HANDLE ME. [20], [21], [22], & [23]

10
1
Deskripsi

Isi Konten :

[20] Bertemu Nadia

[21] Abrianna Leony Jacob

[22] Satryo Stress

[23] Tio Suka Teh buatan Leony

[20] Bertemu Nadia

 

Berhubung orang yang akan Leony temui adalah seorang Manager hotel, maka penampilannya juga menyesuaikan. Leony sebenarnya enggak terlalu memusingkan perkara apa yang ia kenakan. Tubuhnya yang kurus lebih sering dibalut dengan pakaian longgar, kemejanya juga lengan panjang, lantas celana kainnya juga enggak mencetak bokongnya dengan jelas. Semuanya terlihat sopan. Meski begitu, Leony paham sekali kalau dirinya juga membawa nama baik sang bos.

Makanya, ia berusaha untuk mengimbangi Tio yang terlihat begitu sempurna.

Walau nyatanya, Leony terlalu sederhana dibanding Tio yang luar biasa. Bagusnya, ia tak ambil pusing. Justru merasa baik-baik saja dengan tatapan yang sekelebatan datang padanya. Yang mana enggak ada yang melirik dan menatapnya lama. Lain hal yang kalau ada wanita yang berpenampilan cukup seksi dan menantang. Pasti banyak mata yang memperhatikan. Enggak munafik, pria itu makhluk visual.

Yah … sebenarnya Leony iri. Tapi ia tak bisa asal membesarkan payudaraa, bokoong, atau menambah lemak di beberapa bagian tubuhnya, kan? Masa iya dirinya harus seperti sapi gelonggongan yang disuntik dengan banyak air? Atau menambal dengan implant di beberapa bagian tubuhnya? Tuhan! Idenya enggak ada yang lebih waras lagi, kah?

“Bu Leony?”

Ia pun terkesiap namun setelahnya, senyum tipis segera hadir di sudut bibirnya yang ia pulas warna pink lembut. Segera ia benahi letak kacamatanya yang aga melorot lantas berdiri menyambut seseorang yang menyapanya barusan. “Bu … Nadia?”

“Oh, bukan. saya asistennya.”

Leony tersenyum simpul.

“Ibu ajak bicara di ruangannya. Enggak enak tamu datang dari jauh.”

Enggak ada bantahan yang ingin Leony katakan. Anggap saja itu benar. Dirinya datang dari luar daerah atau malah luar kota sekalian. Biar tambah jauh deskripsi yang ditujukan padanya. Padahal jelas ia sampaikan kalau pihak Faldom ingin bertemu. Faldom brpusat di Jakarta, kok. Kapan Leony berkantor di Bandung. Iya, kan?

Diikuti langkah sang asisten sembari bertanya penuh basa basi tapi ternyata ada beberapa hal yang membuatnya tampak terperangah. Termasuk harga sewa semalam di kelas VVIP yang mana ada di lantai yang menawarkan view terindah di hotel berbintang lima ini.

“Tapi Bu Leony enggak perlu khawatir. Saya dapat ACC langsung dari Ibu, kalau Bu Leony mau bermalam di sini, ada potongan khusus. Enggak perlu jauh-jauh healing ke luar kota. Hotel kami juga menawarkan fasilitas lengkap.”

Leony menyeringai saja. maunya juga healing, tapi ia tak pernah terbayangkan saat dirinya tengah menikmati apa pun yang ada di sini, mendadak Tio menginterupsi. Yang ada bukan dirinya menikmati waktu santainya, tapi malah pusing mendengar banyak ocehan serta kerepotan yang Tio buat untuk hidupnya.

Ia belajar dari banyak pengalaman liburnya yang enggak pernah benar.

“Jangan kebanyakan kerja terus, Bu. Sesekali manjakan diri. Karena pekerjaan juga, semakin kita terjun di dalamnya, semakin enggak bisa keluar. Saya juga kerja, sih. Tau kapan sibuk dan kapan harus merilekskan diri.” Si asisten tadi, yang mana Leony kenali bernama Hannah, tersenyum simpul penuh arti. “Kerja sesuai porsi aja, Bu. Perusahaan enggak akan bayar Ibu kalau mendadak dirawat di rumah sakit. Yang bayar itu fasilitas karena kita bekerja di sana. Kalau Ibu kelamaan sakit juga, pastinya ada kandidat lain yang menggantikan. Dan apa yang Ibu dapat?”

Iya juga, sih.

Ucapan Hannah enggak ada yang salah. Meleset saja enggak. Semuanya menurut Leony masuk sekali dalam akalnya. Tapi apa bisa dirinya melakukan hal itu? Ia tak yakin, sih.

“Nah, ini ruangan Bu Nadia.” Hannah pun membukakan pintu ruangan yang mana berada di salah satu ujung koridor. Ruangan yang menurut Leony cukup nyaman untuk kategori jabatan Manager hotel.

“Selamat siang,” sapa Leony yang mana segera disambut dengan senyum ramah dari wanita yang berdiri menghampiri Leony.

“Siang.” Lantas Nadia pun meminta Hannah untuk menutup pintu ruangannya. Setelah memastikan pintu itu rapat tertutup, Nadia kembali tersenyum tipis. “Apa yang bisa saya bantu, Mbak … Leony? Benar?”

“Iya. Saya Leony. Seharusnya Ibu tau maksud kedatangan saya, kan?”

Nadia mengangguk pelan.

“Bisa katakan ke saya, kenapa Ibu menghindar?”

***

Tio melirik ponselnya dengan rasa malas. Sudah tiga kali getar di ponselnya mengusik tapi ia malas tanggapi. Bukan apa, nama Yesy yang tertera di sana membuatnya makin enggan bicara di benda pipih hitam miliknya itu. Padahal ada sesuatu yang ia tunggu tapi kalau ia merespon sedikit saja panggilan ini, bisa panjang urusannya.

“Siang, Pak.”

“Siang.” Tio mengernyit bingung saat sekuriti yang biasa ia temui di pintu masuk utama kantornya, justru mengetuk pintu dan memasuki ruangannya. Bersama dengan … “Papa?”

Arfan menyeringai tipis. “Terima kasih, Pak, sudah diantar.”

“Baik, Pak.” Si sekuriti tadi pun undur diri.

“Papa tumben ke sini?” Tio pun bergegas menghampiri sang ayah. “Mana Mama?”

“Yakin mau bertemu Mama?”

Tio berdecak. “Kalau membawakan perempuan berambut merah buat kencan buta, enggak ya. Aku ogah!”

Arfan tergelak sempurna. “Makanya bawa calon istri ke kami, Tio.”

Tio mempersilakan Arfan untuk duduk di sofa yang ada di ruangannya. Ia juga meminta office boy untuk menyiapkan kopi untuk sang ayah.

“Mana Leony? Papa enggak bertemu dia di ruangannya.”

“Ada tugas kantor,” sahut Tio dengan segera.

“Tumben enggak sama kamu.”

“Memang harus bersama aku terus?”

Arfan masih menyisakan tawa di ujung bibirnya. “Siapa tau nanti pulangnya Leony kenalan sama pria lain, kamu yang kelabakan.”

“Lho? Kenapa aku mesti kelabakan?” Tio berdecak heran. Obrolan ringan itu terjeda saat ada yang kembali mengetuk pintu ruangannya. Dua cangkir berisikan kopi yang baru diseduh ini tersaji tepat di depan mereka.

Enggak ada respon tambahan dari Arfan mengenai sanggahan yang Tio berikan.

“Tapi, Pa, tolong bantu aku hentikan apa yang Mama mau. Pusing kepala aku. Leony jadi ikutan dampaknya, kan. Dia jadi sering lembur karena direcoki sama pertanyaan Mama. Mana perempuan yang sesuai sama aku dan Naina.”

“Maksud ibumu baik, Tio. Kamu sudah berapa sekarang? Sudah waktunya menikah. Apa yang kamu tunggu?”

Tio terdiam. Cangkir yang tadinya ingin ia sesap, tak jadi. Tertahan begitu saja. bukan karena aromanya yang enggak menggoda, juga bukan karena kopi ini hanya sebatas kopi seduhan biasa. Tio tak jadi soal mengenai kopi hitam apa yang dihidangkan kalau enggak ada Leony. Ia malas membuat repot orang lain karena percuma. Enggak ada yang pas urusan selera dengannya kecuali Leony.

Banyak hal yang digelontorkan mengenai pribadinya hanya pada Leony. Sampai rasanya Tio sendiri jadi bingung sekarang, kenapa dengan mudahnya ia beritahu mengenai dirinya pada sosok gadis yang menurutnya, jauh berbeda dengan wanita yang sering menghangatkan ranjangnya.

Tipenya rata-rata sejenis; kulit putih, tinggi langsing, memiliki payuudara yang indah, bokoong yang sintal, rambut panjang tergerai, berani menampilkan keindahan tubuhnya, juga … memiliki suara yang indah. Biar bisa mendesah dan mengerang di atas ranjang. Dan wanita seperti itu juga, enggak akan menolak pesona Tio. Sepanjang ia berkelana dengan banyak wanita, ia sangat menyadari akan hal itu.

Akan tetapi … bagi Tio, wanita seperti itu sama saja. Enggak ada tantangan menariknya di sana. Juga … “Aku belum siap, Pa.”

“Dalam hal apa?” Arfan menyandarkan punggungnya di sofa. “Kerjaan kamu mapan, meski nantinya kamu harus kembalikan pada Naina, tapi paling enggak selama kamu di sini ada banyak hal yang bisa kamu pelajari. Papa yakin, begitu kamu melepas Faldom, kamu bisa berjaya di luaran sana.”

“Iya, Pa.” Tio menyadari hal itu, kok. Ia bukan orang yang serakah akan kekuasaan. Justru dirinya ada di sini, dengan banyak keraguan yang orang lain berikan padanya, di bawah tatapan sinis serta banyak ucapan mengenai ketidakcakapannya memimpin, namun semuanya ia patahkan dengan kerja keras. Demi siapa? Selain Naina, juga demi sang kakak; Abyan.

“Pikirkan masa depan kamu.”

“Tapi enggak lantas aku setuju dengan ide Mama, lho, Pa. Masa iya karena cerita Naina mengenai Mami Farah itu jadinya teman kencanku wanita berambut merah? Asal sekali punya ide.”

Arfan sendiri kembali tergelak. Sementara Tio berdecak sebal.

“Perkara itu jangan lagi-lagi campuri, Pa. Tolong beritahu Mama. Aku bisa cari sendiri. Lagian Papa tau, kan, aku enggak bisa dekat sama perempuan sembarangan? Naina itu … duh, Pa! gawat banget kalau ngerjain gadis yang lagi dekat sama aku.”

Belum puas Arfan menyemburkan tawa. “Kamu benar.” Sekali lagi Arfan tertawa yang mana menulari Tio. Gelak tawa mereka memenuhi ruangan miliknya sekarang. Lantas banyak obrolan seputaran pekerjaan yang lebih membuat Tio bersemangat. Meski jarang sekali dikunjungi sang ayah, tapi ada beberapa hal yang mendadak membuat Tio seolah menemukan energy baru.

Diskusi dengan sang ayah memang tak pernah gagal menciptakan semangat baru di mana banyak hal yang ia pikirkan. Terutama terkait dengan rapat komisaris pun masalahnya dengan Optima. Saking larutnya pembicaraan mereka, Tio tak terlalu memedulikan ponselnya yang bergetar dan menimbulkan bunyi dengung di sana.

“Mungkin penting,” sela sang ayah saat Tio lagi-lagi melirik ke arah meja.

“Enggak, Pa. Kalau Oma Yesy belum aku angkat teleponnya, beliau enggak akan puas.”

Arfan mengedikkan bahu saja. Baru juga akan kembali bicara melanjutkan obrolan yang terjeda, suara ketuk pintu ruangan ini membuat mereka menoleh.

“Masuk,” sahut Tio dengan segera di mana pintu segera terdorong begitu saja. Menampilkan sosok Leony yang datang dengan dua paper bag.

“Siang, Pak,” sapanya ramah. Sembari perlahan ia letakkan barang bawaanya tadi. Pun mempersilakan office boy masuk membawakan piring saji.

“Apa ini, Ony?” tanya Tio penuh minat.

“Bu Nadia sampaikan sebagai permohonan maaf. Beliau bukan enggak ingin ditemui, tapi memang agak sibuk akhir-akhir ini.”

Ucapan itu tak lantas membuat Tio percaya.

“Ini menu makan siang yang paling juara dari restoran hotel yang Bu Nadia kelola. Saya harap, Pak Tio menyukainya. Saya pesan yang Bapak suka, sih. Tapi maafkan saya, saya enggak tau kalau ada Pak Arfan di sini.”

“Santai aja, Ony.” Arfan tertawa. “Siapkan untuk Tio saja.”

“Lho? Papa enggak mau makan siang bersama?”

“Masa Papa ganggu makan siang kalian.”

Leony terperangah.

“Sudah, santai aja lah. Papa pamit dulu kalau begitu.”

“Tapi, Pak,” Leony berusaha untuk mencegahnya. “Saya bisa pesankan yang lainya. Jarang sekali Bapak makan bersama Pak Tio. Kalau saya semalam sudah makan bersama di rumah. Sama Non Nai. Manfaatkan waktu yang ada, Pak.”

Apa yang Leony katakan membuat Arfan terdiam. Matanya lekat sekali menatap Leony.

“Silakan duduk, Pak. saya siapkan makan siangnya. Lanjutkan ngobrolnya. Nanti saya pesan yang lainnya. Enggak usah pedulikan saya.”

“Kamu sendiri sudah makan, Ony?” tanya Tio.

“Sudah, Pak.”

“Bisa jangan bohong sama saya?”

Leony tersenyum. “Gunanya saya bohong apa?” Ia pun menuang sup agar tempatnya lebih pantas. “Tolong yang ini hangatkan dulu, ya,” pintanya pada OB yang masih ada di dekatnya. “Yang ini juga.”

Dibiarkan Leony menyajikan apa yang dibawa. Juga menyingkirkan cangkir kopi milik kedua pria yang ia tau, masih menatapnya dengan lekat. “Bapak sudah dua cangkir, kan? Sore enggak ada kopi, ya, Pak. Ingat, Bapak harus terus sehat karena banyak yang bergantung sama Bapak di sini. Termasuk saya.” Senyum Leony enggak lebar. Tipis sekali tapi sudah membuat Tio terdiam lama.

“Nah, semuanya sudah saya siapkan.” Gadis berkacamata itu pun tersenyum puas. “Selamat makan.”

Sampai pintu ruangan yang tadi sempat terbuka, kembali menutup, tak ada yang bicara satu sama lain. Sampai pria paruh baya yang duduk di depan Tio pun terbahak.

“Papa kenapa?” tanya Tio dengan herannya.

“Gitu kamu mau lepaskan, Tio?”

Kening Tio berkerut dalam.

“Ternyata cuma Abyan anak Papa yang peka. Kamu enggak. Gadis sebaik Leony itu langka, Tio. Lihat? Terampil dia selaiin sebagai asisten. Sabar pula ngadepin kamu. dan kamu masih enggak mau dekati dia? Ketimbang kamu pusing sama perjodohan yang mamamu buat, kenapa enggak ajak Leony kencan?”

 

 


 

[21] Abrianna Leony Jacob

 

Tio merenggangkan otot tubuhnya yang agak kaku. Bagian leher belakangnya ia urut pelan. sedari makan siangnya selesai bersama sang ayah, pekerjaannya tak ada henti menghampiri. Kadang ia keluar hanya untuk menggeser jadwal yang ada pada Leony. Lantas meminta asistennya menyiapkan banyak data untuk menunjang apa yang ia butuhkan.

“Sudah jam enam rupanya.” Tio meringis tipis. Sekali lagi ia lihat tampilan layar kerjanya. Masih tersisa sedikit lagi dan pikirnya, lebih baik ia kerjakan sekarang ketimbang esok hari. Dari meja kerjanya, bisa terlihat asistennya masih duduk dikelilingi beberapa odner yang ada di samping mejanya.

Kadang Tio perhatikan, Leony membenahi kacamatanya. Lalu kembali fokus melanjutkan pekerjaannya. Ada satu botol minum besar yang tak pernah jauh dari sisi layar komputer Leony. Berwarna hitam di mana banyak ditempeli stiker Hello Kitty. Tio tau itu perbuatan siapa. Bahkan botol minum itu juga ia tau kapan Leony dapatkan.

“Leony dekat dengan Naina, kan?” tanya Arfan yang membuat Tio menoleh. Piring berisi makan siang yang disajikan Leony barusan, sudah tak menyisakan apa pun kecuali sisa kuah serta potongan sayur yang kurang ia minati; sawi putih.

“Dekat,” sahut Tio. “Enggak penting banget pertanyaan Papa.” Ia pun menyambar gelas berisi air minum yang lagi-lagi, sudah Leony siapkan untuknya.

“Apa yang buat kamu enggak melirik ke Leony? Lebih memilih mengencani perempuan yang enggak jelas?”

Pertanyaan itu sudah sering didapati Tio. Yang mana ia enggak mampu jawab dengan pasti. Yang ada malah dirinya melirik ke meja Leony di mana sang asisten sudah duduk bergumul dengan pekerjaan. Tampangnya datar, senyumnya timbul tenggelam, bahasanya juga kadang santun kadang buat Tio pusing. Tapi yang paling ia senangi dari kinerja Leony, gadis itu selalu berupaya mengimbanginya. Meski kadang kesalahannya banyak, tapi Leony dengan cepat dan tanggap mengubah ke arah yang lebih baik.

Juga … permintaan maafnya yang sering Tio dengar kalau Leony memang salah. Enggak pernah malu dilontarkan alih-alih mendebat dirinya. Kadang ucapan maaf Leony buat Tio gemas. Ingin sesekali ia dengar Leony mendebatnya. Makanya kadang ia menjadi pribadi yang menyebalkan hanya demi agar Leony bukan sebatas meminta maaf. Tapi mengeluarkan pendapatnya. Mengkritik dirinya yang sering membuat gadis itu jengkel.

“Papa dan Mama enggak jadi soal kalau kamu memang serius dengan Leony. Kalau masalah cantik, sepertinya bekerja sama kamu itu benar-benar di bawah tekanan. Buktinya dia selalu serius kalau di kantor.”

“Papa memberi kesan kalau aku bos yang jahat?” Tio tak percaya mendengar ucapan sang ayah barusan.

“Kenyataannya seperti itu, kan?” Arfan tertawa. “Papa cuma bisa beri peringatan, jangan sampai kamu menyadari kalau Leony berharga, di saat kamu enggak bisa bergerak ke mana-mana.”

“Maksudnya?”

Arfan mengedikkan bahu. “Papa mau kembali ke kantor.”

“Leony memangnya mau ke mana?” Tio mendengkus geli. “Dia butuh pekerjaan ini, kok.” Dengan percaya diri, ia tinggalkan kursinya. Melirik gelas miliknya yang sudah kosong di mana ia bisa mengisinya sendiri demi membasahi tenggorokan yang ia rasa agak kering. Tapi enggak. Sepertinya mengusili Leony kali ini bisa membuat dirinya rileks.

“Ony,” panggilnya sembari terus melangkah mendekat.

“Ya, Pak?” Leony membenahi kacamatanya. Agak lelah, sih, matanya tapi ia tak bisa meninggalkan pekerjaanya begitu saja, kan? Pertemuannya dengan Nadia di kantornya, membuat ia juga banyak menggeser pekerjaan yang seharusnya sudah bisa selesai sore ini. Maka pikiran lembur adalah yang terbaik. Lagi juga ia tak bisa pulang begitu saja di saat sang bos masih ada di ruangannya.

“Ambilkan saya minum.”

Leony menatap Tio tak percaya. “Dispenser di ruang Bapak sudah kosong, kah?”

“Masih ada.” Tio menyeringai sembari menarik salah satu kursi yang ada. “Saya kelewatan melangkahnya. Jadi kamu aja yang ambil, ya.” Disodorkan gelas miliknya pada Leony.

Gadis itu berdecak sebal. Ingin sekali misuh-misuh enggak keruan pada Tio yang seenaknya seperti sekarang. Tapi kalau otaknya boleh memberi ingatan, Tio memang selalu berlaku semaunya. Jadi seharusnya Leony enggak heran, kan? Maka yang ia lakukan adalah berdiri dan mengambil gelas milik Tio. Meski matanya melirik tajam pada Tio yang malah duduk santai memainkan ponselnya, ia tak bisa banyak bicara.

Mencibir adalah yang bisa ia lakukan sekarang.

“Ony, kamu mau Pepper Lunch? Rice Salmon?”

“Bapak lapar?” Leony memastikan suhu untuk minum Tio sesuai. Pria itu tak terlalu menyukai minum dalam keadaan terlalu dingin, juga terlalu hangat. Makanya Leony cukup berhati-hati mencampur takaran pada dispenser agar pas bagi sang bos.

Hari ini Tio menuruti perkataannya untuk enggak meminta cangkir kopi selanjutnya. Biasanya kopi yang Tio konsumsi itu dalam jumlah yang cukup banyak. Pernah suatu waktu, Leony entah sudah berapa kali ingatkan makan tapi Tio tak menggubris. Kalau enggak salah, saat Tio mau rapat dengan pemilik tender besar yang tengah Faldom lobby. Memang, sih, proyek itu mendapatkan hasil yang oke banget.

Leony bangga dengan apa yang Tio kerjakan. Tapi setelahnya, selang dua hari kemudian, Tio ambruk. Masuk rumah sakit dengan kondisi asam lambung tinggi.

Sejak saat itu, Leony memperketat semua asupan yang masuk ke dalam tubuh Tio termasuk kopi. Awalnya, ya ampun! Rasanya Leony mau gigit ban truk saja. Alot sekali berdebat dengan Tio. Untungnya, ancaman dirinya resign masih berlaku dan bisa membuat Tio sedikit melunak. Sampai detik ini, hanya diperbolehkan maksimal dua cangkir kopi itu pun Leony yang lebih sering membuat takarannya.

Termasuk juga menu makan siang serta malam yang kadang masih Leony urus lantaran lembur bersama. Seperti sekarang. Menu yang Tio tawarkan barusan bisa dikonsumsi dengan baik untuk sang bos. Makanya Leony enggak banyak protes.

“Saya masih ada pekerjaan yang enggak mau dibawa pulang.” Tio masih belum mau beranjak dari ponselnya. “Mau enggak?”

“Boleh, Pak.”

“Steak?”

“Enggak, Pak. Cukup yang tadi aja.”

“Tadi siang kamu makan apa?” Tio menggeser duduknya. Matanya segera ia larikan pada sosok Leony yang kini sudah mendekat padanya. “Kamu bilang sudah makan tapi kenapa saya enggak percaya, ya?”

Eh … Leony malah tanggapi dengan senyum tipis. Padahal pertanyaan Tio tadi mengkhawatirkan keadaan sang asisten, lho. Dan ke mana cemberut yang Leony munculkan barusan? Hilang begitu saja?

“Ini minumnya, Pak.” Leony meletakkan perlahan gelas sang bos. “Saya sudah makan siang tadi. Kalau belum, saya bisa pingsan karena banyak sekali tugas dari bos saya. Belum lagi entah sudah berapa kali,” Ia pun mengambil agenda yang enggak pernah jauh dari meja jangkauannya. “Ehm … di catatan saya sudah lima kali ganti jadwal untuk seminggu ke depan.”

“Ada yang lebih penting dari sekadar pertemuan biasa, Ony,” kata Tio lengkap dengan decakannya. “Duduk,” perintahnya kemudian. “Saya pesankan rice salmon juga steak buat kamu. Menu saya juga enggak jauh beda, kok.”

“Pepper Lunch untuk menu rice-nya banyak banget, Pak. ditambah steak? Perut saya bisa meledak.”

“Kamu mendadak ngawur, Ony?”

Leony mendesah pelan. “Saya enggak bisa makan terlalu banyak.”

“Tapi saya diprotes sama Papa jadinya. Kesannya saya ini enggak memperhatikan kamu.”

Gadis itu mengerjap pelan. Kacamata berframe merah gelap yang cukup tebal ini, masih bisa menangkap ekspresi Tio yang lekat menatapnya. Meski berpenghalang lensa tebal, tapi Leony tau, Tio enggak melepaskannya begitu saja. Hal itu membuat Leony mendesah pelan. “Bapak baik, kok. Enggak pernah lupa memberi kebaikan ke saya.”

Tio terdiam. Sudah ia pesan apa pun yang diinginkan. Tinggal menunggu kedatangannya saja dan ia bisa bersantap dengan Leony malam ini. Namun satu hal yang menggelitik baginya. “Papa bilang, kenapa saya enggak mendekati kamu saja untuk menjadi teman kencan?”

“Saya asisten Bapak. Bukan teman kencan.”

“Ketimbang saya melakukan pendekatan dengan orang asing? Yang saya rasa enggak banget pilihannya? Bukankah lebih baik bersama kamu?”

“Hanya karena dipaksa punya teman kencan sama orang tua? Saya dikorbankan, Pak?”

Tio ngakak jadinya. “Kalau saat perayaan kurban, Ony, kamu enggak masuk kategori. Tubuhmu terlalu kurus dan enggak menarik sama sekali.”

Leony menghela pelan. “Nah, itu Bapak tau. Sama seperti wanita yang mengelilingi Bapak. Berbeda dengan saya, kan?”

Tio masih menyisakan tawa namun setelahnya, ia menegakkan punggung. Matanya mendadak ia fokuskan menatap Leony yang duduk di dekatnya. Menggeser posisi kursi yang beralas roda agar benar-benar ada di depan sang asisten. “Saya belum lupa cara kamu melamar saya, kok.”

Leony tersenyum tipis. “Itu sudah lama terjadi, Pak. Kalau boleh saya minta, saya tarik aja pernyataan konyol itu.”

“Abrianna.”

Cara Tio memanggilnya kali ini, membuat jantung Leony sama sekali enggak sehat. Nada suara itu sedikit berat tapi penuh fokus di sana. Satu hal yang membuat Leony makin tak bisa berkutik; Tio terus menatapnya lekat. Tuhan! Tolong singkirkan Tio dari hadapannya saja. Kalau sudah seperti ini, bisa-bisa Leony lemah imannya.

Sayangnya, kecewa yang Leony punya untuk Tio terlalu besar. Menutup rasa kagum serta ingin hati terkecilnya. Cukup baginya memandangi punggung lebar sang pria ketimbang harus jadi salah satu wanitanya. Masa iya, Leony menyerahkan diri sebagai piala bergilir hanya karena ucapannya di masa lalu?

Tuhan takdirkan mereka kembali bertemu, setelah berusaha Leony lupakan pertolongannya berbuah pada ikrar sang pria.

“Iya. Saya nikahi kamu di masa depan. Tunggu saya temukan kamu. oke? Yang terpenting, selamatkan anak saya dulu.”

Leony saat itu, mana berpikir pemuda setampan Tio sudah memiliki anak. Yang ia pedulikan, keinginannya memiliki suami tampan di masa depan, sudah jelas ada. sayang, takdir rupanya kejam merenggut segalanya dari Leony. Sampai titik di mana ia berusaha bangkit dan berjuang, membuatnya lupa pernah ada janji yang terucap.

Saat Tuhan baik hati mempertemukan mereka, keadaan membuat Leony sadar. Janji itu hanya sebatas kata. Apalagi sang pria, meski mengingat dirinya, sama sekali enggak memedulikan janji yang pernah ada. bertindak seenaknya. Melukai harga dirinya. Kalau saja bisa Leony tarik ucapan itu, pasti sudah ditarik sejak lama.

“Konyol banget minta nikah sama buaya macam Tio!” katanya tiap malam kalau ingat mengenai kejadian di rumah sakit kala itu.

“Kenapa sekarang malah saya ditolak berkali-kali? Apa karena saya enggak kunjung berikan cincin buat kamu?”

“Tio, please,” kata Leony pelan. “Sudah saya utarakan alasannya.” Jikalau Tio sudah memanggil dengan nama depannya, di mana biasanya pembicaraan di antara mereka berkisar mengenai hati, Leony entah kenapa refleks selalu bisa menyebut nama Tio tanpa embel-embel apa pun.

Di mana sesungguhnya, panggilan itu membuat Tio ingin sekali agar Leony terus menerus menyebut namanya seperti tadi. Namun rasanya itu mustahil. Sukar sekali bagi Leony untuk menuruti pintanya. Padahal apa susahnya memanggil nama Tio? memang, sih, kalau di kantor harus tau sopan dan hierarki yang ada di mana Tio adalah bosnya. Tapi kalau lagi berdua?

Kesannya Tio ini sudah bapak-bapak sekali, kan?

Yang mana akhirnya Tio pun kembali tak ingin melepaskan netranya dari Leony. “Kamu tau, saat itu saya enggak butuh banyak berpikir untuk setuju. Meski kamu bilang itu pernyataan konyol, tapi buat saya, apa yang kamu minta sebanding.”

“Enggak bisa ditukar, Tio, antara menyelamatkan nyawa dengan hidup bersama seumur hidup.” Leony masih mengulum senyumnya setipis mungkin. “Makin ke sini, saya makin paham kalau kita berbeda.”

“Katakan apa yang berbeda?” Tio melipat tangannya di dada. “Enggak terima kalau memperbandingkan dengan latar belakang.” Ia pun mengibaskan tangannya pelan

“Dulu saya naif, kok. Saya serius. Meminta seorang pemuda yang dalam keadaan kalut, untuk menikah di mana saya sendiri belum lulus sekolah.” Leony tertawa. “Lantas Tuhan kembali pertemukan kita, di mana saya gembira sekali, sungguh. Saya senang melihat Naina tumbuh sehat dan enggak kurang apa pun. Saya jadi merasa bersalah sekali pernah melontarkan ucapan aneh itu.”

“Enggak terima maaf dari kamu.”

Leony masih berusaha menarik sudut bibirnya. “Iya, enggak apa-apa kalau Raptor enggak mau maafin siput.”

“Abrianna.” Tio mendesah frustrasi. “Ayo, lah. Saya sudah terima lamaran kamu dulu, kan? Berarti selama waktu itu sampai sekarang, kita bertunangan, kan?”

Makin lebar jadinya tawa Leony. “Kayaknya hanya saya tunangan yang besar sekali hatinya melihat pasangannya, tidur bersama wanita lain.”

“Itu lagi yang dibahas,” Tio berdecak. “Aku juga sudah katakan alasannya, lho. Mereka sekelebatan, Abrianna.”

“Memang Tio cinta saya?”

Tio mengerjap pelan. Ucapan itu baru kali ini terlontar dari bibir tipis yang Leony miliki.

“Saya pahami kalau wanita yang ada di sekitar Tio hanya penghiburan semata. Siapa, sih, yang enggak tertarik dengan wanita cantik?” Ia pun kembali tersenyum padahal untuk mengatakan ucapan itu, ia butuh banyak keberanian. Apalagi di bawah tatapan Tio yang macam orang mau diterkam. Ganas.

Kalau Leony katakan Tio ini Raptor benar, kan? Tapi enggak ada Raptor mukanya seganteng Tio, sih.

“Tapi saya bukan wanita cantik, Tio.”

“Yang bilang kamu cantik siapa?”

“Semoga ada pria yang bilang saya cantik.” Ih! Kalau saja Leony berani mengacak rambut Tio, menarik tangannya, serta menggigiti lengan sang pria kuat-kuat, pasti sudah dilakukan sejak tadi. kenapa juga ia harus berhubungan kembali denagn masa lalunya dalam kondisi seperti ini? Mau disesali seperti apa pun, ia butuh pekerjaan ini. Mau resign, ia enggak yakin ada yang bisa menggajinya selayaknya Faldom mentrasnfer tanggal 25 setiap bulannya.

Tio berdecak. “Sudah lah. Kita berkencan yang benar-benar kencan. Saya juga sudah lama enggak berdekatan dengan wanita, kok. Kamu tau, kan?”

“Berniat membawa saya ke ranjang kamu juga, Tio?”

 

 


 

[22] Satryo Stress

 

Saat kehilangan panutan dalam hidupnya yang semula bebas, Tio sampai enggak ingin keluar kamar. Bingung harus apa karena semua yang terjadi begitu mendadak. Terutama setelah selesai pemakaman. Ada dua orang bersetelan resmi datang di tengah acara pengajian yang masih berlangsung khidmat. Seluruh keluarga besar Abyan serta Azkia dikumpulkan di satu ruangan tersendiri.

Naina kala itu masih berjuang dengan lukanya. Sang ibu, Suny, yang menungguinya dengan setia. Terkadang gantian juga, sih, dengan Yesy. Meski terkesan banyak aturan, cerewet, kaku, tapi Yesy itu menyayangi Naina setulus hati. Hanya saja pihak Yesy agak kurang terima saat dibacakan akta waris yang Abyan tulis kala itu.

Nama Tio didapuk meneruskan Faldom. Menjaga Naina sampai nanti ia dewasa. Yang mana membuat Tio serasa direnggut kebebasannya. Sayangnya Tio mana bisa ngeluh? Himpitannya besar sekali di tengah keraguan yang mendadak datang padanya. Padahgal Tio itu enggak buruk amat kok memegang kendali. Ia hanya enggak ingin terlalu serius menapak hidup.

Cita-citanya keliling dunia. Menemukan cinta sejatinya. Menikah bersama, punya anak, bermain dengan Naina serta mungkin bakal calon adiknya yang rusuh. Tio tau sekali kalau Naina gadis yang enggak bisa diam dan memiliki daya pikat untuk dijadikan anak yang mendapat predikat menyebalkan. Bisa jadi adik-adiknya mendapat julukan yang sama. Tak jadi soal. Yang penting Tio sayang.

Sayang banget malah!

Hanya itu keinginan yang Tio miliki sembari dirinya berbisnis yang bisa diajak mobile ke mana pun ia inginkan. Didukung? Abyan mendukung sekali apa yang Tio lakukan. yang terpenting, kuliahnya beres. Kakak iparnya? Sering sekali membiayai perjalanannya ke luar negeri hanya sebatas; ingin melihat paus misalnya.

Kurang enak apa hidupnya Tio?

Lantas Tuhan jungkir balikkan segalanya. Sampai di titik di mana ia sadar, ia tak bisa menjalani hidup seperti semula. Ada tanggung jawab yang jatuh di bahunya. Juga tak bisa ia biarkan Naina sendirian. Enggak bisa terbayang dalam benaknya, anak sekecil itu mencari kedua orang tuanya yang telah tiada.

Di bawah tatapan banyak orang yang enggak setuju, Tio menerima apa pun yang Abyan pinta. Sebagai bentuk pelampiasan tersendiri, di sela waktu sibuknya selama menjalankan Faldom, Tio enggak pernah kekurangan wanita. Dianugerahi tampang yang memang tampan, dengan mudah ia menundukkan banyak wanita.

Terkecuali … gadis yang menawarkan bantuan.

Bagi Tio yang sebenarnya begitu mengagungkan kesetiaan, janji adalah janji. Sayangnya, otak Tio bergeser karena ditekan sana sini. Membuat ia mengubah sedikit pandangannya mengenai arti kesetiaan. Yang mana Tuhan sekali lagi bermain dengannya. Menghadirkan Leony tepat di saat Faldom mulai stabil di tangannya tapi kebiasaannya bersama wanita, sudah keburu menancap menjadi keseharian.

“Untung saya yang pegang setir.” Leony melepas sabuk pengamannya. Mesin mobil Tio belum ia matikan. “Saya sudah sampai di rumah, Pak. Bapak bisa pulang sendiri tidak?”

Tio menoleh dengan rengutan. “Kamu … benar-benar pergi ninggalin saya?”

“Saya enggak meracuni minum Bapak dengan alkohol, lho. Kenapa Bapak melantur?” Leony tertawa. Diambilnya tas yang ia letakkan di kursi belakang. “Saya pulang, ya, Pak. terima kasih sudah boleh nyetir.”

“Abrianna,” panggil Tio lagi.

“jangan panggil saya seperti itu, Pak.” Leony tersenyum simpul. “Selamat malam, Pak Tio. Sleep well. Besok harinya masih panjang.”

“Kamu tega banget sama saya.”

“Dari mana saya tega?” Leony mengerjap pelan.

“Enggak mau diajak kencan sama saya.”

“Kencan sama Rara aja lebih baik.”

Tio melepas sabuk pengamannya dengan desahan frustrasi. Membuka pintu sama seperti yang Leony lakukan. Mengiring langkah Leony yang mulai menggeser gerbang hitam tua yang menimbulkan derit cukup mengganggu. “Saya jemput besok?”

Leony menghentikan gerakannya, menoleh seraya masih dipertahankan senyumnya yang penuh palsu ini. “Enggak usah. Bapak lebih baik antar Naina sesekali ke sekolah. Pasti Nai senang.”

“Ya sama kamu, lah.”

“Saya masih repot kalau harus terlalu pagi berangkat.” Ini bukan sekadar alasan, sih, tapi kejujuran yang bisa Leony katakan. Pagi hari ia harus menyiapkan segala hal untuk sang ibu. Meski sebenarnya, Leony lelah.

“Jadi kamu enggak mau kencan sama saya?”

Leony dengan tegasnya menggeleng.

“Walau saya ganteng?”

“Siapa bilang Bapak jelek?”

Tio mencibir. “Saya mapan, lho, Ony.”

“Saya tau.” Leony tertawa. “Sudahi, Pak. Saya mau masuk. Capek.” Untuk mempertegas ucapannya, ia sedikit merenggangkan punggung. “Bos saya lagi tega banget mempekerjakan saya enggak pakai kira-kira, Pak.”

Tio berdecak. “Kenapa masih mau bekerja kalau gitu?”

“Yah … butuh duit, lah, Pak. Apalagi?” Leony menyeringai lebar. “Bapak pulangnya hati-hati, ya. Jangan sampai saya mendadak ditelepon kalau kondisi Bapak dalam keadaan enggak baik.”

“Kamu doakan saya yang buruk, Abrianna?”

Leony makin jadi tawanya. “Enggak, Pak.”

Mata Tio enggak lepas sebenarnya sejak mereka bersama di mobil. Di mana seenaknya Tio memberikan kunci mobil pada Leony. Alasannya, “Saya lelah banget. Bisa enggak kalau kamu yang nyetir? Saya mau tidur sebentar?”

Tio yakin Leony enggak akan menolak meski mukanya mendadak cemberut. Mobil Tio sendiri entah sudah berapa kali dikemudikan Leony. Dirinya ada di samping sang gadis. Duduk santai menikmati musik yang terputar di audio yang tersedia. Tio jarang sekali meminta supir untuk mengemudikan sedannya. Ia lebih menikmati perjalanannya sendiri namun kalau ada Leony, ia manfaatkan gadis itu tanpa terkecuali.

Lagian Leony juga enggak pernah menyanggah, hanya tampangnya saja berubah enggak suka tapi kemudian senyumnya kembali tampak.

“Bilang sama mama saya, Bu Yesy, atau siapa pun yang berniat mencarikan saya jodoh. Saya enggak tertarik.” Tio sekali lagi bicara.

“Saya sudah katakan, Pak. Kalau mereka memaksa, saya bisa apa?”

“Ponsel kamu mana?”

Leony mengerjap heran. “Kenapa dengan ponsel saya?”

“Blokir nomor mereka berdua biar kamu enggak direcoki lagi.”

“Kok kekanakan sekali?”

“Dari mana asalnya kalau kamu terus menerus dibuat capek sama mereka perkara dimintai tolong cari yang sesuai? Iya, kan?” Nanti malam pasti akan ia urus segalanya. Jangan sampai memecah konsentrasinya menghadapi urusan kantor yang mendadak menggila. Ia butuh Leony dalam keadaan fokus juga.

Leony enggak bisa bicara kalau sudah tersudut. Selain karena ucapan Tio ini tepat sasaran sekali, ia juga tak tau harus mencari kata-kata yang sesuai lagi seperti apa.

“Kamu harus fokus bantu saya, Ony.”

Kalau Tio sudah memanggilnya pada mode semula, Leony aslinya jadi lega. Selain karena tak akan ada bujuk rayu serta mengingatkannya pada kejadian di masa lampau, artinya sang pria juga sudah mulai serius bicaranya. “Iya, Pak.”

“Ya sudah, selamat beristirahat, Ony.”

Leony hanya bisa membalasnya dengan senyuman lebar. Matanya enggak teralih sampai sedan milik Tio benar-benar menghilang dari pandangannya. Ia mendesah pelan. “Kuatkan hati aku, Tuhan. Enggak bisa aku jatuh cinta sama orang yang enggak setia.” Matanya terpejam kuat.

Saat ia berbalik, sosok sang ibu mengejutkannya. “Mama?”

“Dasar perempuan tolool!” Abigail menoyor kepala Leony dengan entengnya. “Dia masa depan yang cerah! Kembalikan keluarga kita seperti semula, Anak Bodoh!”

Leony hanya bisa mengepal kuat. ia tak terlalu memedulikan ucapan ibunya. Kadang ia ingin meninggikan suara pada sang ibu. Memintanya untuk berhenti merongrong Leony memenuhi kebutuhannya. Yang mana seharusnya sang Ibu bisa merasakan betapa hidup sekarang sanga berbeda dengan sebelumnya.

“Anna!!!” teriak sang ibu dengan cukup kencangnya. Enggak peduli kalau sudah malam dan bisa memancing keributan. Dia kesal karena Leony enggak mau menuruti sarannya. Bermantukan pria kaya bisa membuatnya kembali menikmatik kekayaan. Enggak ada lagi yang akan memandangnya remeh.

Seperti saat dirinya diagungkan kala masih berjaya dulu. Sebelum sang suami meninggal dunia lengkap dengan banyak utang. Sialan sekali suaminya itu!

“Kak,” panggil Haikal pelan yang menyambutnya di depan pintu. “Kakak … enggak apa-apa?”

“Belum tidur?” Leony agak terkejut sebenarnya tapi tetap usapan lembut ia berikan pada Haikal. “Sudah malam. Tidur sana.”

“Nunggu Kakak dan Kak Hari pulang.”

“Hari belum pulang?”

Haikal menggeleng pelan namun sejurus kemudian, matanya terbeliak saat sang ibu dengan seenaknya menarik rambut Leony. Menjambaknya sampai sang kakak memekik kesakitan. “Lepas, Mama! Lepas!” Haikal langsung menolong sang kakak. Ia tak terima kalau kakaknya selalu diperlakukan kasar oleh sang ibu.

“Ma!”

Beruntung pertolongan itu datang. Hari segera menarik sang ibu, serta melepaskan tangannya dari rambut sang kakak. “Cukup, Ma!”

“Kurang ajar kalian semua! Sialan! Anak enggak berguna!”

***

Naina menatap wanita berambut merah di depannya dengan penuh perhitungan. Enggak peduli kalau dirinya juga mendapatkan tatapan yang sama meski enggak tajam dari lawan bicaranya sekarang. Yang pasti, Naina enggak akan kalah. Apalagi kalau sampai wanita ini berpikir, rainbow cake yang dibawa sebagai barang sajian untuknya, bisa membuatnya luluh.

Enggak, ya. Naina bisa membelinya sendiri. Uang jajannya cukup sekali untuk memilih aneka ukuran.

“Enggak mau dipotong? Atau Tante Mirah bantu potong?”

“Enggak usah.”

“Naina, jangan enggak sopan sama Tante Mirah.” Suny tersenyum lebar. “Maafkan cucu saya, ya. Memang agak ketus anaknya.”

“Enggak apa, Bu, saya paham.” Mirah tersenyum lebar. Dengan anggunnya ia potong bagian kue berhias icing gula manis itu untuk ia sajikan pada gadis kecil yang sejak awal kedatangannya, enggak menurunkan mata memusuhinya. Tapi Mirah yang terbiasa menghadapi anak kecil, apalagi seperti Naina yang keras kepala, pasti bisa dengan mudah mengambil hatinya.

Mirah, wanita yang akan diperkenalkan dengan Tio, mengenal baik sosok Suny. Beberapa kali bertemu di seminar mengenai pemberdayaan wanita, sebenarnya Mirah enggak tertarik untuk kencan buta seperti ini. Namun bujuk rayu Suny terutama menjual nama Naina, anak yang kesepian itu membuatnya tergerak. Meski sambutan yang ia dapat cukup mengejutkan untuknya.

“Selamat malam, Naina.” Ia pun menyodorkan piring kecil berisi potongan cake tadi. “Ayo, dicoba.”

“Aku kenyang.” Naina mendorong piringnya dengan sedikit kasar. “Aku mau tidur. Aku yakin Daddy enggak akan pulang ke rumah. Dia pasti bertemu Cacing Unicorn di luar sana.”

“Cacing Unicorn?” Suny terperangah. “Apa itu?”

“Ada lah.” Naina menggeser kursinya di mana bertepatan dengan kemunculan Tio.

“Mama di rumah? Tumben.” Tio mengerutkan kening. Matanya juga bersirobok dengan wanita asing yang ada di dekat ibunya. Enggak salah kalau Tio punya dugaan di mana sang ibu memang serius mengusiknya perkara jodoh. Wanita sedikit berumur, rambut merah, cukup cantik dengan make up yang dikenakan.

“Duduk dulu, Tio.” Suny tersenyum cerah. “Kenalkan ini kawan Mama. Namanya Mirah.”

Tio menghela panjang. dem sopan santu, demi nama ibunya juga, serta enggak ingin ia buat keributan di mala mini, ia pun mengulurkan tangannya. Yang mana segera disambut dengan senyum tipis dari sang wanita. “Tio,” katanya singkat. Berusaha sabar karena tingkah ibunya malam ini. “Nai sudah makan?” tanyanya pada sang keponakan setelah melepaskan tautan tangan mereka.

Hanya sebatas formalitas, kan?

Kalau sebelumnya, mungkin melihat wanita di depannya ini menatap penuh minat, pasti akan ia terkam begitu saja. Enggak ada kata sia-sia di mata Tio apalagi berhubungan dengan wanita. Namun bayang wajah Leony yang enteng sekali berucap mengenai ranjang serta keinginan Tio membawanya ke sana, mengusik dirinya demikian telak.

“Kapan saya ada niat seperti itu, Abrianna?” tanya Tio dengan sorot tak percaya.

“Lho? Seperti yang saya tau sebelumnya, malah saya sering pesankan kamar di hotel untuk Bapak kencan, semuanya pasti berakhir di ranjang. dan itu semua, wanita yang Bapak ajak kencan. Kalau saya iyakan keinginan Bapak berkencan dengan saya, jelas pertanyaan saya, kan? Saya juga dibawa ke ranjang, kah?”

Tio kesal luar biasa jadinya. Jangankan mau ajak Leony ke ranjang, pegang tangannya saja sepanjang usia mereka bersama di Faldom, belum pernah terjadi. Duduk bersama sering. Leony meladeni segala hal yang berkaitan dengan dirinya, hampir setiap hari. Enggak pernah jauh dari sisinya, memang sudah jadi bagian dari pekerjaan Leony. Tapi bersentuhan fisik? Tio hindari.

Tapi kenapa malah dipandang serendah itu oleh Leony?

Dasar Siput sialan!!!

“Sudah, Daddy.” Naina menatap Tio dengan heran. “Daddy kenapa? Kok, tampangnya kesal?”

“Ladies, saya kebetulan lelah sekali.” Tio tersenyum lebar. “Saya ke kamar dulu, ya. Mohon maaf enggak bisa temani kalian ngobrol. Besok saya masih ada meeting panjang.”

Naina ikutan jadinya. “Nai juga, Oma. Besok berangkat pagi, kan? Bye, Oma. Bye Tante Merah.”

Suny melongo, Mirah hanya tersenyum tipis.

Matanya enggak ia lepaskan menatap punggung tegap Tio. Satu hal yang pasti, mendadak ia ingin berkenalan dengan Tio secara personal. Selain tampan, bagi Mirah ada sesuatu yang memicunya untuk mendekat pada sang pria. Toh … ibunya meminta ia kencan buta dengan sang putra, kan?

 

 

 


 

[23] Tio Suka teh buatan Leony


[Mak Lampir : Angkat telepon saya, Tio!]

Kernyitan di dahi Tio sebagai pertanda kalau ia terganggu. Pesan bernada garang ditambah dalam bayangnya, wajah wanita paruh baya yang sebenarnya baik itu, muncul. Matanya mendelik enggak suka, bibirnya ngoceh sepanjang jalan kenangan, kadang tangannya nyubit Tio tanpa ampun. Satu lagi yang pasti, Tio ini pasti didesak untuk menuruti apa pun yang diinginkan sang wanita.

Memang nenek Naina ini merepotkan sekali. Andai saja Tio enggak berhubungan dengan beliau, pasti hidupnya jauh lebih tenang. Tapi itu sebuah kemustahilan yang enggak akan ada di hidup Tio. bagaimana bisa ada Naina kalau enggak ada Azkia? Sementara Azkia, putri kesayangan wanita yang ia labeli nama Mak Lampir. Semoga saja seorang Yesy enggak pernah melihat tampilan nama kontak yang Tio simpan untuknya.

Kalau enggak, sedikit banyak harusnya ia berdoa pada Tuah biar enggak akan kutuk.

“Pak,” sapa Leony sembari membawa satu berkas yang sudah ia koreksi. “Bu Nadia mau bertemu tapi di luar jam kantor dan agak privasi, Pak, mengingat apa yang beliau sampaikan memang cukup krusial.”

Agak kaget, sih, saat Leony masuk ke ruangannya. Ia segera meletakkan ponsel di dekat komputer miliknya. Enggak perlu juga mengubah tampilan gadget pintarnya itu. Toh, hanya pop up pesan yang belum terbaca.

“Enggak jadi soal.” Ia pun berdeham pelan sembari menerima uluran berkas dari Leony. “Tim keuangan bagaimana? Sudah beri laporan lengkap dua kuartal ini?”

“Sudah, Pak. Bisa dicek diemail. Saya sudah cek dan semua oke. Bapak bisa beri approval untuk mereka lanjutkan.”

Tio mengangguk. Matanya kembali turun menatapi laporan yang baru saja Leony berikan. “Untuk berkas ke Optima, sudah kamu siapkan, kan?”

Leony memilih mengangguk saja. “Tapi, Pak, semisal semua kecurigaan kita benar dan data menunjukkan hal yang valid, rapat komisaris jadi kisruh nantinya.”

“Harus kisruh, lah. Raptor pecinta kerusuhan.”

Bibir Leony mencebik. “Bisa berbahaya kalau mereka dendam sama Bapak apalagi sampai dimasukkan ke penjara.”

“Korupsinya enggak main-main, Ony. Ini terjadi di saat saya baru banget megang Faldom. Saat saya benar-benar butuh dukungan, malah dibuat seolah saya ini enggak becus. Dan yang membuat saya heran, kenapa saat itu Kak Abyan menyetujui?”

Leony yang masih berdiri di depan meja kerja Tio, enggak tahu haru respon bagaimana. Dirinya jadi karyawan Faldom saja belum sempat bertemu sang bos utama. Ealah, Leony ini kadang bodoh juga. Kalau saat itu dirinya bertemu dengan Abyan, berarti hantu sang bos utama yang menemuinya? Gila saja. Mendadak Leony mengusap tengkuknya.

“Kamu kenapa?” Tio heran jadinya. “Ada yang salah?”

“E-enggak, Pak.”

Tapi Tio mana mau percaya. “Duduk dulu. Kenapa kamu mesti berdiri seperti itu? Kaki kamu memangnya enggak capek?”

Leony berdecak pelan. Ingin sekali mengatakan kalau bokongnya sudah tepos sejak tadi pagi. Enggak ada jeda dari ia duduk sampai sekarang. Makanya ia manfaatkan sekali saat dirinya mondar mandir ke ruangan Tio.

“Kamu sudah buat janji khusus dengan Bu Nadia, kan? Sudah tentukan tempatnya di mana?”

“Sudah, sih, Pak.”

“Oke.”

Obrolan mereka terjeda sejenak dengan ketukan pintu yang membuat mereka menoleh. Yang mana sosok wanita pengirim pesan yang enggak digubris Tio, muncul di sana. “Lho? Tante?”

Tio ini suka enggak konsisten memanggil sapaan untuk seseorang. Tapi yang paling sering terjadi hanya kepada yesy seorang. Kalau dalam mode mengalah dan enggak ingin banyak debat, Tio lebih sering gunakan kata ‘Oma’ apalagi kalau di depan Naina. Mengajarkan anak itu sopan santun, dirasa perlu kan? Meski sebenarnya, Tio kepusingan dengan tingkah Naina yang kadang serampangan.

Kalau dalam mode ingin berdebat dengan kekuatan penuh, seringnya Tio memanggil Yesy dengan sebutan Ibu. Tapi kalau Tante, biasanya Tio enggak mempersiapkan diri dengan kemunculan atau interupsi Yesy di depannya kini.

“Tante ngapain di sini?”

Yesy rasanya ingin menghantam kepala Tio dengan tas yang ia bawa. Kebetulan isinya barang yang cukup beras; payung lipat, tas make up, ponsel, tablet, serta botol parfum. Kalau kena kepala pria yang menyambutnya dengan cengiran tanpa rasa bersalah sedikit pun ini, pasti bisa menimbulkan benjolan kecil. Enggak jadi masalah, lah, yang penting dirinya puas. Enak sekali sejak beberapa hari belakangan, semua telepon dan pesannya diabaikan.

Wanita ini merasa Tio berkepentingan sekali sampai ia datang ke Jakarta. Benar-benar keterlaluan.

Tapi mengingat bagaimana effort serta kasih sayangnya terhadap sang cucu, Yesy mencoba sabar. Lagi juga pastinya repot menggantikan Abyan bertahun-tahun di sini sampai nanti, bisa diserahkan pada Naina. Sebagai seorang ibu yang kehilangan putri tercinta, juga sebagai nenek yang merasa sangat sedih karena cucu kesayangannya harus tumbuh tanpa kasih sayang orang tua, ia sudah bersyukur sekali Tio memperhatikan Naina.

Walau, yah … seenak udel!

“Bu,” sapa Leony dengan santunnya. “Selamat datang. Saya enggak tahu kalau Ibu mau ke sini?”

“Iya.” Yesy membasahi bibirnya dengan decakan. “Ini semua karena bos kamu yang kurang ajar itu enggak mau angkat telepon saya.”

Leony mengerjap bingung. Segera ia larikan tatapannya pada Tio yang malah menyeringai lebar. Dan kini sang bos sudah beranjak dari duduknya lantas seenaknya merangkul sang wanita paruh baya itu. meski menerima jeweran serta cubitan di lengannya, tapi sang pria tak marah. Leony sendiri suka heran dengan kelabilan perasaan Tio. Belum Leony lupa, kok, keluhan Tio mengenai neneknya Naina yang ada di Surabaya. Malah perjalanan dinas kemarin juga, sepanjang jalan bosnya enggak berhenti mengeluh ini dan itu kala akan menghadapi Yesy.

Padahal kalau Leony pikir, apa yang Yesy inginkan sederhana. Hanya bertemu Naina si cucu kesayangan, mendapatkan kabarnya sesering mungkin, juga tau perkembangan yang terjadi dalam hidupnya Naina. Tapi karena telinga Leony masih ingin sehat dan enggak mendadak tuli saking sering mendengar ocehan Tio, makanya ia mendukung apa pun keluhan sang bos.

Wajar, kan, kalau Tio dijuluki Raptor? Dalam buku ensiklopedia mengenai hewan purba itu, Raptor memang dikenal cerewet. Apalagi kalau sudah bertemu kumpulannya. Aduh! Enggak terbayang betapa hutan belantara dibuat gaduh karena suaranya. Namun Tio enggak punya banyak teman, sih. Bagusnya di situ. Jadi enggak membuat Leony makin pening.

“Ony, siapkan Tante Yesy teh melati. Biar tenang hatinya.”

Yesy berdecak tapi kemudian tersenyum tipis.

“Baik, Pak.” Mana bisa Leony bantah, kan? Lagi juga ia beruntung karena bisa menyelesaikan bagian pekerjaannya. Kalau ada Yesy di dekatnya, banyak betul yang wanita itu bicarakan. Bukan enggak ingin Leony tanggapi, tapi kadang ia sendiri bingung harus merespon seperti apa. Memangnya pendapat Leony ini penting?

Sementara Leony yang sudah prig meninggalkan mereka berdua, giliran Tio yang enggak lagi pasang senyum di wajah. “Tante ada urusan apa ke sini?”

“Memang saya enggak boleh berkunjung?” Yesy berdecak heran.

“Kalau kunjungannya menanyakan Faldom atau Naina, saya terima dengan senang hati. Tapi kalau kunjungannya hanya sebatar menanyakan dan menyodorkan agenda kencan saya, lebih baik Tante bertemu Mama aja. silakan berkolaborasi sampai kalian merasa, sudah paling hebat menentukan pasangan saya.”

Yesy terperangah. “Kamu mengintimidasi saya?”

“Enggak,” Tio membasahi bibirnya lantas tersenyum tipis. “Saya enggak nyaman direcoki perkara jodoh, Tante.”

“Tapi yang ibumu bilang itu benar, kok. Saya sendiri sampai heran, siapa sih Mami Farah itu? Kamu enggak mau kasih tau sampai sekarang.”

Tio menghela panjang. “Memangnya Naina masih suka cerita mengenai Mami Farah itu?”

“Enggak, sih.”

Rasanya Tio mau mencebik sebal jadinya. Tapi karena masih ingat takut kualat, ia pilih bersandar nyaman saja. “Naina sudah enggak pernah tanya mengenai wanita itu, Tante. Kurasa dia sudah paham aapa yang kujelaskan mengenai batas perkenalan mereka. Lagi juga hanya karena Farah berambut merah, enggak mungkin juga seleraku jadi wanita seperti itu, Tante.”

“Selama wanita itu baik dan bisa dekat dengan Naina, enggak ada salahnya mencoba Tio.”

Tio mengembuskan napas lelah. “Iya, Tante.” Enggak mau banyak bicara, Tio hanya merespon seperti itu saja. “Tapi saya heran, sih, Tante. Kenapa kalian berdua, enggak perlu banyak mengelak lah. Ide perjodohan, kencan buta yang konyol, juga desakan yang akhir-akhir ini menghampiri saya, gencar sekali dilakukan? Ada apa memangnya?”

Yesy terdiam.

“Ada sesuatu? Yang enggak bisa saya tangani terutama masalah Faldom?”

“Enggak,” tukas Yesy dengan tegasnya. “Saya serahkan Faldom di tangan kamu dan sepertinya memang kamu piawai mengurusnya.”

Tio memilih diam sembari melipat tangannya di dada. Menunggu apa yang akan wanita itu katakan sebagai pelengkap keingintahuannya.

“Tante dan Mama kamu ingin, kamu juga punya kehidupan pribadi yang layak, Tio. berapa tahun kamu kerahkan untuk Faldom? Saya pribadi kadang merasa egois sama kamu. Seringnya banyak menuntut kamu harus selalu siap sedia untuk Faldom dan Naina. Sampai saya lupa, kamu juga punya kehidupan pribadi,” kata Yesy dengan ringisan tipis. sedikit menunduk karena memang merasa, itulah keegoisan yang ia punya pada Tio.

“Saya mengerti kekhawatiran Tante dan Mama kalau begitu,” Tio tersenyum tipis. namun ucapan selanjutnya terjeda dengan kedatangan Leony yang masuk dengan dua buah cangkir. “Kok, dua? Siapa yang satunya, Ony? Saya enggak suka teh, lho.”

“Ini teh dibawakan spesial dari Ibu. Bapak pasti suka. Aromanya juga enak, kok.” Leony tersenyum riang. Diletakkan perlahan cangkir teh milik Tio juga Yesy. Enggak terlalu dia pedulikan, sih, tatapan yang diberikan Yesy meski sebenarnya ia grogi. Kenapa juga wanita paruh baya ini menatapnya lekat? “Untuk Ibu,” kata Leony sembari mempersilakan bagian untuk sang wanita.

“Tadi saya bawakan lapis Surabaya buat camilan kamu, Ony. Untuk Tio terpisah. Kamu tau, kan?”

“Tau, Bu. Sebentar saya ambilkan yang sudah dipotong. Tadi belum siap.”

Yesy tersenyum tipis. “Naina gimana? Katanya semalam belajar nungguin kamu pulang?”

Inginnya cepat kembali ke pantry mengambil bolu khas Surabaya untuk disajikan dengan segera, namun pertanyaan barusan membuatnya melambatkan gerak. “Iya, semalam saya ajarkan Non Nai dulu.”

“Kamu enggak bilang sama saya, Ony?” Tio merengut tapi juga tampak enggak nyaman dengan cangkir tehnya. “Ini … ganti dengan lainnya, Ony. Enggak bisa, ya?”

“Coba dimasukkan gulanya dulu, Pak.” Leony kembali fokus pada sisi Tio. Ia pun mengambil beberapa bongkah gula batu yang tersaji di dekat mereka. “Segini saya rasa cukup.” Ia pun mengaduk pelan. “Bapak bisa coba dan rasanya enak, kok.”

“Ini teh, Ony, bukan kopi. Kamu tau, kan, saya kurang suka?”

Leony mengangguk. “Coba dulu.”

“Kalau enggak enak?”

“Saya traktir makan malam nanti. Tapi kalau enak, Bapak traktir saya makan malam.”

“Oke.” Tio pun mengangkat cangkirnya dengan enggan tapi matanya menatap Leony lekat. “Awas aja kalau enggak enak. Saya hukum kamu.”

Senyum Leony masih enggak mau pergi sampai ia perhatikan detik demi detik yang berlalu. Di mana isi cangkir itu mulai membasahi sela bibir sang bos sampai akhirnya, mungkin disesap sedikit. Lantas … “Kok, enak?”

“Enaklah, Tio.” Yesy menyela. “Kamu itu memang enggak percayaan, ya? Apa yang Leony katakan itu benar. Pastinya juga asisten kamu sudah mencoba sebelum dikasih ke kamu. Lagian enggak akan saya bawakan sesuatu yang enggak enak,” cibir Yesy telak.

Senyum Leony makin lebar. “Iya, Bu. Teh yang Ibu bawa memang saya suka. Makanya saya ingin Bapak merasakan cita rasa teh ini juga.”

Yesy setuju meski ujung bibirnya tertarik penuh arti. Ia pun mulai kembali menikmati bagiannya di mana Leony kembali undur diri. Katanya mau mengambilkan bolu sebagai peneman teh mereka siang ini. Inginnya sih bertanya kenapa gadis itu enggak sekalian menyajikan bolunya?

Mendengar Tio meletakkan cangkirnya, Yesy menoleh. isinya sudah tersisa separuh. “Enggak suka, Tio?”

Yang mana ditanggapi dengan tawa renyah khas Tio yang kini memenuhi ruangannya. “Memang enak, Tante. Saya enggak sangka rasanya cukup nyaman masuk di tenggorokan saya.”

“Apa karena Ony yang buat?”

“Mungkin.” Tio masih mempertahankan tawanya.

Berhubung Leony sudah kembali masuk, Yesy biarkan dulu mereka bicara entah apa saja. kebanyakan seputar pekerjaan mereka di mana pastinya berkaitan dengan Faldom. Juga interaksi yang sebenarnya ditangkap berbeda oleh Yesy. Sabar sekali Leony hadapi Tio. Tapi pria ini macam bocah ingusan yang cari perhatian enggak kenal waktu dan tempat. Persis seperti Naina yang keras kepala serta enggak mau kalah.

Karena hal ini juga, ia pun menyingkir sejenak. lengkap dengan ponselnya yang segera ia sambungkan pada seseorang. Di mana orang tersebut, enggak butuh waktu lama meresponnya.

“Sudah di Jakarta?” tanya si penerima telepon di ujung sana.

“Sudah.” Yesy melirik siapa tau salah satu di antara dua orang yang ditinggalkan di sofa itu mendadak memberinya perhatian. Menguping misalnya. Tapi nyatanya, saat ia menoleh, malah terlihat dua orang itu jauh lebih akrab bicaranya. “Saya lagi di kantor Tio.”

“Gimana menurut Mbak Yesy?”

Yesy tertawa. “Seperti yang kamu duga, sih. Saya setuju kalau ini diteruskan.”

“Biar Leony sadar.”

“Atau saya perlu pinjam sepupu jauh Azkia? Untuk goda Ony mungkin? Buat Tio makin enggak keruan?”

Di sana, Suny tertawa lepas. “Idenya ya ampun!”

“Saya yang gemas sama mereka berdua. Saling suka tapi enggak ada yang mau bilang.”

“Gengsi, Mbak.”

“Alah!” Yesy berdecak pelan. “Sudah, ya. Kita bertemu di rumah. Saya jemput Naina dulu.”

“Iya, Mbak. Hati-hati di jalan.”

“Kamu enggak lupa ajak Mirah, kan?”

“Enggak dong.”

“Kebetulan tadi Tio bilang mau ajak Leony makan malam. Kita pertemukan mereka. Gimana?”

 

 


 

 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Raptor-Siput
Selanjutnya HANDLE ME. [24], [25], [26], & [27]
4
0
Isi Konten :[24] Judunya Makan Malam. Titik[25] Mirah mendekati Tio[26] Pengakuan Tio[27] Optima
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan