
Malam itu, bulan bukan lagi hanya sekadar benda langit, ia adalah pintu gerbang menuju perjalanan hidup seseorang.
HOW TO PAINT THE LUNA | “Chapter 2 – Chemistry ”
“Sebagaimana 2 bintang di langit yang sama, bersinar terang namun terpaut jarak yang tak memungkinkan. Hingga keduanya memilih untuk saling kagum pada setiap Cahaya yang dikeluarkan.”
-HOW TO PAINT THE LUNA-
“Selamat pagi, Ibundaku yang cuantiiik ….. masak apa hari ini?” Kadita menyapa wanita paruh baya yang sedang berkutat dengan alat perang setiap paginya itu riang. Kalau ditanya apakah Kadita tidak pernah membantu ibunya memasak jawabannya pernah, sering malah. Tapi tidak di pagi hari, karena Kadita tetaplah anak gadis yang setiap akan bepergian selalu harus menyiapkan segalanya dengan tergesa, sekalipun malam sebelumnya sudah disiapkan.
“Sesuai request ayahmu, pagi-pagi minta nasi liwet beserta perintilannya yang buat bundamu ini jadi superwoman sejak jam 3 pagi sampai detik ini.” Jawab Sekar seraya menunjukkan apron yang dikenakannya sudah sangat jauh dari kata bersih.
Kadita tertawa pelan, “Waduh, dibayar berapa bun masakin tuan raja begitu?” Tanya kadita meledek ayahnya yang kini sudah siap mengejar putrinya karena mengatakan hal yang menyebalkan pagi-pagi.
“Udah yah udah ampun iyaaa Kadita yang salaaaaaah.” Ungkap Kadita seraya menahan tangan ayahnya yang sudah berada di telapak kakinya. Keduanya terduduk di lantai ruang makan, persis seperti bocah lima tahun yang sedang bermain. Kemudian keduanya saling tertawa, membuat wanita yang sudah mulai menyiapkan makanan dimeja makan itu tersenyum melihat putri serta suaminya sangat dekat.
“Ayah, Dita… bantuin Ibun dong… liat tuh, banyak banget piringnya yang harus dibawa kesini.” Ungkap Sekar seraya melihat lesu kearah dapurnya yang benar-benar terlihat sangat tidak rapi.
“Tolongnya mana?” Kadita dan Dika kompak mengatakan kalimat yang sama, dan kemudian ketiganya tertawa bersama.
“Maaf ibun lupa, Ayah sama Kadita tolongin ibun pindahin makanan dari dapur ke meja makan boleh yaa?” ralat Sekar kemudian.
“Nah itu baru betul, yuk yah.” Ajak Kadita seraya berjalan kearah dapur bersiap mengangkut makanan yang sangat mengguggah seleranya itu. Untuk urusan dapur Kadita tidak jauh berbeda dengan Sekar ibunya. Keduanya sangat lihai bertempur dengan alat-alat itu. Tapi Kadita lebih sering masak untuk makan malam, atau hanya sesekali membantu ibunya pagi hari jika tidak bangun terlambat atau tidak ada barang yang sulit ia temukan untuk menunjang pekerjaanya.
Setelahnya keluarga kecil itu menikmati sarapan paginya dengan tenang, sesekali mengobrol adalah quality time yang baik untuk keluarga ini.
Hingga pukul 7.45 dimana menandakan Kadita harus segera berangkat ke lokasi kerjanya kalau tidak ingin terlambat. Meskipun jarak tempat kerjanya tidak jauh tetap saja bagi Kadita waktu tempuhnya cukup jauh.
“Kadita berangkat ya Yah, Bun… Assalamualaikum.” Pamit Kadita kemudian menaiki motornya siap membelah jalan raya Kota Bandung yang masih sejuk di pagi hari.
***
Pagi tadi adalah pagi yang Panjang, karena mendadak Bang Danar meminta evaluasi dadakan yang harusnya masih dilakukan Hari Kamis, sedangkan hari ini masih Hari Selasa yang artinya maju dua hari. Cukup membuat semua divisi kalang kabut, tentu Divisi Operasional tidak kalah, seisi divisi bahkan belum menyiapkan bahan, sehingga bahan yang adapun terbatas.
Acara yang akan diselenggarakan oleh Layar Mimpi Studio atau sering disebut LMS ini adalah proyek milik Perasa Studio. Dimana LMS adalah induk rumah kesenian yang memang menaungi banyak komunitas seni di Indonesia khususnya di Kota Bandung. LMS ini perusahaan yang membawahi banyak kesenian Di Indonesia, dari mulai seni tari, music, puisi, teater, juga novel yang bisa diterbitkan dengan LMS Publishing.
Sudah berdiri 12 tahun sejak 2013, dan semakin eksis karena banyak anak muda yang bergabung dan terbuka untuk mahasiswa yang tertarik bergabung bersama dengan LMS sebagai mahasiswa magang. Selain itu juga mereka memiliki peluang besar untuk menjadi keryawan tetap seperti hal nya Kadita yang semasa kuliah sempat magang di LMS. Hingga kemudian menjadi karyawan tetap.
Secara keuntungan, rumah seni yang berada dibawah naungan LMS tentu akan dengan mudah mendapat audiens Ketika akan mengadakan pertunjukkan, jika belum memiliki tempat untuk pertunjukkan juga dapat menggunakan pendopo yang dulu pernah Kadita perlihatkan, dan untuk akses sponsorship dan mentoring juga sudah tersedia di LMS.
“Mbak Dita, stand by habis makan siang ya mbak?” Lysa, menghampiri Kadita seraya mengingatkan Kadita untuk sedia sesuai kesepakatan mereka sebelumnya.
Kadita mengangguk ringan, “Tapi Pandega masih ketemu Bang Danar, kalo agak molor karena Pandega kita mulai buat yang solo dulu aja ya biar ngga molor….” Jelas Kadita seraya merapikan mejanya dan segera bergegas menuju kantin sebelum tempat makan itu dipenuhi karyawan yang juga kelaparan sama sepertinya.
“Oke deh mbak, aman aja. Mbak Dita mau ke kantin ya?” tanya Lysa.
“Iya Lys, kenapa mau nitip atau mau bareng?”
“Kalau nitip, mbak keberatan nggak?”
Kadita terkekeh pelan, “Enggak, mau nitip apa?”
“Siomay aja mbak, tapi kasih ke aku nya pas nanti sekalian take aja… soalnya aku mau tidur bentar hehe.”
“Yaudah kalo gitu tak tinggal ke depan dulu ya, tidur aja disitu kalo mau itu ada bantalku.” Kadita menawarkan tempat tidur yang berada di dalam kubikel nya dan pandega yang memang biasa ia gunakan untuk beristirahat jika ruangan sepi.
“Enggak mbak, aku mau keruanganku aja udah bawa bantal soalnya hehe.” Tolaknya.
Kadita mengangguk kemudian keduanya berpisah di lorong depan Divisi Operasional.
Bangunan yang menyatu dengan pendopo pertunjukkan itu adalah satu-satunya kantin yang ada di LMS. Tidak kecil memang, malah untuk ukuran kantin ini bisa dikatakan sangat besar. Didalamnya sudah ada stand-stand makanan, dari mulai makanan berat hingga ringan. Dimana sistemnya adalah prasmanan, dan pembayaran akan dilakukan setelah kita mengambil makanan.
Kadita duduk disalah satu kursi yang kosong, kursi yang langsung menghadap kearah pendopo. Karena memang kantin LMS berkonsep semi outdoor. Kadita duduk tanpa rekan rekannya yang lain. Semua rekannya sedang sangat hectic akibat dari kejadian inspeksi dadakan tadi pagi membuat rekannya yang lain memilih untuk melakukan revisi, atau pemenuhan progress lainnya. Meskipun banyak lainnya yang sama seperti Dita, memilih untuk duduk di kantin dan mengisi perutnya.
Ting!
Kadita melihat kearah ponsel di sebelah kiri tangannya.
Nama Pandega tertera jelas di layar. Segera Kadita membukanya, takut jika ternyata hal mendesak sedang terjadi pada divisinya, mengingat Pandega sedang bertemu dengan Direktur Perusahaan ini.
‘dimana dit?’
Dua kata yang cukup membuat Kadita bernafas sedikit lega. Tangannya membalas pesan tersebut, memberi tahu Pandega bahwa dirinya sedang makan di kantin.
Tidak berselang lama setelah pesan terkirim, pria dengan setelan kemeja putih berjalan ke arah Kadita.
LMS adalah Perusahaan yang benar-benar nyaman, dan pendapat ini hampir dirasakan oleh seluruh karyawan sebagai bentuk testimoni mereka. Bahkan seragam saja mereka hanya kenakan saat acara saja. Dan untuk sehari-hari mereka hanya menentukan harus seperti apa mereka berpakaian, misalnya Hari Senin menggunakan batik, Selasa dan Rabu Semi Formal, Kamis Casual, dan Jum’at bebas sopan. Menurut kami para karyawan itu lebih nyaman daripada kami harus mengenakan jas setiap hari.
Bahkan mahasiswa magang saja diperlakukan sama, namun hal itu bergantung juga dengan kampus yang mengirim mereka bagaimana kebijakan yang berlaku disana.
“Nggak makan, Ga?” tanya Kadita begitu melihat Pandega duduk tanpa membawa serta makanan sama sekali.
“Kamu nggak apa-apa Dit?” Pandega balik bertanya terkait keadaan Kadita.
Meskipun jika dilihat secara fisik semua orang pasti akan mengira Kadita Sehat wal afiat. Namun berbeda dengan Pandega yang sejak kemarin bersama dengan Kadita, dan berada dalam situasi yang sama dengannya.
“Aku sudah jauh lebih baik kok, Ga. Kamu sendiri gimana?”
“Aku nggak apa-apa…. Kamu…. Nggak marah sama aku?” Pandega bertanya lagi.
Kadita terdiam, kemudian menegak air mineral miliknya.
“Buat apa aku marah Ga? Kejadian kemarin bukan salah kamu, harusnya aku yang berterima kasih sama kamu…. Mungkin, kalau kamu selama ini nggak sembunyikan fakta itu…. Bisa aja aku lebih kecewa dan terkejut daripada kemarin. Emosiku bisa aja lebih nggak stabil daripada kemarin. Jadi kamu nggak perlu khawatir sama aku…. Aku baik.” Jawab Kadita Panjang seraya tersenyum ringan.
Pandega menghela nafas berat, tidak ada lagi yang ia fikirkan sejak berpisah dengan Kadita kemarin hingga saat ini selain bagaimana perasaan Kadita mengetahui fakta yang sebetulnya bukan salahnya, tapi kembali dilimpahkan kepadanya sebagai bentuk kesalahannya.
“Dit…. Kamu nggak perlu tutupin semuanya dari aku, kamu jujur sama aku…. Kamu cerita ke bunda kemarin?”
Kadita menggeleng pelan, “Enggak, Ega…. Aku nggak se impulsive itu untuk cerita semua beban yang sebetulnya jauh lebih berat buat bunda ketimbang buat aku. Jadi aku pilih buat diam, sampe bunda berani cerita sendiri ke aku.”
Kini pandega menyandarkan punggungnya ke sandaran di kursinya, entah apa yang ada di kepalanya. Namun dari wajahnya, tampak jelas bahwa beban berat sedang ia pikul disini.
“Soal nama aku, Dit….” Pandega berhenti sebelum kalimatnya selesai, karena ponsel di sakunya bergetar.
“Aku angkat telfon sebentar.” Pamitnya, kemudian berlalu menjauh dari area kantin yang ramai.
Setelahnya Kadita memilih melanjutkan makan siangnya sebelum ia harus berhadapan dengan Lysa dan tim nya nanti.
Dan disinilah Kadita, Pandega, Lysa dan timnya berada. Di ruangan yang seperti aula, gunanya untuk meeting besar atau studio konten yang biasa dipakai Divisi Multimedia berkarya.
“Bang Ega nanti script 3, Mbak Dita Script 6 ya… faham ya?” Bastala laki-laki yang menjadi kepala Divisi Multimedia sekaligus Editing itu berusaha make sure pada talent yang pada konten kali ini.
Jangan heran divisi multimedia mengerjakan yang mungkin sebagai jobdesc dari Divisi Kreatif atau artistic ini biasa terjadi jika acara yang akan dilangsungkan lebih dari satu. Untuk menghindari adanya miss conception maka para kepala divisi memilih melakukan hal demikian.
2 jam berlalu, proses pembuatan konten untuk kegiatan yang akan diselenggarkan bulan depan ini selesai dibuat. Total ada 5 video reels dan 3 video untuk tiktok.
“Waaaaah, keren banget….. gak heran chemist bang Ega sama Mbak Dita tuh nggak bisa diragukan lagi. Sumpahhhh, kalian gak butuh waktu lama buat pahamin script, mudah banget lagi pengarahannya. Kenapa dulu nggak jadi model aja sih kalian?” Lysa, memuji kedua orang yang menjadi model dalam konten mereka kali ini.
“Iya loh, Dit…. Lo keren banget tau…. Udah kek kamera tuh makanan sehari-hari lo.” Daffi turut menimpali.
Siang ini, memang Divisi Editing atau Multimedia ini lengkap 5 orang beserta dengan satu anak magang yang bersama mereka. Ada si pendiam Ade Dipta Mahesa, sekretaris Divisi yang sangat telaten dan teliti untuk ukuran laki-laki. Ada Arion Al-Baihaqi otak paling kreatif dan karyawan paling muda di Divisi ini.
“Udah ini? Kalo udah gue sama Kadita mau cabut, Bas.” Pandega menanyakan apakah pekerjaan mereka kali ini sudah selesai atau belum.
Mahawira Nabastala, atau yang akrab dipanggil Bastala sang Kepala Divisi Multimedia melihat pada tab yang ia bawa, “Udah bang, aman…. Thanks ya bang Mbak Dita juga.”
“Yasudah kami permisi ya Bas, Lysa kami duluan ya, semuanya kami permisi…” Pamit Kadita seraya berbalik dan diikuti Pandega setelahnya.
Keduanya berjalan beriringan menuju ruangan mereka, lorong yang biasa nya ramai saat ini tampak sepi. Mungkin karena masih dengan atmosfer tegang tadi pagi.
“Gimana, Ga? Bang Danar tadi bilang apa? Progress kita terlalu under target ya?” Kadita membuka pembicaraan untuk menanyakan perihal apa yang kepala divisinya itu bicarakan dengan Direktur LMS ini.
“Enggak sih Dit, progress dari kita cukup bagus…. Tapi kayaknya ada sedikit problem di Divisi pemasaran. Karena progress nya cukup buruk bahkan mereka ternyata udah 2 kali evaluasi sama Bang Danar dan orang keuangan. Bang Danar menilai mereka belum mampu mengukur ROE pemasran dengan tepat. Matriknya tuh nggak jelas, jadinya kamapnye yang ada tuh nggak efektif yang ada malah penggunaan nggak optimal dan nggak tepat sasaran.” Jelas Pandega.
“Kasarnya….. buang-buang uang aja ya?” Tanya Kadita berusaha menyederhanakan perkataan Pandega.
“Bisa dibilang begitu…. Sebetulnya sasaran mereka jelas tapi metode nya kurang tepat. Dan Bang Danar mau kita coba bantuin mereka untuk itu. Cuma aku nggak enak juga sama Ola, nanti kesannya kita terlalu menggurui bidang mereka.” Pandega melanjutkan, mengeluarkan apa yang menjadi beban di kepalanya.
Kadita mengangguk-angguk pelan, masih berusaha mencerna perkataan Pandega. Hingga keduanya sudah sama-sama duduk di kursi kerja keduanya masih diam. Pandega memilih langsung menyalakan komputer didepannya, begitu pun Kadita.
Jam sudah menunjukkan pukul 15.07 WIB, Kadita memeriksa email yang masuk, schedule Pandega beserta rekan satu tim nya, hal ini lumrah ia lakukan sebagaimana tugasnya sebagai sekretaris divisi.
Rekan kerjanya yang lain pun sama, sejak pukul 13.00 WIB Bang Banyu dan Bang Saka yang merupakan rekan satu tim dengan Kadita sudah sibuk dengan berbagai revisi yang harus mereka selesaikan.
“Dit, ada email daru Juna nggak?” Tanya Bang Banyu kepada Kadita.
“Belum ada bang, nanti kalo ada langsung tak forward-in ke abang ya.”
“Oiya, mohon perhatiannya sebentar ya teman-teman…. Menindak lanjuti atas eval tadi pagi… ada beberapa yang aku notice sepertinya perlu kita perhatikan lebih detail lagi. Terutama untuk Pandega, harus betul-betul memperhatikan permintaan fasilitas dari client karena aku rasa setelah beberapa kali aku cek di setiap formular yang diisi kebanyakan tidak sesuai dengan yang dibutuhkan… itu bisa jadi boomerang buat kita karena maintenance dari semua fasilitas yang ada itu kita tanggung sendiri. Kembali, optimalisasi anggaran itu harus diperhatikan. Kita selalu dapat reward dari perusahaan sebagai bentuk Sistem Pengendalian Manajemen Perusahaan kita. Jadi, jangan sampai kita mangkir dari itu.”
“Kedua, buat Bang Banyu sering-sering koordinasi dengan Juna tim produksi, karena kayaknya mereka juga kalang kabut dengan acara yang lumayan berdekatan ini. Takutnya ada yang terlewat…”
“Selanjutnya buat Bang Saka, sejauh ini progress paling tinggi dari Bang Saka…. Semua yang berkaitan dnegan perizinan sangat jelas, rapi, dan solutif…. Aku berharap ini selalu dipertahanin yang Bang.”
“Terakhir buat aku, disini banyak banget administrasi yang ternyata aku cukup kualahan buat handle nya karena sejak semua email eksternal masuknya ke operasional memang itu jauh lebih tertata, tapi cukup buat struggle juga saking banyaknya. Jadi, aku berharap abang-abang semua bisa bantu aku kalau ada sesuatu yang aku keliru bisa langsung diingetin. Sementara itu aja, semangat buat kita semua.” Kadita menutup pembicaraanya dengan tersenyum ringan.
Kadita ini pribadi yang sangat tenang, teliti, dan solutif…. Komunikasinya bagus, juga kritis. Tidak heran kalau divsisi Operasional selalu menjadi divisi yang solid sejauh ini. Bagaimana tidak, isinya saja orang-orang yang tidak menggunakan mulut untuk bekerja tapi juga dengan otak dan fisik yang ikut serta.
***
“Ga, nanti malam kerumah ya ditanyain Ibun kamu jadi jarang lama kalo kerumah.” Kadita menyampaikan pesanan ibundanya taid pagi yang baru sempat Kadita sampaikan.
“Kenapa Ibun nggak chat aku sendiri, tumben?” Pandega heran sekali dengan ibu keduanya itu, tidak biasanya sampai titip pesan begini. Memang Pandega lebih sibuk saat ini selain karena kerjaan juga karena Pandega berniat melanjutkan S2 setelah ini.
“Nggak tahu juga ya, iya sih tumben…. Tapi yaudahlah nanti malam ke rumah aja… mau dimasakin apa?” Tawar Kadita seperti biasa kalau Pandega akan datang kerumah.
Banyu dan Saka sudah biasa mendengar percakapan yang bisa menyebab salah paham orang yang mendengarnya itu. Apalagi keduanya memang sudah dekat Pandega jauh sebelum mereka bekerja bersama. Jadi tidak ada yang aneh dengan itu.
“Apa ya Dit, kangen Roti pisang buatanmu, tapi pengen udang saus padang juga….”Jawab Pandega seraya terlihat mempertimbangkan.
“Gilak, baru kali ini gue liat orang ditawarin nglunjak…. Pake segala opsi, terus opsinya gak ngotak lagi.” Cerca Saka mendengar jawaban Pandega sedikit kurang ajar.
Kadita tertawa pelan, Batara Saka Damar atau biasa dipanggil Bang Saka ini adalah yang paling tua di Divisi ini… usianya teraput 3 tahun dengan tiga orang lainnya yang seumuran.
“Santai dong bang, gak terima banget perasaan.” Ujar Pandega membela dirinya seraya tertawa pelan.
“Ya abisnya lu ngga ngotak Ga, masak Udang saus padang? Orang mah request tuh kek nasi goreng, sup, apa kek yang simple. Ini Udang saus padang loh, Ga…. Menurut lo gimana Nyu?”
“Penggal aja pala nya, orang gatau diri kek gitu tuh.” Banyu tutur menanggapi pertikaian yang terjadi. Membuat mau tidak mau Kadita dan Pandega sontak tertawa.
Dan waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, apalagi kalau bukan waktu pulang. Pandega lebih dulu keluar karena katanya ada urusan. Dan seperti biasa, Kadita adalah orang terakhir yang keluar dari ruan Divisi mereka. Apalagi alasannya kalau nggak ribet dengan barang yang ia bawa.
Ting!
‘aku tunggu di kedai es krim yang biasa kita datangi ya Princess’
Melihat isi pesan itu, memang cukup menggelikan tapi tidak bohong Kadita sedikit deg deg an dibuatnya. Sedikit ya, sedikit aja.
Bergegas Kadita menutup pintu ruangannya dari melesat secepat yang ia bisa untuk pergi ke tempat yang sesuai denga nisi pesan itu.
Hanya membutuhkan kurang dari 10 menit untuk sampai di tujuan, dan di salah satu kursi yang langsung menghadap ke tepi kolam ikan ada pria yang sudah tersenyum tidak lupa dengan lambaian tangannya kearah Kadita. Membuat Kadita tidak lagi bisa menahan senyum dibibirnya.
“Silahkan Duduk Princess, aku orderin bentar….. Strawberry Right?”
Kadita mengangguk ringan, “Redvelvet Cake, sekalian kan?” Imbuh nya seraya menatap kearah Kadita. Membuat yang ditatap salah tingkah dan berakhir tertawa bersama.
Setelahnya kedua memilih menikmati makanan yang dipesannya masing-masing.
“Udah lama ya, kita nggak kayak gini…. Kayaknya terakhir 6 tahun yang lalu, bener?”
“Ah iya juga ya, lama…. 6 tahun yang lalu ya, pantes aku sampe lupa…. Es krim yang dibeliin orang nyebelin ini tuh rasanya kayak apa sih?”
“Maaf ya…. Kita jadi harus kayak gini padahal sebetulnya kita nggak punya masalah apa-apa…”
“Udah ih, stopppp aku mau nikmatin moment tau.”
“As always ya Princess.”
“Stop Call me princess, Ega…. Malu tahu!”
***
Dammmmmnnnn Ega? Pandega? Ada ape nihh? Wkkw
Peluk jauh,
Bulan
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
