu enggak akan terpesona, kok! Justru yang ada malah semakin membuat Marta tambah naksir berat. Iya, kan? kenapa juga bukan naksir dengan Marta saja yang ketauan usianya pun mungkin sepantaran. Sudah lah, kenapa juga RIndu harus pusing memikirkan ini semua? Rencananya jelas untuk siang ini; antar makan siang, kembalikan uang yang tak jelas juntrungannya pada sang pemilik, lalu menolak mentah-mentah keinginan Bujang dibawakan nasi uduk olehnya.

Memangnya tak bisa beli sendiri?

Melihat ekspresi wajah Rindu yang tak suka itu, justru membuat Dela semakin ngakak. Sampai rasanya sakit perut lantaran temannya ini lucu sekali. “Sudah lah Kak terima nasib kalau ditaksir sama Pak Bujang. Lagian enggak ada salahnya, lho.”

“Jangan ngaco, ah. Aku enggak mau dengar hal konyol macam itu.” Rindu pun berjalan dengan langkah agak cepat lagi. Agar masih memiliki waktu untuk mengocehi Bujang. 

“Aku keep silent, kok, Kak.” Dela menepuk dadanya pelan. “Enggak akan aku kasih tau Yuni atau Kak Ayana mengenai chat Bapak dan transferan uang tadi.”

“Ih, kamu jangan ngawur gitu ah. Ini mau aku kembalikan, lho. Aku enggak mau terima uang gaib seperti ini. Enak saja. Aku masih bisa cari uang sendiri.”

“Padahal kalau aku jadi Kakak, aku belanjain aja semuannya. Ngapain harus dikembalikan? Sudah diberikan dari laki-laki itu pantang dikembalikan,” saran Dela dengan senyum lebarnya. Rindu mana mau hal seperti itu dilakukan. Uang yang bisa membuat Rindu terjerat dengan Bujang?

Oh, No!!! Lebih baik Rindu buka tabungannya kalau ingin jajan sesuatu!

***

Selesai mengirim pesan pada Rindu, Bujang hanya perlu menunggu kan? Senyumnya tak mau pergi dari wajahnya seolah habis dapat bonus tahunan berkali-kali lipat. Rasanya sudah lama Bujang tak merasakan hal ini. hal di mana menyenangkan untuk menunggu dan melewati hari. Di matanya juga cuma terlihat Rindu yang marah-marah, ketus, dan memerah wajahnya karena kesal. 

Itu jadi moment yang seru bagi hidupnya sekarang.

Salah siapa jadi gadis menarik perhatiannya? Jadi Bujang dengan caranya akan membuat Rindu tak bisa menjauh apalagi kabur darinya. Melirik jam di tangannya yang sudah berlalu sepuluh menit dari pesan terakhir yang ia kirim. Kalau lima menit lagi gadis itu tak muncul di depan pintu ruangannya, menganggu sedikit dengan telepon rasanya bisa Bujang kerjakan. Namun sepertinya niat itu perlu dikerjakan.

Apa yang ia tunggu akhirnya datang. Kebetulan juga perutnya lapar. Jadi bisa sekalian minta ditemani makan meski harus di ruang kerjanya.

“Bapak!” Rindu meletakkan pesanann Bujang dengan sedikit kasar. “Bapak ini keterlaluan, ya!”

“Datang itu menyapa pemilik ruangan, Rin. Ingat, lho. Ini kantor, bukan rumah kamu yang bisa seenaknya teriak-teriak,” peringat Bujang. Wajah gadis yang ada di depannya ini tampak memerah dan matanya serupa banteng siap mengamuk. Tapi Bujang kalem saja hadapi. Untuk apa pakai nada tinggi segala?

Rindu memang seperti itu tabiatnya. Suka marah-marah tapi menggemaskan bagi Bujang.

“Duduk dulu. Saya ambilkan minum. Capek, kan, ngantri?”

Napas Rindu menderu kesal. Ucapan Bujang tadi agak menohok jantungnya. Benar juga, sih, ini kantor. Tak seharusnya Rindu teriak macam orang kesurupan. Tapi tetap saja, berkaitan dengan Bujang itu memang membuat emosinya cepat naik dan tak stabil. Meski begitu, saat sang pria menyodorkan satu gelas penuh air dingin, Rindu tak menolaknya. Tak lupa juga ucapan terima kasih karena kebaikan Bujang yang secuil ini.

Rindu memang haus karena berjalan tergesa tadi.

“Kamu mau bicara apa memangnya sampai kesal begitu?” Bujang duduk di depan Rindu. “Ini saya makan, ya. Saya lapar.”

Rindu merengut. “Makan aja sekalian sama tempatnya.”

“Bisa lebih sopan?” Bujang mengangkat matanya dan menatap Rindu dengan tajamnya. “Kamu boleh kesal sama saya, tapi tata bahasa tetap harus dipelihara. Jangan seperti itu. Ingat, posisi kamu itu teller dan saya Branch Manager. Perlu empat step lagi biar kamu sejajar sama saya.”

“Juga bertambahnya usia biar saya ada di posisi Bapak.”

“Nah itu tau.” Bujang menyeringai. “Saya makan, ya.” Dibuka kotak yang barusan Rindu bawa. Aroma nasi yang masih hangat serta ayam pesanannya segera ia lahap. Melihat hal itu Rindu jadinya tak ingin terlalu banyak bicara. Sepertinya sang bos kelaparan karena makannya lahap sekali.

“Bapak … lapar?”

“Tadi pagi saya enggak sarapan, kan?’ Bujang meringis. “Tolong ambikan minum, Rin.”

Rindu dengan sigap bergegas menuju meja dispenser yang ada di sudut ruang Bujang. Menuang satu gelas penuh air untuk bosnya itu.

“Kamu kalau mau ambil minum di show case, ambil saja. Ada kopi kesukaan saya juga di sana.”

“Boleh?”

“Kenapa enggak?” Bujang tertawa. “Minumnya dulu, Rin. saya haus. Ini enggak ada kuah sayurnya juga.”

“Kenapa enggak bilang? Saya bisa pesankan capcay tadi.”

Bujang berdecak. “Kenapa enggak inisiatif tanya mau pakai sayurnya juga atau enggak.”

Rindu terperangah. “Jangan konyol, deh, Pak.”

“Kenapa konyol?” Bujang menerima uluran gelas dari Rindu. Merasakan tiap teguk minum yang melewati tenggorokannya. Kembali ia lanjutkan makan siangnya sebagai pengisi tenaga agar pekerjaan siang ini segera selesai. 

“Oiya, ini uang Bapak.” Disodorkannya lembaran sisa uang yang tadinya ada di ATM Rindu. ia tak mau menerima uang dari Bujang. Sepeser pun. Siapa Bujang untuknya? Hanya bos. Meski sepanjang jalan Dela terus mengoceh mengenai asumsinya kalau Bujang ini naksir Rindu, di depannya, tak terlihat seperti itu, kok. 

Bujang masih menatap Rindu dengan cara yang sama. Malah tadi kelihatan marah karena Rindu tak sopan. Kalau memang ia menyukai Rindu, tak akan gampang marah. Lagi juga kenapa selalu membuat Rindu jengkel? Memangnya ada seseorang yang menyukai gadis lain, malah dibuat kesal macam tingkah Bujang pada Rindu?

Ia rasa tak ada. Hanya Bujang dan itu sangat aneh!

Tak bisa Rindu terima dengan akal sehatnya. 

“Kenapa dikembalikan? Saya bilang untuk jajan, kan?”

Rindu mencibir. “Jajan saya enggak segitu banyak. Lagian kenapa saya harus terima uang jajan dari Bapak? Enggak mau.” Ia pun sedikit mendorong uang yang sudah dirapikan itu. “Saya enggak terima, Pak.”

Bujang menghela panjang. Untung saja makan siangnya sudah habis. Ia memang selapar itu. Lain kali sebaiknya ia memesan camilan agar tak seperti orang tak kena nasi tiga hari. “Ada yang salah memangnya?”

“Salah total lah, Pak,” erang Rindu. “Saya enggak suka menerima pemberian orang lain apalagi asing untuk saya. Dan Bapak termasuk orang asing.”

“Padahal niat saya baik, lho, kasih kamu jajan.”

“Bapak juga bukan Papa saya, kan?” Rindu kembali berdecak. “Sudah ah, saya mau kembali ke counter. Bapak juga sudah kenyang, kan?”

“Ambil uangnya, Rin,” kata Bujang.

“Enggak mau.” Rindu menolak dengan tegas. “Kalau Bapak berani transfer lagi, saya benar-benar marah sama Bapak.”

“Kenapa niat baik saya ditolak?”

“Saya dan Bapak itu cuma bos dan bawahan. Tadi Bapak sudah tegaskan, kan? Bapak seorang Branch Manager, sementara saya cuma teller. Saya tau itu, Pak.” Rindu nyengir. “Jadi … jelas kan hubungannya?”

Bujang tertawa. “Pintarnya membalikkan kata-kata saya, ya.”

“Harus dong. Kalau enggak pintar, enggak akan diterima BBRI, kan?”

“Kalau kamu menolak hanya karena kita enggak punya hubungan, ya sudah … persimple saja. kita punya hubungan. Bukan sebatas atasan dan bawahan aja. tapi kekasih, mungkin.”

“Ih!!! Ogah!!!”

Bujang terperangah tapi bertepatan itu juga, Marta masuk ke dalam ruangannya.

“Siang, Pak.”

“Siang, Bu.” Rindu langsung sigap. “Pas banget Ibu datang.” Ia pun menghampiri Marta yang tampak heran dengan tingkah RIndu. Jangan kah Marta, Bujang saja agak aneh dengan kelakuan Rindu ini. “Ibu ditunggu Bapak. Katanya ada yang harus dibicarakan.”

Marta menatap Bujang dengan kernyitan. 

“Sudah, Ibu duduk saja.” Rindu pun mendorong sedikit Marta agar mau duduk di tempatnya tadi. “Nah, tadi itu Bapak mau minta saya belikan kado untuk Ibu.”

Bujang melotot, Marta mengerjap heboh.

“Berhubung saya bilang, Bapak sebaiknya tanya dulu, Bu Marta maunya apa. Jangan sudah dibelikan buket bunga atau satu kotak cokelat malah Ibu menolak. Sayang, kan, Bu?”

Marta jangan tanya wajahnya seperti apa. Merahnya macam tomat siap panen!!!

Bujang? Ah! Rindu puas balas dendamnya. Enak saja. Apa katanya? Berhubungan? Jadi kekasih? Enggak sudi!!!

“Berhubung Ibu keburu masuk, Ibu maunya apa? Biar saya belikan? Bapak sudah siapkan uangnya.” Rindu baru saja akan mengambil uang yang tadi di meja tapi …

“Keluar kamu.” Bujang menahan uang yang akan diambil Rindu. matanya menatap tajam pada Ri ndu dan ingin rasanya mengacak rambut gadis yang malah terlihat puas sekali dengan sandiwaranya.

“Oke, Pak. Selamat berjuang dengan Bu Marta.”

Rindu melenggang cantik keluar ruangan Bujang. Meninggalkan Marta yang pastinya banyak tanya dengan pria menyebalkan itu.

“Rasain!!!” pekik Rindu dalam hati.

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Bujang-Rindu
Selanjutnya RINDU BUJANG. [28], [29], [30], & [31]
7
0
Isi konten :[28] Niatnya balas dendam, tapi kena batunya lagi.[29] Balas dendam urusan belakangan[30] Hati kecil BUjang[31] Rindu dewasa, Bujang yang kelabakan
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan