ME AFTER YOU. [BAB 11 - BAB 15]

2
0
Deskripsi

*** Spoiler

Sayangnya rasa sungkan serta gengsinya kelewat besar untuk bertanya, apa yang terjadi pada pria itu. Lagi pula, bukankah seharusnya Jayden sibuk bekerja? Kenapa malah ada di sini dan menungguinya macam pengangguran?

“Kamu pulang saja, Jayden,” pinta Tala kali ini. Jauh lebih ramah karena sepertinya Jayden tak akan menggubris kalau ia gunakan nada tinggi. Siapa tahu kalau sedikit menurun nada bicaranya, Jayden mau mendengarkan.

“Belum selesai, Tala.” Jayden tertawa. Diusapnya keringat...

[11] Satu langkah lebih baik

Tala tak tahu harus berekspresi seperti apa sekarang. Sepanjang ia mencuci pakaian yang Eli antarkan, tak lama berselang, Teh Yuyun yang tak jauh dari warung makan di depan gang rumahnya, datang. Meminta hal yang sama untuk Tala lakukan; mencuci dan menyetrika pakaian lantaran sibuk bekerja. Ia senang, sungguh, selain karena Yuyun memberikannya uang muka lebih dulu, Tala juga tak terlalu lama menganggur.

Selama di rumah sakit, selain memikirkan Netta, ia juga berpikir mengenai semua pekerjaannya. Takut rasanya kalau sampai para pelanggannya mendapatkan orang baru untuk menggantikan Tala.

“Masih ada lagi, Tala?”

Dan ini salah satu yang membuat Tala sebenarnya rikuh. Kenapa juga Jayden ada di sini? Membantunya dengan suka rela? Tuhan! Adakah hal yang jauh lebih menyebalkan ketimbang sekarang? Sudah berulang kali diusir, pria itu malah tersenyum lebar seraya berkata, “Aku enggak ada pekerjaan hari ini, Tala. Anggap saja, aku bekerja di sini.”

Wanita itu tak mau banyak beradu mulut dengan Jayden. Bukan apa. Ia tak ingin menimbulkan keributan lain setelah kedatangan pertama Jayden ke sini. Tala belum lupa, kok, banyak tetangga yang menghentikan kegilaannya. Bagi Tala memukul Jayden itu rasanya perlu setelah apa yang ia lakukan padanya.

Namun setelahnya, ia sungguh menyesal. Apalagi ia tak buta melihat bagaimana cara Jayden berjalan.

Sayangnya rasa sungkan serta gengsinya kelewat besar untuk bertanya, apa yang terjadi pada pria itu. Lagi pula, bukankah seharusnya Jayden sibuk bekerja? Kenapa malah ada di sini dan menungguinya macam pengangguran?

“Kamu pulang saja, Jayden,” pinta Tala kali ini. Jauh lebih ramah karena sepertinya Jayden tak akan menggubris kalau ia gunakan nada tinggi. Siapa tahu kalau sedikit menurun nada bicaranya, Jayden mau mendengarkan.

“Belum selesai, Tala.” Jayden tertawa. Diusapnya keringat yang membasahi kening. “Kamu tunjukkan saja mana yang mesti aku kerjain lagi. Kamu duduk di sana saja temani Netta. Toh tinggal dibilas saja. Enggak berat.”

Itu kebohongan yang bisa Jayden katakan siang ini. Kata siapa mencuci menggunakan tangan itu ringan? Tuhan! Terkutuklah rumah yang tidak memiliki mesin cuci di dalamnya! Bagaimana bisa mereka, terutama para wanita kuat mencuci sebanyak ini? Mendadak Jayden ingat dengan pekerjaan di rumahnya yang selalu terbantu karena adanya pembantu. 

Peluhnya sudah membasahi sekujur tubuhnya. Bahkan ia sampai membuka kausnya agar lebih bebas bergerak. Celana jeansnya ia gulung agar tak terlalu membasahi tubuhnya. Entah sudah berapa kali ia merasa pinggangnya mau copot.

“Itu yang terakhir.” Sebenarnya Tala tak tega tapi Jayden memaksa sampai sedikit mendorongnya, menyuruhnya untuk duduk di tepian tempat yang biasa Tala gunakan untuk mencuci semua pakaian ini.  Beberapa tetangganya sering mencuri lirik ke arah mereka, di mana Tala berusaha sekali untuk mengabaikan.

“Oke.” Jayden mengacungkan jempolnya. “Terima beres dan cepat selesai.”

Tala berdecak. Jayden belum banyak berubah ternyata. Masih juga tengil dan sedikit menyebalkan. Ah, banyak! Sangat menyebalkan sekarang ini sosok Jayden.

“Bu, Netta lapar.”

“Ibu buatkan indomie mau?”

“Mau!” pekik Netta dengan girangnya. Meski seringnya bertemu nasi dan telur, atau nasi berikut kerupuk, Tala jarang sekali memberi Netta mengonsumsi indomie terlalu banyak. Cukup seminggu sekali itu pun kalau sudah sangat terpaksa. Tala lebih memilih menjejali Netta dengan tempe orek manis yang meski hanya bisa dibeli dengan harga tiga ribu rupiah, tapi jauh lebih baik dari semangkuk indomie.

“Ayo, kita buat.” Tala mengulurkan tangannya lengkap dengan senyumnya yang manis. Ekor matanya masih memperhatikan Jayden yang sibuk bermain dengan cucian. Tala yakin, Jayden pastinya lapar. Ia juga tak bertanya apa sebelumnya Jayden sudah makan atau belum.

Tak butuh waktu lama untuk Tala menyiapkan tiga porsi indomie di mana Netta terlihat sudah tak sabar. “Netta, panggil Om dulu, ya. Kita makan sama-sama.”

“Iya, Bu.” Netta bergegas keluar, menuju tempat di mana Jayden bergumul dengan cucian ibunya.

“Om, dipanggil Ibu,” teriak Netta dengan semringahnya.

“Ada apa?” Jayden mengambil kaus yang ia sampirkan di dekat jemuran bambu yang ada. Ia kibas sebentar takut ada semut atau serangga yang hinggap di sana. 

“Ibu buat mie.”

Jayden terkekeh, diusapnya lembut kepala Netta. “Om dibuatkan enggak?”

“Iya. Dua malah. Kata Ibu, Om sukanya indomie goreng dua sama telurnya dibuat setengah matang.”

Jayden memperlambat langkahnya, senyumnya merekah lebar. Tala … masih ingat mengenai dirinya.

***

“Setiap hari ini yang kamu kerjakan, Tala?” tanya Jayden pada Tala yang sibuk dengan tumpukan pakaian yang siap diseterika. Entah sudah berapa kali Tala mengusap dahinya yang berkeringat. Tapi tangannya tak berhenti untuk terus mengambil satu demi satu lembar pakaian yang ada di dekatnya.

“Iya,” sahutnya singkat.

Ingin sekali bibir Jayden berkata, hentikan semua pekerjaan yang membuat Tala tak punya waktu istirahat ini. Ia sanggup mengganti semua uang yang Tala dapatkan dari hasil pekerjaannya ini. Ia tak ingin melihat Tala sampai sakit seperti kemarin. Tapi kalau Jayden mengatakan hal ini, Tala pasti kembali mendorongnya menjauh.

Tak diusir hari ini saja, sudah sangat membuat hati Jayden berbunga-bunga. Tak masalah kalau dirinya merasa seperti dipukuli warga kampung karena cucian Tala tadi, selain banyak juga berat kala dibilas. Jayden saja lelah, bagaimana Tala?

“Kamu bilang apa yang bisa aku bantu untuk meringankan pekerjaan kamu.”

“Enggak ada,” sahut Tala singkat. “Kamu pulang saja, ini sudah hampir sore.”

“Kamu nanti pergi lagi?” tanya Jayden tak memedulikan ucapan Tala barusan. Karena entah sudah berapa kali ia dengar Tala memintanya pulang. Lagian kenapa harus pulang di saat ia bisa bersama Netta?

“Enggak.”

“Kalau gitu, ajari aku setrika, Tala. Ini banyak banget, kamu mau selesai sampai jam berapa?”

Tala berdecak. “Kamu ganggu aku, Jayden.”

Jayden mingkem. Sorot mata Tala tampak tak suka. 

“Kalau kamu enggak mau pulang, aku minta tetangga di sini untuk usir kamu.”

Pria itu malah terkekeh. “Kenapa enggak dari tadi?”

Mata Tala makin melotot jadinya tapi Jayden mana peduli. Ia memilih untuk merebahkan diri di dekat pintu. Memang Jayden sengaja tak masuk ke dalam kontrakan Tala. Bukan karena kecil, tapi ia tak mau Tala mendapatkan masalah. Duduk di dekat pintu di mana tiap orang yang hilir mudik melewati rumah Tala ini tahu, mereka tak berbuat macam-macam. Sesekali ada yang menegur Tala juga Jayden. Hanya sebatas basa basi.

Dingin yang menyapa punggung Jayden, dibiarkan begitu saja. Ia memang lelah. Mencuci tadi membuat banyak tenaganya terkuras. Tak butuh waktu lama, Jayden malah tertidur. Tanpa alas apa pun serta kepalanya hanya diganjal kedua tangan. 

Awalnya, Tala pikir Jayden pasti sibuk dengan ponselnya. Namun saat ia menoleh dan mendapati pria itu justru tertidur di sana, timbul rasa kasihan meski setitik. Pasti Jayden lelah dan tak terbiasa bekerja kasar seperti itu. Ia memperhatikan bagaimana wajah sang pria kini. Dibilang Jayden jauh lebih tampan, Tala akui itu. Entah kenapa, meski kulitnya lebih gelap, rambutnya sedikit dipangkas lebih tegas, belum lagi bentuk wajahnya yang jauh lebih dewasa, justru membuat Jayden punya pesona tersendiri.

“Om tidur, Bu?” tanya Netta yang mendadak memelankan suara serta langkahnya. 

“Iya.” Tala tersenyum tipis. “Jangan ganggu, ya. Pasti Om capek tadi nyuci.”

Netta mengangguk patuh. “Ibu bilang, Om itu jahat. Tapi kayaknya enggak, Bu.”

Benar. Jayden memang tidak jahat, sepanjang yang Tala tahu. Tapi … pengecut dan egois. 

***

Jayden selalu bersemangat menyambut pagi. Ia mulai hapal kegiatan Tala tiap harinya. Mau mengulurkan tangan untuk banyak membantu, tapi terkadang wanita itu selalu menolaknya. Maka yang bisa Jayden lakukan adalah memaksakan diri. Terserah kalau nantinya Tala selalu cemberut saat bicara dengannya. Tak jadi soal. Asal Tala tak terlalu lelah. 

Pekerjaannya banyak dan, ya Tuhan! Ini yang ingin sekali Jayden protes! Upah yang Tala terima kecil sekali. Kalau dipikir serta ia hitung, mana cukup untuk makan Tala serta Netta? Pantas saja kalau Tala selalu berhemat dan jarang sekali makan dengan benar. Uang yang ia dapat tak sebanding dengan tenaga yang ia keluarkan.

Inginnya Jayden, Tala masuk ke dalam mobilnya lalu mereka kembali ke Jakarta. Memulai hidup baru yang meski terbilang pastinya sulit untuk Tala menerima keberadaan dirinya. Tapi setidaknya, Tala tak perlu bekerja terlalu keras untuk menghidupi dirinya seperti sekarang.

Senyumnya juga tak mau luntur apalagi mengingat hari di mana ia anggap sebagai permulaan. Saat ia tanpa sengaja tertidur, Netta yang menemaninya. Sama-sama tertidur di mana Netta menggunakan alas selimut yang sudah agak kusam warnanya. Tidur meringkuk menghadap padanya. Membuat Jayden puas sekali memandangi putrinya yang terpejam. Napasnya juga teratur ditandai dadanya yang naik turun seirama dengan tarikan napas. 

Sementara Tala masih sibuk menyeterika tumpukan pakaian yang sudah tak lagi terlalu banyak. Berganti dengan tumpukan yang jauh lebih rapi untuk diantarkan ke rumah langganannya. Jayden tak ingin bersuara. Memilih menikmati waktunya penuh syukur. Setidaknya Tala membiarkan Jayden ada di dekat Netta. 

“Kamu sudah bangun?” tanya Tala yang membuat Jayden mendongak. “Sudah rupanya.”

“Ada apa?” Jayden perlahan bangun dari rebahnya. Sedikit merasa pegal di bagian bahu. Ada rasa dingin yang singgah dan sedikit membuat perutnya tak nyaman. Biasanya juga ia tidur di atas alas meski tipis, ini sama sekali tidak. Hanya lantai berkeramik lama yang dingin.

Tala terlihat enggan bicara tapi melihat tumpukan baju yang harus ia antarkan, membuatnya bingung.

“Kamu antar saja, Tala.” Jayden tersenyum penuh arti. “Aku jaga Netta.”

“Maaf jadi merepotkan,” lirih Tala. Sebenarnya tak ingin meminta bantuan Jayden tapi mau bagaimana lagi. Kalau Netta tak tahu ke mana perginya Tala, ia bisa menangis sepanjang waktu.

“Aku suka direpotkan kamu, Yank.”

“Jangan memulai, Jayden.” Mata Tala melirik sinis. 

Jayden mengangkat tangannya tanda menyerah. Bukan tak ingin berdebat lebih lama dengan Tala, tapi kasihan kalau Netta sampai terganggu karena pembicaraan mereka. Dibantunya Tala mengangkat tas besar berisi pakaian yang sudah rapi diseterika. Agak kasihan tapi Tala tak ingin mendapatkan bantuan lagi dari Jayden. 

Ah … kalau mengingat sore kemarin, Jayden tak jadi soal kalau harus mencuci lagi. Tenaganya sudah terkumpul dan siap membantu Tala. Namun langkahnya itu terhenti begitu mendengar ponselnya menjerit minta perhatian.

Nama Ari muncul di layar. 

“Ya?” sahut Jayden dengan cepat. 

“Pak, bisa pulang sekarang?”

Ucapan itu membuat kening Jayden berkerut dalam. “Ada apa?”

“Nyonya, Pak.”

Mata Jayden terbeliak. “Mama? Mama kenapa?”

“Nyonya masuk rumah sakit. Jam tiga pagi tadi pingsan.”


[12] Berkenalan dengan Malik

“Akang yakin pulang sekarang?” tanya Mirna dengan nada manja. Ia masih bergelayut dengan pria yang baru saja memakai jaket hitam untuk menutupi seragam yang dikenakan. 

“Iya, Neng.” Asep menjawil ujung dagu Mirna gemas. “Minggu depan Akang seminggu di sini.”

Senyum Mirna merekah lebar. “Kalau seminggu jangan di sini atuh, Kang. Jalan-jalan gitu. Refreshing.”

“Neng atur saja maunya ke mana.”

Mirna mengangguk patuh, seperti kucing manja yang tak ingin ditinggal majikannya keluar. Ia terus menggelayuti Asep. 

“Akang pulang, ya. Sudah dijemput Malik.”

Seorang pria bertubuh tegap, berambut cepak, serta tampangnya agak sangar, hanya menoleh dan menunduk pelan begitu melihat Asep keluar dari rumah yang disambangi sore ini. Sebagai ajudan dari sang tuan, Malik tak bisa membantah banyak perintah termasuk berkunjung ke Desa Sukapura di mana Asep memiliki istri simpanan lain. Ia juga  tak terlalu peduli dengan urusan pribadi tuannya.

Ia sudah terbiasa melihat dan tahu, pejabat pemerintahan di lingkungan kabupaten ini pastinya memiliki satu atau dua perempuan yang akan menghiburnya tiap kali pergi dinas. Salah satunya Asep dengan Mirna. 

“Hati-hati, ya, Kang.” Mirna tersenyum semanis madu. Senang mendapat kunjungan Asep meski mendadak. Padahal biasanya ia datang ke rumah Tala mengecek keadaan Netta. Seperginya Asep nanti, ia harus segera berkunjung ke sana. Siapa tahu Netta belum makan. Kasihan anak itu.

Namun sepertinya rencana itu hanya sebatas kata. Netta dan Tala terlihat berjalan bersama dari arah yang berlawanan. Terlihat dari posisi Mirna, sepertinya mereka membeli entah apa karena tangan Tala membawa dua kantung besar. Mungkin juga kantung pakaian kotor seperti yang sering Tala kerjakan.

“Tante!” sapa Netta dengan riang.

Mirna tersenyum saja. Melambai tipis dan cukup lega lantaran anak itu terlihat baik-baik saja. Ada ibunya juga. Nanti setelah Asep pulang, ia pasti ke sana. Namun matanya mendadak melotot saking terkejutnya. Teriakannya juga rasanya percuma karena kejadian itu begitu cepat terjadi. Sebuah motor entah bagaimana cara dikendarainya, oleng seolah kehilangan kendali. Mengarah pada Tala yang sedang berjalan bersama Netta.

“AWAS!!!”

Yang Tala ingat hanya segera menyeret Netta untuk masuk dalam peluknya. Tak ia pedulikan bagaimana akhir dari dirinya saat ia melihat, pemotor itu berkendara serampangan. Memang di jalan yang mengarah ke gang kontrakannya, banyak yang sering memacu motor dengan kecepatan tinggi. Ia hanya berdoa, semoga Netta tak mendapatkan hal buruk.

“Kamu … enggak apa-apa?”

Tala mengerjap pelan. Berusaha untuk menguasai dirinya yang mendadak dilindungi oleh orang yang tak ia kenali. 

“Bisa bangun?”

“Oh, iya.” Tala berusaha untuk melepaskan pelukannya pada Netta. “Kamu enggak apa-apa, Netta?”

“Enggak, Bu.” Netta tersenyum tipis. “Ibu?”

Pertanyaan itu mulai membuat tubuh Tala menyadari kalau ada yang salah. Ada rasa perih yang ia rasa bagian sikut. “Aduh,” ringisnya pelan.

“Kamu terluka?” tanya si penyelamatnya. “Saya lihat lukanya.”

“Enggak apa-apa.” Tala menarik tangan yang tadi hampir disentuh itu. “Bapak … enggak kenapa-napa?”

Pria itu tersenyum simpul. “Saya baik. Untungnya motor itu banting ke kanan dan berhenti di sana,” tunjuk sang pria pada motor yang tadi Tala tahu, dikendarai agak cepat itu. masuk ke dalam selokan dan dibantu banyak warga. 

“Ya Allah,” Tala berusaha bangun meski dibantu oleh sang pria. Yang mana sebenarnya tak perlu. “Tapi dia enggak apa-apa?”

“Kamu khawatirkan dia?” Pria itu kembali tertawa. “Harusnya kamu pikirkan diri sendiri. Hampir saja kamu ditabrak, lho.”

“Alhamdulillah masih dilindungi dan saya benar-benar berterima kasih.” Tala kembali meringis. Mungkin saat terjatuh demi menghindari motor tadi, juga karena ditubruk pria itu agar terhindar dari bahaya yang jauh lebih parah, bagian lengan Tala terkena tepian aspal. 

“Nanti lukanya diobati, ya.”

Tala mengangguk patuh jadinya. 

“Saya permisi.”

Wanita itu hanya bisa memandangi punggung pria yang menjauh darinya itu. yang mana ternyata mengarah pada rumah Mirna yang tampak syok. Mirna pun bergegar menghampiri Tala. Bertanya ini dan itu terutama Netta. Meski ada nada kesal serta memarahi Tala, tapi ia tahu, Mirna mengkhawatirkannya.

“Kalau tadi Malik enggak lari ke kamu, entah jadi apa kamu, Tala!” kata Mirna dengan kesalnya. 

Namanya Malik ternyata.

Asep akhirnya mengalah. Memilih menghampiri Mirna karena tahu, wanita itu mengkhawatirkan ibu dan anak yang tadi diselamatkan Malik. “Tapi dia enggak apa-apa, Malik?”

“Enggak, Ndan.”

Asep menggangguk. “Akang pulang dulu, Neng.” Ia pun menepuk bahu Mirna untuk berpamitan. “Lain kali hati-hati kalau berjalan.” Ucapan ini ia tujukan untuk Tala.

“Iya, Pak. Terima kasih.” Baru kali ini Tala melihat pria yang ia yakini, bernama Asep. Suami Mirna. Sementara pria yang menyelamatkannya barusan, hanya sesekali mengangkat pandangannya. Dan Tala yakin, pandangan itu mengarah padanya.

“Terima kasih sekali lagi sudah selamatkan saya, Pak.” Berhubung Tala tak berkenalan secara langsung, maka hanya itu yang bisa ia ucapkan.

“Duh, masa Bapak. Memangnya Malik ini bapak kamu, Tala?” Mirna terkekeh. “Akang, Malik kenalan sama Tala atuh. Masa enggak kenalan,” ledek Mirna.

“Oiya benar.” Asep menepuk bahu Malik. “Enggak mau kenalan kamu?”

“Siap, Ndan!” Ia pun bergerak mendekat. Mengulurkan tangan yang tadi melingkupi Tala. Meski agak ragu, tapi tangan itu akhirnya Tala tanggapi. Bersentuhan 

“Saya Malik.”

“Bentala.”

“Ya?” tanya Malik takut ia salah mendengar nama yang terucap. Bentala? 

“Panggil aja Tala.”

Malik mengangguk pelan. “Tala. Saya pasti ingat-ingat dengan baik.”

Tala pikir, perkenalan itu hanya sekadar perkenalan. Yang ia anggap sebatas lalu, sama seperti ia mengenal para tetangganya. Nyatanya ia salah. Malik datang selepas isya. Bersama Mirna tentu saja.

“Maaf ganggu waktu kamu, Tala.”

“Ada apa memangnya?” Tala sendiri kebingungan. Melirik ke arah Mirna, wanita itu malah hanya mengedikkan bahu. 

“Saya mau berikan obat ini ke kamu. Pasti tadi sakit tangannya.”

Tala tertawa. “Sudah enggak apa-apa, Malik. Sudah saya obati juga.”

“Terima atuh, Tala, ih!” Mirna jadinya geram. “Malik datang dari jauh, tahu!”

Tala makin heran jadinya. Apalagi kantung plastik berlogo salah satu apotik cukup besar di desa, kini ada di tangannya. Lengkap dengan dua bungkus martabak yang aromanya tercium jelas.

“Maaf saya jadi merepotkan kamu, Malik.”

“Enggak masalah.” Malik tersenyum. “Semoga kamu juga suka dengan martabaknya.”

Tala hanya bisa meringis saja. 

Atuh Tala, buatkan kopi atau teh gitu. Malik biar istirahat dulu. Motornya tadi ada di depan rumah aku, lho.”

Tuhan! Kenapa jadi seperti ini, sih?

“Enggak, Teh Mirna. Enggak usah. Cuma mau antar itu aja. Saya harus segera pulang. Takutnya ada tugas lagi dari Pak Asep.”

Mirna berdecak. “Saya yang bilang kalau kamu ada tugas tambahan.”

“Lain kali saja saya kembali berkunjung. Itu juga kalau Tala memperbolehkan.”

“Boleh, kan, Tala?” Mirna menambah daftar pusing yang Tala punya.

Mana bisa Tala menolak kalau sudah seperti ini. Apalagi Mirna terlihat senang sekali. Entah apa maksudnya. Tala hanya berharap semoga saja semua ini tak menimbulkan masalah di belakang harinya.

***

Netta asyik bermain boneka dengan riangnya. Hari ini Tala cukup sibuk karena banyak yang mengantarkan pakaian untuk ia cuci dan seterika. Rumah yang harus Tala sambangi juga, sedang tak ada pemiliknya. Ada yang keluar kota karena dinas, ada juga yang tengah menikmati weekend bersama keluarganya. Pastinya besok Tala jauh lebih lelah karena pekerjaannya bertumpuk banyak. 

“Kamu sendiri di sini enggak apa-apa, kan, Netta?” tanya Tala sebelum keluar mencuci kantung plastik pertama. Tala biasanya mencuci sesuai dengan isi plastik yang ada. Takut tercampur dengan milik orang lain makanya satu per satu ia kerjakan.

Tangannya masih agak gilu meski sudah ia beri obat. Mungkin benturan kemarin agak keras mengenai aspal. Karena ia juga bisa melihat noda lebam juga di sekiran goresan.

“Iya, Bu. Nanti juga Om datang temani aku,” kata Netta dengan senyum riangnya. Matanya selalu terarah pada boneka yang Jayden beri. Ada beberapa pakaian pengganti yang bisa ditukar sekehendak hati oleh Netta. 

Mendengar ucapan anaknya barusan, Tala meringis saja. Ia jadi agak terheran, biasanya pria itu sudah berkeliaran di rumahnya. Menganggunya atau menemani Netta bermain. Tapi kali ini, sudah sampai waktu agak siang, Jayden tak ada. Tala menggeleng pelan dengan pemikiran barusan. Kenapa ia pikirkan Jayden? Tak berguna sekali kepalanya dipergunakan untuk memikirkan pria itu? Tala pun berdecak sebal jadinya.

“Ibu nyuci dulu, ya.”

“Iya, Bu.”

Terbiasa meninggalkan Netta sendirian di rumah, Tala tak terlalu khawatir. 

“Eh, Neng Tala yang nyuci.”

Tala menghentikan kegiatannya. “Iya, Bu.” Menyeringai tipis sebagai respon. 

“Yang kemarin bantuin siapa, atuh.” Si ibu yang ada di depannya, cekikikan. Sementara yang lainnya juga menatap Tala penuh penasaran.

Kaseup atuh si Akang. Kenalin sama kita, Tala.”

Tala menatap mereka penuh bingung. Bukankah mereka ini bersuami? Meski suami mereka pulang seminggu sekali karena bekerja di kota?

“Jangan pelit kenalin kita, Tala. Biar kamu aman juga.” Salah satunya mendekat pada Tala. Sedikit menyenggol bahu Tala dengan tatapan penuh makna. “Kita enggak akan bilang sama Pak RT apalagi Bu Rieka. Asal kamu kenalkan siapa lelaki kemarin. Ganteng banget.”

Tuhan! Tala heran dengan mereka semua jadinya.

Karena itu juga, Tala mempercepat mencucinya. Tak ingin banyak ditanya mengenai Jayden apalagi ia juga harus memastikan, takutnya pria itu datang. Dan para wanita yang mendadak beringas itu minta berkenalan. Sebentar? Kenapa Tala tak rela? Bukankah itu bagus? Kalau ada yang mengejar Jayden, pastinya pria itu tak akan menganggunya lagi, kan?

Akan tetapi …

“Netta?” panggil Tala karena melihat anaknya tertunduk lesu. Bonekanya masih ada di di tangan, diusap tapi tak lagi dengan gerak yang antusias. Wajahnya juga terlihat murung. “Kamu kenapa?”

“Om enggak datang, ya, Bu?”

Tala terdiam.

“Apa karena aku nakal jadinya Om enggak datang?”

“Enggak, Netta.” Tala mengusap bahu putrinya. “Mungkin Om sibuk jadinya enggak bisa main ke sini.”

“Om kemarin janji, Bu.”

Tala menghela pelan. “Kita makan dulu, ya. Siapa tahu Om datang siangan.”

Netta tadinya tak mau menuruti ibunya tapi sepertinya ucapan sang ibu ada benarnya. Siapa tahu Om yang ia tunggu, yang belum lama juga ia kenali tapi ia merasa nyaman ada di dekatnya, datang. Lalu bermain bersamanya.

“Ibu masak apa?”

“Telur dadar? Nasinya pakai mentega. Mau?”

Anggukan semangat Netta beri yang membuat Tala pun tersenyum. Meski begitu Tala juga penasaran, kenapa Jayden tak datang. Apa terjadi sesuatu? Namun kenapa juga ia merisaukan hal yang pernah Jayden buat untuknya? Pergi begitu saja di saat Tala mengungkapkan kejujuran? Tala bukankah seharusnya sudah terlatih dengan perlakukan Jayden?

Makanya ia tak ingin pria itu kembali dalam hidupnya. Karena rasa sakit ditinggalkan Jayden, masih sama besarnya seperti tujuh tahun lalu. Tala menyesal jadinya kemarin agak melonggarkan sikapnya pada Jayden.

Esok, tak akan ia ulangi sikapnya. Harus. Begitu tekadnya.

***

Kalau Tala boleh hitung, ini sudah hari keempat Jayden tak menyambangi rumah Tala. Tidak. Tala tak menunggu kedatangan pria itu tapi Netta. Demi apa pun yang bisa Tala lakukan untuk membujuk, Netta berubah menjadi anak yang gampang merajuk beberapa hari belakangan ini.

Makannya susah, tidurnya jadi tak teratur, dan terkadang menangis hanya karena ibunya mau berangkat kerja.

Tala jadi agak kelimpungan dibuatnya. 

“Netta mau Om, Bu,” katanya sembari menatap Tala dengan binar berharap. “Om janji main sama Netta.”

Tala mendesah pelan. “Sabar, ya. Ibu juga enggak tahu Om ke mana. Setahu Ibu, Om itu kerja. Mungkin lagi ada pekerjaan.”

Netta melengos. Tak percaya ucapan Tala karena sudah beberapa kali ia dengar sang ibu mengatakan hal itu. 

“Ibu ke warung Bu Nia, ya?” pamit Tala meski agak berat.

“Iya.” Netta memilih masuk ke dalam. Bergelung dengan bonekanya. Tak terlalu memedulikan ibunya yang akan berangkat kerja. Meski hanya ditinggal dua atau tiga jam paling lama, tapi anak kecil pastinya mudah bosan. 

“Netta di dalam?” tanya Mirna yang mendadak muncul di depan rumahnya. 

“Ada.” Tala tersenyum tipis. “Netta, ada Tante Mirna.”

“Ayo ke rumah Tante saja. Jangan sendirian di rumah.”

Netta tak banyak membantah. Meski berjalan lesu, Netta menghampiri Mirna. Menerima uluran tangan wanita cantik itu dan mengikuti langkahnya walau wajahnya tertunduk murung. Membuat Tala kembali mendesah frustrasi. Tak ia sangka efek Jayden cukup kuat mengguncang Netta.

Padahal pertemuan mereka terbilang cukup singkat tapi kenapa Netta tak mudah lupa? Padahal juga biasanya mengenal banyak orang tapi Netta hanya sekadarnya saja. Atau karena Jayden ayahnya? Jadi rasa rindu itu mendadak ada? Sudah lah. Tala tak ingin banyak berpikir lagi. Ia harus segera ke warung Bu Nia. Takut terlalu sore dan ia mendapat ceramah panjang.

Pekerjaan di sana begitu Tala tiba, selalu bertumpuk dan banyak. Seperti hari sebelumnya, Tala tak pernah mengeluh. Ia kerjakan satu demi satu sampai semuanya bersih dan rapi. Sedikit membesarkan hati karena Nia terkadang kumat cerewetnya. Minta ini dan itu di mana harus Tala yang kerjakan. Membuatnya agak lama untuk menyelesaikan pekerjaannya di sini. Tapi setelahnya, yang Tala tak duga, lagi-lagi Nia memberikanya tambahan uang.

Katanya, “Buat makan kamu sama Netta. Makan, Tala. Makan!” Sembari dicubit pelan lengan Tala yang kurus. “Kurus banget kamu, ih!”

Tala hanya mampu tersenyum penuh haru. Meski dimarahi, diberi banyak ocehan panjang lebar, tapi Nia selalu baik dengan Tala. Yang mana membuatnya pulang dengan langkah riang.

“Tala,” panggil seseorang di mana membuat Tala menghentikan langkah. Agak bingung dengan sosok yang baru saja memanggilnya.

“Siapa, ya?”

Sosok itu masih mengenakan helm, di atas motor besar berlogo salah satu merk terkenal di Indonesia; PCX. Jaket hitamnya melekat membungkus sosok yang kini mendekat pada Tala. Helm itu pun dilepas. “Malik. Lupa?”

Tala menyeringai. “Mana saya tahu kalau kamu itu Malik.”

Senyum Malik terkembang lebar. Ia sengaja menempuh jarak agak jauh untuk menghampiri Tala. Tadi ia sempat ke rumah Mirna dan minta ditemani ke rumah Tala. Tapi ternyata wanita itu tengah bekerja di rumah makan yang ada di tepian jalan raya ini. Maka yang Malik lakukan adalah menunggu kepulangan sang wanita. Belum juga ia lepas helm, Tala sudah keluar dari rumah makan tadi. 

“Apa kabar?” tanya Malik masih dengan senyum di wajah.

“Baik.”

“Syukurlah.” Malik agak bingung sebenarnya. Tala memang tak banyak bicara tapi membuatnya semakin penasaran. “Saya antar?”

“Enggak usah.” Tala menolak halus. “Sudah dekat, kok.”

“Jangan begitu, Tala. Saya sengaja datang ke sini untuk bertemu kamu.”

“Ada kepentingan?”

Malik tertawa. Apa memang Tala sekaku ini? Tapi wajah Tala sejak pertama bertemu sore itu, tak bisa membuat Malik teralih. 

“Kalau boleh mau ajak kamu makan malam. Keberatan?”

“Tapi saya harus segera pulang, Malik. Maaf.”

Malik tak akan mudah menyerah. Bukankah perempuan itu pada awalnya selalu menerapkan gengsi yang tinggi? Seperti Tala sekarang. Selalu menolak dan membuat tembok setinggi gunung tapi kalau sudah sedikit saja bisa mengambil hatinya, pasti sang wanita akan melempar diri dengan suka rela. Dan Malik berpikir, Tala pun sama. Ia hanya butuh usaha keras di awalnya saja.

“Mikirin Netta, ya?”

Tala sedikit terperangah tapi segera mengangguk sebagai jawabannya.

“Netta sepertinya tenang dan nyaman bersama Teh Mirna.”

Hal itu sebenarnya memang kenyataan yang ada, tapi Tala tak ingin berlama-lama di luar. Ia khawatir kalau Mirna tambah kerepotan.

“Teh Mirna enggak masalah kalau saya ajak kamu makan malam sebentar.” Seolah Malik bisa membaca isi hatinya di mana membuat Tala semakin gusar. “Sekali ini aja, Tala. Besok saya enggak datang terlalu malam biar bisa makan bersama Netta juga.”

Tala menghela pelan. Tak enak juga menolak Malik yang sudah jauh-jauh datang ke sini. “Di pecel lele itu aja, ya,” tunjuk Tala di mana kedai makan itu tak jauh dari tempatnya sekarang.

“Iya, enggak masalah. Yang penting makan bersama Neng Tala.”

***

Banyak hal yang Malik bicarakan selama makan kali ini. Kebanyakan mengenai prestasinya di tempat kerja serta apa yang sudah ia miliki. Lantas tujuannya ke depan yang membuat Tala tak tahu harus merespon apa. Nafsu makannya sudah amblas sejak tadi karena ucapan Malik membuat perut Tala penuh.

“Jadi bisa dibilang, saya ini sudah mapan dan lebih dari cukup untuk menghidupi diri sendiri.”

“Syukurlah.” Hanya itu yang bisa Tala berikan. “Sejak tadi saya perhatikan, kamu enggak makan. Katanya lapar?”

Malik tertawa jadinya. “Enggak lapar karena ada kamu, Tala.”

Kening Tala berkerut dalam. Refleks tangannya segera ia tarik karena mendadak mendapat sentuh dari Malik. Sorot mata pria itu tampak tak suka tapi ditutup dengan senyuman. “Kamu terlihat enggak nyaman sama aku, Tala.”

“Bukan gitu, Malik.” Andai saja tak ingat wajah Mirna yang gembira karena perkenalan mereka, pasti Tala sudah kabur meninggalkan pria yang menurutnya aneh ini. “Saya enggak tenang karena meninggalkan Netta terlalu lama.”

“Kenapa selalu memikirkan anak kamu? Lagi juga ada yang jagain, kan?” Malik mulai menunjukkan sikap tak sukanya. Sejak tadi ia menahan diri. Apa susahnya makan dengan tenang, bicara dengan nyaman berdua? Kenapa wanita ini terus saja memikirkan anaknya?

Apa tidak bisa dilihat perjuangannya bertemu Tala?

“Memang tapi saya ibunya. Saya khawatir kalau enggak melihat langsung anak saya.” Tala membersihkan tangannya. “Sudah selesai belum? Kalau belum, saya duluan, ya.”

Malik berdecak sebal tapi tak bisa untuk tidak mengikuti langkah Tala. Padahal kalau perempuan lain, diajak makan olehnya, tak lama pasti dirinya dikejar dan merasa paling dibutuhkan. “Saya antar,” katanya dengan tegas.

“Enggak usah. Saya bisa sendiri.” Tala kembali menolak dengan senyumannya yang tipis. “Terima kasih makan malamnya.”

“Ayo, naik.”

Tala menggeleng.

“Tala,” Malik menghela pelan. “Saya janji sama Mirna untuk mengantarkan kamu dengan selamat sampai rumah.”

Tala masih terdiam. 

“Kamu juga mau cepat bertemu anakmu, kan?”

Ia menyerah. Naik dengan sedikit hati-hati motor besar milik Malik ini. Dan tak ia sangka kalau tangannya ditarik begitu saja. Membuat ia mendekap erat tubuh Malik dari belakang. Ingin dilepas tapi sukar sekali. Malik menahannya dengan paksaan.

“Pegangan, Tala. Nanti kamu jatuh.”

Tala berdoa dalam hati, semoga tak ada hari lain di mana ia bertemu Malik. Lagi. Dan satu hal yang membuatnya merasa lega, padahal ia juga membenci kedatangan Jayden, sosok pria itu ada. Duduk bersama Netta di depan kontrakan. Bermain boneka dengan cerianya. Sementara Mirna duduk di dalam sembari mengerucut sebal.

Kedatangan Tala juga membuat Jayden menoleh. Matanya menyoroti penuh tajam pada pria yang ada di belakang Tala. Siapa dia? Kenapa Tala bersama pria itu?

“Kamu dari mana, Yank?”



 

[13] Jayden cemburu

“Netta sudah tidur?” tanya Jayden sembari bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu terbuka.

“Sudah.” Tala menghela pelan. Padahal sejak tadi ia sudah meminta Jayden untuk pulang karena sudah larut juga. Tapi ia jadi penasaran, pulang yang dimaksud ini kepulangan Jayden ke mana? Selama Jayden sering berkunjung ke kontrakannya, ia memang tak pernah sekalipun bertanya, di mana Jayden tinggal.

“Baguslah. Netta sudah ngantuk sejak tadi. Tapi kamu lama pulangnya,” sindir Jayden. Ia pun mengambil jaket yang ada di sisinya. “Jangan meninggalkan anak demi kesenangan kamu sendiri, Tala.”

Tala menatap Jayden dengan raut tak suka. “Kamu?” Ia mencibir penuh sinis. “Bicara hal itu ke aku?”

Jayden tahu, dirinya telah salah bicara. Tapi memang ia tak suka kedatangan Tala bersama pria lain di mana menurutnya, pria itu memiliki tatapan yang berbeda untuk Tala. Jayden bukan orang bodoh yang tak pandai membaca situasi yang ada. Apalagi saat berpamitan, seolah pria itu penting sekali ada di hidup Tala.

Cih!

“Besok aku datang lagi.”

Tala memilih untuk tak menyahuti ucapan Jayden. Andai dirinya tak didera lelah karena kegiatannya hari ini, mungkin ia akan mendebat Jayden sampai puas. Enak sekali mulutnya bicara hal itu? Memangnya ia hadir di hidup Tala yang sudah semrawut ini berapa lama? Belum ada satu bulan tadi kata-katanya sungguh membuatnya muak!

“Terima ini, Tala.” Jayden mengeluarkan satu kotak entah apa isinya. Hanya dibalut dengan kertas coklat polos yang mana membuat Tala mengerutkan dahinya. “Ini ponsel yang sudah aku aktivasi nomor serta penggunaannya.”

“Aku enggak butuh.” Tala menolak segera. “Kamu bisa pulang sekarang. Terima kasih tadi sudah menemani anakku, karena ibunya sibuk dengan kesenangan sendiri,” kata Tala penuh sinis.

“Tala,” desah Jayden setengah frustrasi. “Maafkan ucapanku yang tadi. Aku … aku hanya enggak suka kamu bersama pria lain.”

Tala abai dengan perkataan barusan. Ia memilih untuk melipat tangannya di dada.

“Aku harap kamu menerimanya, Tala. Aku tahu mungkin ini bisa menyinggung kamu, tapi dengan adanya ponsel ini, aku bisa terus terhubung dengan Netta.” Jayden sedikit mendekat pada Tala. Diambilnya perlahan tangan wanita itu untuk ditaruhnya kotak tadi. “Terima, ya. Aku kangen banget sama Netta empat hari enggak ketemu, Tala.”

“Dia bukan anakmu, Jayden. Bunuh saja rasa rindumu itu. Enggak berguna.”

“Iya, Tala. Netta bukan anakku menurut kamu. Tapi menurut hasil tes, dia anak biologisku yang lahir dari rahim kamu.” Jayden menyeringai tipis. “Izinkan aku menebus segala salah yang kupunya dulu, Tala. Enggak jadi soal seberapa lamanya waktu yang terbuang sampai aku dapat maaf serta kesempatan menjadi ayah yang baik untuk Netta.” 

Mata Tala bolak balik melihat kotak yang ternyata berisi ponsel serta sorot Jayden yang sarat permohonan.

“Aku enggak bisa terlalu lama di sini. Minggu depan aku harus kembali ke Jakarta. Tapi tiap jumat sore, aku pulang ke sini untuk bertemu kamu dan Netta.”

“Enggak perlu repot seperti itu, Jayden. Urus hidupmu sendiri.”

“Tadinya aku memang hanya ingin mengurus hidupku seperti biasanya. Tapi ternyata aku salah. Ada yang harus aku perjuangkan untuk dapat maafnya. Dengan enggak meninggalkan kewajibanku di Jakarta.”

Tala memalingkan wajah karena menurutnya, Jayden terlalu lekat memberi tatapan. Ia harus menguatkan hati, jangan sampai memberinya izin untuk mendapatkan kesempatan darinya. Buat Tala kesalahan Jayden tak termaafkan. 

“Aku tahu enggak akan mudah, tapi aku enggak akan menyerah. Sama seperti kekeras kepalaan kamu membesarkan Netta sendiri. Maka sekarang, aku jauh lebih keras kepala dari sebelumnya untuk membuat kamu mempertimbangkan apa yang menjadi keinginanku.”

Berhubung Tala masih tak bersuara, Jayden memilih melanjutkan kata-katanya. “Terutama mengenai tanggung jawab yang seharusnya kulakukan tujuh tahun lalu.”

***

Jayden kembali memasuki kontrakan yang ia sewa dengan menghela lelah. Perjalanannya ke sini benar-benar penuh perjuangan. Selain macet, ia juga masih harus meninggalkan ibunya yang masih terbaring di rumah sakit. Meski sudah sadar, tapi kondisinya masih membuat Jayden dilanda khawatir.

Ia belum berani mengatakan mengenai apa yang dilakukan selama di Tasikmalaya. Hanya berkisah kalau ada proyek penting yang harus segera ia dapatkan. Ibunya hanya mengangguk memberi dukungan terbaik. Kadang Jayden berpikir, apa kalau dirinya jujur akan diberikan dukungan seperti ini?

Belum ia lupa saat pembicaraannya tadi pagi dengan Jenni. 

“Tapi Kakak enggak bisa terus menerus tinggal di sana,” rengek Jenni sebelum Jayden berangkat pagi tadi. Bersama sang adik, ia bergantian menjaga ibunya. Dokter bilang, ibu Jayden terlalu lelah bekerja. Memporsir tenaga sampai lupa waktu makannya. Ucapan dokter mengenai keadaan sang ibu membuatnya teringat pada Tala.

Apa seperti ini perjuangan orang tua untuk anaknya? Ah, Jayden jadi merasa sangat malu dengan hidupnya. Seharusnya ia yang harus bekerja jauh lebih keras dari sebelumnya agar tak terlalu membebani sang ibu. 

“Iya, Jen,” Jayden tersenyum tipis. “Abang kembali ke sana hanya sabtu minggu aja. Abang juga tahu, bengkel itu butuh turun tangan dariku.”

Jenni mengangguk cepat. “Tapi aku penasaran, ini bukan sekadar proyek biasa, kan?”

Jayden hanya memberi cengiran tipis. “Kamu fokus kuliah sama bantu jaga rawat Mama aja.”

“Kak Ari enggak mau ngaku, sih, apa yang Abang lakukan di sana.” Jenni berdecak sebal. “Atau jangan-jangan, Abang di sana punya pacar, ya?”

Pria bermata cokelat itu terkekeh. “Kabari aku mengenai kondisi Mama.”

“Beres.” Jenni mengacungkan jempolnya. “Abang hati-hati, ya.”

Ucapan itu juga Jayden dapat dari Ari. Di mana sang asisten mendukung keputusan Jayden meski ragu, apa bosnya sanggup pulang pergi setiap minggu? Meski belum mengenal sosok wanita yang dikejar Jayden, tapi Ari yakin, sang bos dibuat tergila-gila. Buktinya sampai rela melakukan hal ini.

Begitu Jayden sampai di Sukapura, dirinya dikejutkan dengan kedatangan pria lain di hidup Tala.

“Astaga, Tuhan! Jangan tambah ujianku dengan datangnya orang lain lagi. Aku saja belum dapat maaf dan masih didorong menjauh. Masih juga harus bersaing?”

Konyol sekali Jayden pikir.

“Sudahlah. Tidur dulu. Besok harus temani Netta main. Kasihan anak itu,” lirih Jayden. Teringat banyak keluhan yang Netta utarakan tadi saat ia datang. Hatinya mendadak dilingkupi banyak kebahagiaan lantaran kedatangannya ditunggu Netta. “Di sini tempat bermain yang seru di mana, sih?” Disambarnya ponsel untuk segera mencari informasi mengenai tempat wisata di sekitaran desa ini.

Siapa tahu saja besok Tala juga tak terlalu sibuk. Sedikit bersantai menghabiskan waktu di luar bukanlah hal yang buruk, kan? Lagi juga pasti Netta senang. Jayden yakin itu. Namun sebelum niat itu dilakukan, ada satu pesan yang masuk di mana membuat jayden memijat pangkal hidungnya.

Daniel :

Jay, gimana surat tuntutan kemarin? Lo jadi memperkarakan? Kalau iya, gue bantu.

***

Jantung Tala hampir loncat lantaran saat ia kembali dari rumah Bu Sofi—berhubung langganan ini meminta Tala datang lebih pagi untuk membantunya masak, Tala tak bisa menolak. Sofi bilang, hari ini dia ada arisan. Jadi Tala dibebastugaskan mencuci serta merapikan rumah. Tapi membantunya masak dan itu pun tak terlalu lama. Jam delapan pagi juga Tala sudah selesai membantu di sana.

Satu kantung cukup besar berisikan makanan ada di tangannya. Tak lupa juga Sofi memang baik hati padanya. Selembar uang seratus ribu diberikan untuk Tala sebagai bonus. Katanya, “Kamu juga sudah banyak membantu. Terima kasih, Tala.”

Senyumnya sepanjang pulang merekah indah. Ia makin tak sabar untuk segera tiba di kontrakan dan menyantap bersama makanan yang Sofi berikan. Namun kesenangannya itu mendadak sirna begitu sampai di kontrakan; Netta tak ada. Padahal ia sudah berpesan agar Netta tak ke mana-mana. Tiga tangkup roti berlapis mentega bertabur gula serta satu kotak susu sudah ia siapkan untuk sang putri. 

Ia tak terlalu khawatir karena mungkin ada di rumah Mirna. Maka tujuannya pun segera ia arahkan ke sana. Betapa terkejutnya ia saat Mirna dengan tampang cemberut mengatakan tak ada Netta di rumahnya. Memarahi Tala karena sembarangan meninggalkan Netta sejak subuh. 

“Harusnya kamu kasih tahu aku, Tala.” Entah sudah berapa kali Mirna merengut. “Anak itu ke mana coba?!” Mirna juga jadinya khawatir. Ikut berkeliling mencari Netta di sekitar kontrakan dan tempat yang mungkin disambangi bocah enam tahun itu.

Sampai kaki Tala lemas dan ia pun sudah tak keruan lagi hatinya. Matanya sudah tak tahu lagi berapa banyak meneteskan air mata. Meski Mirna berulang kali mengatakan air matanya tak berguna, tapi tetap saja Tala menangis. “Netta di mana?” keluhnya terus menerus.

“Sudah kita pulang dulu coba. Siapa tahu dia sudah pulang tapi kita enggak tahu,” usul Mirna sembari mengusap ujung pelipisnya. Capek juga mengikuti Tala mencari Netta. Tapi sungguh, dirinya memang mengkhawatirkan Netta.

Tala mengikuti saran Mirna saja. Begitu langkahnya hampir dekat dengan kontrakan, suara Netta memanggilnya, serupa dengan guyuran air paling menyejukkan yang bisa ia terima. Ia pun berlari menyongsong putrinya. Diangkatnya Netta dan memeluknya erat. Tak peduli berat yang Netta punya sekarang, tapi mendapati sang putri ada dalam pelukannya, itu sudah lebih dari cukup.

“Kamu ke mana saja, Netta?” tanya Tala masih dengan nada khawatirnya. 

“Sarapan bareng sama Om,” tunjuk Netta pada sosok yang duduk di depan kontrakan mereka; Jayden. Yang malah memamerkan senyum lebarnya. Seolah tak merasa bersalah karena telah membuat jantung Tala bekerja ekstra pagi ini.

Tala pun melangkah lebar menghampiri Jayden, dengan Netta yang masih ia gendong. “Kenapa kamu bawa Netta tapi enggak bilang sama aku?!”

“Ah, kamu rupanya yang buat kita capek nyari Netta?” Mirna juga tak ingin ketinggalan menyembur kekesalannya pada Jayden.

Merasa mendapatkan dua murka yang bersamaan, Jayden angkat bicara. “Aku sudah izin, Tala. Dari jam lima aku kirim chat. Kamu enggak baca? Aku telepon juga enggak ada respon.”

Tala memejam kuat, menepuk dahinya pelan.

“Jangan bilang ponsel kemarin kamu jadikan bantal tidur?”

Tala mencebik tak suka.

“Kamu tahu, Jayden, kaki saya sakit ikut bantu Tala cari Netta. Karena kamu!” tuding Mirna tanpa ampun.

“Maafkan saya kalau begitu.” Jayden pun berdiri, menyongsong sang putri yang masih ada di gendongan Tala. Mengalah karena sepertinya ia telah melakukan kesalahan padahal sudah berusaha ia minimalisir. “Turun, ya, Netta. Ibu kamu pasti capek.”

Netta menurut saja, justru senang karena berpindah ke gendongan Jayden meski singkat.

“Kalau cuma maaf doang, sih, saya juga bisa!” Mirna masih berdecih sinis pada Jayden. “Belikan kami sarapan bubur di dekat rumah Wak Fauzan. Tahu, kan? Tala juga pasti belum sarapan.”

“Oke,” Jayden mengulum senyumnya. 

“Semuanya lengkap, kuahnya pisah saja. Jangan lupa sate telur dan ati ampela.”

“Ada lagi?”

“Enggak. Itu aja! Awas salah.” Mirna memilih masuk ke dalam kontrakan Tala saja. Sementara Tala menggeleng heran dengan tingkah Mirna barusan.

“Mau ikut Om belikan ibumu sarapan?” tanya Jayden pada Netta yang pastinya mengangguk girang. Benar saja. Tangan Jayden langsung digandeng begitu saja.

“Ayo! Netta tahu tempatnya.” Netta tersenyum lebar sekali. Pokoknya bagi Netta, Jayden menjadi orang ketiga yang ia favoritkan setelah ibunya dan Tante Mirna.

“Kamu masih enggak suka seledri, Tala? Kalau iya, khusus untukmu aku bilang sama penjualnya.”

Tala termangu.

“Aku masih belum lupa apa saja yang enggak kamu suka, kok. Atau ada tambahan lainnya? Biar aku ingat seumur hidup.”

“Enggak,” tukas Tala cepat. Bersitatap dengan Jayden bisa membuatnya kembali mengingat manisnya kisah cinta di antara mereka. 

“Oke. Tunggu, ya.” Jayden tersenyum tipis. Namun sebelum langkahnya menjauh, ia sedikit memutar tubuhnya. Ia tahu, Tala belum beranjakdari tempatnya. “Boleh enggak aku dibuatkan kopi? Sepagian ini aku belum ngopi.”

***

“Gitu kamu masih mau mengelak?” tanya Mirna sembari membantu Tala merapikan sisa sarapan mereka. 

“Apa yang kamu bicarakan, Mir,” Tala meringis. “Aku enggak mengerti.”

“Ck!” Mirna berdecak pelan. “Kamu mengerti maksudku, Tala. Buktinya menolak Malik dengan terang-terangan tapi membiarkan Jayden terus masuk dalam hidupmu lagi.”

Gerak tangan Tala terhenti. Ucapan Mirna tak sepenuhnya salah tapi …

“Enggak masalah, Tala,” Mirna ganti rengutan di wajahnya dengan senyum lebar. “Aku senang kalau memang Jayden mau berubah dan mulai menunjukkan sisi tanggung jawabnya.”

Tala mendesah pelan mendengar ucapan Mirna barusan. “Enggak sesimple itu, Mir.”

“Alah!” Mirna sekali lagi mencebik. “Bisa enggak terus menerus bertingkah kaku? Kalau kamu enggak suka ada Jayden, enggak jadi masalah. Tapi ingat enggak selama berapa hari kemarin Netta kehilangan?”

Perkataan Mirna barusan membuat Tala menunduk.

“Pikirkan itu saja.” Mirna pun menepuk bahu Tala sekilas. “Aku pulang, ya. Semingguan ini aku enggak di rumah. Kang Asep mau ke luar kota. Kamu tahu, kan, kalau Kang Asep sudah berkunjung pasti lama.”

Tala memilih untuk mengangguk saja. Membiarkan Mirna pulang ke rumahnya di mana tak lupa ucapan terima kasih karena telah membantunya sepagian ini. Meski hanya ditanggapi dengan kibasan tangan, tapi Tala tahu, hati Mirna tak seketus dan sejahat itu.

“Sudah siap?” tanya Jayden yang membuat Tala berjengit. “Lho? Kamu belum bersiap juga, Tala?”

“Kita mau ke mana memangnya?”

“Ke Ayaran, kan? Tadi kamu setuju, lho.”

Kening Tala berkerut. Ayaran itu bisa dibilang pusat kota di mana terdapat mall yang meski tak terlalu besar, seperti di Jakarta, tapi tempat itu sudah membuat sebagian penduduk desa ini terhibur.

“Ayo, Bu!” Netta sedikit menarik tangan Tala. “Aku sudah siap.”

Hanya mengenakan kaus bergambar beruang yang mana gambarnya juga sudah terlihat kusam. Lalu celana panjang yang warna hitamnya pun agar pudar, namun senyum yang Netta punya menyamarkan segala hal yang ia kenakan.

“Ibu ganti baju dulu, ya.” Diusapnya pelan puncak kepala Netta. Lalu mendongak menatap Jayden seolah meminta penjelasan lebih. Di mana Jayden hanya mengedikkan bahu.

Dulu … mall adalah tempat yang sering sekali Tala kunjung. Hampir di setiap waktu liburnya ia habiskan ke sana. Sekadar untuk melepas penat meski pada akhirnya, kakinya melangkah ke toko buku. Bersama Jayden menghabiskan waktu dengan penuh diskusi. Lalu sejenak beristirahat di salah satu kafe yang mereka gemari. Juga …

Tala menggeleng mengingat masa lalunya. Itu sudah berlalu lama.

Mengenakan kaus berlengan hingga sesiku, dipadu celana kulot berbahan katun, serta tas kecil berwarna merah yang ia dapat dari Mirna. Di mana rambut yang biasanya ia kuncir asal, kini ia sisir jauh lebih rapi. Meski tak mengenakan make up apa-apa, tapi setidaknya Tala memantaskan diri. 

“Nah, Ibu sudah siap!” Netta terpekik girang. “Ayo, Om!”

Mata mereka kembali bertemu. Meski kali ini penampilan Tala masih terlihat jauh dari Tala yang Jayden ingat, tapi di depannya berdiri perempuan yang tak pernah tersingkir dari hati Jayden. Meski sorot matanya masih keberatan adanya Jayden hadir di hidupnya sekarang, tapi tak jadi soal.

Jayden punya banyak cara untuk membuat Tala-nya kembali. Dan harus kembali. Bukan hanya Tala sendiri, tapi bersama Netta. 

“Cantik,” puji Jayden pelan. “Bentala selalu cantik untuk Jayden.”


[14] Piknik ala Jayden

Berulang kali Tala mengusap sudut bibir Netta yang banyak bertabur remah ayam tepung. Sudah dua porsi dilahap Netta dengan penuh keriangan. Senyum Tala juga tak mau luntur karena kebahagiaan yang Netta dapatkan sekarang. Padahal hanya makan di restoran cepat saji yang cukup mentereng di mall ini. Yang biasanya di Jakarta bisa ditemui berdekatan dari satu tempat ke tempat lain.

“Suka?” tanya Tala.

“Iya, Bu. Suka banget. Boleh beli untuk di rumah? Yang di dekat warung Wak Fauzan enggak terlalu enak.”

Tala mengangguk dengan segera. “Yang terpenting dihabiskan yang sekarang, ya.”

Sejak awal mereka datang ke restoran ini, hati Jayden sudah tak keruan dibuat. Campuran trenyuh, senang, sedih, dan yang paling besar adalah penyesalannya. Mata Jayden mana bisa teralih dari sorot Netta yang tampak antusias. Belum lagi semua menu rasanya ingin ia makan. Jayden menahannya bukan karena tak boleh. Biarkan Netta menikmati sedikit demi sedikit menu yang ada. 

Akan ia jadikan sorot mata Netta sebagai pemicu untuk terus berubah ke arah yang lebih baik. Terutama dalam hal meyakinkan Tala agar mau memberikan kesempatan. Baik sebagai ayah dari Netta, juga merebut kembali hati Tala. 

“Kalau sudah kenyang, Netta bisa bermain di sana. Tapi hati-hati mainnya, ya,” tunjuk Jayden pada satu sudut di mana terdapat permainan yang bisa dijajal para pengunjung seperti Netta. 

“Benar, Om?” tanya Netta dengan binarnya yang makin bersemangat. 

“Iya.”

“Boleh, Bu?”

Mana bisa Tala larang kalau sudah seperti ini. Kalau dilarang pun, Tala pasti merasa menjadi ibu paling kejam karena menghalangi kesenangan putrinya. Sama saja ia mematahkan hati Netta kalau menggeleng memberi larangan. Padahal ia jarang bahkan belum pernah membawa Netta ke sini. Senyumnya jadi miris mengingat apa yang belum bisa Tala lakukan untuk Netta.

“Iya, Nak. Asal hati-hati, ya.”

Netta mengangguk segera. Kembali ia santap menu bagiannya.

“Kamu enggak makan, Tala?” tegur Jayden karena memperhatikan bagian Tala sama sekali belum tersentuh. 

“Nanti,” sahut Tala sembari memisahkan kulit dan daging untuk putrinya. Memastikan apa yang Netta makan dalam porsi suapannya. 

Senyum Jayden terkulum tipis. Tala-nya banyak berubah. Bukan sekadar fisik, ini jelas Jayden sesali sampai detik ini. Janjinya dalam hati, akan ia kembalikan Bentala Gauhari sang idola sekolah ke asalnya. Yang cantik bersinar juga rupawan dengan senyumnya yang menawan. Di depannya duduk Bentala dengan versi yang jauh lebih kurus dan tak terawat.

Namun satu hal yang membuat Jayden terharu. Di atas segala kesulitan yang Tala alami, ia tak pernah menyerah pada sang putri. Memberikan segala yang terbaik versi dirinya sekarang. Andai Jayden yang bertukar posisi, belum tentu ia kuat menghadapi hidup yang Tala alami.

Jayden bodoh! Terlalu bodoh mendekati tolol!

“Tala,” panggilnya tanpa sadar. Yang mana membuat sang pemilik nama menoleh. Begitu mata mereka bersitatap meski sekilas, Jayden mengimbuhi ucapannya. “Biarkan aku kembali ke hidup kamu, ya. Jangan jadikan bahu kamu penopang sendiri. Aku tahu kamu kuat, tapi sewaktu-waktu bisa ambruk.”

Gerak Tala mengurus Netta terhenti. “Bicaramu jangan sembarangan, Jayden. Sudah kukatakan aku enggak butuh kamu.”

Jayden hanya meringis tipis.

“Tangan dan kaki aku belum punya kesanggupan untuk membawa Netta ke sini.” Tala tersenyum miris melihat kedua tangannya yang berlumuran bumbu dari ayam goreng milik Netta. “Tapi aku enggak menyerah untuk berjuang.”

Dadanya mulai bergemuruh pelan. 

“Aku berterima kasih sudah membawa Netta ke sini. Aku enggak tahu harus balas dengan cara apa. Kalau perlu, aku catat semua kebaikan kamu yang diarahkan pada Netta. Aku akan lunasi segera setelah punya uang lebih.”

“Aku enggak minta itu, Tala,” tukas Jayden cepat. “Aku enggak punya maksud lain dengan semua ini. Niatku hanya ingin bersama kamu dan Netta. Menebus segala salah karena pengabaianku atas pengakuan kamu dulu. Andai saat itu aku percaya, kamu enggak akan menghadapi hidup seperti ini, Tala.”

“Sudah berlalu, Jayden,” kata Tala dengan decih pelan. “Setelah ini, aku hanya ingin hidupku kembali. Di mana enggak ada kamu.”

“Kenapa?” Jayden menatap Tala dengan sendunya. “Aku belum selesai untuk memperjuangkan apa yang seharusnya dulu aku lakukan, Tala. Beri aku kesempatan. Sekali aja. Aku belum memulai semuanya, Tala. Jangan tutup kesempatan itu. Aku mohon,” pelas Jayden.

“Sudahi, Jayden.” Tala tersenyum tipis. “Kalau kamu berjuang, lantas aku jatuh, dan kembali ke Jakarta, aku yang enggak siap bertemu orang tuaku.” Satu tetes air mata entah kenapa malah turun membasahi pipinya. “Kekecewaan yang aku buat ke mereka, enggak mudah untuk dimaafkan.”

Tala benar. Ucapan itu seraya ratusan anak panah yang mendadak menyasar ke punggungnya. Jayden sendiri belum bicara dengan ibunya. Entah apa yang akan terjadi namun Jayden sudah membuat keputusan.

“Biar aku yang tanggung, Tala.” Jayden berusaha untuk menyentuh lengan Tala tapi wanita itu menarik dirinya. “Ini semua kesalahan aku. Dulu aku bodoh sebodoh-bodohnya sebagai seorang laki-laki. Membiarkan kekasihnya menanggung segalanya sendirian. Aku,” Napas Jayden tercekat. “Aku menyesal, Tala. Sangat menyesal enggak memercayai ucapan kamu.”

Tala terdiam. Suara Jayden terdengar gemetar, sorot matanya penuh sekali rasa sesal, belum lagi ia tampak sangat terpukul dengan semua yang kini hadir di hidupnya.

“Kalau kamu pergi, kamu enggak perlu mikirin kami, Al.” Tala mencoba tersenyum. “Sudahi, ya.”

Jayden mengerjap pelan. “Tadi kamu panggil aku apa, Tala?”

Tala memalingkan wajahnya segera. Yang mana membuat Jayden mengulum senyumnya. 

“Aku enggak mau sudahi, Tala. Akan aku buat kamu bukakan pintu kesempatan itu selebar mungkin.” Ia menepuk dadanya pelan. “Aku enggak akan pergi dari sisi kamu lagi, Tala. Terserah berapa kali kamu minta kamu pergi, aku enggak akan mudah kamu singkirkan.”

“Terserah,” sahut Tala singkat.

“Karena di hati kamu, masih ada aku.” Jayden tersenyum lebar. “Sama seperti hati aku yang hanya penuh dengan satu nama; Bentala Gauhari.”

“Ibu, aku sudah selesai makan. Sekarang temani aku main di sana,” pinta Netta tiba-tiba.

“Kita cuci tangan dulu, ya.” Jayden yang lebih dulu sigap bangun. Padahal Tala sudah bersiap untuk menemani Netta bermain. “Kamu di sini saja, Tala. Selesaikan makan kamu.” Pria itu lantas mengeluarkan banyak lembaran uang. “Pesankan untuk dibawa, Yank. Buat Netta nanti makan di rumah.”

“Itu bisa nanti.”

“Iya tapi kamu pegang dulu uangnya.”

Tala agak ragu karena ini terlalu banyak.

“Yank,” panggil Jayden lagi. “Aku mau temani Netta. Kamu tahu anak kita cerewet, kan?”

Tala berdecak.

“Mirip aku, ya?” Jayden terkekeh. “Kamu bilang aku ini cerewet, terlalu banyak protes.”

“Sudah sana,” usir Tala. 

“Terima kasih, Tala, kesempatannya.”

“Aku enggak setuju, Jayden. Kapan aku menyetujui hal itu?”

Senyum Jayden terkulum kembali. “Aku tahu.” 

***

“Netta enggak terbangun, kan?” tanya Jayden memastikan. Turun dari mobil, Jayden menggendongnya dengan sangat hati-hati. Pasti anak itu kelelahan karena hampir seharian mereka memutari mall. Banyak yang Jayden beli untuk mereka. Terutama kebutuhan Netta. Tala tak mau menerima kecuali sangat amat dipaksa Jayden.

“Enggak. Aku sudah benahi posisi tidurnya tadi.”

“Syukurlah.” Jayden tersenyum lebar. “Ini juga sudah malam. Aku pamit, ya.”

Tala tak bisa mencegah kepergian pria itu. Tak lupa ia ucapkan terima kasih untuk hari ini di mana balasan Jayden membuat senyum Tala tersimpan di sudut bibirnya.

“Lupa kalau dulu semua barang belanjaan kamu aku yang belikan? Jadi kalau sekarang aku ulang, apa bedanya dengan masa lalu?”

Sampai punggung Jayden menghilang di balik gang yang mengarah keluar dari kontrakan yang ia tempati, Tala masih setia memperhatikan dari posisi semuka. Jalan Jayden yang pincang memang menjadi pertanyaan tersendiri tapi Tala masih gengsi untuk bertanya. 

Belum ia lupa apa yang Jayden katakan tadi. Mengenai rasa yang ia punya dan memang hanya Jayden yang berkuasa. Tak ada nama pria lain yang mampu menyingkirkan nama Jayden sebenarnya. Meski seimbang dengan sakit hati yang ia miliki, tapi melihat kedekatan Netta dengan Jayden, ia semakin meragu.

Percakapan mereka belum genap berlalu dua puluh empat jam, di mana Tala belum lupa tiap detailnya. 

“Kalau kamu belum bisa memikirkan aku, Tala, pikirkan saja Netta,” kata Jayden tadi. Selama menemani Netta bermain, serta membeli banyak hal yang menurut Jayden perlu untuk dibeli, Jayden banyak mengajaknya bicara. Yang tadinya ia bungkam, pada akhirnya menyerah juga.

Tala lupa sepertinya kalau Jayden memang paling ulung membuatnya bersuara. 

“Bagaimana hidup Netta kalau kamu terus ada di sana?” tanya Jayden pelan. “Aku bukan lagi menceramahi kamu. Tapi memberi sebuah pandangan. Jangan anggap dulu aku ini pengganggu hidupmu. Anggap aku temanmu yang datang memberi saran.”

Membiarkan Jayden bicara sepertinya kesalahan. Karena apa yang ia ucapkan mendadak tertancap begitu saja di benaknya.

“Apa yang bisa kamu lakukan untuk Netta yang semakin lama semakin besar? Butuh biaya sementara apa yang kamu dapat, hanya berkisar segitu saja.” Jayden menatap Tala lekat. Sebelum wanita itu menyela, ia kembali menambahi perkataannya. “Aku enggak minta kita segera menghadap orang tua, Tala. Enggak. Meski aku mau segera dapat kejelasan juga restu. Minimal aku ada di sisi Netta. Tapi kita bisa usahakan yang terbaik kalau di Jakarta.”

Tala terdiam.

“Kamu mau bekerja, silakan. Aku juga bekerja di Jakarta, kok. Kita sama-sama berjuang untuk membahagiakan Netta. Tujuanmu itu, kan? Bahagianya Netta, pasti jadi bahagia kamu juga?”

“Iya,” sahut Tala singkat.

“Begitu kamu mulai bisa menerima keberadaan aku, jangan menunda untuk kita bicarakan mengenai hubungan ini, Tala.”

Wanita itu belum ingin bicara mengenai hubungan jika bersinggungan dengan Jayden. Masih ada ragu yang ia punya. Kalau berkaitan dengan Netta, mungkin Tala masih bisa berpikir. Tapi hatinya?

“Pikirkan itu baik-baik, ya,” kata Jayden sebelum pria itu kembali sibuk dengan Netta.

Sampai sekarang, pertanyaan itu masih berkumandang di pikirannya. Tak bisa segera ia usir agar bisa memikirkan hal lain. 

“Aku takut kalau kembali percaya, kamu malah membuat aku semakin terluka,” desah Tala pelan. Ia pun masuk ke dalam kontrakannya. Menutup pintu dan memastikan jendela tertutup rapat berikut dengan gorden usangnya. Sebelum ia benar-benar merebahkan diri di samping Netta, ia harus mengecek kembali kipas yang dijadikan harapannya untuk membuat ruangan ini tak pengap. 

Saat ia berada di samping putrinya, ucapan Jayden kembali terngiang. 

“Ibu harus apa, Netta?”

***

Sebelum Jayden benar-benar menuruni anak tangga, ia menatap langit pagi ini. Desa Sukapura digelayuti mendung yang cukup pekat. Jarak rumah sewanya dengan kontrakan Tala memang tak seberapa jauh. Tapi kalau tiba-tiba turun hujan? Sementara Jayden tahu hari ini pastinya Tala bekerja. 

Mendesah pelan, ia mempercepat langkahnya. Berharap sebelum hujan keburu mengguyur, ia sudah sampai di sana. Di dalam tasnya, ada laptop yang akan ia gunakan untuk bekerja. Ari memberinya kabar kalau email mengenai laporan beberapa hari belakangan sudah ia kerjakan. Tinggal menunggu koreksi darinya.

Semalam ia sudah menelepon Jenni memastikan juga keadaan ibunya. Sore sekitar jam tiga atau empat nanti, ia kembali ke Jakarta. Ia harus memuaskan dirinya tak bertemu Netta untuk lima hari ke depan. Termasuk Tala. 

“Kang, mau pulang?” tegur salah satu tetangganya di sini.

“Belum, Pak. Mari.” Meski kamar sewa ini hanya ia tempati sebagai tempat singgah, namun Jayden berusaha untuk bersikap ramah dan santun. Bisa dibilang ini bukan tempat tinggal aslinya, kan? Ada pepatah yang mengatakan di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung.

Ia tak mau terlibat masalah selama di sini. Masalahnya hanya untuk membuat Tala dan Netta pulang ke Jakarta bersamanya. Untuk perkara selanjutnya, akan Jayden buat lebih cepat dari apa yang bisa Tala perkirakan. Langkahnya ia percepat karena rintik hujan mulai turun dan betapa beruntungnya ia, begitu sampai di depan kontrakan Tala, hujan turun dengan lebatnya.

“Kamu kenapa ke sini?” tanya Tala dengan herannya.

“Di luar hujan, Tala. Kamu enggak berniat menyuruh aku masuk?”

Tala bingung jadinya. 

“Aku di dekat pintu, kok. Enggak akan masuk ke dalam.” Jayden meringis. “Aku tahu batas.”

Apa yang harus wanita itu katakan? Kala hujan turun dengan derasnya, air yang menciprati permukaan tanah, bisa masuk ke dalam dan membuat kontrakan Tala basah. Dan sepertinya Jayden tahu apa yang Tala pikirkan. 

“Tolong tas aku aja dibawa masuk. Tadinya aku mau kerja ditemani Netta, kamu bisa keluar mengerjakan bagian kamu di luar sana. Tapi karena keadaannya enggak memungkinkan, jadi aku di luar saja.”

“Tapi hujannya deras,” kata Tala pelan.

“Enggak apa-apa, Tala.” Jayden mengulurkan tas punggungnya. “Titip, ya.”

Tak ada yang bisa Tala lakukan kecuali kembali ke dalam. Membiarkan Jayden ada di luar yang mana makin lama, hujannya bukan makin berhenti. Justru semakin deras disertai angin dan petir yang bergemuruh seolah badai besar telah melanda wilayah Tasikmalaya. 

“Bu, kok Om enggak disuruh masuk?” tanya Netta pelan. Ia tak pernah jauh dari ibunya. Selain karena suara petir yang menakutkan, ibunya juga tak melepaskan rangkulannya. 

Tala masih terdiam.

“Kasihan Om bajunya basah. Kalau sakit?”

Astaga, Tuhan! Kenapa Tala dalam keadaan terjepit begini, sih?

Menyerah, akhirnya Tala bukakan pintu dan menyuruh Jayden masuk. Pada awalnya Jayden menolak keras padahal tubuhnya sudah cukup basah. Angin disertai hujan deras ini membuat dirinya yang di luar ruangan menjadi sasaran empuk guyuran hujan.

“Kalau kamu enggak mau masuk, kesempatan itu sudah tak ada lagi, Al.”

Demi apa pun yang Jayden inginkan sejauh ini, ia pun tersenyum penuh arti. “Terima kasih, Ayank.”

Bola mata Tala diputar jengah.

“Bisa tolong buatkan kopi? Dingin banget, Yank, di luar.”

“Om kenapa panggil Ibu itu Ayank?” Netta mengerjap polos. Jayden lupa, pertanyaan saat itu belum dijawab dengan benar. Maka kali ini, biar Jayden jelaskan semudah mungkin.

“Panggilan sayang untuk ibumu, Netta.”

“Kalau gitu, aku panggil Om apa? Biar sayang?”



 

[15] Kedatangan Malik kembali

“Netta, Ibu berangkat. Kamu jangan di luar terlalu lama, ya. Hati-hati kalau mau main,” nasihat Tala pada putrinya yang masih bergelung dengan mainan barunya. Dua hari lalu di mana mereka habiskan waktu di mall bertiga, ah … kalau ingat hal ini membuat pikirannya terlalu penuh. Tak ingin dipikirkan segala macam perkatan Jayden, tapi terus saja terputar. Dipikirkan, malah membuatnya gelisah. 

“Iya, Bu.” Netta melambai tipis. “Nanti Om temani aku, kok.”

Tala meringis. Jayden ini memang agak keterlaluan pada Netta.

Kemarin ia berpamitan pulang ke Jakarta. Sabtu dan Minggu, ia pasti kembali. Janjinya begitu setelah bicara panjang lebar dengan Tala. Berusaha untuk memberitahu posisinya bekerja selama di Jakarta karena Jayden takut, Netta mencarinya dan membuat gadis itu murung.

“Kamu bisa beri pengertian pada Netta, kan?” tanya Jayden memastikan sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan kontrakan Tala sore kemarin.

Ia tak jadi bekerja. Hujan membuat mereka sibuk ternyata. Banyak kebocoran di kontrakan Tala yang membuat lantai ruangan sepetak itu agak lembab. Kalau Jayden paksa melihat laporan yang masuk, ia takut malah menganggu Netta yang bermain di alas karpet tipis. 

“Bisa.”

“Kalau kamu kerja, biar aku yang temani Netta. Ponselnya tinggal aja. Aku video call.”

“Merepotkan. Netta juga biasanya sendiri.”

“Tala,” Jayden tak mau menyerah. Terserah tanggapan Tala bagaimana. Apa yang ia ucap, akan ia wujudkan. “Lebih baik dia di rumah sama aku yang penting kamu siapkan aja makanan.”

Tala berdecak pelan.

“Netta pernah bilang lebih suka di rumah, kok, ketimbang di rumah Mirna. Di sana hanya suka nonton kartun saja.”

Sebenarnya Tala tahu hal itu. Tapi mau bagaimana lagi? Bantuan Mirna sangat menolongnya.

“Aku tahu maksud Mirna baik sekali, tapi paling enggak, pastinya dia sendiri punya kesibukan, kan? Beberapa hari ini aku enggak lihat dia ada di sekitaran kamu. Ke mana dia?”

“Pergi,” sahut Tala singkat.

“Selama Mirna pergi, biar aku yang jaga Netta dari jauh, ya.” Sudut bibir Jayden tertarik pelan. 

Agak lama Tala berpikir sebelum akhirnya ia menyetujui. 

“Nah, kenapa sulit sekali untuk memberi aku izin, Yank?”

Tiap kali Jayden menggunakan sapaan ‘Ayank’ padanya, hati Tala masih sama. Belum berubah sampai detik ini sebenarnya. Berdegup kencang persis seperti saat mereka memadu kasih dulu. Ingatannya seputar manisnya kisah mereka terus membayangi Tala tanpa ampun. Pertanyaan Tala yang sering kali membuat bayang itu menguap begitu saja hanya; akankah kisah mereka berakhir manis setelah semua ini?

“Aku berangkat kerja dulu. Senin sudah mulai kembali aktivitas. Aku harap kamu jaga kesehatan, makannya lebih diperhatikan lagi. Kemarin di paper bag baju Netta, ada amplop. Kamu tahu, kan?”

“Justru mau aku kembalikan.” Tala keluarkan amplop yang Jayden maksud. “Aku masih ada uang. Ini enggak diperlukan.”

“Ini untuk Netta, bukan kamu, Tala. Kalau kamu kuberi uangku, enggak segini nominalnya. Malah aku mau bertanya, sudah siapkah kamu terima uang aku dan mengaturnya? Untuk kita?”

“Jangan macam-macam, Jayden.”

“Tujuan aku ada di sini, selain meminta maaf dan menebus segala salah, aku juga ingin kamu benar-benar kembali dalam hidup aku secara benar, Tala.”

Wanita itu terdiam.

“Gunakan uang ini untuk kalian selama aku kembali bekerja.” Jayden menepuk sisi lengan Tala pelan. “Sesekali balas pesan aku, ya.”

“Banyak bicara kamu. Sudah sana pergi.”

Jayden pergi diantar senyum tipis dari Tala. Kadang, pria itu menoleh untuk melambai mungkin bukan pada dirinya. Tapi Netta. Namun satu hal yang Tala tahu, manik mata cokelat yang Jayden punya hanya tertuju padanya.

“Ibu malah bengong. Kenapa?”

Suara Netta membuat semua lamunannya buyar. Berdecak sembari menggerutu adalah hal yang bisa ia lakukan sekarang. Kenapa malah kepikiran Jayden?

“Om sudah temani aku, Bu. Ibu kalau mau berangkat, berangkat aja.” Netta tersenyum riang. “Hallo, Om.”

“Hallo, Cantik. Sudah makan?”

“Sudah. Tadi disuap Ibu pakai sayur bayam dan ayam goreng. Enak.”

“Ibumu belum berangkat?”

“Belum.” Netta kembali menoleh pada Tala. “Ibu mau kerja enggak?”

“Kerja, Netta. Ya sudah Ibu berangkat, ya.”

“Hati-hati, Yank.

Itu suara Jayden yang membuatnya melambatkan langkah. Ia pikir menoleh sebentar bisa melihat wajah Jayden meski hanya ada di layar ponsel. Nyatanya, ponsel itu sudah dikuasai Netta. Anaknya bergelung sembari bicara ini dan itu dengan Jayden.

Tanpa ia sadari, senyumnya yang teramat tipis menghiasi bibirnya. Mengiring langkahnya ke rumah Bu Sofi.

***

“Menurut Teh Mirna, saya punya kesempatan?” tanya Malik sebelum benar-benar menuju kontrakan Tala. Semingguan kemarin sangat menyiksanya. Ia tak bisa bertemu Tala meski sebentar. Padahal saat pertemuannya malam itu, ia berharap bisa bertemu lagi atau minimal, Tala terkesan padanya.

Ternyata ia salah.

Tala semakin dingin dan tak ingin banyak bicara padahal Malik sudah berusaha untuk mencairkan suasana. Agak kebingungan juga apa yang Tala inginkan. Suasana malam itu juga menurutnya sesuai. Tak ada gangguan anaknya yang bernama Netta. Bukan tak mau berkenalan. Biasanya kalau ada anak, obrolan mereka hanya berkisar anak. Tak ada sangkut pautnya dengan mereka berdua.

Sementara Malik maunya bicara dengan Tala saja.

“Tergantung seberapa keras kamu berusaha.” Mirna tersenyum tipis mendengar ucapan Malik barusan. Sebenarnya ingin ia katakan untuk menyerah saja. Sekali pandang juga Mirna tahu kalau Jayden masih selalu jadi pemenang di hati Tala. Wanita itu belum menyadarinya saja.

Atau sudah?

Entahlah.

“Tapi saranku satu, Malik.”

Ucapan itu membuat Malik menegakkan tubuh. Sebagai seorang anggota berseragam loreng, ia memiliki tubuh yang tegap. Tempaan latihan serta kedisiplinan yang ia jalankan sebagai rutinitas, membuatnya memiliki tubuh yang bisa membuat wanita tergila-gila. Ditunjang juga oleh wajahnya yang bisa dibilang cukup tampan.

Apa itu semua cukup untuk mendekati Tala? Malik merasa belum.

“Saran apa, Teh?” tanya Malik dengan raut penasaran.

“Dekati anaknya. Rebut hati Netta kalau kamu mau rebut hati ibunya.”

Agak lama Malik terdiam. Sampai Mirna kembali masuk ke dalam rumahnya, Malik masih juga memikirkan ucapan Mirna barusan. Yang Malik tahu mengenai Tala, dia wanita yang memilik anak Netta. Anak yang ada dalam pelukan Tala dan dilindungi saat hampir saja mereka celaka. Anak yang selalu disebut namanya kala mereka tengah menikmati santap makan malam.

“Kenapa harus ada anak, sih?” desah Malik. “Gampanglah itu. Anak dikasih jajan sama uang yang banyak juga enggak merepotkan.” Ia pun bergegas menuju rumah Tala. Motor besarnya sengaja ia taruh di rumah Mirna saja. Kontrakan Tala sukar untuk menaruh motornya.

Berjalan penuh percaya diri karena yakin, kali ini ia pasti berhasil membuat Tala sedikit terkesan padanya. Hari ini ia libur. Rasanya tepat kalau mengajak Tala keluar sejenak. Netta diajak saja meski ia terpaksa. Begitu sampai di depan kontrakan, agak sepi memang suasananya, Malik pun mengetuk beberapa kali sembari memanggil nama Tala.

Sialnya, yang keluar bukan wanita yang ingin ia dekat. Justru sang anak yang terlihat menatapnya dengan sorot bermusuhan.

“Ibu enggak ada!” perkataan itu ditutup dengan pintu yang dibanting persis saat Malik akan bertanya di mana Tala?

***

Mirna menikmati anggur yang ada di piringnya. Mengunyah perlahan serta mengeluarkan bijinya yang meski kecil pastinya akan mengganggu kalau tergigit. Sama halnya seperti Netta yang begitu antusias dengan apel yang baru dikupas Tala. Bagi Netta, lebih enak apel ketimbang anggur.

Netta persis sekali dengan dirinya yang menyukai apel. Terutama apel malang. 

“Tadi Malik ke sini?” tanya Mirna yang sesekali memperhatikan Tala dengan telatennya mengupas apel untuk Netta. Tanpa perlu banyak kata juga Mirna tahu, rasa sayang Tala pada putrinya itu sangat besar. Saat kemarin keluar kota bersama Asep, kadang Malik bertanya mengenai Tala.

Mirna sebenarnya tak jadi soal pria mana pun mendekati Tala. Bukan sekali dua lagi Tala itu didekati tapi mendadak semuanya mundur teratur karena sikap Tala. Entah kenapa Tala berubah menyebalkan tiap kali mereka mengajaknya bicara. Yang paling sering dikeluhkan, wanita itu membungkam mulutnya dan tak terlalu menanggapi mereka.

“Iya.” Tala berkata dengan singkatnya.

“Ngapain?” Mirna memilih untuk pura-pura tak tahu. 

“Ngajak aku keluar, makan siang di sekitaran alun-alun.”

“Kok enggak mau?” Mirna jadi penasaran. Untuk kali ini apa alasan penolakan Tala? Meski Mirna sudah bisa menebak karena kemungkinan kehadiran Jayden jawaban paling utama yang akan Tala beri. Atau masihkah Tala memungkiri? Mirna tak sabar jadinya.

“Netta sebentar lagi mau tidur siang. Habis makan buah juga dia tidur. Aku takut kalau Netta dibawa malah ganggu waktu tidurnya dan membuat Malik repot.”

Mirna berdecak. “Mana ada alasan begitu, Tala? Aneh pisan kamu, mah!”

Tala tersenyum saja. “Kalau sudah selesai, cuci tangan dan mukanya. Tidur, ya.”

“Iya, Bu.” Netta tak pernah mau banyak membantah ibunya. Kemarin Jayden berpesan, jangan sampai membuat ibunya sedih karena Netta tak mau mendengarkan ucapan sang ibu. Netta yang memang penurut, hanya mengangguk dan berjanji akan terus menjadi anak penurut pada Jayden.

Asal sosok pria itu kembali sabtu depan. Mengajaknya berenang di salah satu wahana renang yang tak jauh dari pusat kota.

“Sebentar lagi aku ke rumah Bu Ijah. Kamu mau di sini temani Netta?”

“Netta tidur di rumahku saja, Tala. Siapkan bajunya aja nanti biar mandi sore sama aku saja.”

Senyum Tala terukir tulus. “Terima kasih, Mir. Kamu teman terbaikku.”

“Ayo, cepat. Nanti kamu dimarahi Bu Nia baru tahu rasa.”

Tala tertawa saja. segera ia masukkan semua yang diperlukan termasuk baju yang baru kemarin dibelikan Jayden untuk Netta. Anaknya ngotot mau pakai baju itu padahal belum dicuci. Baju terusan bergambar Princess Elsa yang ia pilih dari sekian banyak baju yang kemarin Jayden belikan. 

“Lho, kamu belanja?” Mirna jadi penasaran. “Wah, bagus bajunya. Kapan kamu belanja, Tala?”

“Sabtu itu, lho, Jayden ajak ke Ayaran.”

Senyum Mirna terkembang lebar. “Sekalian mengulang kencan, ya?” Sengaja ia menaik turunkan alis meledek Tala. Yang mana wanita itu hanya memutar bola matanya dengan sebal. 

“Netta banyak beli baju sama Om?” tanya Mirna di mana gadis kecil itu baru selesai cuci tangan. Wajahnya juga agak basah karena dicuci asal. 

“Iya, Tante.” Netta kegirangan. Ia malah segera membuka lemari pakaiannya. Ada banyak yang Jayden beli untuknya termasuk sandal karet dengan karakter Princess Elsa di depannya. “Banyak yang Om beli, Tante.”

“Wah, Om kamu itu baik, ya,” kata Mirna dengan kerlingan jahil pada Tala. “Ibumu dibelikan apa?”

“Ibu enggak mau.” Netta mencebik kesal. “Om yang pilihkan tapi semuanya bagus. Aku suka.”

“Gitu, kok, masih mau menampik, Tala, Tala!” Mirna terkekeh. “Biar aku beritahu Malik untuk menyerah, Tala. Kasihan pria itu sepertinya mengharapkan sedikit perhatian kamu.”

Tala mengembuskan napas pelan. “Kamu tahu kenapa aku enggak ingin berhubungan dengan lelaki lain? Sampai detik ini?”

Berhubung Mirna penasaran karena sungguh, berteman dengan Tala beberapa tahun ini, baru sekarang ia agak terbuka. Apa Mirna perlu berterima kasih karena kedatangan Jayden? Jadi temannya yang seperti putri es batu ini perlahan mencair?

“Mereka semua hanya mau aku. Enggak mau apa yang ada di dalam hidup aku yaitu Netta. Aku bisa kenali itu, Mirna. Sama seperti Malik sekarang.” Jawaban Tala ditutup dengan senyum tipis. “Ada di situasi hidup seperti sekarang memang enggak mudah untuk aku. Tapi dari hidup yang kujalani ini, aku bisa memelajari orang di sekitarku.”

Pikiran Mirna tak seperti itu. Baginya selama ada yang bisa memberinya uang, dirinya tak menjalani hidup kekurangan, dan bisa bersenang-senang dengan apa yang ia dapatkan, kenapa tidak? Apalagi sampai ada yang bisa menjamin hidupnya dan sang anak. “Tapi kalau ada yang mau sama kamu dan Netta, mau hidupi kalian, kenapa enggak?” Ia suarakan juga apa yang ada di hatinya. 

Ucapan itu ditanggapi dengan seringai tak kalah tipis dari Tala. Tak ada yang salah dengan perkataan Mirna barusan. Seratus persen benar. Tapi ia tak terlalu menyetujui karena baginya, ia masih bisa mencari uang meski terbatas untuk Netta. Andai ia bersama pria lain, mungkin di awal sang pria menyukai Netta tapi di belakangnya? Lalu hadir anak lain di mana kasih sayang untuk Netta terbagi?

Bukahkah yang paling menderita di sini adalah hidup Netta? Sudah cukup ia ajak anaknya dalam garis derita. Ia tak mau ada banyak drama dalam hidup. Apalagi sampai membagi kasih sayangnya. Terjebak dalam hubungan yang menurutnya membuat sakit kepala. Tidak mau.

Barometernya menjalani adalah kedua orang tuanya. Saling mengasihi satu sama lain, bekerja sama untuk membangun apa itu ketulusan di dalam hidup. Meski Tala masih belum mengerti bagaimana cinta dewasa itu bekerja, tapi Tala tahu, rumahnya penuh akan hal itu. Ia hanya terjerumus dalam kata manis yang Jayden mainkan kala itu. Namun ia juga penasaran, bagaimana jika impiannya mengenai arti ‘rumah’ ia bangun bersama Jayden?

Saat memutuskan keluar dari rumahnya yang nyaman, sebagai konsekuensi atas apa yang ia perbuat, ia hanya ingin hidup berdua dengan Netta. Tak ada orang lain lagi. Mereka berdua saling menguatkan. Bukankah itu sudah cukup?

“Aku ragu cara mereka mencintai Netta, Mir.” Tala menyerahkan satu kantung berisikan pakaian yang sudah ia rapikan. Termasuk di dalamnya jajanan yang ia beli untuk Netta agar putrinya tak merepotkan Mirna.

“Kamu yang enggak mau membuka diri kalau begitu.”

“Aku mau membuka diri kalau kulihat dan kurasa, pria itu tulus menyayangi Netta. Bukan hanya aku.”

Mirna tertawa. “Kalau begitu sama saja kamu hanya menunggu Jayden datang dan kembali menjalin hubungan yang sempat putus. Lagian masa lalu kalian belum selesai, kan?”

Tala memilih tak menanggapi. “Aku berangkat, ya. Maaf merepotkan kamu menjaga Netta.”

“Iya.” Mirna pun bangkit dan bersiap keluar dari kontrakan ini. “Ayo, Netta. Ke rumah Tante.”

“Tunggu, Tante,” Netta tampak gusar. “Om di mana, Bu?”

“Ya?” Tala bingung jadinya.

“Om! Tadi ada Om di hape itu, Bu. Tapi sekarang hapenya enggak ada!”




 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Tala-Jayden
Selanjutnya ME AFTER YOU. [BAB 16 - BAB 18]
1
0
Spoiler :“Pak,” panggil Ari di mana membuat Jayden berjengit saking kagetnya. Hampir saja ponsel yang tadi ia genggam meluncur menghantam lantai. Ia pun segera memberi tatapan tak suka pada Ari yang kini menatapnya dengan heran. “Ada apa, Pak?”“Ada apa kamu tanya?” Jayden jadinya kesal. “Kamu mengagetkan saya.”Ucapan barusan membuat Ari meringis. “Maaf, Pak. Sejak tadi Bapak saya panggil tapi sepertinya Bapak enggak dengar.”Earphone yang Jayden kenakan, ia lepas dan letakkan kembali di tempatnya. Jayden menghela pelan karena mungkin sejak tadi dirinya sibuk memperhatikan Netta, tak mendengar kedatangan Ari. “Ada apa?”“Ada teman Bapak yang mau bertemu.”Alis Jayden bertahutan. “Teman?”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan