
Zalia putri–wanita cantik dari keluarga yang cukup berada. Menikah dengan seorang lelaki yang begitu ia cintai. Demi cinta yang dia miliki, Zalia rela menentang kedua orang tuanya untuk tetap dapat menikah dengan sang pujaan hati. Namun cinta tulus yang Zalia miliki dimanfaat oleh suami hingga ia menjadi sapi perah suami, mertua serta ipar-iparnya.
Saat seorang suami tidak pernah sadar akan tanggung jawabnya. Akankah Zalia bisa terus bersabar menjalani takdirnya, dari tulang rusuk berubah fungsi...
Bab. 2
Brak! Prang!
Suara piring dan sendok yang jatuh mengagetkanku. Ya Tuhan, Firaun itu telah bangun.
"Zalia!" teriak Mas Yudha dari dapur. Aku yang sedang berkutat dengan cucian di sumur ini pun jadi terkejut. Jika sudah teriak seperti ini, itu tandanya sang Nahkoda pemalas sudah bangun dan lapar.
"Zalia! Kuping kamu dengar apa tidak aku panggil. Dasar budek!" teriaknya lagi penuh dengan cacian terhadapku.
Suaranya yang menggelegar menjadi alarm sumbang di siang hari menusuk seperti duri di gendang telingaku. Aku menyudahi kegiatan yang belum selesai ini. Dengan langkah cepat aku menghampiri, bajuku yang sedikit basah terasa dingin saat angin dari pohon belakang menerpa. Karena aku sedang mencuci, makanya bajuku basah.
Aku mencuci semua baju yang bertumpuk itu secara manual dengan tangan, jangankan membeli mesin cuci, untuk makan sama bayar listrik aja masih susah. Semuanya aku tanggung sendiri. Aku memiliki suami tapi seperti janda saja nasibku ini.
"Apa sih, Mas. Bangun-bangun pakai teriak-teriak segala, apa nggak malu di dengar tetangga!" jawabku. Masih berusaha sopan demi menjaga Marwah sang suami.
"Makanya kalau punya kuping dipakai!" hardik Mas Yudha begitu ketus. Membuatku lagi-lagi mengelus dada.
Degh!
Nyeri sekali rasa hati ini ya Allah. Sudah capek dari pagi kerja mencuci semua cucian pelanggan untuk mengisi perut. Sekarang justru di bentak suami. Merana sekali rasanya hatiku saat ini. Jika bukan karena Alia, mungkin aku sudah akan mengibarkan bendera putih sebagai tanda menyerah.
"Aku lagi nyuci di belakang, Mas. Memangnya ada apa kamu teriak-teriak? Apa tak bisa menghampiriku di belakang?" jawabku kembali. Masih mencoba bersabar dengan sikap suami durjanaku ini. Walau sebenarnya kedua tanganku sudah menggenggam kedua sisi dasterku dengan erat. Emosi telah mengumpul di dada hingga dada ini membiru lebam.
"Gak usah cerewet. Aku lapar, siapkan makanan!" perintah Mas Yudha layaknya seorang mandor yang memerintah bawahan.
Lagi-lagi aku menekan dadaku yang kembali terasa nyeri, aku merasa tak ubahnya seperti babu, bukan seorang istri. Babu pun masih enak hidupnya dari pada diriku. Masih diberi upah setiap bulan. Sedangkan aku?
"Sudah kusiapkan di atas meja, Mas. Apa susahnya lihat dulu baru berteriak. Ayam tetangga saja sudah mengais makanan pagi-pagi sekali. Sedangkan kamu, bangun tidur kamu bisa tinggal makan! Itu pun masih jerit-jerit bertanya di mana makanan itu berada!" ujarku dalam. Mata Mas Yudha melotot mendengar perkataanku. Aku memang sengaja menyindir, Mas Yudha. Itu pun kalau ia sadar dengan ucapanku.
Bukannya sadar, lelaki itu justru menjelit dengan tatapan tajam padaku. Aku melemparkan tatapan mataku ke ujung kaki yang tak beralas ini. Kakiku yang dulu halus mulus kini justru pecah-pecah dan terdapat jamur yang membuatku tersiksa dengan rasa perihnya.
"Makanan apa yang kamu hidangkan padaku, Zalia! Hanya ini?" sungut Mas Yudha tak tahu terima kasih setelah membuka tudung nasi yang ada di atas meja.
Ia membanting tudung nasi itu dengan kasar. Membuatku terkejut. Untung saja Alia yang sedang tidur di ruangan depan tidak terbangun mendengar suara keras bapaknya yang seperti kuda lumping yang kesurupan.
Kupandang lekat-lekat lelaki yang menjadi imamku ini. Lelaki selama pernikahan kami lebih banyak menganggur karena memilih-milih pekerjaan.
"Jika mau makan enak, makanya kasih aku uang belanja, Mas. Jangan cuma tahunya makan tidur saja!" balasku. Mata Mas Yudha yang bulat semakin membulat besar saja.
Aku yang terbiasa diam kini mulai membantah. Rasanya stok rasa sabar di hatiku sudah mulai menipis. Sejak menikah hingga kini, hampir semua kebutuhan rumah tangga kami, aku yang memenuhi. Dari hasil menjadi upah buruh cuci para tetangga. Kadang aku berpikir, lalu apa gunanya ia dalam hidupku. Apa hanya teman ranjang dikala bercocok tanam saja?
"Kamu kan setiap bulan dapat jatah kiriman dari orang tuamu. Mana uangnya? Pasti sudah masuk ke rekeningmu, kan? Sini berikan padaku!" pinta Mas Yudha mulai melembut padaku. Aku memejamkan mataku sejenak, hapal betul dengan sikap manisnya saat ini.
"Gak ada. Mulai bulan ini uang itu aku simpan untuk masa depan Alia. Lagi pula, ibu mengirimkan uang itu untuk kebutuhan cucunya bukan untuk kamu, Mas! Kamu itu kepala rumah tangga. Kamu yang bertanggung jawab padaku dan Alia. Bukan ibuku yang janda!" sungutku. Aku tak habis pikir dengan pola pikir yang ada di otaknya ini.
Entah di mana letak rasa malu lelaki ini. Sudah malas bekerja dan jarang memberi nafkah. Sekarang kiriman uang mertua untuk anaknya mau ia pinta juga.
Ibuku memang orang berada. Almarhum bapakku seorang pensiunan tentara, selain dari gaji pensiunan almarhum bapak. Ibu juga memiliki toko pecah belah yang cukup besar di kampung yang kini di kelola oleh Zahra, kakakku.
Setiap bulan Ibu mengirimkan uang sebesar dua juta rupiah untuk jajan serta kebutuhan Alia. Tapi mau sampai kapan aku akan mengandalkan kiriman ibuku itu.
Alia semakin hari semakin tumbuh besar, dan sebentar lagi kebutuhannya pun juga semakin bertambah. Selama ini aku tak pernah cerita pada Ibu jika kehidupanku di sini susah, aku merasa sangat malu.
Aku malu jika Ibu tahu, lelaki yang dulu begitu kucintai segenap hati, hingga berani menentang kedua orang tuaku. Adalah lelaki yang tak bertanggung jawab dan pemalas.
"Loh kok! Kamu mulai perhitungan gitu, dek! Alia itu masih kecil, kebutuhannya juga belum banyak-banyak amat. Sini uangnya setengah! Mas mau makan di warung makan saja," ucapnya begitu enaknya.
Benar-benar tidak ada rasa malu. Ia memaksaku untuk memberikan uang kiriman orang tuaku itu, hanya untuk memenuhi perutnya sendiri.
"Gak ada! Kalau kamu mau makan enak, makanya kerja! Jika tidak ... makan saja apa yang ada. Masih untung bisa makan, daripada kelaparan!" ketusku.
Aku tak akan mau memberikan uang itu. Tidak ada haknya sedikitpun atas uang itu. Selama ini aku yang bodoh dan malas berdebat memberikan uang kiriman orang tuaku padanya setiap ia meminta. Alasannya padaku beraneka ragam seperti untuk ongkos pergi kerja. Tapi nyatanya, uang itu Mas Yudha habiskan untuk makan enak seorang diri di luaran sana.
Sedangkan untuk makanku dan Alia, ia seolah tak mau tahu menahu. Mau anak istrinya ini sudah makan atau tidak.
Belum lagi uang kontrakan sebesar tiga ratus ribu sebulan, Mas Yudha seolah menutup mata dan membiarkan ibu pemilik kontrakan menemuiku. Semuanya ia limpahkan padaku.
Brakkk!
Mas Yudha mengebrak meja dengan marah lalu lanjut membanting piring. Begitulah sifatnya jika marah saat keinginannya tidak dituruti, seperti bocah kecil yang tantrum saja.
Disinilah aku tersadar akan kebodohanku. Kenapa dulu mau saja termakan janji manis pria tak bertanggung jawab ini, yang katanya akan membahagiakanku. Tapi nyatanya, jangankan membahagiakan. Memberikan kehidupan yang layak untuk bisa makan tiga kali sehari saja dia tak mampu!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
