BAB 2: KISMIS

13
4
Deskripsi

TINGGALKAN JEJAK KALIAN DI KOLOM KOMEN GAES!

LOF SE-KEBON BUAT YANG UDAH MAMPIR! ^^

BAB 2 // KISMIS

“Hei! Kamu!”

Merasa bukan dirinya yang tengah diteriaki, Ameer tetap bersenandung dalam tenang. Kembali membesarkan volume lagu yang tengah berputar di headset yang menancap pada telinga, lantas ia melanjutkan langkah menuju toilet. 

Tuh cewek betulan kerja jadi Kang Gosok WC di kantornya Tama. Tempat tinggal pun, dia juga sudah disewakan apartemen oleh Tristan. Finally, Ameera bisa bernapas lega setidaknya untuk sekarang.

“Hei! Kamu yang bawa ember! Berhenti!”

Ameer mengerutkan alis. Apa-apaan sih! Sepagi ini, siapa yang sempetnya neriakin gue kalau bukan ….

“Euh, P-Pak Tama?”

Melangkah dengan kepongahan yang setinggi langit. Tama lantas melepas headset Ameer dan menunjuk seragam gadis yang tengah berdiri melongo menatapnya dengan sorot plonga-plongo.

“Sejak kapan jadi Tukang Gosok WC pakaiannya begini?”

“Maksud—”

“Ganti baju atau saya pecat?!”

Nggak pakai tedeng aling-aling, kalimat itu mulus keluar dari bibir Tama. Membuat Ameer makin mengerutkan alisnya bingung. Dan sepersekian detik kemudian, Ameer sudah digeret oleh Tama menuju pantry yang tak jauh dari sana.

Ucup, si tetua bagian staf kebersihan yang baru saja kelar bikin kopi, hampir keselek ludahnya sendiri karena mendapati bosnya yang tiba-tiba muncul di hadapan. Mana nggak sendiri, pula. Ada Ameer yang bersembunyi sambil meringis di belakangnya.

“Eh, S-SELAMAT P-PAGI PAK T-TAMA—”

“Ucup, keluar.”

“Eh, oh, anu—“

“Saya bilang, KE-LU-AR. Tuli, kuping kamu? Hah?”

“B-baik Pak!” Ucup buru-buru membawa kopinya dan ngacir pergi. Sebelum menutup pintu, tuh cowok sempat-sempatnya berkata, “Meer, k-kopi lu yang a-ada di meja ye.”

Ameer mengacungkan jempol dan mengucap terima kasih tanpa suara. Kalau di depan Tama, nyaris semua pegawai memang normalnya pada jiper berjamaah. Gimana nggak keder coba, kalau peringainya galak banget kayak anjing breeder?

BLAM!

Dan pintu kemudian dibanting keras oleh Tama. Kini, kepergian Ucup menyisakan Tama dan Ameer di dalam pantry, hanya berdua saja.

Sebelum tuh cowok angkat bicara, Ameer sudah duluan ngomong, 

“Pak, kalau menurut Anda baju ini kekecilan di badan saya, masalahnya … kata Ucup stock-nya  tinggal ini doang Pak!” seru Ameer sambil berusaha menghindari tatapan Tama yang seolah ingin memangsanya hidup-hidup.

Dih, ngeri bor. Bentukan Tama beneran 3G kalau kata Ameer mah, alias Ganteng Ganteng Galak. 

Dari dulu, sebagai atasan killer, Tama paling anti dengan pegawai yang berpakaian tidak sesuai ukuran. Selain merusak pemandangan mata, bagi Tama hal itu bisa menuai fitnah di lingkungan kerja.

Tapi di sini Ameer juga nggak bohong, karena kata Ucup seragam staf OB dan OG memang tersisa dua potong. Satu ukuran Small, dan satu Medium. Berhubung Ameer nggak pengin tubuhnya makin ngefit kayak lepet jajan pasar, dia ambil ukuran Medium. Sesuai seperti ukuran pakaian yang biasa ia gunakan sehari-hari.

“Itu kekecilan. Pakai ini,” ujar Tama ketus. Melemparkan buntelan kaus hitam yang entah dari mana asalnya, dan langsung ditangkap Ameer dengan gesit. “Nggak sesuai di badan kamu.”

“Nggak usah Pak. Lagipula seragam saya nyaman-nyaman aja. Nggak sesek atau yang gimana-gimana kok!” tolak Ameer mentah-mentah. Buru-buru memberikan kaus itu langsung ke tangan Tama tanpa permisi.

“Tolong. Nggak usah tebar pesona di kantor saya. Apalagi di depan saya. Saya benci perempuan genit.”

“Tebar pesona? Genit? Uwah! Sori banget, saya gagal paham nih. Soalnya saya ke sini murni buat kerja. Bukan tebar pesona apalagi genit kayak tuduhan Bapak barusan!”

“Omong kosong. Tuh buktinya.” Tama mengedikkan dagunya. “Kayak melon.”

“BOS KURANG ASEM!” Ameer refleks menyilangkan tangannya di depan dada. “Apa-apaan yang kayak melon?!”

Shut your fuck up, Meer. Kamu mau saya pecat atau nurut?” ancam Tama sekali lagi. Tatapannya benar-benar serius. Membuat Ameer seketika merinding disko.

Ya kali di hari pertama kerja udah dipecat? Nggak lucu Cok! batin Ameer dalam hati. 

Perlahan, ia mendekati Tama dan menarik kembali kaus itu. Ngejembreng di depan muka, lalu melongo di saat yang sama karena bentukannya yang lumayan kegedean buat dirinya sendiri. 

Dan Ameer seribu persen yakin, kalau nurutin omongan Tama buat makai kaus ini, yang ada dia bakalan kayak kurungan burung berjalan betulan.

“Pakai ini! Saya nggak nerima protes lagi.”

Ameer menelan salivanya kuat. Sementara Tama lantas lanjut ngomong,

“Di sini kamu dipekerjakan sebagai staf pembersih toilet, bukan pemain serial bokep. Paham?”

“ANJIRLAH PUNYA BOS KENAPA MULUTNYA LEMES BANGET?!” Ameer mendadak naik darah. Yang tadinya takut, sekarang jadi nggak segan buat nunjukin amarahnya di depan bos sendiri.

Peduli amat kalau setelahnya betulan dipecat. Lagupula Tama juga rese, kalau ngatain orang nggak pakai mukodimah dulu!

“Hei. Berani kamu meneriaki saya?!”

“Eh, oh, maaf Pak! Bapak sih ada-ada aja. Ngatain saya pemain bok—”

“Makanya, pakai! Jangan rewel.”

“Bukan bermaksud nolak dengan alasan pengen tampil seksi ya Pak! Tapi menurut saya kurang etis aja gitu, masa boleh saya make kaus kayak gini pas kerja? Nggak Pak, makasih! Ini juga kelihatannya kaus buat cowok!”

“Ya yang bilang kaus cewek juga siapa?”

“…”

“Itu memang itu kaus cowok.”

“Kannnn?!” seru Ameera lantang. Sementara Tama refleks berjengit kaget.

“Eh! Tapi bentar deh Pak.” Mata Ameer menyipit, lalu sedetik kemudian melotot lebar. “MANA MERK CELINE PULA! NGGAK SALAH NIH STAF GOSOK WC MAKE KAUS BERMERK?!”

“Berisik! Tinggal ganti baju apa sulitnya? Sengaja ya kamu, mau cari perhatian ke saya? Iya?”

“Ya Lord, fitnah lebih kejam daripada tidak memfitnah Pak!”

“Pembunuhan!” koreksi Tama.

“Eh iya, itu maksud saya. Ehe.”

“Bilang ke Ucup, kalau saya yang suruh kamu ganti kaus.”

“T-Tapi, ini kaus punya siapa Pak?!” Ameer jadi skeptis karena kaus itu sekilas agak kusut. Seolah bukan baru, tapi bekas dipakai orang lain. 

“Punya saya.”

Ameer mendelik. Pantesan branded

Dan atensi Ameer lantas turun mensejajari dada bidang Tama. Sesuatu berwarna gelap yang nerawang dari balik kemeja biru muda itu, pantas membuat tuh cewek mati-matian menahan tawa. 

Anjir, yang ngatain tebar pesona siapa, yang flexing pentil siapa?’ ucap batin Ameer geli.

“Nggak Pak, makasih!” tolak Ameer lagi. Masih keukeuh pada pendiriannya untuk menolak ganti baju. 

Geli Cuy, kalau musti nurut buat make kaus bosnya sendiri. Mana si Tama juga udah punya istri. Najong banget kalau sampai Ameer dikatain netijen bibit pelakor Cuma gara-gara makai kaus suaminya orang. Ngeri!

“Selain genit, kamu juga suka membangkang. Bagus. Setelah ini saya akan bilang ke Tristan, mulai besok nggak usah kerja sekalian.” 

“Kayaknya omongan Bapak perlu direvisi deh, Pak. Yang genit mah bukan saya kali!”

“Terus siapa kalo bukan kamu? Hah?”

“Y-Ya Bapak! Pakai acara … pamer PENTIL, pula. Tuh!”

“Siapa yang pamer—”

“NOH!” Ameer memotong ucapan Tama dan menunjuk dadanya kesal. “Tadi ngatain punya saya kayak melon, ‘kan? Punya Bapak tuh! Kayak kismis!”

Tama mendelik. Sekujur tubuhnya membeku. Baru kali ini ada bawahannya yang seberani Ameer, sampai mengatainya separah ini. Jelas Tama ingin sekali balas mengumpat, tapi Ameer sudah keburu ngacir karena takut melihat seringainya yang galak minta ampun. Udah kayak singa yang sekejap lagi mau menerkam mangsanya.

Tapi lucunya Ameer cuma ngilang beberapa detik, karena selanjutnya tuh cewek melesat kembali ke pantry. Si Tama meliriknya penuh emosi, bersiap menerima ucapan maaf. 

Namun dengan percaya diri, alih-alih mendapat ungkapan maaf, yang ada Ameer justru berkata,

“Sori Pak, saya balik lagi, soalnya kopinya ketinggalan. Hehe.”

Mampus. Belum-belum Tama sudah dibuat jengkel oleh Ameera. Sama halnya dengan Ameer, tuh cewek makin yakin, hanya perempuan sinting yang mau-maunya diperistri oleh laki-laki garang seperti dia!

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya BAB 3: KUTUKAN
11
5
TINGGALKAN JEJAK KALIAN GUYS!TERIMA KASIH BUAT YANG SUDAH BACA! ^^
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan