
Bukan tanpa alasan kalo aku akhirnya hilang respect pada pria pria lokal. Baik yang bujangan apalagi yang duda. Kalo ada yang bantah tidak semua pria lokal begitu, biar aku bicara tentang pria pria lokal di sekelilingku dan bukan yang berada di sekeliling kalian. Bisa jadi pasangan rekan kerjaku, suami tetangga rumahku, suami atau pacar tetangga di apartemanku, atau mantu, pasangan anak teman teman ibuku. Rata rata hampir separuhnya tidak benar. Atau anggaplah pria lokal yang punya etitude baik itu pada akhirnya sudah milik orang lain, kalo itukan tidak mungkin aku ganggu milik orang lain. Aku bukan pelakor, dan aku tidak mau di cap tidak baik karena menginginkan apa yang sudah jadi milik orang lain.
Di mulai dari drama penyanyi dangdut dari panggung ke panggung yang akhirnya di grebek seorang emak emak muda yang datang dengan orang tuanya menggerebek rumah si penyanyi dangdut yang letaknya di depan rumah ibuku. Jelas keributan itu mengundang banyak orang untuk menonton. Aku jadi ikutan karena ibu kepo laporan padaku yang sedang mager mageran di depan TV, lah wong weekend jadi aku bersantai.
“Apaan sih bu?” tanyaku malas saat ibu menarik tanganku agar mengekornya keluar rumah.
“Ada yang di grebek Pie” jawabnya.
Baru aku penasaran. Aku ikut juga mengekor ibuku. Tapi aku bertahan berdiri di balik pagar rumahku yang setinggi dadaku. Ibu yang maju kedepan layaknya wartawan infotainment berusaha mencari tau apa yang sedang terjadi. Sudah jelas jelas si emak emak muda tadi teriak teriak keras sekali di depan pagar rumah si penyanyi dangdut yang cukup tinggi dan tertutup.
“KELUAR GAK LO!! PEREK!!!!” jerit si emak histeris.
Hadeh…Aku tidak mau menghakimi apa yang oknum penyanyi dangdut lakukan pada si emak emak yang suaminya tergoda, pasti dia punya alasan sendiri. Aku juga tidak tau kehidupan seperti apa yang di hadapi. Jadi aku merasa tidak bisa menghakimi kelakuannya. Tapi aku juga tidak membenarkan apa yang dia lakukan pada si emak emak muda tadi. Namanya merebut apa yang sudah punya orang, memang beresiko sekali di cap tidak baik, itu sudah hukum alam.
Dari pada kepalaku tambah pening karena semakin banyak orang yang menonton dan bersiap dengan kamera handphone mereka, jadi aku memilih masuk rumah lagi. Nanti juga dapat info dari ibuku. Dan benar saja, dari ibu juga, akhirnya aku dapatkan kronologis lengkapnya.
“Gak seru Pie, gak ada jambak jambakan” kata ibu mulai setelah masuk rumah lagi, karena keramaian itu di bubarkan pak RT.
“Memangnya gak ada orangnya?” tanyaku.
Ibu mengangguk.
“Kayanya udah tau bakalan di gerebek bini pacarnya deh, jadi dia udah kabur ke rumah orang tuanya” jawab ibu.
Aku gantian mengangguk. Sumpah ya aku sebenarnya tidak mau lagi dengar cerita lanjutan ibu soal penyanyi dangdut tadi.
“Benar deh kayanya kata emak emak di sini, itu rumah yang dia punya, kayanya hasil malakin dari laki si ibu tadi Pie. Soalnya laki si ibu tadi kerjaannya pemborong bangunan, pasti duitnya banyak” kata ibu lagi.
Aku bertahan diam menyimak.
“Padahal si Evi cakep ya, laku juga jadi penyanyi dangdut, kenapa mau sama laki orang. Elo jangan gitu ya Pie, biar jelek apa gak punya duit, mending cari yang bujang apa duda dan bukan punya orang” kata ibu lagi.
“Ya lakinya juga dong bu, udah tau punya bini kenapa masih mau sama si Evi” sanggahku.
Yakan perselingkuhan itu bisa terjadi karena dua orang yang memadu kasih di belakang pasangan mereka. Kalo yang satu tidak mau, jelas tidak akan terjadi perselingkuhan. Tapi memang efek buruknya terjadi pada perempuan kok.
“Nah itu dia, laki zaman sekarang emang ngerasa gak cukup punya satu perempuan, apalagi punya duit. Hati hati makanya Pie, jangan kejar laki yang banyak duit doang juga, rata rata gak benar, suka main perempuan” tuh nasihat ibu yang aku amini benar kalo berkaca dari kasus penyanyi dangdut tadi.
Tapi lelaki yang tidak punya uang, bisa juga kok main perempuan. Zaman sekarang toh banyak aku temui perempuan yang membeli lelaki. Saking bucinnya dan selalu pakai perasaan, jadi berhenti memakai otaknya untuk berpikir secara cerdas. Untuk apa coba mau aja membiayai lelaki yang baru sekedar jadi pacar. Kalo sudah jadi suamiku aja salah, karena seharusnya lelaki yang jadi suami itu yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan istrinya dan bukan malah sebaliknya. Dan terkadang lelaki kere yang berlagak banyak uang ini, bahkan sampai tidak punya hati, dengan menyenangkan perempuan selingkuhannya dari uang yang di berikan pacar atau istrinya. Banyak yang seperti itu. Lelaki yang bergaya tidak sesuai isi kantong.
“Laki tuh mba Opie, terkadang mending kere dan gak punya duit deh. Soalnya kalo gak punya duit, pasti nurut banget dan perhatian sama kita sebagai istri. Tapi laki semakin di enakkin bini, malah semakin malas, itu resikonya. Sementara sebagai istri lama lama saya mau juga ngerasain rasanya di kasih duit sama laki yang jadi suami hasil dia kerja, dan bukan jutru suami yang minta duit istri, yakan?” kata salah satu staffku yang akhirnya bercerai dengan suaminya yang selingkuh dengan teman kantornya.
Aku mengangguk waktu aku tanyakan kenapa dia akhirnya memutuskan cerai dengan suaminya.
“Mantan laki saya tuh mba, dari awal semenjak nikah, kerjanya serabutan, gak punya kerjaan tetap, karena bekas di manja gitu sama orang tuanya. Jadi gak ada tuh inisiatif buat ngelamar kerjaan. Itu kenapa saya tetap kerja trus mba, walaupun anak saya dua. Habis andelin dia bisa bisa saya dan anak saya gak makan. Eh malah semakin keenakan. Kalo saya teriak teriak gak punya duit baru dia mau gerak cari duit. Jadi kaya nunggu duit di rumah habis dulu baru dia mau kerja. Yakan jadi gak pernah bisa nabung buat kebutuhan anak. Habisnya uang gaji saya, udah habis duluan buat bayar kontrakan sama kasih ibu saya uang jajan karena jaga anak saya, sama buat makan setiap hari” katanya lagi.
“Emang kerjanya apa?” tanyaku.
“Driver mobil online yang cicilannya di bayar sama orang tuanya” jawabnya.
Aku mengangguk.
“Sampai kemudian, mobilnya di tarik leasing mba. Mulai deh rungsing, karena saya nolak bayarin cicilannya supaya tuh mobil gak di tarik. Boro boro buat bayar cicilan mobil, buat makan dan kebutuhan bocah aja saya pusing. Akhirnya tuh mobil di tarik. Trus saya mohonlah sama om saya yang kerja di outshorcing gitu mba, supaya kasih kerjaan sama mantan suami saya jadi supir. Lama lama saya untuk lihat dia cuma makan tidur di rumah, atau mintain duit sama orang tuanya. Kerjalah dia di perusahaan asing, dan gajinya gede. Eh ternyata malah selingkuh sama staff kantor tempat dia kerja. Nyerahlah saya, mending saya udahin. Jadi ngerasa nothing aja sayanya mba. Dari gak punya apa apa, sampai saya yang biayain hidup dia, trus saya yang cariin dia kerjaan, eh pas punya duit belagu pake selingkuh segala” omelnya kemudian.
“Elo udah gak cinta lagi?, trus anak anak gimana?” tanyaku lagi.
Dia tertawa.
“Cinta?, pada akhirnya gak ada lagi mba. Sakit hati banget saya soalnya. Lagian saya pikir lagi, ada dia pun saya tetap berjuang buat bertahan hidup dan biayain anak anak sendiri. Jadi mending saya sendiri. Soal anak anak, ya saya gak larang juga ketemu ayahnya. Dan saya lebih happy begini” jawabnya.
Aku mengangguk dan tersenyum menatapnya.
“Kalo saya boleh kasih saran sama mba Opie, hati hati banget deh kalo mau cari calon suami. Apalagi mba Opie udah semapan sekarang, hati hati sama laki yang dekatin mba. Takutnya cuma mau sama duit mba Opie doang, zaman sekarang mba, bukan cewek aja yang matre, tapi laki juga banyak yang matre, yang demen jadi parasite ama perempuan. Maaf ya saya ngomong gini. Bener deh mba, saya cuma gak mau mba akhirnya kaya saya” katanya lagi.
Aku mengangguk.
“Selow, gue tau diri kok, gak mungkin ada laki yang beneran mau sama badak air kaya gue, apalagi gue OTW jadi perawan tua” jawabku sambil tertawa.
Dia yang meringis.
“Mba Opie…jangan insecure, mba Opie pintar, yang lain boleh punya muka keceh, tapi kalo gak punya otak, sama aja percuma” katanya padaku.
Aku mengangguk masih tertawa. Ya itu salah satu alasanku selalu berusaha belajar supaya aku pintar. Perempuan lain boleh mengalahkanku dari sisi fisik, jadi aku ambil bagian di mana mereka tidak bisa. Bukan untuk membuat diriku merasa lebih unggul, tapi supaya orang di sekitarku tetap menghargai keberadaanku. Bapakku benar, saat aku tidak punya kecantikan fisik, aku harus punya kepintaran otak, supaya aku akhirnya punya kuasa untuk mengatur mereka atau supaya mereka mendengar aku. Lihat aja Oprah, memangnya dia cantik secara fisik?, dia itu pintar. Talk shownya di tonton jutaan orang dan selalu menginpirasi banyak orang. Apa sih yang Oprah kampanyekan trus tidak buat orang bergerak?. Pada akhirnya orang respeck pada apa yang di lakukan Oprah, karena kecerdasan berpikirnya. Ya walaupun tidak mudah untuk ada di titik Oprah.
Aku juga merasakan beratnya untuk ada di posisiku sekarang, aku sudah cerita sebelumnya bukan?. Sampai aku akhirnya bisa jadi pimpinan tim creastive pun terkadang masih aku dengar suara suara sumbang, tentang ketidaksukaan mereka padaku. Entah pada pekerjaan yang aku berikan, entah karena aku marahi karena pekerjaan mereka tidak sesuai yang aku mau, entah karena alasan pribadi terkait pengajuan libur atau cuti mereka yang tidak aku setujui.
“Dasar gendut” umpatan yang paling sering aku dengar di belakangku.
Atau.
“Badak air kalo kasih kerjaan gak suka mikir apa ya?” keluhan yang lain yang berujung pada fisikku.
Tapi aku selalu abaikan. Selain memang aku begitu adanya, yang gendut atau seperti badak air, juga karena aku tidak mau ambil pusing tentang keluhan mereka. Pada akhirnya toh mereka kerjakan sesuai yang aku perintahkan.
“Kalo elo jadi pimpinan, suka gak suka elo pasti akan temui umpatan, keluhan atau protes dari orang ornag yang elo pimpin. Kalo elo bawa baper, yang ada kerjaan dan tanggung jawab elo gak beres. Biar aja, toh karena posisi elo yang lebih tinggi tetap maksa mereka untuk nurut sama elo. Jadi diemin aja, nanti juga cape sendiri. Dan elo cukup focus pada apa yang jadi tanggung jawab elo, karena imbasnya pada mereka yang jadi anak buah elo. Anak buah tuh, kadang memang gak ngerti besarnya tanggung jawab seorang pimpinan. Ya itu juga yang akhirnya buat mereka tetap bertahan dengan status mereka yang jadi anak buah. Coba mereka niru elo dulu, yang selalu berusaha selesaikan tugas dan kerjaan yang di kasih bos elo dulu dengan baik, dan tepat waktu. Elo dapat rewardkan atas usaha elo, akhirnya elo dapat promosi jabatan. Dari mana asal promosi itu kalo bukan dari orang yang jadi bos elo” kata Boy suami Nadine sahabatku yang juga CEO stasiun TV tempatku bekerja.
Aku tertawa waktu itu.
“Tapi orang orang tetap mikir kalo gue dapat posisi gue karena temanan sama bini elo, yang dulu masih jadi tunangan elo bos” ejekku.
Gantian Boy tertawa.
“Whatever, kalo elo gak merasa seperti yang mereka katakan, ya abaikan aja. Perusahaan bokap gue ini, bukan perusahaan abal abal yang merekrut karyawan berdasarkan hubungan pribadi, tetap harus ada pertimbangan untuk orang yang bekerja di sini untuk bisa ada di suatu posisi tertentu. Untuk jadi OB aja ada tes dan traning, apalagi orang orang yang menduduki posisi penting. Jadi don’t care lah Pie, jawab semua nyir nyiran orang di sekeliling elo dengan prestasi kerja, nanti mereka juga bungkam” jawab Boy, bos dari bos dan bosku.
Dan banyak sekali cara berpikir dari Boy yang membuatku takjub. Dia masih muda tapi tanggung jawabnya pada pekerjaan luar biasa sekali. Dan kerennya Boy selalu menghargai hasil kerja setiap orang sesuai porsinya. Cara kerjanya terencana, sistematis dan tepat waktu. Itu yang membuatku selalu respect padanya, sekalipun dia masih muda seumuran aku. Pada Nadine dan anak mereka pun selalu adil dalam membagi waktunya. Jadi aku merasa hidup Boy itu benar benar terarah dan terencana dengan baik. Dari dulu begitu dari semenjak dia SMA, karena kami satu sekolah.
Tidak neko neko juga selama pacaran dengan Nadine apalagi saat mereka akhirnya menikah. Tidak mungkinkan tidak ada yang berusaha mendekati atau menarik perhatian Boy?. Dia punya segala, selain kaya raya, juga ganteng sangat sampai tidak terhingga. Wibawanya dapat, auranya ninggrat, coolnya dapat, paket komplit deh. Tapi gak buat Boy berniat macam macam. Padahal kalo dia mau, bisa saja bukan?. Sekalipun sudah punya istri kaya raya macam Nadine sahabatku itu. Nadine bisa apa sih sekalipun dia punya segala juga, kalo akhirnya misalkan Boy main gila di luar rumah. Paling mentok minta cerai. Tapi memang aku perhatikan Boy tidak punya etitude ke arah sana. Tetap aja lempeng hidupnya hanya sekitar pekerjaan, Nadine istrinya, dan anak mereka.
“Yang elo lihat dari laki itu yang penting bukan seberapa ganteng atau tajirnya tuh laki Pie. Tapi yang elo mesti lihat, seberapa jauh tuh laki bisa menjaga komitmen yang dia buat. Gue udah punya komitmen sama bokap gue buat mimpin perusahan yang dia bakal warisin sama gue, ya gue mesti tanggung jawab. Gue punya komitmen pernikahan sama Nadine, ya gue mesti tanggung jawab juga. Juga komitmen gue sama Nadine buat masa depan anak anak kita, y ague mesti tanggung jawab juga. Sebisa mungkin harus selalu gue jaga komitmen itu semua dalam diri gue. Bukan supaya orang muji gue sebagai laki soleh, bukan Pie. Tapi itu harga diri gue sebagai laki, karena menurut gue, laki yang akhirnya gak bisa menjaga komitmen yang dia buat sendiri, pada akhirnya buat dia gak punya harga diri, jadi apa bisa di banggain lagi?” bantahannya saat aku memujinya sebagai lelaki soleh.
“Ini soal ego bukan sih?” ejekku.
Boy tertawa.
“Gak juga menurut gue. Ego itu kalo laki memaksakan apa pun sesuai yang dia mau, tapi dia sendiri tidak melakukan apa pun atau memberikan apa pun yang di butuhkan untuk mewujudkan apa yang dia mau. Misal, dia suruh istrinya begini begitu, tapi apa yang di butuhkan istrinya tidak dia penuhi, itu ego namanya. Tapi kalo dia atur istrinya begini begitu sesuai yang dia mau, bersamaan dengan usahanya memenuhi tanggung jawabnya pada istri dan keluarganya, ya bukan ego namanya. Tapi memang begitu seharusnya, sebagai pemimpin tentu harus memastikan semua berjalan sesuai apa yang sudah dia rencanakan supaya semua berjalan baik. Itu bedanya” jawab Boy.
Benar sih. Dan membuatku semakin mengagumi pola pikir Boy. Sampai aku sangkut pautkan semua dengan pola pikir pria lokal yang aku temui. Dan memang berbeda.
Boy itu sekalipun kaya raya, tapi saat dia pikir belum waktunya atau dia belum siap untuk berkomitmen, pasti tidak akan dia lakukan. Itu yang membuat dia dan Nadine lama sekali untuk memutuskan menikah. Boy pastikan benar semua yang jadi komitmen sebelumnya berjalan on the track dulu dan bisa dia kendalikan, terutama soal pendidikan, pekerjaan, sampai kesiapan Nadine untuk menikah pun dia pikirkan benar.
Tentu berbeda dengan pola pikir pria lokal kebanyakan. Yang baru dapat pekerjaan saja sudah berani melamar pasangannya. Ya memang rezeki orang menikah ada sendiri. Tapi coba deh kalo kita pikirkan lebih dalam, dengan baru dapat pekerjaan itu, apa mungkin punya kestabilan ekonomi setelah menikah?. Gimana kalo ternyata kontrak pekerjaannya tidak di perpanjang, yang jadi istrinya akan gimana?. Pada akhirnya si istri harus ikut juga mencari nafkah.
Atau kita bandingkan dengan pria lokal lain yang menikah dengan kestabilan ekonomi, rata rata aman pernikahannya, karena menurutku saat memutuskan menikah sama saja segala kebutuhan orang hidup akan di rasakan semua. Dari mulai kebutuhan akan tempat tinggal, kebutuhan makan, kebutuhan kendaraan, kebutuhan sekolah, kebutuhan orang tua, sampai kebutuhan liburan. Jadi semua tumplek di butuhkan pasangan rumah tangga. Kalo tidak punya kestabilan ekonomi, pada akhirnya ada yang harus di korbankan. Kalo yang jadi suami kurang kurang berusaha mencari cuan, apa tidak pusing yang jadi istri?. Kalo sudah begitu, istri pasti turun tangan untuk ikut mencari tambahan. Kalo sudah suami istri masing masing bekerja, iya kalo tetap sama sama menjaga komitmen dan komunikasi, kalo tidak?, taruhannya komitmen pernikahan mereka juga. Iya gak sih?. Yang suami bisa aja cari titik nyaman pada perempuan lain, karena dengan alasan cape jadi sudah tidak lagi bisa mengurus kebutuhan suami dengan baik. Lalu si istri karena alasan cape juga, akhirnya mencari titik nyaman dari lelaki lain yang mungkin bisa mendengarkan keluh kesahnya tentang rumah tangganya yang tidak bahagia. Kelar sudah kalo begitu keadaaanya. Dan itu realita yang kita jumpai di kehidupan sehari hari.
“Makanya kalo udah punya pasangan, apalagi udah nikah. Kalo punya masalah tuh tuh, yang laki jangan curhat sama teman perempuan, yang perempuan jangan curhat sama teman laki. Berawal dari curhat, bisa aja timbul rasa nyaman, kalo udah nyaman pasti dari sekedar ngopi bareng, pasti lanjut ngamar, dengan alasan nyari tempat untuk tempat lebih nyaman buat curhat. Curhat apaan kalo ujungnya buka baju?” komen Pipit sahabatku yang lain saat aku cerita soal pasangan suami istri yang saling selingkuh hasil laporan ibuku juga, karena pelakunya kebetulan tetangga kami di rumah.
Tuhkan…semakin buat aku takut untuk menikah. Rasanya aku tidak punya keahlian buat lelaki nyaman untuk dekat aku. Kalo aku segendut ini dan tidak cantik, apa yang akan buat laki betah bertahan dekat aku, kalo lihat aku aja udah malas duluan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
