
Baru part awal ya gaes…semoga kalian suka kisah TIsha dan Evan yang pastinya akan menguras emosi dan kekesalan kalian. Genrenya sebelas dua belas dengan story Saga, Sashi dan Rara. Jadi jangan sampai kelewatn ya kisah mereka. Tap love and comment ya gaess….
Entah berapa lama sudah aku focus pada pekerjaanku sambil menunggu suamiku pulang bekerja. Yang aku tau, saat aku sadar suamiku belum juga pulang ke rumah, ya saat jam dinding di ruang tengah rumah menunjukkan pukul 12 malam. Bahkan sudah lewat tengah malam.
Sebenarnya aku tidak punya kaharusan menunggu suamiku pulang. Soalnya suamiku juga selalu bilang untuk tidak menunggunya pulang bekerja. Tapi sebagai istri, entah kenapa, aku selalu merasa perlu menunggunya pulang bekerja.
Lalu aku di kejutkan dengan bunyi pagar rumah yang di buka, tanda suamiku sudah pulang. Buru buru aku membereskan laptop dan cangkir kopi yang sudah kosong aku minum isinya. Lalu mencuci cangkir itu di bak cuci piring di dapur rumah kami yang merangkap ruang makan sekaligus.
“Kamu belum tidur?” tegurnya mendapatiku di dapur dan menghentikan langkahnya menuju tangga menuju kamar di lantai atas rumah.
Memang ruang tengah rumah dan ruang makan juga dapur seperti berada di satu ruangan tanpa sekat.
“Kamu baru pulang?” jawabku bertanya.
Dan tidak perlu berharap akan ada kegiatan di mana aku sebagai istri mencium tangannya sebagai suamiku. Tidak ada dari semenjak kami menikah.
“Rasanya aku selalu bilang padamu, untuk tidak menungguku pulang ke rumah. Kamu lebih baik istirahat atau tidur duluan” tegurnya sambil mendekat padaku setelah menaruh tas yang selalu dia bawa bekerja.
Aku menghela nafas menanggapi.
“Kamu sudah makan?” tanyaku.
Gantian dia yang menghela nafas.
“Aku sudah siapkan makan malam untukmu” kataku lagi.
“Tissa…kamu tidak perlu melakukan itu. Aku bisa makan di luar rumah, jangan repot repot. Fokus saja pada pekerjaanmu saja” jawabnya.
Aku sampai menunduk menghindari tatapan protesnya. Seakan aku benar benar melakukan kesalahan. Padahal apa salahnya menyiapkan makan untuk suamiku sendiri. Yakan??. Itu bagian tugas seorang istrikan?. Menyediakan makan untuk suaminya. Apalagi selalu di beri uang bulanan untuk kebutuhan rumah tangga kami.
“Sudah sana kamu istirahat dan tidur. Aku bisa panaskan sendiri kalo memang aku mau makan” perintahnya.
Aku lalu hanya akan mengangguk dan menuruti perintahnya. Lalu aku segera berlalu dari hadapannya. Aku abaikan tatapannya yang mengawasi langkahku mengambil laptop kerjaku lalu bergerak menuju tangga menuju kamarku. Ya kamarku, karena kami tidur terpisah kamar semenjak kami menikah.
“Tissa!!” jedanya pada langkahku.
“Ya…” jawabku saat aku menoleh.
“Terima kasih” ucapnya.
Begitu saja, aku sudah merasa senang. Padahal hanya ucapan terima kasih. Padahal belum tentu juga apa yang aku siapkan akan dia makan. Aku harus menunggu pagi datang untuk tau soal itu. Kalo ada wadah bekas makanan yang aku siapkan di rak cuci piring karena dia akan selalu mencuci bersih sekaligus peralatan makan yang dia gunakan, dengan alasan supaya tidak merepotkan aku dan supaya dapur kami tetap bersih. Kalo aku tidak temukan wadah atau peralatan makan yang aku maksud dan tetap ada di tempatnya. Artinya suamiku tidak makan. Lalu berakhir di mana makanan yang suamiku abaikan??. Kalo aku masih berselera memakannya esok hari, ya aku makan. Kalo aku lalu kehilangan selera makan lauk yang sama, akan aku berikan pada pembantu yang datang membantuku untuk membersihkan rumah kami.
Apa kalian mulai merasa aneh pada apa yang aku ceritakan?. Pasti merasa aneh. Kenapa suami istri tidur terpisah?. Kenapa suami istri secuek itu?. Kenapa suami istri seperti tidak seperti suami istri pada umumnya?. Ya memang begitulah kehidupan rumah tanggaku selama tiga tahun ini. Rumah tangga yang sepi dan dingin, sedingin hubungan komunikasiku dan suamiku, kalo kami bicara seperlunya saja. Rumah tangga yang akhirnya aku sesali terjadi. Rumah tangga yang jauh dari harapanku.
Atau mungkin salahku sendiri yang akhirnya aku sendiri yang setuju di nikahi oleh seorang dokter bedah ternama, yang kehadirannya selalu di butuhkan oleh banyak orang yang membutuhkan bantuannya untuk menyelesaikan segala kasus penyakit yang di idap oleh dirinya, atau keluarganya??. Aku sendiri tidak mengerti lagi. Yang aku mengerti, suamiku hanya akan tertarik pada segala hal yang terkait dengan dirinya sendiri dan pekerjaannya. Dia seperti punya dunia dia sendiri, dan menganggapku seperti ADA dan TIADA. Atau malah mungkin sebenarnya dia tidak pernah benar benar membutuhkanku??.
“Tissa, aku berangkat kerja dulu. Dan ingat, tidak perlu menungguku pulang seperti semalam lagi, atau seperti hari hari sebelumnya” katanya menjeda lamunanku di dapur lalu tergesa berlalu dengan dia yang sudah rapi untuk berangkat kerja.
Lalu lagi lagi dia mengabaikan sarapan yang aku siapkan, seperti hari hari sebelumnya. Ya seperti itu. Lalu kenapa aku mesti merasa sakit hati lagi??. Kalo sebelumnya aku bisa menerima kondisi ini di awal pernikahan kami, sampai setidaknya dua tahun pernikahan kami. Lalu kenapa aku sekarang malah merasa sakit hati di abaikan terus oleh suamiku sendiri??. Setelah aku bisa menerima keadaan yang sama sejak awal kami menikah??. Apa aku mulai punya keinginan kehadiranku di anggap oleh suamiku sendiri?. Atau malah aku mulai merasa lelah pada harapanku sendiri, yang tentu berharap punya rumah tangga yang akhirnya ada cinta di antara aku dan suamiku??. Atau malah aku yang mulai merasa jatuh cinta sendirian pada suamiku sendiri??.
Tidak menutup kemungkinan untuk itukan??. Gimana pun dinginnya kondisi rumah tangga kami, tapi suamiku termasuk sosok suami yang bertanggung jawab. Dia tetap rutin memberikan aku uang belanja bulanan setiap bulannya. Padahal dia tau kalo aku punya penghasilan dari pekerjaanku sebagai penulis novel online di sejumlah aplikasi membaca online. Hal yang aku tekuni semenjak aku lulus kuliah dari fakultas sastra, dank arena memang aku suka menulis. Aku mengkhayalkan sesuatu seakan nyata dalam pikiranku lalu aku tulis dalam bentuk sebuah novel. Itu yang membuatku akhirnya terlihat asyik sendiri dengan apa yang aku sukai, sampai buat kedua orang tuaku merasa khawatir karena putri mereka yang beranjak dewasa, bahkan seperti tidak tertarik untuk punya pacar. Aku hanya berdiam diri di rumah, di dalam kamarku lalu aku sibuk dengan laptopku.
Aku hanya keluar rumah saat merasa perlu saja. Aku mungkin seintrovet itu semenjak aku kecil. Teman baikku pun hanya satu orang semenjak aku SD sampai kami kuliah di jurusan yang sama karena punya minat yang sama untuk jadi penulis buku. Maya namanya.
Dan karena Maya akhirnya menikah, aku seperti merasa tidak punya teman lagi kalo kemudian Maya pindah ke Jakarta ikut suaminya. Hal itu juga yang membuat orang tuaku semakin khawatir anak perawan mereka tidak akan pernah menikah.
“Kamu mau gimana nak?. Umurmu memang belum genap 25 tahun sekarang. Tapi kalo sampai sekarang kamu tidak punya pacar, lalu gimana papa dan mama bisa berharap kamu akan menikah suatu saat nanti?” tegur mamaku.
Aku masih diam waktu itu.
“Apa papa mesti carikan kamu calon suami?. Kamu mau seperti sahabatmu Maya, yang akhirnya menikah dengan lelaki yang di jodohkan orang tuanya??” tanya papaku.
Baru aku menatap kedua orang tuaku.
“Apa mungkin nikah sama orang yang gak aku kenal baik sebelumnya??” tanyaku pada kedua orang tuaku.
Mereka saling tatap dulu lalu menatapku.
“Kalo kamu percaya seperti Maya pada lelaki yang di pilihkan orang tuanya untuk jadi suaminya, kenapa tidak?. Tidak ada orang tua yang berharap anaknya tidak bahagiakan, sayang?” jawab mama.
Benar sih, jadi aku diam.
“Kalo memang kamu bersedia papa carikan suami untukmu, papa akan berusaha carikan untukmu. Seorang laki yang papa kenali lelaki baik dan bertanggung jawab. Papa tidak mungkin juga menjodohkan kamu dengan lelaki yang tidak papa kenal baik. Kalo bagian kamu untuk mengenalinya, bisa nanti bertemu dulu sebelum kamu memutuskan akan menerimanya sebagai suamimu atau tidak. Papa tidak akan memaksa kalo kamu memang tidak merasa sreg atau cocok. Gimana?” tanya papa padaku.
Kata kata papa yang bilang tidak akan memaksaku untuk menerima lelaki pilihan papa jugalah, yang buat aku akhirnya mengiyakan. Sebagai anak dan satu satunya dari kedua orang tuaku, tentu aku ingin mereka juga bahagia. Apalagi setelah papa dan mamaku bersedia menerima pilihanku yang ingin kuliah di fakultas sastra dan bukan masuk fakultas kedokteran macam papa dan mamaku. Aku lupa beritahu kalo papaku juga seorang dokter specialis jantung dan mamaku dokter specialis anak.
Tapi ternyata butuh waktu juga untuk papa mencarikan sosok lelaki yang akan di jodohkan denganku, sampai aku punya kesempatan curhat pada Maya sahabatku saat dia datang ke rumah di temani suaminya yang akhirnya ngobrol dengan papa mamaku. Dan Maya sedang hamil waktu itu. Jadi Maya bisa aku tarik ke dalam kamarku untuk kami kangen kangenan.
“Ya gak apa atuh. Kenapa memangnya kalo di jodohkan Tis. Lihat aku sekarang, sok sama suami. Malah mau punya anak” kata Maya padaku dengan logat sunda yang masih kental sekalipun dia sekarang tinggal di Jakarta dengan suaminya.
“Terus kamu udah jatuh cinta sama suami kamu sendiri?” tanyaku padanya.
Lalu Maya tertawa menanggapi.
“Aku kasih tau sama kamu ya. Benar mamaku. Kalo perempuan mah gampang jatuh suka sama lelaki. Apalagi kalo ketemu setiap hari. Terus suaminya tanggung jawab jadi suami, yang di cukupkan resiko rumah rumah tangga. Pasti gampang jatuh cinta sama suami” jawab Maya masih tertawa.
Happy sekali hidupnya, aku pikir begitu. Kelihatan sekali soalnya.
“Terus kamu ngerasa gitu, suami kamu jatuh cinta sama kamu?” tanyaku lagi.
Lalu dia tertawa lagi.
“Kalo suami aku sekarang kerasa pisan sayang ke aku, sampai aku mau apa dia turuti terus, artinya apa itu Tissa?” jawab Maya malah balik bertanya.
Aku sampai mengerutkan dahiku menatapnya.
“Sekarang mana mungkin juga tahan tinggal berdua sama perempuan berstatus istri atuh Tissa. Pasti lama lama gak tahan, walaupun pertamanya canggung karena gak pernah pacaran dulu sebelumnya. Tapi menurut aku mah sekarang, malah nguntungin buat kita perempuan kalo di nikahin dulu baru deh pacaran sama suami sendiri. Pacaran halal malah dapat pahala Tis. Di banding pacaran dulu terus baru di nikahin. Iya kalo beneran di nikahin, kalo terus di tinggal gimana?. Jadi menurut aku mah gak apa kamu nikah sama lelaki yang papamu jodohkan” jawab Maya.
Aku jadi diam menengarkan perkataannya.
“Sok jalankan aja dulu. Percaya aja atuh sama pilihan orang tua. Ari kamu, lupa mungkin ya, ridho dan ikhlas orang tua itu sama dengan ridho gusti Allah” kata Maya lagi.
“Tapi tetap ada kemungkinan pilihan orang tua gak akan berjalan sesuai harapankan?” sanggahku.
Maya lalu menghela nafas menanggapi perkataanku.
“Menurut aku mah, kalo kamu ikhlas menjalankan apa apa yang di atur orang tua kamu, pasti semua akan berjalan sesuai harapan kamu. Beda kalo kamu gak ikhlas menjalankan apa apa yang di atur orang tua kamu. Mungkin moal ej’rek. Ya macam nikahan yang anaknya di paksa di jodohkan sama orang tuanya yang suka kamu dengar. Tapi ari kamu ikhlas menerima dan menjalankan, sok Insya Allah, bakalan lancar segala sesuatuna teh” kata Maya dengan logat sunda yang semakin kentara.
“Emang akan jiga yang kamu bilang ya May?” tanyaku jadi ikutan susundaan.
Maya lalu tersenyum menatapku.
“Insya Allah. Sok yakinkan heula diri kamu sendiri. Moal di paksa euy pan ku papa kamu amun kamu te bisa nerima atau te sreg ka lalaki nuh di pilih ku papa kamu?” tanya Maya sekaligus menjawab.
Aku mengangguk.
“Tuh, jadi pasti kumaha kamu. Temuan heula atuh, mun nanti kudu ketemu heula. Terkadang Tis, nu sama kita di anggap moal bener di jalankan, bisa jadi nu paling benar. Bisa jadi menurut kita nu paling benar nu kita jalankan, bisa jadi malah te bener” kata Maya lagi.
Benar juga sih. Terkadang manusia terlalu overthingking lalu membuatnya takut mengambil keputusan untuk melangkah, bertahan, atau malah mundur. Tapi kalo bicara masa depan, mana mungkin aku mundur, kalo kemudian aku mengiyakan apa yang di atur kedua orang tuaku.
“Papa ada punya kenalan seorang dokter specialis bedah. Masih cukup muda, kalo umurnya baru 30 tahun. Bujangan. Dan papa pikir cocok dengan kamu. Papa juga sudah cukup kenal dengannya, karena orang tuanya kenalan papa dulu sewaktu sekolah” kata papaku.
“Kenapa akhirnya mau nikah pah??” tanyaku.
Papa menghela nafas dulu menanggapi.
“Ya karena mau apa lagi, kalo dia sudah masuk usia dewasa, punya karier bagus, dan mapan?” jawab papa malah setengah bertanya.
“Jadi dia menikah karena keinginannya sendiri atau seperti aku yang memilih di jodohkan?” tanyaku lagi.
“Lebih baik kamu temui saja dulu. Papa kamu bilang dia bersedia datang ke Bandung karena dia tinggal di Jakarta” kata mama sambil menunjukkan fotonya lewat handphone papa.
Sempat tidak percaya dong kalo lelaki berprofesi dokter, terus ganteng juga. Kok ya bersedia menikah sama aku?.
“Papa juga sudah berikan foto kamu pada orang tuanya. Bisa jadi karena itu jadi bersedia menemuimu. Kamu teh cantik Tisha. Jadi jangan tidak percaya diri ya?” kata mama seperti menyemangatiku.
Ya memang aku tidak jelek jelek amat juga sih. Lalu jangan lupa kalo setiap perempuan pasti cantikkan??.
“Coba temui dulu Tisha. Papa malah tidak enak kalo kamu malah tidak bersedia bertemu dokter anak kenalan papa. Kalo akhirnya kamu merasa tidak sreg, ya sudah. Papa akan terima dan berusaha mengerti” kata papa lagi.
Rasa tidak enak pada papa dan mamaku juga, yang awalnya buat aku bersedia menemui dokter yang papa dan mama akan jodohkan padaku. Tapi aku tidak menduga kalo dokter itu bersedia menemuiku di rumahku.
“Saya Evan. Senang bisa ketemu kamu Tisha…” sapanya saat akhirnya kami berkenalan.
Tentu aku sambut uluran tangannya walaupun debar jantungku perlahan berdetak hebat. Asli deh, aku tidak bohong. Dia itu, suamiku sekarang, satu satunya lelaki yang bisa buat aku berdebar debar. Ya dia, dokter EVAN SATYA MARSUDI. Yang akhirnya jadi suamiku setelah pertemuan singkat kami, lalu berlanjut dengan lamaran lalu kami menikah tiga tahun lalu.
Aku akan ceritakan semua, asal kalian bersedia mendengarkan. Supaya aku merasa lega kalo akhirnya aku menumpahkan semua curahan hatiku selama ini, dari kali pertama aku mengenal suamiku, sampai akhirnya kami menikah sampai saat ini setelah aku menjalani pernikahanku bersamanya selama 3 tahun ini.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
