HANDLE ME. [28], [29], [30], & [31]

9
1
Deskripsi

Isi Konten :

[28] Bertemu Mami Farah

[29] Dijemput Daddy Raptor

[30] Membujuk Naina

[31] Jelang RUPS

[28] Bertemu Mami Farah

 

Buat Naina, merah itu melambangkan keberanian juga cinta yang besar. Ehm … juga sosok wanita yang mendadak ia gandrungi kehadirannya. Enggak pernah Naina lupa bagaimana telatennya wanita itu menasihatinya perkara mens pertamanya. Duh … sakitnya perut kala itu sampai buat Naina mau nangis. tapi mau berkeluh sama siapa?

Sementara dirinya gemetar ketakutan karena celana dalamnya mendadak ada noda merah.

Dia pikir, telat makan karena banyak kegiatan di sekolahnya yang enggak ada jeda sama sekali. dua porsi ayam tepung lengkap dengan soda serta es krim habis ia telan. Pakai bismillah, sih, makannya. Naina enggak lupa akan hal itu. Tapi setelahnya, ia kembali merasakan sakit perut yang sangat amat menyiksa. Sampai ditemani Pak Parjo ke toilet khusus perempuan di mana ia sangka, dirinya hanya kekenyangan.

Tapi begitu mendapati ada bercak darah di celananya, ia enggak bisa untuk diam saja. yang ada nangis ketakutan. Dan saat itu lah, sang bantuan datang.

Farah.

Bicaranya enggak ada kesan lembut. Matanya juga menatapnya dengan dingin macam Naina habis berbuat salah. padahal dia lho yang masuk ke dalam bilik toilet di mana ada Naina. Lantas menerangkan cara pakai benda yang menurutnya asing. Dia mana tau hal seperti ini. makanya, ia jatuh kagum pada kepribadian wanita berambut merah itu.

Ia buntuti setelahnya.

Enggak peduli kalau dimarahi, diketusi, atau disinisi oleh Farah karena ia yang enggak mau segera pulang. Dirinya juga mau pulang, apa yang akan dikerjakan di rumah? Enggak ada. semuanya sudah ada yang merapikan. Bahkan PR nya saja bisa jadi orang lain yang kerjakan. Kalau pun ia mendapatkan pengawasan dan banyak pertanyaan dari Daddy-nya, Naina selalu bisa menjawabnya. Dan kerja sama dengan Parjo biar enggak mendapatkan murkanya Tio.

Satu hal yang membuatnya melakukan tindakan gila; entah kenapa melihat Farah seolah ia melihat ibunya. potret sang ibu yang ada di ruang tamu rumahnya selalu ia pandangi lekat-lekat apalagi saat merindukan sang ibu. Dirinya ditinggalkan saat masih terlalu kecil. Dalam kecelakaan di mana katanya juga, ia ada di sana. jadi salah satu korban yang beruntung bisa terselamatkan.

Ia kejar sosok Farah sampai wanita itu kesal dan marah. Naina mana peduli. Inginya simple; Farah jadi ibunya. di samping Tio sebagai pengganti sang ayah. Makanya ia panggil Tio ‘Daddy’, tinggal mencari Mami, kan?

Tapi bukan Mami model gini juga!

“Kamu suka ini?” tanya Mirah sembari mengulurkan satu setel pakaian yang menurutnya cocok dipakai Naina. Sengaja ia jemput anak itu di sekolahnya. Enggak susah meminta alamat sekolah anak itu pada Bu Suny. Lagian terlihat wanita paruh baya itu enggak keberatan kalau cucunya ia dekati. Toh … kalau sang cucu dekat dengannya, bukannya gampang menarik perhatian incarannya?

Tio.

Sudah ia susun banyak rencana menggaet hati Naina termasuk menemaninya menghabiskan waktu berdua. Seperti sekarang. Ada di salah satu mall di bilangan Jakarta selatan.

“Enggak,” tukas Naina dengan ketusnya. “Tante mau belanja apa, sih? Aku capek banget, lho, ini. mau pulang. Kalau masih lama, Tante sendiri aja, deh.”

Mirah menghela pelan. “Niatnya Tante mau belikan baju kamu. atau sepatu? Tas mungkin?”

Tangan Naina mengibas pelan. “Banyak banget barang aku yang belum dipakai. Aku bisa dimarahi Daddy kalau beli lagi. kemarin sama Daddy dan Kak Ony sudah banyak bagianku.” Tangannya lantas ia lipat di dada. Matanya menatap jengkel pada wanita yang ada di depannya ini.

“Oke kalau gitu gimana kita makan siang dulu? Kamu belum makan, kan?”

“Sudah enggak lapar.” Sungguh, tadinya begitu masuk ke dalam mall ini, tujuannya jelas foodcourt. Menu pilihannya sudah ia gambar di kepala. Potongan daging di atas nasi dengan lelehan mentega, pipilan jagung manis, serta buncis yang ia sukai. Ia juga sudah bicara dengan Parjo untuk mengantarnya tapi sayang, si wanita berambut merah jadi-jadian ini bilang biar dirinya bersama Naina.

Tapi mana?

Malah diajak belanja! Enggak tau apa kalau lapar Naina bisa jauh lebih galak ketimbang biasanya? Lapar bikin otak enggak konsentrasi, kan? ditanya apa pun juga enggak nyambung. Tapi kenapa Mirah terus saja mendesaknya untuk mengikuti permintaannya?

“Mau makan apa? Roti manis? Es coklat? Ayam tepung?”

Naina enggak ingin banyak mendengar ucapan Mirah lagi. ia memilih untuk berjalan lebih dulu meninggalkan sosok wanita itu. untuk pertama kali dalam hidupnya, di mana semula ia merasa wanita berambut merah itu cantikn dan baik hati, ia benci. Terutama pada sosok Mirah ini. entah dari mana, sih, asalnya perempuan ini datang? Lagian kenapa Omanya kurang kerjaan sekali memperkenalkan Mirah di dalam hidupnya?

Katanya, “Nai harus bersikap baik dengan Mirah, ya. Orangnya baik, kok. Kalian pasti bisa bersabahat.”

Ngapain juga Naina diberi sahabat seperti ini? kalau Omanya bisa, bawakan Mami macam Farah, sabahat seperti Leony, dan teman berdiskusi macam Gio. Enggak perlu yang lainnya. tapi sang oma mana bisa, kan? dia juga sudah berjanji untuk enggak menghubungi Farah lagi kecuali dalam …

Ini urgent, kan, ya?

Seringai tipis muncul mendadak di belah bibir tipis Naina. Ia pun segera mengambil ponselnya. Sebelum mencari nomor Farah, ia berdoa dulu. Kata Leony, sebelum memulai sesuatu harus meminta pada Tuhan agar dipermudah. Ia hanya ingin diberi kelancaran menghubungi Farah dan dijemput di sini. semoga aja bisa.

“Nai?” panggil Mirah yang cukup terkejut dengan perubahan sikapnya yang mendadak. Padahal di mobil tadi, menurutnya enggak ada yang aneh. Anak itu mau diajak bicara dan sesekali menceritakan mengenai sekolahnya. Enggak ada pertanyaannya yang enggak dijawab Naina. Tapi kenapa sekarang malah berubah?

Dia juga sudah menawarinya makan, kan?

“Mami,” Naina berhenti melangkah. “Ehm … Tante, aku ganggu?”

“Kenapa, Nai?”

“Aku di PIM. Bisa bertemu?”

“Oh, kebetulan saya di PIM. Di Steak house. Kamu sama siapa? kalau ada Parjo, beri ponselnya ke Parjo. Biar saya minta dia temani kamu bertemu saya.”

“Enggak usah. aku bisa sendiri.”

“Bisa jangan membantah.”

Naina mencebik. “Oke.” Ia pun berbalik. “Tante Mirah, tolong antarkan aku ke Steak House.”

“Ya?”

“Bisa enggak?”

***

Farah memperhatikan dengan amat cara anak yang ada di depannya makan. Sesekali ia berdecak sebal karena enggak hati-hati kala mengunyah. “Mau tambah kentangnya?”

“Boleh.” Naina tersenyum lebar sekali.

“Kamu benar-benar seperti anak yang enggak keurusan, Nai.”

Naina tertawa. “Daddy mau rapat entah apa itu namanya. Bikin Kak Ony juga sibuk. Jadinya enggak ada yang perhatikan aku lagi, Mi, eh ... Tante.”

“Sudah lah. Terserah kamu mau panggil saya apa. Mami juga boleh.”

“Serius?” Naina mengerjap enggak percaya. “Mami enggak bohong, kan?”

Farah menggeleng pelan. “Habiskan makannya.” Lantas matanya teralih pada sosok wanita yang datang bersama Naina. Enggak banyak yang mereka bicarakan karena memang belum pernah bertemu sebelumnya. “Dimakan, Mirah. Atau lagi diet?”

Mirah tersenyum simpul. “Enggak, Mbak. Hanya membatasi karbo aja.”

Farah mengangguk paham. Menyuap santai salad pesanannya. Ia berada di sini sekadar menghabiskan waktu. Putrinya mendadak ingin makan masakannya tapi enggak di apartemen. Inginnya duduk bersama di meja makan kos sang suami sebelum mereka pindah ke BSD.

Rumah yang dalam tahap renovasi itu sudah selesai penataannya. Berikut rumah yang Robert sediakan untuk mereka tinggal. Makanya ia cukup terkejut mendapati telepon dari bocah yang menurutnya menyebalkan tapi di satu sisi, ia kasihan.

“Saya tebak, pasti Mbak Farah ini Mami yang sering diceritakan Naina.”

“Mungkin,” sahut Farah singkat. “Nai, potongan dagingnya terlalu besar itu. kamu enggak bisa ngunyah nantinya.” Farah kembali berdecak. “Saya mau bantu kamu enggak kasih.”

“Nai sudah besar, Mi. Bisa sendiri. Kak Ony bilang aku harus mandiri.”

“Betul yang Ony bilang. Tapi enggak gitu juga. Kalau kamu tersedak?”

Naina nyengir lebar. “Biasanya Kak Ony yang bantu, berhubung enggak ada, Mami boleh bantu?”

Farah memutar bola matanya tapi enggak menolak. Mana bisa ia menolaknya saat mata itu menatapnya dengan riang. Naina, hanya gadis kesepian yang egois.

“Sudah telepon Daddy kamu?”

Naina mengangguk cepat.

“Nanti disusul Daddy dan Kak Ony. Jadi aku boleh main dulu di sini sampai mereka selesai.”

Farah mengangguk pelan. potongan daging itu diiris jauh lebih kecil agar Naina bisa menyantapnya dengan nyaman. Farah minta agar porsi kentangnya ditambah karena sepertinya, anak ini belum makan padahal jam sudah menunjuk angka tiga. Astaga. Kalau seperti ini terus bisa-bisa Naina terkena asam lambung?

Yang benar saja!

Sementara Mirah enggak ubahnya seperti patung yang enggak mengerti apa pun. ia sendiri mau menawarkan bantuan pada Naina, gadis kecil itu sama sekali enggak ingin dibantu. Tapi di depan Farah, terlihat sekali kalau ada kemanjaan di sana. Padahal niatnya Mirah ingin mendekat dan akrab dengan Naina dari waktu ke waktu. Eh … malah mendapatkan hal seperti ini.

“Saya enggak bisa temani Naina lebih lama, Mirah. Saya harap kamu menjaganya dengan baik.”

“Iya, Mbak. Jangan khawatir masalah itu.”

Senyum Farah timbul lagi tapi kali ini sedikit ia condongkan tubuhnya pada Mirah yang duduk di sampingnya. Enggak mungkin ia bicara di mana Naina bisa mendengarnya. “Anak kecil paling tau mana yang tulus, mana yang enggak. saya enggak peduli tujuan kamu apa, tapi yang perlu kamu tau, Naina gadis yang butuh perhatian ektra double. Enggak gampang meruntuhkan kekeras kepalaannya.”

Mirah menelan ludah gugup.

“Saya hanya mengenal Tio sesaat. Enggak banyak yang kami obrolkan kecuali Naina. Melihat kehadiran kamu sekarang, saya merasa kalian ada hubungan khusus?”

“Bisa dibilang gitu, Mbak.”

Farah kembali tersenyum lebar. ia pun kembali duduk dengan santainya. Melipat kakinya dengan anggun. Gaun soft cream sebatas betis itu sedikit tersingkap di bagian kakinya. Menampilkan betapa kaki Farah, putih mulus terawat. Rambutnya yang kini sedikit lebih gelap, pas sekali bersanding dengan bentuk wajahnya. juga riasannya yang enggak terlalu tebal.

“Saya doakan semoga hubungan kalian lancar.”

“Apa yang lancar?” sela Naina.

“Kamu sebentar lagi ujian, kan, Nai?’ Farah mengalihkan topiknya dengan cepat.

“Iya. Kak Ony banyak ajarin aku mengenai materi yang enggak aku tau.”

Farah mengulum senyumnya tipis. “Hebat, ya, Kak Ony?”

“Hebat banget, Mi. Enggak tau, deh, dia tuh bisa aja bantuin kerjain PR aku. kemarin aku dapat nilai B plus untuk hasta karya patung burung dari tanah liat. Padahal dikerjainnya malam, lho. besok aku ada tugas buat peta dunia. Sudah bilang sama Kak Ony, sih. Makanya nanti malam Kak Ony datang.”

“Syukurlah. Naina sudah punya teman, kan?”

“Iya.” Naina tertawa lebar.

Mirah yang mendengar semua hal yang Naina katakan, terasa enggak suka dan ada yang menyulut api di sekitar tubuhnya. Makanan yang ada di depannya ini enak, ia tau itu. tapi karena berulang kali nama Leony disebut tanpa beban, serta ada keriangan di sana, membuat Mirah enggak terima.

Dia sudah berusaha, lho, untuk mendekati Naina.

“Saya permisi sebentar, Mbak.” Ia enggak tahan juga akhirnya. Sedikit menepi ditambah ia juga harus melaporkan tingkah cucu dari Suny ini dengan segera. Meski kepalanya dipenuhi amarah, tapi Mirah berhasil keluar dari restoran itu tanpa perlu berjalan dengan entakan. Biasa saja. padahal matanya menatap sinis pada siapa pun yang berani melirik ke arahnya.

Ditariknya napas panjang sebelum akhirnya ia pun merogoh tasnya. Mengambil ponsel yang ada di sana, menghubungi seseorang sekadar untuk memberitahu posisi terakhirnya kini.

“Saya di PIM dengan Naina,” kata Mirah berusaha seringan mungkin. “Bersama Naina saya, yah … habiskan waktu.”

“Kalau cucu saya memang terlalu keras kepala untuk didekati, jangan dipaksakan, ya, Mirah. Saya sudah peringati sejak awal.”

Mirah terdiam.

“Saya minta kamu datang dan berkenalan dengan Tio. Tapi kalau Naina yang enggak menerima, jangan dipaksa karena memang anak itu enggak mudah akrab dengan orang lain.”

“Iya, Bu.”

“Semoga jalan kali ini, kalian bisa tambah akrab ya.”

Andai saja … astaga, Tuhan!

“Yah … saya sendiri jadinya pusing dengan respon Tio ke kamu. Jangan terlalu diambil hati, ya, Mirah?”

“Enggak, Bu.” Mirah mencoba tersenyum kembali. “Saya sadar diri, kok.”

“Seharusnya enggak jadi masalah kalau hanya berkenalan aja. Cuma memang anak Ibu ini luar biasa keras kepalanya. Wajar aja single terus.”

“Atau malah sudah punya wanita idaman yang enggak Ibu tau?”

Agak lama Suny terdiam. “Saya enggak tau kalau itu. andai pun ada, saya senang sekali. paling enggak, anak saya enggak terus menerus kerja keras.”

Mirah mengepalkan tangannya.

“Saya sering bercerita mengenai Tio, kan? Saya seperti kehilangan anak satu-satunya sekarang. yah … mau marah dengan takdir juga percuma, kan, Mirah?”

“Iya, Bu.”

“Ya sudah. Setelah puas bermain dengan Naina, kamu bisa kembali ke rumah. Saya siapkan makan malam spesial kali ini.”

Dalam komunitas yang mana Mirah serta Suny sebagai anggota, posisi Suny memang paling dihormati di sana. selain jabatannya sebagai ketua, banyak hal yang Suny lakukan untuk komunitas. Mirah bagian dari partisipan yang banyak berkontribusi serta berhubungan dengan Suny. Apa pun yang Suny katakan di komunitas itu, enggak ada yang enggak menuruti. Semuanya bahu membahu membantu Suny termasuk Mirah.

Makanya begitu ia diajak bicara mengenai keluarganya, terutama sang putra, ia cukup penasaran. sayangnya … ia lupa, itu hanya sebatas cerita dan berkenalan semata. Enggak ada keinginan lebih.

“Aku mau ikut Mami Farah belanja buah. Kalau Tante Mirah enggak mau ikut, bisa pulang bersama taksi.”

Mirah mengerjap heran.

“Naina,” kata Farah dengan nada penuh peringatan. “Enggak baik bicara gitu.”

“Kan, aku benar, Mi?”

Farah menggeleng pelan. “Kayaknya memang Naina hobi sekali kalau bicara itu memancing emosi seseorang.”

Atas ucapan wanita cantik di depannya ini, Mirah tertawa. Setuju karena apa yang dikatakan itu benar.

“Saya mau ajak Naina belanja buah. Stok buah di kulkas anak saya sudah habis. Naina juga tunggu Daddynya jemput, kan?”

“Iya, Mi.” Naina sudah menggandeng tangan Farah. “Ayo, buruan.”

“Saya ikut, Mbak. Naina ada di bawah tanggung jawab saya.”

“Saya senang mendengarnya.” Farah tersenyum lebar.

“Ehm … Mami, kakak rambut pirang itu namanya siapa, deh?”

“Rindu,” sahut Farah singkat.

“Oke, Kak Rindu. aku boleh bertemu?”

“Untuk?” Farah penasaran juga.

“Minta maaf.” Naina sedikit menunduk. “Saat di rumah sakit, aku tau aku salah. Kak Ony bilang, harus minta maaf kalau salah.”

 

 

 


 

[29] Dijemput Daddy

 

Naina duduk dengan riang. Mukanya penuh sama tawa juga boba di tangannya sesekali disedot isinya. Berdecak sembari merem melek merasakan manis bercampur dengan masam dari strawberry smoothies pesanannya. Sementara dua orang di depannya hanya beradu pandang dengan tatapan maklum, lantas salah satunya mulai menyalakan mesin mobil.

“Senang, ya, Nai bertemu Mami Farah?”

“Iya dong.” Naina tertawa. “Tadi aku temani Mami belanja buah. Minggu depan aku diperbolehkan main ke rumahnya. Sekalian minta maaf sama Kak Rindu.”

“Rindu?” Tio membeo. “Kamu mau bertemu dia?”

Naina tanpa ragu mengangguk. “Aku punya salah, Daddy. Harus minta maaf, kan?”

Tio mengangguk meski heran. Mengingat pada bagian mana sama Naina, di mana ingatannya mendadak terhenti pada kejadian di rumah sakit. “Ah, kamu memang harus minta maaf sama Kak Rindu, sih.”

“Ya, kan?” Naina kembali menyedot smoothiesnya. “Kenapa aku Cuma boleh beli satu? Enggak boleh dua? Pelit amat.”

“Nai,” kata Leony memperingati.

“Aku sudah makan, Kak Ony. Bareng sama Mami. Bukannya tadi Kak Ony bicara sama Mami, ya?”

“Memang Kak Ony bicara sama Mami, ngomongin kapan kamu makan ada apa yang kamu telan?”

Naina cemberut. “Serius, deh. Ini enak, Kak. Enggak boleh beli lagi?”

“Jangan terlalu banyak konsumsi gula sama boba, Nai.” Kali ini Tio yang bicara. “Minggu depan masih ada. Mulai sekarang kamu jangan terlalu sering makan yang sembarang.”

“Tapi aku enggak sakit, lho, Daddy.” Naina memilih mendekat pada Tio yang kini sibuk memfokuskan diri pada setirnya.

“Meski sudah makan, tapi memang enggak bagus terlalu banyak minum seperti itu, Nai.” Leony sedikit mencondongkan diri pada gadis yang kini merengut menatapnya. “Kalau jus buah boleh deh.”

“Mami tadi beli buah banyak. Nai dibelikan.”

Leony tersenyum lebar. “Tadi Mami juga bilang sama Kak Ony. Termasuk kasih resep jus yang enak.”

“Benar?”

“Nai mau?” Leony menyeringai penuh arti.

“Mau.”

“Oke. Nanti di rumah, Kak Ony buat ya.”

“Daddy juga,” sahut Tio cepat. “Yang bisa bikin muka glowing gitu, Mami Ony.”

“Diam!” Ony melirik sinis pada Tio yang mana pria itu malah terkekeh. Pun Naina yang ikutan tertawa mengikuti tingkah Daddy-nya.

“Mami Ony? Kok, lucu sih. Macam Mami Farah aja.”

“Ngawur! Lucunya di mana? Kak Ony belum punya anak, ya. Kalau Mami Farah, mah, wajar. Ada Kak Rindu, kan?”

Padahal maksudnya Naina bicara ‘lucu’ seperti itu bukan mengarah pada punya atau enggaknya anak pada diri Leony. Tapi pada sapaan yang menurutnya tepat disemat untuk gadis berponi serta masih setia dengan kacamata burung hantunya itu. namun mendengar tanggapan Leony barusan, membuat Naina terdiam. Enggak jadi larut terlalu lama pada tawa yang masih tercipta di bibir Tio.

Ia pun memilih bersandar pada kursi penumpang di belakang. Smoothiesnya enggak lagi seenak tadi. Ia letakkan begitu saja di sisinya. Andai tumpah, ia enggak peduli. Padahal tadi ia habiskan sebagian waktunya berkeliling area supermarket bersama Farah, cukup menyenangkan. membantunya memilih buah pun dirinya dibekali satu kantung berisi buah yang ia gemari.

Saat dijemput Tio dan Leony, keriangannya makin jadi. Ia banyak berceloteh ini dan itu, menceritakan apa pun yang didapatkannya selama bersama Farah. Mirah? Ehm … enggak terlalu ia pedulikan. Hanya mengekori Naina dan enggak bisa menghentikan apa pun yang ingin ia lakukan di sini. kadang malah ia dimarahi Farah. Katanya, “Enggak sopan bicara seperti itu pada Tante Mirah. Beliau yang temani kamu di sini, Naina.”

Kalau sudah ditegur seperti itu, yang bisa Naina lakukan hanya menunduk seraya minta maaf.

Lantas membiarkan Leony entah bicara apa dengan Farah karena ia keburu menarik Tio. seraya merengek minta satu kantung camilan yang enggak mungkin ia setujui dibelikan Farah. Dirinya diberi kartu tersendiri dari Tio. enggak mungkin enggak ada saldonya. Yang mana bisa ia bayarkan semua keinginannya dalam hal jajan. Tapi berhubung ada Tio di sini, Naina enggak akan keluarkan kartunya.

Juga enggak mungkin menolak saat satu kantung berisi buah yang Farah beri untuknya tadi. Katanya, “Kamu banyak kegiatan di sekolah, kan? Kalau enggak suka vitamin, makan buahnya jangan sampai kelupaan.”

Enggak. Farah enggak banyak bicara. Dia jawab apa pun yang Naina tanya dengan singkat. Tapi semua ucapan Farah ia rekam baik-baik. Enggak, kok. Naina sudah enggak ada keinginan menggebu untuk menjadikan Farah ibunya. untuk apa? Bisa-bisa Naina mendapatkan lirikan sinis lagi. enggak bisa menelepon atau sekadar berkirim pesan lagi. Dia kehilangan, lho. makanya enggak berani berulah.

Namun berbeda dengan Leony. Yang tiap kali ia bertanya, malah banyak bicara dan makin seru percakapan mereka. Naina macam bertemu teman ngobrol yang seru dan enggak membosankan. Ada saja tingkah Leony yang menurutnya seru dan menyenangkan. Meski begitu, ucapan Leony juga enggak bisa dibantah dengan mudah. Entah bagaimana cara Leony memberitahunya, tapi yang jelas Naina enggak bisa segera menyanggah. Yang ada malah berpikir untuk enggak macam-macam.

Naina menghela pelan. matanya kembali melirik pada sosok Leony yang terhalang sandaran kursi.

Di sisi lain, Leony merasa ada yang berbeda. Naina enggak lagi bicara dan dari spion tengah, gadis itu malah duduk dengan muka agak murung. “Nai?” panggilnya pelan sembari menoleh.

“Ya?”

“Mau kutemani bertemu Kak Rindu?” tawar Leony yang rasanya ingin sekali berpindah ke belakang. Duduk di sisi Naina sembari menjelaskan kalau panggilan, ehm … apa tadi? Mami Ony? Ya Tuhan! Enggak adakah yang lebih gila ketimbang itu? “Pak, saya mau loncat ke belakang boleh enggak?”

Tio sampai terbeliak dengan permintaan Leony. Bisa kah ditahan? Mana bisa! di saat yang bersamaan dengan kalimat itu meluncur, Leony enak banget melepas sepatunya. Menyingkirkan tasnya sedikit, mengangkat pakaiannya biar enggak terlalu menganggunya saat pindah ke belakang.

“Ony! Hati-hati!” Tio benar-benar enggak sangka kalau Leony bisa berbuat senekad ini. memang, sih, badannya kurus dan bisa semudah itu pindah. Tapi, kan? Astaga! Tio kehabisan kata-kata. Ditambah enggak ada rasa bersalahnya sama sekali pula. Malah nyengir lebar seolah tingkahnya ini bisa dimaklumi Tio.

Kalau ada Leony serta Naina di saat yang bersamaan, kadang Tio harus rela mendadak dewasa seperti sekarang. Meski nantinya ia berubah menjengkelkan dan menyusahkan Leony. Yang mana lebih banyak porsi di sisi Tio yang menyebalkan tapi ia enggak masalah. Enggak diprotes Leony, kan? Sampai detik ini belum pernah ada kata protes meluncur dari bibir sang asisten.

“Bisa geser minumnya enggak?” tanya Leony memecah canggugn di antara mereka. Leony tau, ada sesuatu yang mengganjal di mana membuat Naina enggak lagi bersuara. Topik mengenai Farah enggak akan habis dibahas gadis itu sampai beberapa hari ke depan.

Kalau perkiraannya benar, Naina membungkam suaranya saat Leony menyinggung perkara panggilan ‘Mami’ untuknya. Sungguh, itu berat. Enggak mudah kalau sampai Naina ucapkan hal itu di depan umum, bisa jadi dirinya banyak mendapatkan pertanyaan dari berbagai sisi. Enggak. dirinya aja belum bisa meneguhkan hati perkara pernyataan Tio saat itu

Kelihatannya serius, sih, tapi Leony enggak bisa mudah percaya. Bukan apa. Ada di sisi Tio beberapa tahun membuatnya hapal mengenai kebiasaan pria itu dalam berucap. Kendati begitu, ia enggak bisa sembarangan menanggapi atau mengabaikan ucapan sang bos. Perlu ia telaah dan pelajari lebih dalam.

Tapi itu nanti.

Masih bisa ia pikirkan. Yang harus menjadi fokusnya sekarang adalah Naina.

“Bisa sendiri, kan? Lagian ngapain Kak Ony di sini?” Naina berkata agak sinis. Langsung menggeser tubuhnya sampai ke dekat pintu.

“Enggak mau ditemani Kak Ony?” Leony menyeringai tipis. “Padahal mau cerita tentang resep jus buatan Mami Farah.”

Naina hanya melirik tanpa minat.

“Kata Mami, kamu itu butuh buah naga, pisang, dan mangga. Dijadikan smoothies gitu. Mau pakai madu atau gula tapi enggak bisa banyak. Dikit aja.”

“Gula,” sahut Naina singkat. “Aku enggak suka madu.”

“Nanti bantu Kak Ony prepare buat smoothiesnya, ya.”

“Sama Bi Muji aja. Aku capek.” Naina melengos.

“Capeknya kenapa?” Leony tersenyum tipis. Ia pun memosisikan diri menghadap sedikit pada Naina. “Padahal tadi Tante Mirah bilang, kamu bersenang-senang sama Mami Farah. Tante Mirah kamu abaikan.”

“Ya lagian ngapain dia jemput aku? rajin banget. aku biasanya juga sendiri. Dan asal Kak Ony tau, ya. Dia itu ribet banget, Kak. Masa disuruh milih baju yang enggak ingin aku pakai? Padahal aku lapar, lho. Aku telat makan tadi. Untung aja ketemu Mami.”

“Jadi tadi makan juga dibayarin Mami?”

“Iya.”

“Daddy sudah bilang, lho, Nai. Kalau makan—“

Ucapan Tio enggak sampai selesai terucap lantaran ia merasakan satu usapan lembut tepat di lengannya. Saat Tio melirik, tangan Ony di sana. lengkap dengan wajahnya yang tersenyum tipis di mana tanpa suara seolah mengatakan, “Biar aku aja yang bicara sama Naina.”

Yang mana segera saja Tio kembali menutup mulutnya. Fokus pada setir adalah paling bagus untuknya sekarang. Seperti biasanya, Leony paling bisa membuat Naina merasa lebih baik. Pastinya. Meski tadi agak terkejut juga saat Naina mengatakan ‘Mami Ony’. Seringai licik mendadak ia ciptakan berikut dengan banyaknya agenda di kepalanya.

Tio itu aslinya sosok perencana. Meski terkesan amburadul dan seenaknya, tapi percayalah Faldom di tangannya berjalan sesuai dengan rencana yang ia susun di otaknya. Sama seperti dirinya yang sering merencanakan perjalanan ke luar negeri demi festival yang akan berlangsung di sana, atau sekadar menyelupkan dirinya pada laut yang biru jernih, bermain dengan hiu atau paus di sana. Harus matang perencanaannya agar enggak menganggu kerjanya yang meski mobile, tapi ada tanggung jawab di sana.

Makanya untuk kali ini, Tio harus buat planner khusus.

‘Cara menaklukan Mami Ony.’

Sepertinya itu hal yang harus ia kerjakan sekarang. Ini semua berkat siapa? Naina, lah! Anaknya itu memang membuat idenya berkembang pesat. Haruskah ia belikan boba tadi sebagai hadiah khusus?

Lanjut pada interaksi kedua perempuan di belakang yang mana salah satunya menatap Leony dengan kesal.

“Ya aku mana tau kalau dibayarin sama Mami.”

“Iya, enggak apa. Nanti Kak Ony sampaikan terima kasih khusus juga permintaan maaf karena bisa jadi kamu ganggu Mami Farah lagi makan? Tadi bertemu Mami, saat beliau sama siapa?”

“Sendiri, Kak. Malah saat aku datang, sudah ada steak yang siap aku santap. Berhubung aku lapar, aku pesan kentangnya double.”

Leony mendesah pelan. Ia menghitung jam pulang Naina serta perjalananya sampai mall tempat tadi mereka bertemu. Lantas jam di mana bocah ini bersama Farah. Astaga. Ada jeda cukup lama di mana seharusnya Naina sudah makan. “Perut kamu sakit enggak?”

“Tadi iya, sekarang enggak.”

Gadis berkacamata itu pun menghela panjang. Ia pun bergegas mengambil tasnya, merogoh cepat demi mendapatkan sesuatu di mana obat pereda nyeri lambung ia keluarkan. Dipatahkan jadi dua dan segera ia berikan pada Naina. “Aku tau ini enggak ada efeknya, tapi paling enggak, biar kamu enggak terlalu sakit saat nanti kita makan malam.”

“Pahit enggak?” tanya Naina mengernyit takut pada obat berwarna hijau ini.

“Enggak. Agak mint gitu rasanya.”

“Enggak ada air putih, Kak Ony. Masa aku tenggak gitu aja?” Pokoknya Naina itu benci banget sama obat. Rasa pahitnya selalu nyangkut di tenggorokan enggak mau hilang. Belum lagi efek yang ditimbulkan untuknya, bisa muntah karena enggak mau masuk—Naina menolak minum obat makanya muntah karena dipaksa minum. Andai dijadikan serbuk sekalipun, ia masih harus menghilangkan rasa pahitnya dengan makan pisang.

Banyak.

“Enggak ada penawarnya, Kak.” Naina menyingkirkan obat itu dengan segera. “Aku enggak apa-apa, kok.”

Leony tersenyum tipis. “Sekarang enggak apa-apa. Takutnya saat makan malam perutmu perih, Nai.”

“Enggak ada pisang,” sahut Naina beralasa.

“Ada, kok.” Leony mengangkat kantung belanja berisi aneka buah di dalamnya. Yang mana ada pisang yang terlihatminta perhatian gitu. Ini sudah membuat Naina mencebik enggak suka. “Dikunyah juga enggak apa-apa, Nai. Enggak pahit, kok.”

“Kalau pahit?”

“Ya … kita mampir beli cokelat.”

Naina mencibir. “Itu mah kesukaannya Kak Ony. Aku mau boba lagi kalau ini pahit.”

***

Leony enggak pernah peduli siapa pun yang datang ke rumah yang ditinggali Naina juga Tio (terkadang). Karena Leony tau, Tio seringnya pulang ke apartement. Sekarang aja enggak ada angin, enggak ada hujan, cuaca Jakarta juga lagi panas mentereng enggak mendadak hujan deras menyebabkan banjir. Apalagi sampai timbul putting beliung yang memporak porandakan seantero ibu kota ini.

Jangan sampai, ya! Astaga! Leony enggak bisa bayangkan kalau sampai itu terjadi.

Tio akhir-akhir ini sering pulang dan bersikap layaknya pria yang punya anak. Etapi Tio ini memang belum punya anak, kan? Naina hanya keponakan yang kebetulan ditinggal selamanya oleh kedua orang tuanya. Yang mana juga paling disayang sama Tio. Dan diumumkan secara resmi, sejak pertama kali Leony berjumpa dengan Tio di rumah sakit, kalau Naina adalah anaknya.

Enggak jadi masalah, sih.

Tapi …

“Kalian baru sampai?” tanya Suny yang tampak semringah mendapati sang cucu dan Leony serta Tio memasuki ruang tamu.

“Iya, Oma.” Meski neneknya cerewet dan kadang nyebelin di mata Naina, tapi tetap saja ia menyayangi wanita paruh baya yang merentangkan tangannya. Memintanya untuk masuk dalam pelukan. Enggak bisa Naina tolak kalau begitu.

“Gimana main di mallnya? Seru?”

“Seru.” Naina mengurai pelukannya. “Selalu seru kalau sama Mami Farah.”

“Iya, tadi Tante Mirah cerita kalau kamu bertemu dengan Mami Farah.” Suny tersenyum penuh arti. “Tante Mirah baru selesai masak sup. Kamu harus coba. Tadi Oma sudah coba dan enak rasanya.”

Naina menatap wanita berambut merah yang tersenyum padanya. Sebenarnya, di antara wanita yang pernah ia temui, Mirah paling baik. Enggak banyak tingkah dan enggak menatapnya sinis juga bermusuhan. Tapi karena Naina sudah keburu jengkel karena menurutnya, Mirah enggak memperhatikan dirinya dengan baik. Jadinya … “Aku mau smoothies, Oma. Alpukat kayaknya enak, Kak Ony. Biar perut aku kenyang juga. Aku butuh makan yang lembut kayaknya. Perut aku mulai sakit.”

Leony segera mendekat. “Serius?”

“Iya. Kak Ony bilang, telat makan enggak langsung merasa perih, kan?”

Suny kebingungan. “Telat makan?”

“Buatkan, Kak. Aku di kamar.”

“Kok, bisa Ony?” Suny bertanya dengan nada khawatir setelah Naina meninggalkannya.

“Saya buatkan bubur dulu, Bu.”

“Mama jangan tanya Ony, lah. Mana dia tau. Kami jemput pas Naina sudah bersama Farah. Mama enggak tanya sama Mirah?” Kali ini Tio yang bicara. Dia enggak tuli, kok, mendengar ocehan Naina yang tumpah setelah banyak pertanyaan pancingan dan jadinya membuat bocah itu enggak berhenti ngoceh.

Inginnya marah sama Mirah, tapi Tio sadar, enggak bisa marah begitu saja di depan sang ibu. Maka … membalikkan keadaan adalah hal yang paling benar, yang bisa ia lakukan.

“Mirah?”

 

 


 


 

[30] Membujuk Naina

 

Bikin PR untuk Naina itu sebenarnya jauh lebih susah dibanding mengerjakan report yang Tio inginkan. Selain karena tingkat cerewetnya si anak Raptor ini melebihi kapasitas, dirinya juga enggak gampang puas. Ada saja bagian yang menurutnya enggak sesuai. Kurang ini lah, enggak harus ada bagian yang itu lah, berganti model dan maunya yang enggak sesuai dengan yang diperintahkan. Tapi kalau sudah jadi, minta kembali ke mode semula.

Memangnya tangan Leony ini berbasis windows 10 yang bisa kembali ke mode default?

Astaga! Untung Leony sudah tahan banting. Enggak sampai bikin dirinya ngamuk karena tingkah Niana yang bikin capek. Namun lebih dari apa pun, Leony aslinya senang menghabiskan waktu bersama Naina. Meski di sela kebersamaan mereka, Haikal telepon dan merengut karena Leony lebih memilih berlama-lama di rumah Naina ketimbang pulang.

Pulang.

Kata yang ingin sekali Leony tancap di hatinya. Yang membuatnya melayang pada serangkaian kenangan manis di mana Leony enggak mudah untuk lupakan. Hanya sesekali, sih, ia ingat karena sungguh. kenangan manis itu rapuh sekali. mendengar bentakan serta makian dari ibunya saja, sudah mampu membuat memori itu makin hancur tak bersisa.

Tapi sekali lagi, yah … Leony juga malas mengingatnya. Kalau saja ia tak ingat kedua adik yang butuh dirinya, ia tak ingin berlama-lama pulang.

“Kak Ony pulang, ya.” Leony mengusap puncak kepala Naina penuh sayang. “Tadi Kak Ony sudah kirim pesan sama Tante Farah kalau minggu kita main ke sana.” Panggilan Mami sekarang benar-benar dikoreksi oleh Leony. Bukan enggak boleh, tapi ia sendiri juga takut menimbulkan tanda tanya, kan? apalagi sampai menyeret Farah lagi. jangan sampai, deh.

Bicaranya, sih, sanatai. Gestur tubuh wanita cantik itu juga enggak terlihat keberatan. Tapi Leony sungkan untuk berlama-lama berbincang padahal banyak yang ingin ia tanyakan. Tapi yang paling penting, sudah ia katakan rasa terima kasihnya karena mau menemani Naina. Bertemu Naina dan enggak menghindari bocah yang kini memenuhi netranya.

Sang bocah sudah dalam keadaan rebah. Pakai piyama Hello Kitty. Tas sekolahnya juga sudah dipersiapkan jangan sampai membuatnya kembali terlambat seperti yang sudah-sudah. Juga tugas menggambarnya Leony pastikan masuk ke dalam tas berwarna pink berpadu dengan ungu cerah itu.

“Oke.” Naina sedikit mencondongkan wajahnya. Memberi kecupan singkat pada Leony sebagai balas atas semua yang dilakukan gadis berponi ini lakukan. berterima kasih seklai dirinya karena PR nya selesai dengan hasil yang sangat memuaskan. Menurutnya, lho, ya. Tapi misalnya sang guru bilang hasilnya hanya biasa saja, enggak masalah. Yang penting Naina sudah berusaha untuk membuatnya sebagus mungkin.

Leony, sih, yang membuatnya. Naina hanya bantu sebagian saja.

“Sampai bertemu di hari Minggu.” Leony tertawa karena kecupan tadi.

“Besok enggak ke sini, ya? Kalau besok aku ada PR bahasa inggris? Matematika?”

Leony mengulum senyumnya. “Bisa telepon nanti.” Ia pun mengambil tas miliknya yang diletakkan tak jauh dari nakas samping ranjang Naina. “Kakak pulang, ya.”

“Hati-hati. Diantar Pak Parjo, kan, ya?”

Leony enggak mengatakan apa pun kecuali kembali mengusap rambut Naina. “Selamat malam, Little Rabbit. Mimpi indah, ya.”

Ia harap, Naina menyukai pesan selamat malam serta panggilan spesialnya barusan. bukan apa. Hanya karena ucapan kecil seperti ini saja, sudah membuat hati yang kesepian enggak merasa sendirian. Serius. Leony merasakan itu, kok. Dulu, ibunya terkadang melakukan hal yang barusan Leony lakukan pada Naina. Panggilan Sweetie membuat mimpinya indah sekali. Sayang … Abigail yang dulu berbeda sekali dengan Abigail yang sekarang.

Entah larinya ke mana sosok yang dulunya hangat itu.

Padahal Leony sudah usahakan yang terbaik tapi tetap saja. ia juga manusia yang punya titik lelah. Titik di mana ia enggak ingin kembali pulang kalau dirinya, hanya sebatas alat pencari uang. Katanya, semua kebangkrutan yang ayahnya alami berasal darinya. Leony heran, korelasi dari mana coba dirinya yang membuat ayahnya kolaps? Jelas kalau sang ayah ini hobi banget judi dan taruhannya enggak main-main.

Sementara itu, Tio yang duduk di ruang tamu sejak tadi memang sengaja menunggu Leony turun. Dia enggak mau ganggu kegiatan Leony serta Naina belajar. Bisa diusir Naina. Galaknya anak itu padahal Tio sekadar melongok.

“Kamu yakin enggak mau dekat dengan Mirah?” tanya Suny yang mendadak membuat Tio menoleh.

“Kupikir Mama sudah tidur.” Ia pun segera bangun dari duduknya karena sang ibu membawa nampan berisi dua cangkir. Di mana bisa ia hidu aroma teh yang pernah ia cicipi di kantor. “Dari Tante Yesy, ya?”

“Iya. Tehnya enak, kan?”

“Teh itu enak kalau yang buat pintar, Ma.”

Suny berdecak kesal jadinya. Satu jeweran ia beri pada telinga Tio. biar saja kalau sang anak merintih kesakitan. bukannya terima kasih, malah mengejeknya. Memang, sih, belum memberi komentar kalau teh buatannya enak atau enggak. Tapi dari caranya bicara, seolah Suny ini enggak pandai meracik teh.

“Telinga aku bisa putus kalau Mama tariknya sekeras tadi,” keluh Tio yang meringis pura-pura kesakitan. merajuk adalah hal yang ia lakukan sekarang. Nampannya selamat sampai di meja yang ada di meja tamu, kok. Enggak ada kejadian di mana tumpah dan gelasnya pecah. Menimbulkan gaduh sampai membuat sekuriti rumah ini mendekati mereka.

“Coba dulu makanya.” Suny masih merengut tapi kemudian ia tetap menunggu responnya Tio. jarang sekali dirinya menyeduh teh oleh-oleh dari Yesy. Sayangnya wanita paruh baya itu enggak mau menginap lebih lama. Katanya ada urusan yang harus membuatnya keluar kota dulu sebelum nanti kembali lagi saat rapat komisaris di Faldom.

Atas desakan ibunya, Tio akhirnya mengalah. Padahal ia enggak terlalu suka dengan teh kecuali buatan Leony. Pekatnya aroma teh yang gadis itu buat pas. Manisnya apalagi. Tio bukan penggemar makanan atau minuman manis. Sekadarnya saja. Tapi teh yang Leony agak paksakan saat itu, membuatnya sedikit menikmati. Makanya ia mencoba sekali lagi, juga untuk memperbandingkan, sih. enakan buatan siapa.

“Tuh, kan. apa aku bilang.” Tio langsung meletakkan gelasnya. Bukan karena enggak sopan terhadap sang ibu yang sudah bersusah payah membuatkan dan menyajikan minum untuknya. “Ini terlalu manis, Ma.”

“Masa, sih?” Suny pun mengangkatcangkir bagiannya. Menyesap pelan cairan agak pekat yang masih hangat. Menikmati aroma yang menguar dari dalam isinya. “Ehm … iya, ya. Ini kemanisan untuk kamu.”

“Mama juga jangan terlalu manis minumnya. Dijaga kadar gulanya.”

Suny mencebik tapi kemudian tersenyum lebar. “Mama senang, lho, kamu kembali perhatian sama Mama. Kamu itu paling manja dibanding Abyan dulu.”

Tio memilih bersandar saja. menyamankan diri karena pastinya, ia harus menyiapkan telinga untuk mendengarkan ocehan ibunya malam ini.

“Saking sibuknya Mama sampai lupa punya anak, Tio.”

“Segede gini bisa dilupain. Mama itu gimana, sih?”

Suny tertawa. “Mau gimana lagi? Kamu itu kalau enggak didesak untuk bertemu Mama atau Papa, enggak mau keluar dari sangkar. Apa, sih, enaknya hidup di apartement?”

“Privasi,” sahut Tio singkat.

Suny mendesah pelan. “Mama tau, Nak.” Diusapnya lengan Tio perlahan. “Enggak baik tapinya kalau segalanya dipendam sendiri. Mama tau, berat jadi kamu sekarang. Banyak yang harus kamu tanggung.”

Tio terdiam.

“Tapi Mama sama Papa enggak pernah pergi ninggalin kamu, kan?”

Pria yang malam ini mnegenakan kaus santai hitam dipadu celana sebatas lutut, masih belum mau membuka suaranya.

“Mama tau, berat kehilangan Abyan. Kamu enggak sendiri merasa sedih, Tio. Mama dan Papa juga merasakan hal yang sama.”

Tio berdecak pelan. “Sama kah tanggung jawabnya? Semua kebebasan aku terenggut, Ma. Tapi Mama sama Papa enggak ngertiin sampai di sana. Apa yang bisa Mama lakukan?” Ia pun menatap sang ibu dengan nelangsa. “Mama justru biarkan kami hanya berdua.”

Suny gantian yang bungkam. Matanya menatap Tio tak percaya.

“Aku dipaksa kuat menerima semuanya sementara enggak ada yang bisa kujadikan pegangan saat itu.” Tio menghela napas panjang. “Aku enggak salahkan Mama karena aku tau, sayangnya Mama lebih besar ke Abang. Tapi … aku anaknya Mama juga, kan?”

Suny tergeragap.

“Sedewasa apa pun seorang anak, dia tetap anak, Ma. Aku merasa, sampai detik ini aku tumbal dari semuanya.”

“Enggak baik bicara gitu, Tio,” Suny ingin sekali kembali mengusap bahu Tio. Malam ini merupakan malam di mana untuk pertama kalinya, mereka bicara agak panjang mengenai kehilangan Abyan. Biasanya Tio paling sering menghindar. Yang mungkin di mata Tio, semakin membuatnya ditekan dari berbagai sisi. Padahal niat Suny enggak seperti itu.

“Makanya jangan recoki aku perkara urusan pasangan.”

Suny ingin bicara tapi diurungkan dengan segera.

“Apalagi ide konyol wanita berambut merah.” Tio berdecak sebal. “Kuanggap itu bantuan yang bisa Mama berikan dari semua yang sudah terjadi.”

“Mama melakukan hal ini untuk kebaikan kamu, Tio.”

“Kebaikan dari mana?” dengkus Tio enggak percaya. “Oke lah aku pahami kalau Mama dan Papa tinggalkan kami berdua aja. Kalian sibuk dengan kesedihan yang katanya harus menemukan kerelaannya sementara aku sama Naina harus berjuang untuk hidup. Mama tau, kan, arti hidup untuk kami seperti apa? Apa yang Abang tinggalkan itu enggak sepele. Di usia berapa aku diberi takdir sebegitu mengerikan versiku dari Tuhan? Lantas … Mama enak betul bilang kalau perjodohan ini demi kebaikanku?”

Tio masih belum mau menyudahi ceramahnya. Terserah lah kalau sang ibu sibuk sendiri dengan alasan apa pun. atau sekarang Tio yang diserahi macam-macam tanggung jawab. Dirinya enggak peduli. Hanya ia lakoni saja yang terbaik versi dirinya. Tapi kalau sudah berkaitan dengan Naina, apalagi telinganya belum tuli, kok, dengar celotehannya kalau sang anak telat makan.

Itu sudah membuat Tio berang.

Masih bagus wanita bernama Mirah hanya disindir seperti itu. Enggak masalah ada di meja makan yang sama dengannya meski dirinya enggak mau satu meja dengannya. Tapi jangan harap dirinya melihat Mirah lagi.

“Jangan buat aku makin menjauh, Ma.”

“Maafkan Mama, Tio.”

Bersamaan dengan ucapan Suny barusan, langkah Leony tepat menyentuh anak tangga terakhir. Yang mana segera mendapatkan sambut dari Tio. “Pulang sekarang?”

“Iya, Pak.”

“Ayo, saya antar.”

Suny tersenyum tipis sekali. “Nginap aja, Ony. Nanti Ibu siapkan baju tidur. Kerja pakai bajunya Azkia juga enggak apa-apa. Lagian baju kamu juga ada di lemari kamar Tio, kan?”

Leony melongo.

“Nah, Mama benar. Mending kamu nginap aja, lah. Jadwal kita besok apa?”

Belum sanggup Leony bicara, Suny sudah keburu menggamit tangannya. “Sudah, menginap saja. Kamu juga capek, kan, temani Naina belajar? Biar enggak terlambat besok masih banyak kegiatan sama Tio.”

“Ta-Tapi, Bu?”

“Enggak ada tapi. Bilang aja kamu dinas.”

Leony menatap Tio penuh permohonan. Tapi seperti biasanya. Tio tanpa doa hanya mengedikkan bahu. Seolah tanpa kata ia bilang, “Turuti aja Mama. Lagian aku capek.”

Raptor dan induknya sama-sama menyebalkan rupanya!!! Tau gitu sejak tadi dirinya pulang saja. Enggak perlu menemani Naina belajar!

***

“Nai, makannya pelan-pelan. Nasi gorengnya masih banyak, lho.” Leony berdecak sebal. Bukan apa. Dirinya enggak jadi masalah kalau kerepotan di pagi ini. Kapan, sih, menghadapi Naina dan Tio enggak membuatnya kesulitan? Enggak pernah dalam sepanjang hidupnya berkenalan dengan mereka berdua, ada di tengah hidup keduanya, Leony berpangku tangan santai?

Untungnya … astaga, Tuhan! Khas orang Indonesia sekali, kan? Selalu ada untungnya di dalam setiap kesempitan yang ada. termasuk sekarang. di mana Leony punya sabar yang sangat besar menghadapi keduanya. Raptor dan Rabbit ini sama-sama mengasah sabarnya sampai titik yang tertajam.

“Ini enak banget.” Naina mnegunyah sembari bicara. Tangannya juga mengambil potongan timun yang tersaji di depannya.

“Iya tapi kalau tersedak?”

Naina nyengir lebar. “Oke.” Diacungkan jempolnya tanda mengalah. Menurut Naina, sarapan kali ini yang kedua, yang terbaik dalam versi hidupnya. Pertama, saat dibuatkan bubur oleh Farah. Kedua nasi goreng buatan Leony. Etapi kalau dipikir-pikir, Leony sering sekali membuatkannya makan.

Kenapa sekarang rasanya jauh lebih enak, ya?

“Enggak ada kerupuk, Ony?” tanya Tio sembari celingukan. “Biasanya Bi Muji sediakan di toples itu,” tunjuknya pada toples bening yang kosong.

“Kelihatannya ada isinya atau enggak?”

Tio menggeleng.

“Berarti habis, Daddy.” Kali ini Naina yang bicara.

“Daddy tau itu, Nai. Tapi kenapa kamu enggak sediakan, Ony?”

Leony mengusap dadanya penuh sabar. “Mau?”

“Mau, sih. lama enggak?”

“Enggak tau.” Leony beranjak ke dapur. Lagi. Padahal dirinya hanya tinggal menaruh bokoong dan menyantap nasi goreng bagiannya. Jam sudah menunjuk pukul lima tiga puluh menit.

Tergopoh, Bi Muji menghampirinya. “Biar saja aja, Non. Non Ony makan aja.”

“Enggak, Bi. Tunjukkan aja di mana kerupuk yang Bapak suka. Saya aja yang siapkan.”

Meski ia dengar Naina protes, serta banyak ucapan sanggah dari Tio, juga Suny yang mengatakan kalau Tio ini enggak punya perasaan. Kenapa harus Leony yang siapkan semuanya untuk Tio. Tapi Tio sama sekali enggak meminta Leony untuk kembali ke meja makan.

Begitu disajikan kerupuk yang diinginkan, mata Tio berbinar senang. “Terima kasih, Anna.” Diambilnya segera kerupuk barusan dan mengigitnya enggak sabaran. Menyuap besar-besar santapan paginya. “Enak banget.”

“Sama-sama, Tio.” Leony tersenyum lebar. “Makannya dihabiskan. Aku capek, lho, di dapur.”

“Iya.”

Raptor kalau mode jinak, membuat Leony ingin sekali mengusap kepalanya. Maka itu lah yang ia lakukan. Pelan, tapi memberi dampak yang demikian panjang pada Tio. Juga Naina, sih. Anak itu enggak mau kalah merebut perhatian Leony. Pokoknya harus ada yang dibuatkan gadis berkacamata itu untuknya. Apa pun.

Maka sebotol jus yang dengan cepatnya Leony siapkan untuk Naina sudah ada di kantung tas sang gadis.

“Terima kasih, Kak Ony!”

Lagi.

Satu kecup melayang untuk Leony yang membuat gadis berkacamata itu makin lebar senyumnya.

“Kalau aku enggak boleh, ya?” tanya Tio seenaknya.

“Jangan macam-macam!”

“Satu macam aja, Ony.” Tio mengekori Leony yang menuntun Naina macam bocah baru bisa berjalan. Yang mana enggak akan Naina lepas genggaman tangan Leony. Serta satu protes yang digaungkan keras-keras dari mulutnya.

“Daddy kenapa, sih? Jangan bikin aku kesel, deh. Jangan godain Kak Ony, ih! Genit amat jadi cowok!!!”

 

 

 


 

 

[31] Jelang RUPS

 

Leony menarik napasnya panjang. Meeting dengan tim pengacara yang akan mengawal kasus antara Optima dan Faldom kali ini jauh lebih membuatnya pusing. Banyak berkas yang menjadi acuan untuknya. Diminta untuk menjadi landasan tersendiri untuk nantinya menuntut pihak, yang mana menyorot pada satu titik; Farhan.

Tapi Leony tak bisa bekerja sama dengan divisi lain. Tio sangat mewanti-wanti tiap geraknya. Beruntung akse yang Leony miliki untuk loncat dari satu divisi ke divisi lain bisa dengan mudah meminta berkas yang masih harus ia lengkapi. Meski keyakinannya penuh, kalau data serta laporan yang ia kumpulkan sudah lebih dari cukup. Namun Leony sadar, tim pengacara berbeda dalam menilai sesuatu.

“Mau makan siang apa?” tanya Tio sembari merenggangkan ototnya. Ia puas sekali dengan hasil serta keinginan yang sudah disampaikan pada tim pengacara ini. Kinerjanya cepat dan tanggap terhadap apa pun yang diinginkan terutama berkisar mengenai ganti rugi yang Faldom inginkan.

Ia bertindak sebagai pimpinan Faldom. Bukan ranah pribadi tapi selama dirinya menjabat ternyata tindak criminal itu terjadi. Enggak akan Tio biarkan, lah! Enak saja. sudah Faldom dibangun susah payah oleh Abyan, mendapatkan sokongan yang enggak main-main dari keluarga Azkia, eh … seenaknya dipermainkan.

Kalau ingat semua nominal angka dan kerugian yang ditaksir, di mana lihai sekali tertutupi, membuat Tio makin geram. Makanya ia enggak hanya meminta satu pengacara tapi tim yang terdiri dari empat orang untuk menjerat dan menuntut orag yang bertangguung jawab penuh. Enak saja.

“Enggak tau.” Meski lelah, kepalanya pusing, serta tenaganya hampir habis karena pembahasannya panjang serta membutuhkan konsentrasi tinggi, namun urusan dengan makan siangTio memang harus segera ia kerjakan. “Ayam bakar mau?”

“Tongseng aja gimana, Ony?” Tio pun menggeser duduknya. Menatap Leony lebih lekat karena sang asisten berada persis di sampingnya. “Rambut kamu sudah panjang, Ony.” Maunya, sih, sentuh rambut Leony seenaknya. Tapi rasanya tangan Tio berat sekali untuk bergerak. Macam ada yang menahan dan kepalanya bilang, jangan sentuh sembarangan!

Makanya ia Cuma bisa memperhatikan jauh lebih tajam ketimbang biasanya.

“Iya. saya belum sempat potong rambut.”

“Nanti sore gimana? Saya temani?”

Leony tersenyum sembari melepas kacamatanya. Mengedipkan beberapa kali demi untuk menjaga fokusnya. Tangannya bergerak cepat mengambil pembersih dari dalam kotak penyimpanan. Kacamatanya harus selalu bersih agar jelas memperhatikan sekitar.

“Mau makan tongseng di tempat atau pesan online?”

“Kamu mau keluar enggak?” Tio bersandar nyaman di mana matanya masih jua terpusat pada sosok yang kini sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang dilakukan Leony, Tio enggak terlalu peduli. Yang penting sekarang baginya, Leony enggak lagi menjauh. Ada di sampingnya. Enggak mendadak kabur atau beralasan ini dan itu. Apalagi alasannya seputaran pekerjaan yang memang enggak ada habisnya.

“Capek, sih.”

“Nah, gitu dong. Kalau capek, bilang. jangan sok kuat. jangan selalu turuti mau aku, Anna.”

Leony tertawa. “Kalau enggak dituruti kamu suka enggak jelas. Ngambek gitu.” Pokoknya, nada bicara Leony akan berubah kalau Tio yang memulai. Apalagi kalau Leony sudah mendengar panggilan untuknya. Anna. Yang mana menurutnya terdengar spesial sekali.

Belum pernah ada seorang pria dalam hidup Leony yang diperbolehkan memanggilnya dengan nama kecil yang ia miliki. Bahkan panggilan Ony juga berasal dari Tio.

“Mancing kamu bicara itu susahnya setengah mati.” Tio kembali menegakkan punggung. “Aku aja yang pesan. Kamu rapikan aja berkasnya.”

Leony tersenyum tipis. Mengangguk dan tangannya dengan cepat pula mengerjakan apa yang Tio minta. Lagi pula berkas yang berserak ini enggak boleh sampai ada orang lain yang tau. bisa bahaya. Dan juga bisa mnejadi boomerang tersendiri bagi Tio dan dirinya.

Suara ketukan pada pintu ruang Tio membuat Leony berjengit kaget. Pun Tio yang kini menatap pada pintu yang sudah terbuka itu.

“Siang, Pak Tio.”

Farhan. Masuk dengan percaya dirinya.

Yang mana membuat Leony sedikit lebih cepat merapikan berkasnya.

“Ada meeting rupanya?”

Tio menyeringai tipis. “Silakan duduk, Pak.”

Dalam susunan jabatan di Faldom, nama Farhan ada di jajaran petinggi yang namanya cukup diperhitungkan. Suaranya juga banyak memperngaruhi keputusan yang akan Tio ambil tapi tetap saja, Tio lebih sering percaya pada intuisinya ketimbang keberatan yang seriing Farhan katakan.

Toh … keberatan itu hanya sepihak menguntungkan pihak lain. Sementara dirinya banyak ditekan dalam hal dividen yang harusnya bisa memenuhi target.

“Sibuk sekali Pak Tio rupanya.” Farhan menyeringai tipis. tubuhnya yang tambun, agak kesulitan untuk duduk di mana ia pun menatap Leony dengan sorot cukup berani. “Pak Tio enggak ada keinginan ganti asisten?”

“Kenapa harus ganti?” Tio hanya tanggapi dengan santai. Diulurkannya pula ponsel yang tadi sempat ia utak atik untuk memesan menu makan siang sesuai dengan keinginannya pada Leony. “Kamu pantau terus orderannya, ya.”

“Baik, Pak.” Leony pun menyingkir dari ruangan Tio. untuk apa juga ada di dalam ruangan di mana dirinya dipandang sebelah mata. ia tau, sejak lama Farhan memang enggak terlalu menyukainya. Tapi kenapa juga salah satu komisaris itu meremehkannya coba?

Padahal apa yang ia kerjakan enggak dalam skala main-main. Selalu fokus dan hasilnya banyak membantu Tio dalam hal pergerakan kerjanya. Berusaha sekali membantu sang bos dalam hal pekerjaan. Malah kalau Leony boleh mengeluh, dirinya ini asisten Tio secara umum atau pribadi, sih? masa iya dirinya masih harus mengerjakan yang menurutnya urusan pribadi?

Naina? Memangnya itu bukan hal pribadi yang Tio punya?

Tapi apa Leony keluhkan hal itu? Enggak pernah. Malah dengan senang hati dirinya menemani Naina kapan pun dibutuhkan. Ada rasa puas yang cukup besar lantaran tau, bagaimana gadis itu bertumbuh sampai sekarang. Itu sudah lebih dari cukup baginya.

Farhan, lewat ekor matanya yang hampir tenggelam karena wajahnya yang juga ikutan bulat macam donat, mengamati sampai asisten Tio benar-benar keluar. Menutup rapat pintu ruangan sang CEO pengganti yang dipercayakan sampai pemilik sahnya bisa duduk di sini.

Entah apakah bisa duduk atau keburu lenyap karena digerogoti olehnya tanpa diketahui.

Pria gemuk itu terkekeh. Perutnya agak berguncang jadinya. Yang mana menjadi perhatian Tio yang sejak tadi memang menatapnya tajam sekali. terutama pada ucapannya barusan. apa katanya? ganti asisten? Gila, ya?

“Ah, saya jadi lupa. Maksudnya Pak Tio enggak ingin ganti asisten yang lebih kompeten? Yang bisa dibawa ke acara kantor yang jauh lebih bonafit di luaran sana.”

“Maksudnya dalam hal penampilan?” Tio menegakkan punggung. Tadinya ia ingin bersantai sejenak sembari menunggu makan siangnya datang. Ngobrol yang enggak banyak menguras otaknya. Sesekali bertanya mengenai Leony yang banyak enggak ia pahami. Anggap saja ajang mendekatkan diri.

Mereka … berhubungan satu tingkat dari biasanya, kan?

“Yah, Bapak tau sendiri, kan? asisten itu juga wajah dari bosnya. Kalau cantik, pintar, cekatan dalam satu waktu kenapa enggak?”

Tio menyeringai tipis. diusapkan kedua tangan seraya seolah berpikir. Padahal mata yang ia pergunakan untuk menatap sang lawan bicara begitu dingin dan penuh intimidasi. Mungkin makin lama Farhan makin menyadari kalau tatapan Tio enggak sesantai bicaranya. Ia sampai menggeser sedikit duduknya namun enggan bertanya.

“Saya punya kenalan. Saya juga mengerti bagaimana Pak Tio di luaran sana.” Untuk menutup gugup, ia pun tertawa. Cukup keras tapi sayangnya, Tio enggak menanggapi apa-apa kecuali terus memberi tatapan tajam. Yang makin jadi membuatnya salah tingkah.

“Saya hanya mengutarakan pendapat Pak Tio. jangan tersinggung.”

Tio berdecih pelan. “Sepak terjang saya di luaran sana, bukan urusan Pak Farhan. Selama saya enggak menyentuh anak gadis Bapak, seharusnya itu enggak perlu dikhawatirkan, kan?

Bola mata Farhan hampir loncat dari tempatnya. Mulutnya yang agak menghitam karena kebiasaannya merokok, tampak ingin bicara tapi enggak sanggup. Namun hatinya mendadak dongkol serta kesal sekali. apa hubungan wanita yang ada di sekitar Tio dengan putrinya? Kurang ajar sekali kalau Tio menyamakan putrinya dengan para wanita yang bisa diajak tidur oleh Tio?

“Jaga batasan kamu, Tio.”

Tio tertawa. Keras sekali. Sampai ia merasa perutnya yang lapar terguncang karena gelak yang ia punya sekarang. matanya sampai berair menatap Farhan yang mendengkus tak suka ke arahnya. “Astaga, Pak Farhan. Batasan yang mana?”

“Jangan asal kalau bicara!” sentak Farhan dengan wajah mulai memerah. Pastinya ia menhana kesal yang begitu tinggi. Meski ia pernah mengenalkan putrinya pada Tio, tapi bukan pada arah yang menurutnya menjijikkan. Inginnya, Tio ada di bawah kendalinya. Ia punya banyak referensi wanita yang bisa diajak bekerja sama untuk meruntuhkan Tio. juga anak perempuannya yang pernah dipancing untuk menjalin hubungan serius dengan sang pria. Meski tau ada resikonya, tapi Farhan sedikit mendesak anaknya; Rika.

Sayangnya … Tio menolak. Hanya sebatas makan malam bersama itu pun sekali. selebihnya, enggak pernah ada kabar dari Rika kalau Tio menghubunginya.

“Yah … saya kan hanya bicara. Dilakukan juga enggak. tenang aja. Rika enggak masuk daftar wanita yang tidur sama saya. Lagian,” Tio pun mendekat pada pria bertubuh tambun itu. “Saya enggak minat dengan pergantian asisten. Belum tentu bisa mengimbangi saya yang aneh ini.”

Mata Farhan makin terbeliak.

“Anak Bapak aja ngeri melihat kebiasaan saya. Gimana wanita yang pernah tidur sama Bapak? Oh … jangan-jangan malah tergila-gila sama saya? Bukannya kerja, malah memberantaki meja kerja saya terus? Lantas saya disetir seenaknya?”

***

Leony meletakkan mangkuk berisi tongseng bagian Tio. di depannya, sang pria masih merengut enggak suka. Bukan perkara makanan yang baru datang tapi pastinya karena Farhan yang enggak tau berkata apa. Leony sama sekali enggak mendengarkannya. Bukan tak ingin, ternyata begitu kembali ke mejanya, ia masih harus merapikan banyak berkas yang terserak.

Tak mungkin ia bekerja setengah seperti ini. makanya sembari menunggu, Leony manfaatkan waktu untuk merapikan agar enggak tercecer banyak bukti yang bisa membuat seseorang masuk ke dalam penjara untuk waktu yang cukup lama. Ditambah orang itu seolah tak melakukan apa pun. santai sekali bersikap. Yang ada malah menatap Leony dengan tajamnya.

Padahal Leony sudah sopan, lho, mengucapkan salam. Biar enggak dibilang asisten yang enggak punya sopan. Tapi yang ia dapatkan hanya dengkusan tak suka. Lantas jalannya yang tergopoh buru-buru meninggalkan ruangan mereka. saat Leony tanya pada Tio, sang bos malah menyuruuhnya diam.

Katanya, “Saya pusing.”

“Dimakan dulu, Pak,” kata Leony kembali mengingatkan. “Keburu dingin.”

“Iya.” Tio bergerak agak malas. “Mana bagian kamu?”

“Ini, kan?” Leony pun menunjuk piringnya. “Nanti jam dua kita ada meeting sama Wena Properti. Bahas untuk Sidoarjo.”

Tio mengangguk di mana tangannya mulai mengaduk makan siang bagiannya. Di sekelilingnya ada acar yang terpisah serta mangkuk berisikan sambal. Serta enggak lupa kerupuk. Yang mana membuatnya tersenyum lebar. “Kok, kamu tau mesti ada kerupuknya, Ony?”

“Enggak enak kalau makan berkuah enggak ada kerupuknya, Pak.”

Tio tertawa. “Ah … kamu paling tau selera aku.”

“Makan aja, Tio. nanti bicaranya.”

“Tapi sepertinya kamu perlu tau satu hal.”

Tadinya sendok berisi nasi yang sudah ia campur dengan kuah tongseng, akan masuk ke dalam mulutnya. Ia juga sudah lapar, sih. makanya Leony berselera sekali melihat tongseng pilihan Tio datang. Aromanya juga guriih dan mengguggah sekali air liurnya. Namun karena Tio mau bicara, ia jeda sejenak.

Toh … Tio enggak akan lama, kan?

“Tau apa?”

“Farhan meminta aku ganti asisten yang dia referensikan.”

Leony tertawa. Suapan itu pun segera masuk ke dalam mulutnya. Merasakan betapa memang tongseng itu punya cita rasa yang cukup enak. Dagingnya lembut, kuah santannya pas sekali. Baik komposisi kecap juga asin serta manis yang tercampur di sana.

Melihat Leony enggak terganggu sama sekali dengan ucapannya, membuat Tio berdecak sebal. Selalu seperti itu tiap kali ia bahas mengenai wanita di sekitar hidupnya. Enggak ada respon berlebih dari Leony. Malah yang ada, santai sekali gadis ini bersikap?

Enggak tau kah Leony kalau wajah datarnya itu bikin Tio ketar ketir?

“Kenapa?” tanya Leony dengan sorot bingung. Kunyahannya enggak ada masalah tapi ia merasa ada tatapan yang menghunus tajam ke arahnya. Seolah bisa membelah Leony dengan cepatnya. Saat ia mengangkat pandangannya, benar saja, Tio menatapnya tanpa putus.

Tatapannya jauh lebih menyeramkan ketimbang biasanya. Macam Raptor yang siap mencabik mangsanya.

“Kamu enggak cemburu? Aku ditawari asisten yang mana cantik, seksi, katanya juga pintar, dan pastinya kamu tau sendiri kan kalau ada perempuan di dekat aku bagaimana?”

Makin jadilah tawa Leony.

“Ah … kamu nyebelin banget, Anna.”

“Apa Tio mau asisten seperti itu? kalau mau, aku yang bantu pilihkan. Enggak usah Pak Farhan.”

“Astaga!!!” Tio menepuk jidatnya cukup keras. “Aku enggak mau, lah. Cukup buatku kamu aja. Ada di samping aku aja kamu terasa jauh banget. Apalagi kamu enggak ada di dekat aku. Bisa gila aku, Anna!”

“Nah … itu tau jawabannya. Kamu enggak mungkin ganti asisten kecuali aku, Tio. Jadi untuk apa aku cemburu?”

 

 



 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Raptor-Siput
Selanjutnya HANDLE ME. [32], [33], [34], [35], & [36]
11
3
BAB TERAKHIR YANG BISA DIBACA FREE.Sisanya berbayar ya kakak sekalian. 36 Bab free lho ya. Huaaaa Keren…Isi Konten :[32] Kencan Milik Tio (1)[33] Kencan Milik Tio. (2)[34] Panggilan Darurat[35] Panggilan Darurat. (2)[36] RUPS
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan