TRIK CINTA SEASON 1- BAB 1-10- FREE

2
0
Deskripsi

Tara Kasih Basri mengira bahwa sahabatnya Nisa adalah sahabat sejatinya. Nyatanya, Nisa sangat cemburu dan benci pada Tara. Kebencian itu disusun sedemikian rupa hingga Tara terjebak dalam sebuah hubungan One Night Stand dan hamil tanpa tahu identitas pria yang menghamilinya.

Tara kacau. Pacarnya, Devan, memilih meninggalkannya. Nisa merebut Devan dari sisi Tara.

Tara frustasi. Dia takut kehamilannya diketahui keluarganya dan membuat keluarganya malu. Dia pun memutuskan untuk bunuh diri.

Di saat itulah,...

BAB 1

Tara tersenyum lebar melihat kalender di pagi hari. Sebentar lagi menuju tanggal 17 Juni, Devan ulang tahun. Tara berniat merayakannya dengan mengadakan sebuah pesta. 
“Aku harus siapin kado istimewa buat Ayang Devan,” ucap Tara dengan senyuman manisnya. 
Tara memikirkan banyak hal saat berangkat magang di salah satu anak perusahaan ayahnya di Bantul, Yogyakarta. Karena terlalu banyak memikirkan banyak hal, Tara tak sadar jika ada seseorang yang memanggilnya dari belakang.
“TARA!” sebuah tepukan terasa di bahu kiri Tara. 
Saat menoleh, Tara melihat Nisa, teman baiknya sejak dia SMA di Bandung hingga mereka sama-sama lanjut kuliah di Yogyakarta. Bahkan, kini Nisa magang di perusahaan milik ayah Tara.
“Nis, ada apa?” tanya Tara.
“Ini,” Nisa mengangsurkan buku catatan Tara.
“Lhoh, kan yang pinjem ini kemarin Devan,” Tara kaget saat menerimanya.
“Iya,terus aku kemarin ketemu Devan dan dia titipin ini ke aku. Kan Devan lagi sibuk ngurusin short course-nya di Singapura, kan?” ucap Nisa menerangkan.
“Ah, iya. Benar,” Tara menerimanya. 
“Aku duluan. Ada tugas dadakan. Bye,” Nisa pergi meninggalkan Tara. 
Tara hanya melihat sepintas saja. Setelah itu, dia lanjut melangkah ke ruang kerjanya dan mulai membuka laptopnya.
Di saat itulah, dia tak sengaja menjatuhkan buku catatannya. Saat menunduk mengambilnya, terselip sebuah amplop merah muda di sana.
“Apaan ini?” Tara mengernyitkan keningnya. 
Dia membuka isi amplop merah muda itu. Ada secarik kertas yang diketik dengan rapi dan dicetak dalam bentuk sebuah surat undangan. Tara tersenyum membacanya. Ternyata, Devan mengundangnya makan malam di sebuah hotel berbintang di Yogyakarta untuk merayakan ulang tahun Devan.
Tara pun bersiap diri tepat di hari H. Dia berdandan secantik mungkin. Sebuah gaun warna peach dengan beberapa renda dan pita di bagian belakang.
Rambutnya dia keriting menggantung di bagian bawah seperti boneka barbie. Dia mengenakan dandanan make up no make up look agar tampil cantik natural seperti artis Korea.
Ponsel Tara berdering. Tara segera mengangkatnya. “Gimana, Nis?” tanya Tara.
“Aku udah di luar. Ayo cepat,” ajak Nisa tak sabar.
“Oke. Wait for seconds,” Tara mematikan ponselnya. Sekali lagi dia melihat dirinya di cermin meja riasnya. Setelah itu, dia melangkah keluar apartemennya dengan hati bahagia.
Nisa sudah berada di halaman apartemennya. Temannya itu tersenyum saat Tara masuk ke dalam mobil.
“Makasih ya, Nis. Udah mau anterin aku cari kue buat Devan,” ujar Tara.
“Nggak masalah. Kan kita bertiga temenan,” balas Nisa. Dia menyalakan mesin mobil dan mengemudinya ke toko kue.
Di sana, Tara mengecek kue pesanannya. Dia memesakan kue kesukaan Devan. Kue dengan banyak lapisan keju. 
“Mbak, tolong dibungkus ya?” ucap Tara usai mengeceknya. Dia memang memiliki kebiasaan mengecek beberapa kali sebelum memutuskan membeli sesuatu.
“Iya,” tutur si pelayan toko kue itu.
Tara melihat ke arah jam tangannya. Sudah hampir pukul 9 malam. Sebentar lagi, toko kue itu akan tutup.
“Ini, Mbak,” si pelayan toko itu menyerahkan pesanan Tara.
Setelah itu, Tara keluar toko kue. Nisa sudah ada di dalam mobil dengan kotak kado pesanan Tara yang dipesan dari toko seberang.
“Udah siap semuanya kan ya?” tanya Tara mengecek.
“Udah,” jawab Nisa. “Langsung ke lokasi kan?”
“Iya,” sahut Tara. 
Nisa kembali mengemudi. Dia mengantarkan Tara ke sebuah hotel dengan konsep resort. Di sana, Nisa menemani Tara menuju kamar yang dipesan untuk makan romantis bersama dengan Devan.
“Ini kuncinya ya, Tara,” tutur Nisa. “Ini aku beliin jus mangga buat penyemangatmu. Biar nggak grogi nunggu Devan.”
“Iya, makasih ya,” ucap Tara dengan senyuman lebar. Dia mencobloskan sedotan ke gelas jus itu dan meminumnya.
“Udah ya. Aku cabut dulu. Bye,” Nisa berpamitan secepat kilat. Langkahnya tampak buru-buru setelah melihat Tara meminum jus itu.
Selepas kepergian Nisa, Tara kembali mengecek menu yang ada di atas meja. Semuanya sudah lengkap. Tara menaruh kue ulang tahun Devan di tengah meja dan menyalakan lilinnya.
Tara berdecak. Devan tak datang tepat waktu. Padahal, Devanlah yang mengundang Tara ke hotel ini. 
Dia mencoba menghubungi Devan. Anehnya, Devan tak bisa dihubungi. “Ini aku apa dia sih yang mau dikasih surprise sebenarnya?” omel Tara kesal. “Kok Devan belum ke sini sih?”
Perempuan bermata jernih itu mulai merasa tenggorokannya sangat haus. Dia kembali meminum jus mangga itu hingga tandas. 
“Duh, kok masih nggak enak ya,” Tara mengusap-usap tenggorokannya yang masih terasa kering. “Ini kenapa rasa jus mangganya aneh sih ya?” 
Dia mulai merasa tubuhnya memanas tanpa sebab. “Mana panas lagi,” Tara mencari-cari remote AC. Dia menemukan remote AC yang ada di dekat meja TV. 
Tara mengatur suhu AC menjadi suhu paling rendah. Namun, dia tetap merasa kepanasan. Aneh! Sangat aneh!
“Kenapa sih aku? Panas banget!” Tara mulai merasakan tubuhnya kebanjiran keringat. 
Dia yakin dirinya mulai demam. Tubuhnya pun limbung tak jelas arahnya. “Aku harus cari bantuan,” Tara melangkah tertatih-tatih keluar kamar. 
Tangan Tara menarik handle pintu. Dia melangkah keluar dengan tubuh yang kian memanas dan lemas. 
“Ugh, panas,” ujar Tara mulai menceracau. Dia mulai kehilangan kesadaran dirinya dan pikirannya hanya fokus mencari sesuatu untuk mendinginkan tubuhnya.
BRUK!
Tara menabrak seseorang. High heels-nya membuatnya tergelincir hingga meluncur jatuh ke belakang.
Dua orang pria berumur 40 tahunan langsung menangkap tubuh Tara. Mereka menyeringai jahat. Pandangannya jelalatan menatap tubuh indah Tara. 
“Ayo bawa ke kamar!” ajak salah satu di antaranya. 
“Oke!” sahut yang lainnya. 
“Argh! Siapa kalian?!” teriak Tara memberontak.
“Diam kamu!” 
“Lepas! Lepas! Tolong!” Tara terus berontak. Meski kepalanya sangat pusing dan pandangannya mengabur, dia mencoba menyelamatkan diri. 
“Hei, hentikanlah! Dia tidak mau ikut kalian!” potong seorang pria muda. 
Tara menoleh ke arah pria itu. “Devan?” Tara tersenyum haru melihat ke arah pria muda itu. 
“Siapa kau! Jangan ikut campur!” bentak pria tua itu marah. 
Pria muda itu hanya mengulas senyuman simpul. Dia langsung mengeluarkan pistol dari dalam jaketnya dan mengacungkannya ke arah pria tua itu tanpa ragu. 
“Lepaskan dia atau nyawa kalian melayang!” ancam pria muda itu tanpa ragu. 
Dua orang pria tua itu ketakutan. Tanpa banyak kata, dua pria tua itu meletakkan tubuh Tara di lantai dan langsung lari kabur.
Pria muda itu berdecak. Dia menyimpan kembali pistolnya. “Keamanan di sini buruk sekali. Padahal, reviu-nya katanya oke,” decak pria muda itu. 
Langkahnya mendekati Tara. Dia membantu Tara bangun.
“Ugh, Devan, aku takut,” Tara langsung memeluk pria muda itu. 
“Devan? Aku bukan Devan,” balas pria muda berwajah tampan itu.
“Ugh, panas,” ucap Tara menceracau lagi. 
Tangan Tara tak sengaja menyentuh leher pria itu. Ada rasa dingin yang dia dapat. Wajahnya menatap ke arah pria itu. Dia tersenyum lebar. “Devan, tolong aku? Aku kepanasan. Demam. Bantu aku ya?” pinta Tara merengek. 
Tubuh Tara memeluk erat leher pria itu. Kakinya naik ke tubuh pria itu dan melingkarinya dengan sempurna. “Bantu aku? Panas! Kamu dingin. Enak!” celoteh Tara. Dia mengusap-usapkan pipinya ke pipi pria itu.
Pria itu tersenyum. “Kamarmu di sebelah mana?” tanya pria itu.
“Di situ Devan. Yang terbuka,” Tara menunjuk ke arah kamarnya. Hanya berbeda satu kamar saja dari tempat mereka berada.
Pria itu menghembuskan napas. “Seharusnya aku pergi pesta bersama temanku. Tapi, mengabaikan perempuan cantik itu tidak baik,” pria itu mengecek jam tangannya. “Baiklah, akan kubantu kamu agar tak lagi kepanasan.”
Tangan pria itu mengeratkan pegangannya pada tubuh Tara agar tak terjatuh. Tara menurut saja digendong oleh pria itu. Dia sudah di bawah pengaruh obat perangsang dan alkohol yang ada dalam jus mangga. Satu-satunya yang dia ingat adalah pria itu Devan, kekasihnya.
Pria itu masuk ke dalam kamar yang dipesan Devan untuknya. Dibawanya Tara ke kasur dan dibaringkannya di sana. 
Tangan pria itu bergerak melepaskan pakaian yang menempel di tubuh Tara. Dia menarik pita dress Tara dengan mudah dan menurunkan resletingnya. 
Dalam waktu singkat, tubuh Tara sudah tak lagi dilapisi gaun. Kini tubuh perempuan itu polos.
Pria itu mengulas senyuman simpul. Dia memegangi kedua tangan Tara dan menaruhnya di atas kepala. “Tonight, you’ll be mine,” ucap pria itu berbisik di telinga Tara.
“Yeah, I’ll be yours, Devan,” jawab Tara dengan mata terpejam. 
Pria itu terdiam sesaat. “Nevermind.”
Dia tetap memagut bibir Tara yang berwarna peach muda itu. Sejak awal mereka bertabrakan, pria itu sudah tertarik dengan tubuh molek dan paras cantik Tara. Setidaknya, dia harus bisa mendapatkan tubuh Tara malam ini agar tak mati penasaran.
“Aku kan hanya membantu dia saja,” ucap pria itu dalam batinnya.
Dia melumat bibir mungil Tara. Dia bisa merasakan betapa manisnya bibir perempuan ini. Membuatnya ketagihan. Apalagi, perempuan ini tampak belum mahir benar dalam berciuman. Membuatnya bertanya-tanya apa perempuan ini masih perawan.
Membayangkan semua itu membuat pria itu semakin antusias. Dia tak hanya melumat bibir Tara. Tapi, dia juga menurun ke bawah dan menikmati bagian-bagian sensitif tubuh Tara.
Suara desahan Tara terdengar mengisi ruang kamar. Pria itu menjadi ganas memangsa tubuh Tara. Membuat sekujur tubuh Tara menjadi basah kuyup.
Pria itu menyentuh spot bawah milik Tara. Dia merasakan bagian bawah sudah cukup basah untuk dimasuki.
Dengan segera dia menyatukan diri dengan Tara. Dia tersentak kaget. Perempuan itu benar-benar masih perawan! 
“Wow! It’s a jackpot!” celetuk pria itu girang. Dia pun melanjutkan permainannya dengan Tara malam itu hingga dirinya benar-benar terpuaskan!
***
Tara menggeleng-gelengkan kepala. Dia kembali menyadarkan dirinya dari ingatan satu bulan lalu saat ulang tahun Devan usai muntah-muntah hampir satu minggu ini. 
Sejujurnya dia masih samar, dengan siapa dia melepaskan keperawanannya malam itu. Apakah dengan Devan? Ataukah, dengan pria lain? Dia sama sekali tak mengingatnya dengan pasti. Parahnya, Devan pun sulit untuk Tara hubungi semenjak malam itu terjadi.
UGH! Rasa mual muncul kembali. Tara langsung melongok ke dalam toilet apartemennya berada dan kembali muntah. Dia tak bisa bekerja. Kesehariannya kini dipenuhi dengan rasa mual yang menggebu-gebu.
“Aduh, kenapa aku muntah mulu ya? Apa aku beneran hamil?” Tara menggigit bibir bawahnya. Dia ragu untuk menggunakan test pack sekarang. Dia takut menghadapi kenyataan buruk itu.

NB: Hai, selamat datang ya! Happy reading! Jika ingin berkomunikasi hubungiku IG-ku @bonanzalalala

BAB 2

Tangan Tara gemetar. Dia kembali memandangi jam tangannya. Sudah satu jam berlalu dan Tara masih duduk menunggu di teras depan rumah kontrakan Devan. 

Dia menekan kembali tombol hijau di layar ponselnya untuk menelepon Devan. Dia harus membicarakan perihal kehamilannya pada pacarnya itu. Dia ingin meminta pertanggungjawaban dari pacarnya atas janin yang ada dalam rahimnya sekarang.  

Suara deru mobil terdengar. Tara segera melihat ke arah jalan depan kontrakan Devan. Tampak mobil warna putih melaju masuk ke dalam halaman kontrakan. Sekilas, Tara tahu bahwa itu mobil Devan.

Senyuman Tara mengembang. Namun, tak begitu lama. Senyuman itu memudar bersama langkahnya yang terhenti mendekati Devan.

Pandangan Tara tertuju pada tangan Nisa dan Devan yang tertaut erat dalam sebuah pelukan lengan yang mesra khas pasangan kekasih. Hati Tara tergores nyeri melihatnya. Dia tak mengerti kenapa Devan dan Nisa berpelukan lengan semesra itu di hadapannya.

“Devan ... Nisa ....” sapa Tara gugup. Seharusnya dia marah sekarang karena melihat pemandangan itu. Namun, dia malah gugup.

Semua kegugupan itu berasal dari sikap acuh tak acuh Devan padanya. Pacarnya itu melewati Tara begitu saja seolah-olah Tara tak ada di hadapannya sama sekali.

“DE-DEVAN!” teriak Tara. Air matanya nyaris tumpah sekarang. 

Tara berusaha menahannya. Dia berlari dan menghadang langkah Devan.

“De-Devan, kita harus bicara sekarang. Ini penting,” ucap Tara gugup.

“Penting apa? Seberapa pentingnya buatku?” balas Devan sinis. 

Tara meraih tangan Devan yang melingkari lengan Nisa. “Kita harus bicara berdua sekarang!” ajak Tara. Kali ini dia lebih tegas.

“Hentikan, Tara!” Devan menepis pegangan tangan Tara.

Bola mata Tara membulat besar. Dia menatap tak percaya ke arah Devan. “Devan!” desis Tara kecewa dan marah.

“Jangan sentuh aku! Najis!” ucap Devan kasar dan menghina.

“Najis gimana? Aku salah apa sama kamu?!” teriak Tara dengan mata memanas. Hatinya sangat sakit sekarang. “Aku sudah menghubungimu dan menunggumu di teras kontrakanmu berjam-jam. Tapi, kamu malah bersikap buruk seperti ini padaku.”

Devan masih memberikan pandangan hina pada Tara. “Kamu nggak ingat kalau kamu menghabiskan waktu semalaman di hotel dengan pria lain waktu aku ulang tahun kemarin?!” tuduh Devan sarkas. “Benar-benar murahan ya kamu itu!”

Pupil mata Tara membulat sempurna. “Ta-tapi itu kan kamu, Devan! Aku habiskan malam dengan kamu!” balas Tara.

“Mana ada! Aku udah nunggu kamu di kontrakanku semalaman. Kamu malah pergi ke hotel bersama pria lain!” tandas Devan marah.

Tara menoleh ke arah Nisa. “Ni-Nisa! Kamu kan yang anter dan temani aku buat ke hotel itu kan? Tolong bantu aku jelasin soal ini ke Devan,” Tara mendekati Nisa. Dia meraih tangan Nisa dan mencoba menggenggamnya.

Perlahan Nisa melepaskan geganggaman tangan Tara. “Maaf, Tar. Aku juga nggak nyangka kalau kamu bakal bohong sama Devan. Aku beneran kecewa sama kamu,” tutur Nisa. 

“Nisa! Kamu kok—“

“Udahlah, Nis. Abaikan saja dia. Murahan!” Devan merangkul Nisa dan mengajaknya masuk ke dalam kontrakan. 

Tara mengejar Devan. Namun, Devan mengunci rapat pintu kontrakannya.

“Devan! Dengerin penjelasanku dulu!” teriak Tara. Tangannya memukuli pintu kontrakan Devan. Nisa! Kenapa kamu ikutan kayak gini?! Bukannya kamu tahu semuanya?! Nisa!”

Tara menangis sejadinya. Air matanya tumpah ruah saking sedih dan kecewanya.

Sayangnya, ketika dia terus berteriak, tak ada satu pun yang peduli padanya. Devan dan Nisa, keduanya tetap diam tak peduli di dalam rumah kontrakan itu. Meninggalkan Tara dalam luka laranya seorang diri.

Tara melangkah gontai masuk ke dalam mobilnya. Dia menyetir dalam kondisi kalut. Dia terus menangis dan menyetir sesuka hatinya. Hingga dirinya tersadar bahwa dirinya sudah berada di sekitaran area Bukit Bintang, Yogyakarta.

Dengan langkah lemas, Tara turun dari dalam mobilnya. Air matanya sudah kering tak tersisa. Wajahnya kuyu. Namun, luapan sakit hatinya terus menggebu-gebu bagai ombak lautan yang sedang mengganas.

“Kenapa jadi begini?” ratap Tara sambil memandangi kilauan lampu perkotaan penuh warna dari atas Bukit Bintang itu. 

Tempat ini adalah salah satu tempat favoritnya saat berkencan dengan Devan. Meski tak bisa melihat hamparan bintang ala Milky Way, mereka masih bisa melihat kerlap-kerlip lampu kota penuh warna sambil menikmati makanan pinggiran. 

“Mbak, mau pesan apa?” tanya salah satu pemilik warung yang ada di deretan Bukit Bintang.

Tara menatap sedih penjual yang digelung rambutnya itu. “Nggak tahu,” jawab Tara. 

“Dipilih aja Mbak. Ada sate sama kelapa muda bakar. Enak banget rasanya.”

“Ya udah. Itu aja,” Tara mengeluarkan selembar seratus ribu dan mengangsurkannya pada pemilik warung itu. “Ini buat Ibu.”

“Makasih, Mbak,” si penjual tersenyum dan segera menyiapkan pesanan Tara.

Tara masih memandangi kerlap-kerlip lampu kota itu. Dia mengusap perutnya yang kini tengah mengandung janin. Tapi, janin siapa?

Devan bahkan menuduhnya tidur dengan pria lain. Sedangkan yang Tara yakini adalah dia tidur dengan Devan malam itu.

“Gimana ini? Ayah sama Bunda pasti kecewa banget sama aku,” ratap Tara. “Aku nggak bisa jadi contoh yang bener buat adik kembar tigaku di rumah.”

Tara benar-benar frustasi. Semua rasa bercampur aduk dalam dirinya. “Aku harus gimana?” desis Tara bertanya pada dirinya sendiri.

Menggugurkan kandungan? Tara terdiam. Memang itu bisa jadi sebuah solusi tapi tetap saja dia akan berdosa. Selain itu, saat menikah nanti, pria yang jadi suaminya pasti akan kecewa padanya karena dia sudah tak perawan lagi.

“Pengen mati rasanya!” Tara menjambak rambutnya dengan kuat. Mati! Ya, mati!

Tara langsung bangun dari duduknya. Dia buru-buru melangkah masuk ke dalam mobil. Tak peduli jika ibu penjual berteriak memanggilnya. 

Ya, daripada susah hidup dan cuma jadi beban keluarga, mendingan aku mati kan? Seenggaknya aku bisa telan semua duka ini seorang diri.

Tara memegang kemudi mobil dan menyetir menuju area perbukitan yang lebih tinggi dan sepi. Di sana, dia bisa melompat ke jurang saat tengah malam. Tak akan ada orang yang tahu. Tak ada orang yang akan mencegahnya juga. Sebuah rencana bunuh diri yang sempurna!

Dia memarkir mobil di pinggiran. Dia turun dari mobil dan berjalan gontai di tengah malam. 

Jam tangannya menunjukkan pukul 12 malam. Sekitaran sudah sepi. Angin malam sayup-sayup menerpa wajahnya. Dingin. Sedingin kehidupannya saat ini.

Tara menyeberang ke sisi jalan yang bersampingan dengan jurang. Dia melihat ke bawah. Ada tumpukan batu terjal dan tanaman-tanaman rimbun. Jika melompat ke sana, tubuhnya akan jatuh menimpa benda-benda keras itu. “Pasti sakit,” desis Tara ragu. 

Dia kembali diam mematung. Dia ingin bunuh diri tapi terjun ke jurang bawah akan sangat sakit. Dia ingin mati tapi tidak merasa sakit. 

“Argh! Susah banget sih! Mau mati aja tetep repot!” teriak Tara marah. Dia benci dirinya sekarang. 

WUSH! WUSH! 

Tara terkaget. Ada sebuah mobil lewat dengan kecepatan tinggi. Di belakangnya ada mobil dan beberapa motor mengejar dari belakang. 

Tak berapa lama, terdengar suara dentuman keras. Tara segera bersembunyi. Dia bisa meliha mobil dan beberapa motor yang mengejar memutar balik arah dan kembali ke arah perkotaan. 

“Ada apa sebenarnya?” batin Tara. Jantungnya berdegup tak tenang sekarang. “Cek nggak ya?”

Tara penasaran apa yang terjadi. Namun, dia takut. 

“Argh, bodo amat! Siapa tahu itu pembunuh! Sekalian aja biar aku dibunuh mereka!” putus Tara. “Toh, juga aku pengen mati!”

Tanpa ragu lagi, Tara keluar dari persembunyiannya. Dia berlari ke arah asal suara dentuman keras itu. 

Bola matanya membulat lebar. Dia melihat ada sebuah mobil ringsek menabrak pembatas jalan yang bersampingan dengan sisi jurang.

Tara melihat pintu mobil itu terbuka. Ada seorang pria terjatuh separuh tubuhnya keluar mobil.

Buru-buru Tara berlari ke arah pria itu. Dia yakin pria itu masih hidup dan harus segera ditolong agar bisa tetap mempertahankan nyawanya.

“Hei, bertahanlah. Aku akan menolongmu,” ucap Tara penuh kecemasan.

Dia melepaskan seat belt yang mengurung tubuh pria dengan wajah blasteran orang Eropa itu. Dengan sisa tenaganya, Tara menggendong pria itu di punggungnya dan menyeretnya.

Akhirnya, Tara tak jadi bunuh diri. Kini dia malah menolong pria itu dan bergegas menyetir turun ke area perkotaan menuju rumah sakit. 

BAB 3

“Mbak,” sapa seorang perawat.

Tara terbangun dari tidurnya di kursi tunggu. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya. nyawanya baru terkumpul setengah.

“Iya, ada apa ya?” tanya Tara sambil menggosok-gosok matanya.

“Suaminya sudah diobati, Mbak. Sekarang saya mau kasih tahu soal biayanya,” terang si perawat.

“Suami?” Tara menatap perawat itu bingung.

“Iya. Pria yang mukanya blasteran. Yang luka di kepala, kaki, dan tangannya. Itu suaminya Mbak kan?” 

Tara terdiam. Dia mengingat apa yang terjadi. “Ah, iya, iya,” ucap Tara. “Sudah diobati? Katanya harus operasi kan? Jam berapa sekarang?”

“Tadi sudah dioperasi tulang. Ada tulang tangan dan kakinya yang retak. Tapi, nggak parah. Satu atau dua bulan bakal sembuh asal rutin pengobatan,” jelas perawat itu. “Mari ikut saya, Mbak.”

“Ah, iya, iya,” Tara bangun dari duduknya. Kini dia sudah sadar sepenuhnya. 

Tara mengikuti perawat itu ke bagian administrasi. Dia mengeluarkan kartu ATM-nya untuk membayar seluruh biaya pengobatan pria asing itu.

“Masih harus rawat inap-kah?” tanya Tara. 

“Iya. Sekitar satu minggu. Pengobatan dan biaya ruang rawat inapnya sudah ditotal semua di jumlah yang terbayarkan.”

“Baik.”

Tara tidak ragu membayarkan semua biaya pengobatan pria asing yang sama sekali tak dikenalnya itu. Usai membayar, Tara melangkah menuju ruang rawat inap pria yang ditolongnya.

Dia duduk di sisi ranjang pria yang masih tak sadarkan diri itu. Pandangan Tara menatap lekat wajah pria itu.

Meski terluka, ketampanan pria itu sama sekali tak sirna. Rahangnya yang sempurna dan keras. Bentuk mata elang yang tertutup sempurna. Hidung yang mancung. Wajah pria yang ada di hadapannya itu bagaikan patung pahatan pria Yunani yang tampan dan sering dipamerkan dalam pameran seni pahatan.

“Permisi,” sapa seorang dokter dan perawat.

Tara menoleh dan mengangguk. “Pagi, Dok,” balas Tara. “Bagaimana kondisinya? Apa ada luka yang parah?” tanya Tara penasaran.

“Luka parah pada bagian retakan lengan dan kaki. Tapi, masih bisa sembuh,” jelas dokter. “Yang perlu dikhawatirkan adalah kondisi kepala pasien.”

“Kepala? Memangnya ada apa dengan kepalanya?” tanya Tara was-was.

“Pasien mengalami banyak benturan keras. Bagian kepalanya juga mengalami benturan keras dan kemungkinan besar, pasien akan mengalami amnesia temporer,” terang dokter. “Makanya, saya mau beri tahu pada Ibu jika nanti pasien tidak mengenali Ibu, Ibu bisa langsung minta bantuan kami ya? Tekan tombol pemanggil suster secepatnya. Biar kami bisa melakukan tindakan selanjutannya.”

“Baik, baik. Saya paham,” sahut Tara dengan anggukan di kepala.

Setelah itu, dokter kembali menyuntikkan obat ke tubuh pria itu. Baru kemudian, dokter pergi keluar kamar bersama perawat yang bertugas.

Tara mengecek jam tangannya. Sudah pukul tujuh pagi. Dia menyempatkan diri ke kamar mandi dalam kamar itu. Di sana, dia mencuci muka dan merapikan rambut. 

“Hm, kalau pria itu hilang ingatan, aku harus gimana ya?” gumam Tara sambil menatap cermin kamar mandi. “Apa aku periksa dulu aja ya identitas pria itu? Pasti di pakaiannya ada dompet kan?”

Tara pun memutuskan memeriksa pakaian yang dikenakan pria itu saat kecelakaan. Semua benda milik pria itu disimpan di lemari yang ada di ruang rawat itu.

Dia menemukan dompet pria itu. Segera dia mengambil dan membuka dompet pria itu. Dia menemukan kartu identitas pria itu beserta paspornya. 

“Paspor?” desis Tara. “Beneran dari luar negeri ya? Namanya Arka Albiru Golden.”

Tara merasa familiar dengan nama itu. Terutama kata “Golden” dalam nama pria itu. “Golden, Golden,” pupil mata Tara membesar. “Kan itu nama keluarganya Kak Nana!”

Segera Tara mengecek nama akun sosial media kakak iparnya yang biasa dia panggil Kak Nana. Nama lengkap kakak iparnya itu adalah Davrina Mentari Golden. “Bener. Sama-sama Golden. Apa mereka satu keluarga ya?” Tara langsung melihat kolom identitas diri. Tertulis kata single dalam status pria itu. Artinya, pria itu sama sekali belum menikah.

Sebuah ide gila muncul dalam pikiran Tara. Dia mengusap dan menunduk melihat perutnya. “Aku butuh ayah untuk anakku,” tutur Tara. “Aku nggak masalah kalau nanti dia menceraikanku. Yang penting, anakku nggak disebut anak haram.”

Tara menguatkan tekadnya. “Aku harus yakinkan pria itu agar mau jadi suamiku! Aku butuh suami sampai anakku lahir!” 

Kini Tara tak lagi sedih memikirkan persoalan Devan dan Nisa yang mengkhianatinya. Pikirannya sudah terfokus pada pria asing bernama Arka yang kemungkinan masih bersaudara dengan kakak ipar Tara. 

“Seharusnya nggak sulit kalau aku pengen nikah dengan Arka ini. Kak Nana pasti bakal bantu aku,” senyuman Tara menyembul lebar. Pandangan Tara melirik ke arah Arka yang masih tak sadarkan diri. “Kata dokter, bisa saja dia amnesia. Moga-moga aja dia amnesia beneran. Malah jauh lebih mudah bagiku buat mencuci otak dia.”

Perempuan berwajah manis itu kini tak lagi bersedih hati. Dia sudah menemukan solusi dari permasalahannya. Seorang pria tampan dengan wajah blasteran. Cukup oke untuk dinikahi dan menjadi suami.

Dengan hati riang, Tara menyimpan kembali barang-barang pria itu ke dalam lemari. Setelah itu, Tara memilih fokus untuk merawat pria itu. 

Selama satu minggu penuh, Tara bolak-balik apartemen ke rumah sakit untuk memantau pria bernama Arka itu. Sesekali Tara muntah dan kesulitan tidur karena kehamilannya. Namun, dia mencoba tabah dan terus menjaga Arka.

Sesekali Tara mengecek sosial medianya. Dia melihat postingan mesra Nisa dan Devan di instagram. Hati Tara mendadak sakit lagi. Namun, dia mencoba untuk move on. Percuma baginya meyakinkan Devan. Dia sudah terlanjur mendapatkan cap sebagai perempuan murahan.

Jemari Tara menekan akun instagram Nisa dan Devan. Dia memilih untuk memblokir keduanya. Sudah tidak ada gunanya berhubungan dengan keduanya. Terutama dengan Nisa. 

Sampai detik ini Tara tak mengerti alasan perubahan sikap Nisa yang begitu drastis. Bahkan, Nisa sampai mau menjadi pacar Devan sekarang.

“Apa selama ini Nisa memang sangat menyukai Devan? Makanya, dia nggak ragu buat gantiin aku jadi pacar Devan?” tangisan Tara kembali meluncur dari pelupuk matanya. 

Sedari SMA, dia sangat menyayangi Nisa dan Devan. Mereka bersahabat dekat. Namun, sekarang sudah terlanjur rusak. Satu-satunya yang bisa Tara lakukan adalah mengikhlaskannya. 

Sebuah sentuhan menyapu pelan siku tangan kiri Tara. Sesaat Tara tersadar. Dia menoleh. Tampak jemari Arka sudah bergerak. Tanda bahwa pria itu akan sadar.

Buru-buru Tara menyeka air matanya. Dia menekan tombol pemanggil perawat agar segera mengecek kondisi Arka.

Tak berapa lama, ada perawat dan dokter datang. “Dok! Pasien udah mulai sadar!” beritahu Tara gugup. 

“Baik, akan kami periksa. Tolong keluar ya?” pinta dokter.

“Iya,”  Tara menurut. Dia melangkah keluar kamar dan membiarkan tenaga medis memeriksa Arka. 

Sekitar setengah jam, perawat keluar. “Silakan masuk. Pasien sudah stabil kondisinya,” beritahu perawat.

“Sudah sadarkah?” tanya Tara.

“Sudah. Mari,” ucap perawat.

Tara segera masuk ke dalam kamar rawat inap Arka. Dia menghampiri dokter yang masih memeriksa Arka. 

“Dok, gimana kondisi pasien?” tanya Tara. “Apa sungguhan amnesia?”

Dokter mengangguk. “Iya. Pasien masih amnesia,” jawab dokter membenarkan. “Kami akan tetap memantau perkembangannya satu minggu ke depan.”

“Ah, iya,” Tara tersenyum lebar dalam hatinya. Dia membiarkan dokter memberikan pengarahan singkat padanya dan keluar dari kamar Arka. 

Setelah dokter dan perawat pergi, Tara langsung duduk di sisi Arka. Dia menggenggam jemari tangan Arka dengan erat. 

“Siapa kamu?” tanya Arka dengan pandangan curiga. 

“Mas Arka, ini aku, Tara. Aku calon istri Mas,” beritahu Tara dengan senyuman lebar. “Makasih ya Mas udah mau sadar. Bentar lagi kita harus segera nikah.”

BAB 4

“Apa?” Arka masih belum bisa banyak bergerak. Pria itu hanya bisa bereskpresi lewat gerak mata dan raut wajahnya saja.

“Ah, Mas kan masih sakit. Minggu lalu Mas kecelakaan parah. Ceritanya panjang. Aku jelasin nanti kalau Mas udah beneran sehat,” terang Tara. Dia mencoba untuk lebih kalem karena kasihan dengan Arka yang belum bisa melakukan banyak hal. “Yang jelas Mas harus yakin bahwa aku ini calon istri Mas.”

Tara menatap lekat Arka. Dia menunjukkan kesungguhannya agar Arka benar-benar percaya pada dirinya.

Selama satu minggu berikutnya, Tara masih merawat Arka di rumah sakit. Jarang sekali Tara memegang ponselnya. Dia fokus pada perkembangan kesehatan Arka.

Untungnya, Arka memiliki semangat untuk segera sembuh. Meski sudah dinyatakan terkena amnesia retrogade, pria itu masih berusaha sembuh dan mengenal jati dirinya.

Tara membawa Arka ke apartemennya. Dia mendorong kursi roda Arka masuk ke dalam apartemen luas miliknya.

“Ini apartemenku, Mas. Rencananya kita bakal tinggal di sini setelah kita menikah nanti,” celoteh Tara. 

Sebisa mungkin Tara menanamkan keyakinan pada pikiran Arka bahwa mereka adalah pasangan kekasih. Dengan begitu, Tara yakin bahwa Arka akan menuruti semua ucapannya. 

“Mas mau istirahat? Atau, mau makan? Sekarang udah waktunya makan siang. Aku pesenin makanan kalau emang udah laper,” cerocos Tara. Dia terus menunjukkan sikap perhatiannya pada Arka agar tak menimbulkan kecurigaan. 

Arka masih tak langsung menjawab. Pandangan pria itu menyoroti seluruh isi ruangan. 

“Apa aku pernah ke sini sebelumnya?” tanya Arka. 

“Hm, iya. Kenapa, Mas? Mas ngerasa familiar ya?” balas Tara sedikit canggung. 

Dalam hati, Tara berdoa supaya ingatan Arka tidak segera pulih. Setidaknya, mereka harus menikah dulu, baru Arka boleh pulih dari amnesianya. Itulah harapan utama Tara. 

“Tempatmu bagus,” ucap Arka. Pria itu tersenyum simpul. “Rapi.”

Tara mengulas senyuman manis. “Aku dan Mas kan sering bersih-bersih bareng. Kita bagi tugas tiap harinya karena Mas sering menginap di sini,” jelas Tara. “Kita tinggal bareng dan biasanya melakukan itu. Tahu, kan?”

“Itu? Apa?” balas Arka tak paham. 

Pipi Tara merona merah. Dia malu pada dirinya sendiri yang harus berbohong pada pria asing. Ditambah lagi, dia harus berbohong bahwa Arka dan dirinya sudah sering melakukan hubungan intim. 

Tara menunduk malu. Dia melirik malu ke arah Arka. “Itu lho, Mas. Hubungan suami istri,” cicit Tara pelan. “Yang bisa bikin perempuan hamil. Kita sering melakukannya.”

Tara meringis dalam kondisi menunduk. Dia memejamkan matanya malu. Dia sungguh-sungguh sudah melakukan banyak dosa dan kebohongan nista sekarang.

Seumur hidup, orang tuanya tak pernah mendidiknya untuk berbohong. Bahkan, orang tuanya selalu menyuruhnya bersikap jujur. Namun, kali ini dia harus menentang ajaran itu. Semua ini demi janin yang ada dalam kandungannya. Dia harus totalitas sebagai seorang pembohong.

“Ah, ya, ya,” balas Arka. Pria itu mengangguk-angguk saja. 

Pandangannya kembali melihat ke sekitar. Tara mengajak Arka berkeliling ruangan sekitaran apartemennya karena tampaknya Arka sangat ingin melihat seluruh ruang apartemen. 

“Gimana, Mas? Masih ada yang perlu ditanyakan?” tanya Tara membuka kembali obrolan saat mereka berada di ruang tengah. Di sana, Tara duduk sebentar karena capek mengajak Arka tur keliling apartemen miliknya. 

“Hm, kenapa aku bisa kecelakaan?” Arka menatap Tara dengan pandangan penasaran. 

Tara sadar dia sudah berjanji menceritakan soal kecelakaan itu pada Arka. Dia juga sudah menyiapkan kronologis cerita bohongan yang sudah dia susun dengan cermat. Kini saatnya dia akting agar bisa meyakinkan Arka.

Dalam hitungan detik, Tara langsung memasang wajah sedih. “Udah kubilang tadi kan Mas kalau kita sering berhubungan suami istri,” ucap Tara memulai ceritanya. “Gara-gara itu, akhirnya aku hamil. Sekarang kandunganku udah jalan dua bulan. Dua minggu lagi, masuk bulan ketiga.”

Pandangan Arka menatap ke arah perut Tara. Tampak perut Tara yang memang agak maju meski hanya sedikit saja. 

Tara mengusap-usap perutnya. Dia masih memasang wajah sedihnya. “Aku bilang ke Mas kalau kita harus menikah. Tapi, Mas nggak mau. Mas bilang belum siap nikah dan pergi ninggalin aku,” Tara berusaha keras menangis di depan Arka. “Aku beneran sedih dan kecewa. Bingung banget, Mas. Hamil tapi nggak ada yang mau jadi bapaknya anakku ini.”

“Aku sungguhan melakukan hal itu?” Arka tampak kaget mendengar cerita Tara.

Tara semakin mengencangkan suara menangis sedihnya. Kepalanya mengangguk kuat. “Iya. Aku sedih banget. Beneran ngerasa kayak habis manis sepah dibuang,” ucap Tara dalam tangisannya. “Tapi, sepertinya Tuhan masih sayang sama aku. Mas kecelakaan waktu pergi dari sini. Aku langsung cari Mas ke rumah sakit dan urusin semua biaya pengobatan Mas.”

Tara berhenti bicara sejenak. Dia mencoba tetap menangis lebih lama. “Demi anak kita, Mas. Aku coba tetap setia sama Mas. Aku rawat Mas sepenuh hati sampai Mas siuman,” Tara menatap Arka dengan tangisan bohongannya. “Mas, aku nggak bakal minta ganti rugi uang. Aku hanya mau Mas bertanggung jawab. Nikahin aku ya, Mas? Biar anak di kandunganku ini punya bapak. Kan ini anaknya Mas juga. Jangan buang anak kita ya?”

Tangisan Tara terus mengencang. Dia sudah menyiapkan semua skenario ini dengan baik jauh hari sebelumnya. 

Arka tampak tercenung. Pria itu diam. Namun, pandangannya tampak prihatin menatap Tara.

“Mas, nikahin aku ya? Perutku udah mau gede. Bisa jadi omongan banyak orang nanti,” pinta Tara sekali lagi. “Kasihan keluargaku. Orang tuaku pasti malu. Kakak laki-lakiku bakal kecewa sama aku. Adik kembar tigaku semuanya cewek. Aku nggak mau jadi contoh buruk buat adik kembar tigaku di Bandung.”

“Baiklah,” balas Arka. 

Tara berhenti menangis. Dia menoleh ke arah Arka sambil menyeka air mata buayanya. “Baiklah? Maksudnya Mas mau nikah sama aku?” tanya Tara memastikan. Dia harus mendapatkan kepastian dari Arka secara gamblang. 

“Iya. Aku mau menikah denganmu,” jawab Arka tegas. “Bayi di perutku itu anakku kan?”

Senyuman bahagia mengembang di wajah Tara. Dia langsung mengangguk secepatnya. “Iya! Benar! Anak ini anaknya Mas!” sahut Tara secepat kilat. 

“Baiklah. Aku akan menikahimu,” ucap Arka. “Kamu bisa pertemukan aku pada orang tuamu. Tapi, tolong kamu beritahu orang tuamu perihal kondisiku ini. Aku masih sakit ingatan dan badanku belum pulih benar.”

“Iya, Mas. Pasti akan aku kasih tahu mereka!” sahut Tara secepatnya. 

“Baguslah,” pandangan Arka kembali mengedar ke sekitaran. “Tapi, aku ada pertanyaan untukmu.”

“Pertanyaan apa, Mas?” balas Tara dengan jantung berdegup kencang. Entah mengapa dia mendadak mulai was-was.

“Kenapa aku tidak melihat satu pun foto kita bersama?” tanya Arka. Telunjuk tangan Arka mengarah ke sebuah standing figura di dekat televisi. Tampak foto Tara bersama Devan di sana. Mereka sedang berpelukan mesra. 

“Pria itu siapa? Kenapa kalian begitu dekat?” imbuh Arka menambah daftar pertanyaan yang membuat Tara langsung berkeringat dingin.

BAB 5

Tara memaku sejenak. Dia benar-benar lupa untuk membersihkan foto-foto Devan dari apartemennya. Duh, percuma dong kalau aku udah bikin skenario sama pura-pura nangis kalau ketahuan secepat ini? 

Secepat mungkin Tara memutar otaknya. Dia menggeser tubuhnya mendekati figura kecil itu dan segera mengambilnya. 

“Ini foto bersama sepupu jauhku,” jawab Tara. “Sebenernya aku udah buang foto ini karena Mas nggak suka. Tapi, kayaknya tukang bersih-bersih yang kupanggil ke sini salah ambil figura ini dan naruh di sini.”

“Aku? Aku nggak suka?” timpal Arka menanggapi jawaban Tara.

“Iya. Mas cemburu. Cemburu banget. Apalagi, dia temen SMA-ku,” terang Tara. “Maaf ya, Mas? Aku malah bikin Mas nggak enak hati. Padahal, sekarang hari pertama Mas kembali tinggal bareng aku.”

Tara menunjukkan wajah sedihnya pada Arka. Dia kembali terisak dan menangis untuk mengambil simpati Arka.

“Hei, sudahlah. Aku tidak ingat siapa dia,” ucap Arka. “Aku bahkan nggak ingat siapa kamu. Mustahil bagiku untuk merasakan cemburu saat ini.”

Tara perlahan berhenti menangis. Dia membuang figura ke tempat sampah. Langkahnya bergerak mendekati Arka. 

“Mas, nggak masalah kalau Mas nggak cinta sama aku. Yang penting, Mas nikahin aku ya? Kasihan ini jabang bayi di perutku. Nggak ada bapak. Nggak bisa bikin akta kelahiran nanti,” cerocos Tara penuh permohonan.

“Iya. Aku kan sudah bilang setuju menikahimu,” ucap Arka. “Menurutmu, kapan waktu tepat kita menikah?”

Tara terdiam. Dia belum memikirkannya sejauh ini. 

“Hm, kan sekarang Mas lagi sakit. Mending kita fokus sama kesehatan Mas,” terang Tara. “Nanti aku hubungi orang tuaku. Biar mereka yang datang ke sini.”

“Apa aku sudah mengenal orang tuamu?” tanya Arka ingin tahu. 

“Bertemu langsung belum. Tapi, mereka suka dengan hubungan kita,” tutur Tara. “Yang penting, kalau ditanya kapan kita kenal, Mas bilang aja udah setahun ini ya?”

“Setahun?” 

“Iya. Setahun,” jawab Tara dengan pandangan tegas. 

Setelah itu, Tara mengantar Arka ke kamar. Tara buru-buru mengunci kamar Arka dari luar. 

“Fiuh!” Tara terduduk tepat di depan pintu kamar Arka. “Gila banget aku ini!”

Tara menunduk. Pandangannya tertubruk pada perutnya yang sudah mulai kelihatan seperti ibu hamil. 

Dengan wajah sedih, Tara mengusap-usap perutnya. “Aku nggak boleh patah semangat! Demi anak ini,” tekad Tara. Meski harus seperti orang gila dan jahat, dia akan tetap memperjuangkan anak di rahimnya. Dia tetap akan mencarikan seorang bapak agar anaknya tidak dijuluki anak haram oleh masyarakat.

Tara menyeka air matanya yang kembali mengalir. Dia bangun dari duduknya dan melangkah ke dapur. 

“Aku siapin makan dulu aja buat Mas Arka,” tutur Tara.

Dia mengeluarkan sayuran dan daging yang disimpan di kulkas. Dia memasakkan tumis daging dicampur dengan buncis dan wortel untuk Arka. Camilannya dia menyiapkan jus dan potongan buah. 

Setelah itu, dia kembali ke kamar Arka. “Mas, makan ya?” ucap Tara saat melangkah masuk ke kamar Arka. 

Arka masih duduk di kursi rodanya. Pria itu menatap Tara yang menyiapkan makan siang untuknya.

“Mau aku suapi?” tanya Tara dengan senyuman manisnya. 

“Aku makan sendiri saja,” jawab Arka. 

“Beneran yakin mau makan sendiri?” 

“Iya,” Arka menggerakkan kursi rodanya ke depan meja. Dia mulai mengambil alat makan dan menyantapnya perlahan. 

“Mas, kalau misal masih lapar, nanti Mas panggil aku aja ya? Aku ada di kamar samping,” ucap Tara. “Jangan lakuin apapun sendirian ya, Mas? Takutnya nanti Mas malah cedera atau luka.”

“Ya.”

Tara melangkah ke keluar kamar Arka. Kali ini dia tak menguncinya. 

Langkah Tara menuju kamar secepat kilat. Dia mengambil plastik sampah dan mengambil foto-foto dan buku kenangan bersama dengan Devan dan Nisa. Dia berusaha menghilangkan semua jejak dua orang yang sudah mengkhianatinya dan membuangnya keluar ke tempat sampah di bagian bawah apartemen. 

Saat akan kembali ke apartemennya, ponsel Tara berbunyi. Dia melihat layar ponselnya. Ada telepon dari Lisa, bundanya.

“Bunda,” sapa Tara. 

“Tara, kamu kok jarang hubungi Bunda sih?” tanya Lisa cemas. “Kamu baik-baik aja, kan? Bunda cemas. Satu bulan ini, kamu tuh nggak ada kabar.”

“Ah, iya. Itu, aku sibuk,” jawab Tara klise. Dia tahu jawabannya itu sangat umum. Namun, hanya itulah jawaban yang terlintas di benaknya.

“Sibuk apa sih?” selidik Lisa. “Bunda dapat kabar dari temanmu.”

“Temanku? Siapa?” balas Tara cemas.

“Itulah si Nisa. Memangnya siapa lagi?” jawab Lisa. 

“A-apa katanya?” Tara semakin gugup. “Dia nggak cerita aneh-aneh kan, Bunda?”

“Kamu kenapa? Kok pertanyaanmu aneh gitu. Kamu nggak lagi dalam masalah kan?” Lisa mulai memberondong banyak pertanyaan penuh curiga. “Nisa bilang kamu udah nggak masuk kantor selama sebulan ini. Nggak ada kabar juga ke dia. Dia bilang cemas mikirin kamu.”

“Cemas?!” Tara tersentak kaget mendengarnya. Nisa benar-benar pandai bersandiwara!

“Iya. Makanya, dia telepon Bunda. Terus, Bunda juga emang mikirin kamu. Ya udah sekalian aja Bunda telepon kamu sekarang. Siapa tahu kamu memang sakit atau gimana,” jelas Lisa.

“Aku sehat, Bunda. Aku baik-baik aja. Bunda nggak usah cemas ya?” pinta Tara. 

“Kalau memang sakit atau ada masalah, bilang ya? Bunda selalu sayang dan cemas sama kamu,” ucap Lisa lembut. “Terus, Bunda harap kamu balik kerja ke kantor. Memang sih itu perusahaan Ayah. Tapi, kamu kan janjinya mau belajar kerja dari nol. Jangan bolos sampai sebulan gini kan harusnya. Nama Ayah bisa jadi kena gosip buruk dari para karyawan.”

“Ah, iya, Bunda,” Tara terdiam sebentar. Dia berpikir mencari-cari sebuah alasan. Namun, alasan itu tak ketemu. “Tara emang lagi ada masalah soal tesis. Kan sebenernya tesis Tara belum selesai. Maafin Tara ya? Tara beneran gegabah dan nggak ada perhitungan.”

“Kalau memang itu alasannya, Bunda nanti hubungi atasanmu aja. Biar ada yang handle pekerjaanmu sementara. Kasihan nantinya. Kan kerja di kantor tetap harus profesional,” terang Lisa separuh menasihati Tara.

Tentu saja Tara paham bahwa Bundanya tengah kecewa karena sikapnya. Namun, apa daya. Dia tak berani pergi ke kantor dengan keadaan perut yang semakin membesar.

“Oh iya, besok kamu di apartemen kan?” tanya Lisa kemudian.

“I-iya, Bunda. Gimana?” balas Tara gugup. Pikirannya jadi tak fokus karena memikirkan kembali soal kehamilannya yang belum memiliki sebuah solusi nyata. 

“Besok Bunda sama Ayah ke Jogja. Si Triplet katanya pengen jalan-jalan ke pantai sama makan bakpia,” terang Lisa. “Kamu jemput kami ya? Sekalian Bunda mau lihat gimana kamu.”

“Ke-ke Jogja?!” Tara langsung memaku tepat di depan pintu apartemennya. Rasanya seperti disambar petir di siang bolong. “Besok?!”

“Iya, besok. Tiketnya udah dibeli. Besok pagi langsung berangkat dari bandara,” jawab Lisa dengan penuh semangat. “Bunda udah kangen sama kamu. Jemput Bunda pokoknya ya?”

BAB 6

“Aduh! Gimana ini?!” Tara membanting dirinya di kasur. Dia ingin sekali berteriak kencang sekarang. 

BRAK!

Belum sempat Tara berpikir, terdengar suara benda jatuh dari dalam apartemennya. Bola mata Tara membulat lebar. Buru-buru dia berlari masuk ke dalam apartemen.

“MAS ARKA!” teriak Tara dengan langkah tergopoh-gopoh. Dia melihat ke arah kamar Arka yang terbuka pintunya. Tak ada Arka di sana.

“Duh, Mas Arka di mana?” panggil Tara. 

Lagi-lagi terdengar suara panci jatuh. Tara langsung tahu suara itu berasal dari mana. Buru-buru langkah Tara melesat ke arah dapur.

“Mas Arka!” Tara melihat Arka tengah menunduk mengambil panci yang jatuh di lantai. “Ya Allah!”

Tara melihat dapurnya menjadi carut-marut tak karuan. Panci dan gelas terjatuh. Kran menyala airnya. Yang paling parah ada microwave-nya gosong. 

“Mas Arka mau ngapain sih?” Tara buru-buru menarik kursi roda Arka keluar dari dapur. Dia langsung mengungsikan Arka dari sana.

“Aku ingin minuman hangat. Ada alat itu. Tadi kubaca bisa untuk menghangatkan. Ada tulisan hot-nya,” terang Arka dengan wajah polosnya.

Tara menggeram menahan amarahnya. Dia mendelik menatap langit-langit apartemennya. 

“Mas Arka mendingan nonton tivi aja. Biar aku bikinin air hangat,” ucap Tara. “Dan, satu lagi. Mas Arka jangan pernah ke dapur lagi. JANGAN PERNAH!”

Tara melotot menatap Arka. Dia benar-benar kesal jika ada orang lain memporakporandakan dapurnya. 

“O-oke,” jawab Arka menurut. 

Tara mendengus. Dia langsung masuk ke dalam dapur. Meski lelah, dia merapikan semua kekacauan yang dibuat oleh Arka. 

“Duh, microwave-ku. Padahal ini harganya mahal. Belinya dari Jepang,” ratap Tara sedih. Selama ini dia suka sekali mengoleksi barang-barang impor. Semua alat makan hingga hiasan dinding di apartemennya adalah barang-barang impor. Dia rela mengurangi jatah jajannya untuk membeli barang impor itu karena bundanya sangat ketat soal pemberian uang jajan.

Dengan hati sedih, Tara memasukkan microwave-nya ke dalam kardus. Dia membersihkan sisanya dan membuatkan jahe hangat untuk Arka. 

“Ini, Mas. Silakan diminum,” Tara menaruh segelas jahe hangat di meja depan Arka. 

Tara duduk di sofa samping kursi roda Arka. Dia membantu Arka menikmati jahe hangat itu dengan piring kecil dari tembaga. 

“Mas, lain kali kalau pengen sesuatu, tunggu aku ya?” ucap Tara lembut. “Kan Mas lagi sakit. Biar aku aja yang layanin, Mas. Mas cukup fokus sama kesembuhan Mas. Ya?”

Arka tak menjawab. Pandangannya melihat ke arah kaki Tara. 

“Kamu ada obat?” tanya Arka.

“Obat? Obat apa, Mas?”

“Luka.”

“Luka? Mas luka? Di mana?” selidik Tara kaget dan cemas. Dia langsung mengecek tubuh Arka. Mencari di mana letak luka itu berada.

“Bukan aku. Kamu yang luka,” Arka menunjuk ke arah kaki Tara. Tampak kaki Tara berdarah.

“Ya Allah! Aku kok nggak sadar!” Tara terkaget menyadari luka di sekitaran telapak kakinya. “Duh, darahnya ke mana-mana.”

Tara berdesis kesakitan dan bingung. Arka meraih tisu di meja. “Sini kakimu,” suruh Arka.

“Eh?” Tara bingung menatap Arka.

“Sini. Aku bersihkan dengan tisu,” ucap Arka. 

“Eh, kan nggak sopan.”

“Kita kan sudah lama pacaran katamu. Bersikaplah biasa saja,” balas Arka santai. “Sini. Aku bersihkan kakimu. Setelah itu, ambil kotak obat. Kubantu obati lukamu.”

Tara menatap bingung Arka. Namun, dia memutuskan menuruti ucapan Arka agar pria itu tak curiga padanya. 

Arka membersihkan luka di kaki Tara dengan tisu. “Kotak obatnya di mana? Aku ambilkan saja,” ucap Arka.

“Di lemari dekat tivi,” jawab Tara.

Arka mengambil kotak obat itu. Dia lantas kembali merawat luka di kaki Tara. 

Tara tentu saja sangat takjub. Arka terampil merawat lukanya. Bahkan, cara Arka memperban kaki Tara pun sangat rapi. 

“Sekarang kamu jangan bersih-bersih dulu. Lebih baik istirahat,” tutur Arka lembut.

“Hm, oke deh. Nanti aku panggil tukang bersih-bersih online,” Tara tersenyum manis pada Arka. Entah mengapa, Tara merasa Arka cukup baik sebagai seorang manusia yang baru dia kenal.

“Maaf ya soal tadi. Aku sudah membuat dapurmu hancur,” pinta Arka canggung. 

“Iya, nggak masalah kok. Masih bisa dibersihin. Santai saja. Uangku banyak. Mas nggak usah khawatir,” celoteh Tara tak kalah canggung. 

Arka tersenyum simpul. Hati Tara berdebar melihat senyuman menawan Arka. 

Buru-buru dia menggelengkan kepala. Sekarang bukanlah saatnya bagi dia untuk berdebar. Dia harus mengurusi perihal kedatangan Lisa dan adik kembar tiganya ke Jogja besok pagi.

“Mas, besok orang tuaku ke sini,” tutur Tara. 

“Oh, mau bahas soal pernikahan kita kah?” tanya Arka. Wajahnya kembali menjadi serius.

“Um, sebenarnya kunjungan biasa,” ucap Tara. “Dan, kayaknya nggak mungkin tiba-tiba kita bahas soal pernikahan, kan?”

“Lalu, gimana dengan kehamilanmu? Bukankah kamu ingin kita menikah secepatnya?” timpal Arka heran.

“Iya sih. Tapi, kalau tiba-tiba bilang mau menikah, bakal aneh nggak sih?”

“Menurutku nggak aneh. Aku sudah lama jadi pacarmu kan?”

“Nanti orang tuaku marah kalau tahu aku hamil di luar nikah,” cerocos Tara secepat kilat. 

Arka terdiam. “Lalu, kita harus bagaimana?” tanya Arka. 

“Mas tetap di kamar ya?” ucap Tara. “Nanti aku usahain orang tuaku di sini hanya sebentar. Mereka biasanya nginep di hotel.”

“Berarti aku tidak akan menemui orang tuamu sama sekali?” 

“Iya. Hanya kali ini aja,” tutur Tara. “Bisa kan ya?”

“Iya.”

Tara mulai lega. Setidaknya kini dia punya cara untuk menyembunyikan Arka. Sekarang dia tinggal mencari cara bagaimana menyembunyikan perutnya agar tak terlalu terlihat seperti orang yang sedang hamil di hadapan keluarganya besok.

Malam hari, Tara sibuk mencari pakaian longgarnya. Dia memutuskan menggunakan kaos putih longgar miliknya dan sebuah celana kulot warna hitam. Tak lupa dia menggunakan jaket longgar.

Tepat saat keesokan harinya, dia sudah sangat siap. Ya, meski tidak siap, dia tetap harus menjemput orang tuanya ke bandara.

Tara menyetir ke bandara pagi-pagi sekali. Dengan cepat dia bertemu dengan orang tuanya dan tiga adik kembarnya yang masih SD kelas empat itu. 

“Nenek Lampir!” teriak tiga bocah kembar itu dengan kompak menyapa Tara. Tawa mereka sangat lebar. Beberapa bagian giginya tampak berwarna kecokelatan karena memakan cokelat sepanjang perjalanan dari Bandung ke Jogja.

“Apa? Kalian kangen Kakak?” balas Tara. Dia menguwel-uwel pipi tiga adik kembarnya itu.

“Nggaklah. Yang kangen Bunda sama Ayah. Kami maunya bakpia aja. Kangen bakpia,” celoteh Triplet kompak. 

“Hish, bakpia mulu. DIET!” timpal Tara mengomeli adik kembar tiganya seperti biasanya.

“Kami tuh ya udah syantik, langsing, beautiful everyday and everywhere,” jawab Triplet disertai gerakan kemayu mereka.

“Hish, centil,” kekeh Tara. Meski selalu adu mulut, dia sangat menyayangi adik kembar tiganya itu.

“Ayo jangan ribut. Kita ke tempat Kak Tara ya?” ajak Lisa. 

“Ayah mana?” tanya Tara penasaran.

“Ayahmu bilang bakal datang besok. Hari ini Bunda sama si kembar tiga dulu,” jawab Lisa. 

“Aduh, kasihan Bunda. Harus ngurusin anak-anak bandel ini,” Tara menguwel-uwel lagi kembar tiga itu.

“Ih, lepas! Nanti nggak jadi beautiful lagi,” celoteh Triplet.

Tara kembali tertawa. Dia mengajak bunda dan tiga adik kembarnya ke mobil. 

Dalam hati, Tara sudah mulai tenang. Dia berdoa agar rencananya berjalan lancar sampai bunda dan adik kembar tiganya ke hotel. 

“Silakan masuk,” Tara membuka pintu apartemennya. Dia mempersilakan Lisa dan triplet masuk.

“Wah, bersih ya! Abis beres-beres ya? Takut Bunda marah ya?” kekeh Triplet menggoda Tara. 

“Diam kalian. Tuh di meja ada makanan. Ambil!” suruh Tara. 

“Aseeek!” Triplet berlari duluan ke ruang tengah. Mereka langsung diam karena ada banyak makanan.

Sementara itu, Lisa berkeliling melihat ruangan di apartemen Tara satu per satu. Tara tentu saja sudah tahu soal ini. Makanya, dia sengaja mengunci Arka dari luar dan menyembunyikan kuncinya di meja kamar. 

“Eh, kamar ini kok nggak bisa dibuka?” tanya Lisa heran. Perempuan itu tepat berada di depan kamar di mana Arka berada.

“Hm, itu, Bunda. Kuncinya ilang. Besok paling mau manggil tukang kunci,” jawab Tara sesuai rencananya. 

“Buruan diperbaiki. Siapa tahu besok Triplet mau tidur di sini,” ucap Lisa. 

“Ah, di hotel aja deh, Bunda. Di sini sempit,” timpal Tara.

“Hm, tetep aja kan kalian nggak pernah ketemu,” Lisa melangkah menuju dapur. Tara memeluk lengan Lisa dengan hangat. "Nginep bareng kan bagus.”

“Nanti aku aja deh yang ikutan nginep di ho—“

“AAAAA!” teriak Triplet kencang. “Siapa ini?!”

Tara dan Lisa terkaget. Tara tak jadi melanjutkan kalimatnya. Pikirannya langsung tertuju pada keberadaan Arka.

“Ada apa?!” balas Lisa seraya menoleh ke arah tempat Triplet berada.

BAB 7

“Ada apa?!” Tara langsung menghampiri tiga adik kembarnya yang heboh itu. 

Triplet ternyata berada di dalam kamar Tara. Tepatnya si kembar tiga itu sedang berada di balkon kamar Tara. 

Sialnya, balkon kamar Tara bersampingan dengan balkon kamar di mana Arka berada. Ada Arka sedang bermain dengan seekor kucing di balkon itu.

“Itu! Lihat! Siapa? Lagi di balkon kamar samping kamar Kak Tara!” Aster, si kakak tertua dari kembar tiga itu menunjuk-nunjuk ke arah Arka. 

“Itu kan dari kamar samping bukan?” timpal Sakura, si bontot dari kembar tiga.

“Eh, kita periksa kamarnya yuk? Pasti itu maling!” ajak Lily, si kembar nomor dua alias tengah-tengah. 

“Ayok! Ayok!” sahut Aster dan Sakura dengan kompak.

Ketiga bocah kembar itu langsung lari masuk ke dalam. Mereka menyerbu pintu kamar Arka. 

Tara melotot menatap Arka. “Mas! Buruan masuk! Masuk! Sembunyi!” suruh Tara setengah berbisik. Dia benar-benar kacau.

Arka tersadar. Meski canggung dan bingung, dia menuruti ucapan Tara. Dia menggerakkan kursi rodanya masuk ke dalam kamar lagi.

“Huft! Beneran deh! Kok bisa ketahuan Triplet!” decak Tara. Dia buru-buru melangkah keluar kamar dan bersiap menghentikan kehebohan adik kembar tiganya itu.

“Maling! Maling! Maling! Keluar maling!” 

Teriakan Triplet bersautan. Tangan mereka bergerak sesuka hati. Ada yang menarik-narik handle pintu sampai ada yang menggedor-gedor pintu kamar. 

“Kalian kenapa? Kok berisik?” tanya Lisa pada tiga anak kembarnya yang sudah mirip anak liar itu. 

“Ada maling, Bunda! Maling!” jawab mereka dengan mata melotot besar. “Ayo serbu! Jambak! Pukul! Tangkap!”

“Nggak mungkin ada maling. Pintunya rusak itu,” Lisa mencoba menarik salah satu anak kembar tiganya. “Sini tenang dulu kamu, Lily!” 

Tara pun ikut melakukan misi penyelamatan. Dia harus bisa membuat ketiga bocah kembar itu tenang.

“Aster, udah! Nggak ada maling! Tenang kamu!” Tara menarik Aster menjauh dari pintu. 

Lily dan Aster sudah tertangkap. Kini hanya tersisa Sakura yang masih menggedor-gedor pintu sambil berteriak ‘maling’.

“Sakura! Cepat cari kunci pintu! Cepat!” perintah Aster pada adik kembar bungsunya. 

“Siap!” sahut Sakura patuh. 

Bocah cilik paling bungsu urutannya itu segera berlari ke kamar Tara. Dia ingat benar di mana Tara suka menyimpan kunci. 

Di rak meja rias. Tara memiliki kebiasaan menyimpan kunci di sana karena Tara sangat rapi orangnya. 

“Ini dia kuncinya!” Sakura tersenyum lebar. Dia segera kembali ke depan pintu kamar Arka. 

Sayangnya, langkahnya diblokade oleh Tara. “Nggak boleh!” Tara melotot ke arah adik bungsunya itu. 

Sakura bingung. Tinggal sedikit lagi, dia bisa membuka pintu kamar itu. 

Di saat itulah, Aster menyikut perut Tara. Rasa sakit hebat langsung mendera tubuh Tara. 

“AKH!” pekik Tara kesakitan. 

Dengan mudah, tubuh Tara jatuh rubuh. Perutnya terasa ngilu sekali sekarang.”Akh, sakit,” rintih Tara. Rasanya seperti ditusuk benda tajam di bagian perutnya secara bertubi-tubi.

“Tara!” Lisa tersentak kaget melihat Tara jatuh terbaring di lantai. Dia melepaskan Lily dan langsung menghampiri Tara. 

Si kembar tiga berkumpul. Sakura membuka pintu kamar dan masuk ke dalam. 

“Itu! Ada malingnya!” teriak Sakura menunjuk ke arah Arka yang berada di dalam kamar. 

Lisa pun terkaget melihat laki-laki asing berkursi roda berada di dalam kamar itu. Keberadaan laki-laki itu bertentangan dengan semua yang telah Tara ucapkan. 

“Sakit,” keluh Tara merintih kesakitan.

Pandangan Lisa kembali beralih ke Tara. Bola mata Lisa membulat lebar melihat ada aliran darah bercampur air meluncur dari bagian dalam paha kaki Tara. 

“Tara?!” Lisa kebingungan. Sesaat dia tak tahu harus melakukan apa.

“Bunda! Kak Tara dibawa ke rumah sakit inI!” seru Aster membangunkan Lisa dari kebingungannya.

“Hape! Ini hape!” Lily sudah mengambilkan tas Lisa dan memberikannya.

Lisa langsung membuka tasnya. Dia mengambil ponselnya dan menelepon rumah sakit terdekat agar segera ke apartemen Tara dan membawa ambulans. 

“Cepat ya, Pak? Ini anak saya berdarah-darah!” pinta Lisa memaksa. 

“Iya, Bu,” jawab pihak rumah sakit.

Suasana menjadi sangat kacau balau sekarang. Tara benar-benar menangis kencang. Dia takut kandungannya bermasalah dan semakin takut karena keluarganya akan tahu bahwa dia hamil di luar nikah. 

“Kak Tara nangis. Sakit banget ya?” Aster mendekat. Dia mengusap air mata Tara dengan tisu. “Maafin aku, Kak. Aku nggak tahu kalau Kakak bakal sakit gini.”

Sakura berdecak kesal. Dia menatap ke arah Arka dengan pandangan benci. “Maling nih! Gara-gara ini maling nih! Kak Tara jadi sakit dan nangis!” teriak Sakura memarahi Arka dengan jari tangan menunjuk-nunjuk. 

“Iya. Salah maling! Ayo pukul! Jambak! Keroyok!” seru Lily menggebu-gebu. 

“Ayo!” sahut Sakura dan Aster termotivasi. 

Ketiga bocah kembar itu berlari ke arah Arka. Mereka memukuli Arka sesuka hati mereka.

“Aduh! Argh! Aduh!” Arka berusaha keras melindungi dirinya dari serangan ketiga bocah cilik itu. Dia sama sekali tidak menggerakkan tangan atau kakinya untuk menyerang balik ketiga anak kecil itu. 

Tara menahan sakitnya. Dia bangun perlahan. “TRIPLET! BERHENTI!” teriak Tara berusaha menghentikan ulah ketiga adik kembarnya yang memang liar kelakuannya itu. 

“Ih! Ini tuh maling! Maling harus dipukul! Biar kapok!” balas Triplet. Mereka sangat kukuh dengan ucapannya. 

“Bukan! Dia bukan maling!” timpal Tara membela.

“Terus siapa? Siapa? SIAPA?!” oceh Triplet kesal. Mereka sangat yakin Arka adalah maling berbahaya. Namun, Tara terus membela Arka. Membuat mereka semakin terbakar emosinya. 

Tara meringis. Sakit dan bingung. Rasanya ingin menghilang saja. 

“Tara, siapa dia?” tanya Lisa bingung juga. 

Tara menoleh. Dia menatap Lisa yang sudah sangat jelas menginginkan sebuah penjelasan darinya. 

“Tara, jangan diam, Nak,” tegur Lisa karena Tara seperti orang bingung. “Bunda tahu dia bukan maling tapi dia siapa? Kenapa kamu sembunyiin dia di kamar ini?”

Situasi sungguh-sungguh membuat Tara mati kutu sekarang. Dia harus memberikan penjelasan logis pada Lisa atas semua kejadian yang di luar prediksinya itu. 

“Tara?” panggil Lisa lagi.

“Bunda,” ucap Lisa. “Bunda jangan marah ya?”

“Dia siapa? Pacarmu?” tebak Lisa. Sekilas Lisa langsung bisa memberi penilaian bahwa Arka termasuk pria yang sangat tampan. Namun, memang beberapa pertanyaan langsung menyelip di pikiran Lisa. Termasuk pertanyaan tentang cairan darah dan air yang mengalir dari dalam paha Tara.

Lisa memeluk tubuh Tara. Tangan kirinya bergerak gemetar menyentuh perut Tara. Entah mengapa, setelah menjadi tenang dan membaca semua situasi ini, dia kepikiran untuk melakuan hal ini.

Lisa tersentak saat menyadari perut Tara buncit keras. Persis seperti saat dirinya hamil.

“Ta-Tara, kamu....”

Pandangan Lisa menatap kaget anak perempuannya itu. Ini adalah kabar buruk jika dugaan dalam hatinya dibenarkan oleh Tara saat ini.

Tara kembali menangis. Dia tahu Lisa sudah sadar bahwa dia hamil. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah memeluk Lisa dan menangis sekerasnya.

“Maafin aku, Bunda. Maaf,” tangis Tara pecah ruah dalam pelukan Lisa.

BAB 8

“Dok, gimana kondisi anak saya?” tanya Lisa cemas. 

“Saat ini sudah terobati dengan baik karena langsung dibawa ke rumah sakit secepatnya,” jawab si dokter. “Lain kali, tolong lebih hati-hati ya? Sekarang masih bulan kedua kehamilan. Harus tetap hati-hati dalam menjaga kandungan.”

“Iya, Dok. Terima kasih,” Lisa mengangguk bersyukur. 

Dokter dan perawat melangkah keluar ruang rawat Tara. Lisa terduduk lemas di samping ranjang di mana Tara berbaring. 

Tampak triplet sudah duduk tenang di sofa. Mereka makan kue. Sementara itu, Arka ditinggal di apartemen Tara dengan kondisi masih dikunci di kamar seperti semula.

Lisa mengusap keningnya yang masih berkeringat dingin. Sejujurnya dia sangat pusing dan syok. Tak ada orang tua di dunia ini yang ingin anak perempuannya hamil di luar nikah. Karena itulah, dia selalu mendidik anak-anaknya dengan baik. Apalagi, dia dikaruniai empat orang anak perempuan. Ini bukanlah sesuatu yang mudah bagi dirinya. 

Air mata Lisa mengalir di luar kendalinya. Dia menyekanya meski hal itu justru membuat matanya semakin memerah.

“Bunda, maaf,” ucap Tara dengan suara gemetar. Dia sudah menghancurkan segala ekspektasi orang tuanya. Kini dia hamil dan orang tuanya sudah tahu akan kehamilan tak diinginkan itu. “Aku salah. Aku salah, Bunda.”

Lisa tentu saja tak bisa langsung menjawab. Dia mencoba menenangkan dirinya meski momen ini sangatlah berat. Kelebatan bayangan wajah suaminya terngiang di benaknya. Dia benar-benar merasa gagal menjadi orang tua sekarang. 

“Bunda aku—“

“Siapa Ayahnya?” tanya Lisa memotong ucapan Tara. “Pria di kursi roda itu?”

Tara terdiam. Ekor matanya melirik sekilas ke arah tiga adik kembarnya.

Kepala Tara mengangguk. Dia tahu ini adalah kebohongan keduanya pada orang tuanya. Namun, dia tak sanggup memikirkan jalan lain. 

“Iya. Dia Mas Arka. Calon Ayah anakku sekaligus suamiku,” jawab Tara dengan menggigit bibir bawahnya. Dia tahu ini salah tapi dia tetap harus melakukannya. 

“Dia yang menghamilimu? Siapa dia? Kenapa dia terluka? Identitasnya seperti apa sebenarnya?” cerca Lisa sudah tak sabar. Dia sangat ingin tahu banyak soal Arka. “Hubunganmu dengan Devan bagaimana? Bukannya kamu ingin menikah dengannya?”

Tara kembali terdiam. Pertanyaan Lisa memberondong seperti tembak peluru dari tembakan mesin tempur di medan perang. 

“Bunda, Devan nggak mau nikah sama aku,” ucap Tara. “Dia udah pacaran sama Nisa. Mereka udah saling suka di belakangku.”

“APA?!” Lisa kembali terkaget mendengar fakta itu. “Tapi si Nisa itu kemarin—“

“Ya, intinya Nisa bukan teman baik buat Tara,” tutur Tara dengan wajah sedih dan kecewanya. “Aku harap Bunda bisa percaya padaku. Aku anaknya Bunda, kan? Bunda bakal lebih percaya aku kan daripada Nisa?”

Lisa tertegun. Tentu saja jika harus memilih, dia akan tetap memilih Tara. Tara adalah anak kandungnya. Nisa memang pernah menjadi sahabat Tara tapi jika perilakunya mengerikan seperti itu tentu saja Lisa sangat geram. 

“Iya, tentu Bunda percaya kamu,” jawab Lisa secepat kilat. “Dia sungguh-sungguh jahat padamu?”

“Iya. Dia jahat banget sama aku. Dia pacaran sama Devan di belakangku,” tangisan Tara kembali membanjir. 

“Kak Tara nangis mulu. Nangis mulu. Mukanya jadi jelek,” komentar Triplet sambil berdecak. 

“Hush!” Lisa menaruh jari telunjuknya di depan mulut. Tanda agar bocah kembar tiga itu diam. “Jangan nakal. Kak Tara lagi kesulitan.”

“Ih, salah Kak Tara. Masa’ maling dilindungi sampai nangis-nangis. Gimana sih,” oceh Triplet mengomeli Tara. 

“Triplet, Bunda pukul pantat kalian nih kalau masih ngomong terus,” ancam Lisa pada anak kembar tiganya.

Triplet langsung menutup mulut mereka rapat-rapat. Tak lagi berani ribut atau bicara. 

Lisa mendengus. Kini dia kembali menoleh ke arah Tara. Diusapnya kening Tara dengan lembut. “Sayang, jangan nangis lagi ya? Nanti Bunda suruh Ayah buat keluarin Nisa dari perusahaan. Beasiswa buat Devan biar diputus juga. Bunda pastikan mereka nggak bakal ganggu kehidupanmu lagi,” janji Lisa penuh kesungguhan.

Harga diri Lisa sebagai seorang ibu terluka melihat anaknya dijahati orang lain. Dia memastikan akan membuat Nisa dan Devan tak lagi bisa hidup tenang.

“Makasih, Bunda,” Tara ikut menyeka air matanya. 

“Lalu, Arka itu bagaimana? Dia siapa? Kasih tahu Bunda gimana kamu bisa berhubungan dengan dia sampai seperti ini?” Lisa kembali mencerca pertanyaan yang pada Tara. 

Tara tak langsung menjawab. Dia mencoba merangkai kalimat tepat agar tak menimbulkan kecurigaan. 

“Bunda, Mas Arka itu orang yang baik. Dia yang bantu aku selama kesulitan dikhianati Nisa dan Devan,” terang Tara. “Tapi, memang Mas Arka ini kan blasteran luar negeri. Tara akui Tara terbawa pergaulan buruk tapi Mas Arka mau bertanggung jawab. Dia bilang mau menikahiku, Bunda.”

“Tapi, dia luka dan di kursi roda. Dia kenapa bisa luka seperti itu? Kalian bertengkar?” tanya Lisa curiga.

“Nggak. Mas Arka kecelakaan aja pas buru-buru ke apartemenku. Kecelakaannya cukup ngeri. Makanya kan aku selama sebulan ini nggak bisa hubungi Bunda atau Ayah. Aku fokus nngurusin Mas Arka,” jelas Tara. “Bunda, tolong jangan marahin Mas Arka ya? Dia sudah mau tanggung jawab buat jadi suamiku. Aku mau nikah aja sama Mas Arka.”

Lisa berdecak. “Identitas pria itu bagaimana? Memangnya kamu tahu benar dia berasal dari keluarga baik-baik?” tanya Lisa memastikan. “Bunda nggak mau kamu asal milih pasangan Tara. Meski kamu sekarang hamil, menikah itu bukan perkara mudah. Sekali menikah harus dijaga dengan baik seumur hidup. Nggak boleh mikir cerai sama sekali. Kamu yakin soal ini?”

Sialnya, Tara malah sudah memikirkan soal perceraian sebelum menikah dengan Arka. Dia menelan ludah. 

“Yakin, Bunda!” jawab Tara dengan wajah serius. Dia tak mungkin membuat Lisa berpikir buruk soal dirinya sekarang. Sudah cukup perkara kehamilan ini. Dia tak ingin memperpanjang ke hal-hal lain yang semakin rumit. 

“Baiklah. Bunda mengerti. Sepertinya kamu sedang kasmaran dengannya,” ucap Lisa memafhumi. “Tapi, identitas dia bagaimana? Kamu beneran sudah tahu identitas dia kan? Dia sungguhan pria baik-baik kan?”

Senyuman Tara mengembang. Dia sudah tahu bahwa Arka masih dalam lingkungan keluarga besar Golden. Keluarga besar Golden memiliki bisnis bodyguard besar se-Indonesia. Bahkan, bisnisnya sudah berkembang pesat di Asia Tenggara, Asia Timur, hingga Eropa Barat. Seharusnya, Lisa tak akan ragu lagi menikahkan dirinya dengan Arka.

“Iya. Mas Arka itu nama lengkapnya Arka Albiru Golden,” jawab Tara dengan senyuman lebarnya. “Dari keluarga Golden, Bunda! Kan masih saudaranya Kak Nana, menantu kesayangan Bunda.”

Lisa terperangah kaget. Dia tak menyangka Tara malah sudah menjalin hubungan dengan sepupu dari menantu kesayangannya itu. Sesuatu yang justru Lisa nanti-nantikan karena memang Lisa selalu ingin menikahkan Tara dengan salah satu keturunan dari keluarga Golden. 

“Gimana, Bunda? Bunda mau kan merestui pernikahanku dengan Mas Arka?” tanya Tara dengan pandangan berbinar penuh harap. 

BAB 9

“Kamu yakin itu?” tanya Lisa memastikan.

“Yakin, Bunda. Aku punya buktinya,” jawab Tara dengan penuh keyakinan. “Semuanya aku simpan di kamarku.”

“Baiklah. Bunda percaya kamu. Nanti Bunda hubungi keluarga Arka biar kalian bisa langsung menikah,” Lisa mengusap-usap perut Tara. “Bunda harap kamu jaga kandunganmu dengan baik ya? Nanti pernikahannya sederhana saja nggak masalah, kan?”

Tara mengulas senyum penuh haru. Pandangannya berkaca-kaca menatap Lisa yang sama sekali tak marah padanya. “Iya. Nggak apa-apa,” jawab Tara. “Maafin Tara ya, Bunda. Tara salah. Tara udah bikin Bunda sama Ayah malu. Tara nggak bisa jadi contoh baik buat Triplet. Maafin, Tara.”

“Iya. Bunda harap ini bisa jadi momen pembelajaran buatmu ke depannya,” balas Lisa. “Mau marah pun, Bunda tetap harus fokus pada pernikahanmu, kan? Janinmu butuh seorang ayah sekarang. Kamu butuh suami.”

“Iya. Makasih udah mau mengerti aku, Bunda,” Tara kembali menangis. Hatinya merasa berdosa dan semakin bersalah. Namun, dia harus berjuang untuk ini semua sekarang. 

Tara menyerahkan sisa komunikasi pada Lisa. Dengan segera Lisa mencari nomor orang tua Arka yang menetap di Belgia. Dia menelepon Sena, Mama Arka. 

“Halo, apa ini benar nomor milik Ibu Sena Amalia? Mama dari Arka Albiru Golden?” tanya Lisa menyapa. Dia menelepon tepat di sisi Tara yang kini masih beristirahat di ruang rawat inap rumah sakit. Tak lupa, dia melakukan panggilan dengan mode loud speaker agar Tara bisa mendengar juga.

“Benar. Ini siapa? Kenapa bisa tahu nama anak saya?” balas Sena menjawab pertanyaan Lisa.

“Perkenalkan saya Lisa, ibu dari Tara Kasih Basri. Kami sedang berada di Yogyakarta sekarang sekarang bersama dengan anak Ibu Sena, Arka,” terang Lisa. “Anak Ibu Sena telah menghamili anak saya dan saya minta pertanggungjawabannya. Saya akan kirim alamat apartemen anak saya. Saya harap Ibu Sena bisa segera datang ya?”

“Tu-tunggu, menghamili anak Ibu?” ucap Sena terkaget. 

“Benar, Bu Sena. Sekarang Nak Arka sedang dalam masa perawatan karena sebuah kecelakaan. Semuanya sudah diurus dan dibiayai. Kami hanya ingin Ibu sekeluarga datang ke Jogja secepatnya agar pernikahan segera dijalankan,” terang Lisa. “Tapi, kalau Ibu tidak mau ke sini juga sebenarnya tidak masalah. Yang jelas, Nak Arka akan tetap saya nikahkan dengan anak saya.”

“Iya, iya. Besok saya akan ke Jogja. Saya juga asli Jogja tapi sekarang menetap di Belgia karena pekerjaan suami saya,” terang Sena. “Sekitar dua hari lagi saya akan datang. Bu Lisa tidak perlu cemas soal itu.”

“Baguslah. Saya tunggu itikad baik Bu Sena ya? Karena kondisinya sangat urgen. Saya pun jujur saja syok mengetahui fakta ini.”

“Saya minta maaf ya, Lisa. Anak saya memang pergaulannya bebas. Pasti menyulitkan Ibu sekeluarga. Saya akan segera ke sana. Mohon bersabar.”

Lisa memungkasi telepon. Tara menatap lekat bundanya itu. “Bunda, soal Ayah gimana?” tanya Tara kemudian. “Ayah bakal mukul aku nggak ya?”

Tara menggigit bibir bawahnya. Dia ngeri jika Ayahnya akan sangat murka dan berakhir memukulnya.

“Sudah jelas itu. Ayahmu memang sabar tapi dia pasti sangat kecewa padamu,” jawab Lisa. “Hanya saja kemungkinan yang terkena amarah Ayahmu itu Arka, bukan kamu.”

“Mas Arka?” Tara terkaget.

“Iya. Di mata Ayahmu, Arka pasti bakal dianggap sebagai penghancur masa depanmu,” ucap Lisa. “Meskipun nanti kalian menikah, Bunda yakin Ayahmu pasti masih ingin menghukum Arka dengan berat.”

Lisa menghela napas berat. “Bunda ulur dulu waktunya biar Ayahmu tidak tahu kondisimu saat ini. Kamu fokus pemulihan di apartemenmu saja ya? Bunda temani kamu sambil menunggu kedatangan keluarga Arka,” jelas Lisa. “Bunda akan simpan rapat semua ini dulu biar beban pikiranmu tidak bertambah banyak.”

“Triplet gimana, Bunda?” Tara melirik ketiga adik kembarnya yang sudah rebahan di sofa. Tiga bocah kembar itu tamapak kelelahan. Apalagi, sekarang sudah masuk jam empat sore. Waktu tepat bagi para bocah untuk tiduran. 

“Bunda kasih mereka pengertian. Gampang itu,” ucap Lisa. “Mereka juga nggak pegang hape. Harusnya nggak bisa hubungi orang rumah.”

“Lhoh? Bukannya kalau di sekolah pegang hape?” timpal Tara.

“Iya. Tapi, sekarang kan masuk waktu liburan. Bunda sengaja sita hape mereka. Biar nggak kecanduan pegang hape,” jelas Lisa dengan senyuman simpul. “Sekarang siap-siap saja ya? Kita balik ke apartemenmu.”

“Iya, Bunda,” sahut Tara setuju dengan ucapan Lisa.

Lisa menghubungi pihak rumah sakit. Mereka minta bantuan ambulans untuk membawa Tara kembali ke apartemen. 

Di sana, Tara bisa menjalani pengobatan rawat jalan. Semua obat dan kebutuhan medis Tara sudah disiapkan di kamar. 

Selain itu, Lisa juga menyuruh dokter memeriksa kondisi Arka. Dia takut luka Arka semakin parah karena ulah barbar ketiga anak kembarnya yang masih tidur di kamar Tara sekarang. 

“Aku sudah menghubungi ibumu tadi,” beritahu Lisa pada Arka tepat saat dokter sudah pergi semua. Dia duduk di depan Arka. Mereka mengobrol empat mata secara serius sekarang. 

Arka berdeham. “Maaf saya sudah melakukan banyak kesalahan,” ucap Arka. “Saya benar-benar tidak bermaksud berbuat buruk pada Tara.”

“Aku paham itu. Tara sudah menceritakan semuanya padamu dan aku setuju kalian menikah,” terang Lisa memberikan restu. 

“Saya juga sudah berjanji pada Tara bahwa saya mau menikahinya. Hanya saja, saya berharap Tara dan Tante mau memaklumi kondisi saya yang sedang hilang ingatan sekarang,” jelas Arka jujur.

Lisa tersentak kaget. Dia belum diberitahu Tara terkait Arka yang mengalami amnesia.

“Hilang ingatan?” tanya Lisa sekali lagi. Siapa tahu telinganya yang sudah tua itu salah mendengar. 

“Benar. Saya hilang ingatan karena kecelakaan. Untungnya Tara masih mau membantu saya. Berkat Tara, nyawa saya tertolong. Saya bersyukur ada Tara yang selalu membantu saya,” terang Arka jujur. “Karena itulah, saya percaya dan yakin bahwa Tara bisa menjadi teman hidup saya.”

“Ah, syukurlah kalau kamu memang berpikiran seperti itu,” ucap Lisa lega. “Tapi, karena kamu amnesia, apa perasaanmu pada Tara juga memudar? Maksudku ikut hilang karena efek amnesia?”

Arka hanya tersenyum simpul. “Perasaan sepertinya bisa dibangun dari awal. Saya yakin dengan sikap baik Tara, saya akan lebih mudah jatuh cinta padanya. Ditambah lagi, Tara juga cantik.”

Lisa cukup bangga mendengar semua ucapan Arka barusan. Sebagai seorang ibu, dia senang jika anaknya dipuji-puji seperti itu. 

“Ya, anak-anakku memang bibit unggul. Aku merawat dan mendidik mereka dengan baik,” balas Lisa penuh bangga khas ibu-ibu. 

“Soal amnesia yang kualami, tolong sampaikan pada orang tuaku juga ya, Tante? Sekali lagi aku minta maaf karena sudah membuat Tante dan Tara dalam banyak masalah.”

“Iya. Kamu tenang saja. Tara sudah diobati. Kandungannya juga baik-baik saja. Aku berharap kalian cepat menikah tanpa banyak drama saja,” terang Lisa jujur. 

Setelah itu, Lisa keluar dari kamar Arka. Dia menutupnya agar Arka bisa mudah beristirahat. 

Langkah Lisa bergerak ke dapur. Dia mulai memasak untuk anak-anak dan calon menantunya. Sebentar lagi masuk waktu makan malam. Mau sebanyak apapun masalah yang dihadapi, makan adalah sebuah kewajiban yang tak boleh ditunda. 

Di saat itulah, Lisa yang sibuk memasak dan Tara yang sudah tertidur, tidak mengetahui bahwa si tiga bocah kembar kembali berulah. Mereka mengambil ponsel Lisa secara sembunyi-sembunyi. Setelah itu, mereka mengintip kamar Arka dari luar dan memotret Arka beberapa kali.

“Kita harus kasih tahu Ayah,” ucap Aster. 

“Iya! Ayah harus tahu ada maling di sini,” imbuh Lily.

“Aku kirim ya foto-fotonya,” Sakura memilih semua foto Arka di galeri dan mengirimkannya pada Ayah mereka sebagai sebuah laporan. 

BAB 10

Tara bangun saat subuh. Entah mengapa, dia kesulitan tidur dan memutuskan untuk olahraga santai di taman dekat apartemennya. 

“Tara,” panggil Arka. 

Tara menoleh. Dia melihat Arka menggerakkan kursi rodanya ke arahnya.

“Mas Arka, nggak istirahat?” tanya Tara. Dia segera menyelesaikan ikatan tali sepatunya.

“Aku mau olahraga. Sekalian mau latihan jalan. Biar kakiku nggak kaku,” terang Arka. 

“Aku juga mau olahraga. Mau barengan?” ajak Tara.

“Boleh,” jawab Arka.

Tara tersenyum lebar. Dia melangkah mendekati Arka dan mendorong kursi roda Arka keluar apartemennya.

“Tara, bagaimana kondisimu? Sudah sepenuhnya pulih?” Arka menoleh ke belakang. Dia memandangi Tara dengan cemas. “Maaf aku belum bisa sepenuhnya membantu dan memperhatikanmu. Kondisiku tidak sehat. Sekarang saja, tulangku masih terasa nyeri.”

“Iya, Mas. Tenang saja. Aku bisa mengatasinya,” ujar Tara dengan senyuman lembutnya. “Yang penting, Mas mau menikahiku saja. Aku butuh suami agar tidak membuat keluargaku mendapatkan nama buruk di masyarakat.”

“Iya, aku mengerti soal itu. Aku sudah menyetujuinya di depan Bundamu kemarin. Katanya orang tuaku akan ke sini juga ya?”

“Benar. Mungkin besok atau lusa, mereka akan ke sini,” ucap Tara dengan senyuman optimis. “Semoga saja orang tua Mas setuju ya?”

“Iya. Kalaupun mereka tidak setuju, aku tetap akan menikahimu,” timpal Arka.

Tentu saja itu adalah balasan tak terduga. Tara kaget karena Arka sepertinya sudah terjatuh dalam tipuannya lebih dalam. 

“Mas bakal bilang gitu?” tanya Tara memastikan.

“Iya,” jawab Arka mantap. “Kamu sudah menolongku dari kecelakaan maut. Nyawaku yang berharga bisa terselamatkan berkatmu, Tara. Aku ingin membalas jasamu. Aku berjanji akan menikahimu, menjadi suamimu, dan Ayah dari anak kita sesuai dengan keinginanmu. Kali ini aku tak akan lari.”

Hati Tara trenyuh mendengarnya. Ucapan Arka terdengar sangat tulus dan menyentuh batinnya. Padahal, semua ini hanyalah trik Tara yang menjebak Arka saja. 

Air mata Tara turun meluncur begitu saja. Perasaanya kembali bercampur aduk. Antara terharu dan sedih karena sudah berbohong sebanyak ini. 

“Jangan menangis,” ucap Arka lembut. Tangannya bergerak pelan mengusap pipi Tara. “Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan. Daripada menangis, bukankah kamu harus membimbingku untuk bisa menjadi suami yang layak untukmu?”

Tara masih terisak. Dia mencoba mengatur dirinya agar bisa lebih tenang. “Bagiku, Mas udah sangat layak buat jadi suamiku,” jawab Tara terbata dalam isakannya. 

“Kalau begitu, berhentilah menangis. Kalau kamu menangis, aku akan terlihat seperti orang jahat sekarang,” pinta Arka. 

“Iya,” Tara menyeka secepatnya sisa aliran air matanya. 

Pintu lift terbuka. Tara membawa Arka melangkah keluar halaman apartemen dan mendorongnya menuju taman terdekat.

Di sana, Tara membantu Arka latihan berjalan. Sedikit demi sedikit, Arka mulai terbiasa berjalan dengan bantuan Tara. 

“Ah, capek sekali ternyata,” celetuk Arka sambil duduk di kursi taman. Latihan berjalan selama setengah jam sudah menguras tenaganya.

Tara tersenyum simpul. Dia menoleh dan melihat tukang jualan pecel dan teh hangat di sana. Tara menelan ludahnya. Pagi-pagi makan nasi pecel dengan rempeyek dan tempe kering sangatlah enak. Ditambah dengan teh manis hangat. 

“Mas, aku beliin pecel ya?” tawar Tara. Dia menunjuk ke arah ibu-ibu tua yang berjualan pecel di bawah pohon beringin. “Enak lho itu.”

“Aku mau tapi tidak ada uang,” jawab Arka canggung. Ada kecemasan terpancar dari wajah Arka. 

“Gampang. Aku bawa uang kok,” Tara memamerkan uang 50 ribu miliknya. “Aku bawa ini. Cukup banget buat makan berdua. Mau ya?”

“Iya,” Arka mengangguk setuju.

“Mas tunggu di sini ya? Aku belikan dulu. Jangan ke mana-mana. Jangan mau diajak pergi sama orang lain. Tunggu aku di sini pokoknya,” pesan Tara panjang lebar.

“Iya.”

Tara melangkah meninggalkan Arka. Dia sibuk membelikan nasi pecel untuk sarapan mereka. 

Sudah lama Tara tak sebahagia ini. Entah kapan terakhir dia merasa sesenang ini. 

Sejak tahu bahwa dirinya hamil dan Devan berselingkuh di belakangnya, dia tak pernah merasa sebahagia ini. Pandangan Tara melamun saat bola matanya melihat jajan kue lapis. 

Dia sangat ingat bahwa kue lapis penuh warna seperti pelangi itu adalah kue kesukaan Devan. Pria itu selalu bilang pada Tara bahwa kesukaannya pada kue lapis sama seperti rasa cintanya pada Tara. Itu semua karena Tara dan kue lapis sama-sama manis dan penuh warna seperti pelangi. 

Nyatanya, semua ucapan itu kini hanya menjelma seperti angin lalu saja. Hanya berbekas rasa tapi tak ada bukti nyatanya. Sungguh sangat menyesakkan dada dan hanya membawa luka. 

Tara mengerjap-ngerjapkan matanya. Dia meminum teh hangatnya agar dadanya terasa lega. Dia tak berminat menangis lagi sekarang. Ada Arka yang selalu mengkhawatirkannya. Dia tak ingin membuat Arka terlalu cemas memikirkannya. 

“Ini, Mbak,” si ibu penjual memberikan pesanan Tara dalam sebuah plastik. 

“Ini, Bu. Kembaliannya di Ibu aja ya? Besok aku beli nggak usah bayar,” ucap Tara.

“Iya, Mbak. Kayak biasanya, kan?”

“Iya,” Tara bangun dari duduknya. Dia menghampiri Arka yang masih duduk santai di bangku taman.

“Mas Arka!” Tara berlari kecil ke arah Arka. 

Arka menoleh. Pandangannya langsung cemas melihat Tara berlari ke arahnya.

“Tara! Jangan lari!” teriak Arka khawatir. 

“Nggak apa—“

DUK!

Belum sempat Tara menyelesaikan kalimatnya, kakinya terantuk batu. Tubuhnya pun oleng. 

Arka langsung bangun dari duduknya dan menyongsong tubuh Tara sebisanya. Untungnya, Tara hanya berjarak beberapa sentimeter saja dari Arka. Dengan mudah, Arka bisa menangkap tubuh Tara dengan sempurna.

“Sudah kubilang hati-hati,” omel Arka cemas. Pria itu bergerak refleks membawa tubuh Tara duduk di atas pangkuannya. 

Tara tak bisa berkata apa-apa. Tubuhnya mematung kaku dalam diam. Jantungnya berdegup kencang sekarang. Namun, dia tak tahu alasannya. Apakah jantungnya berdegup kencang karena nyaris terjatuh? Ataukah, jantungnya berdegup tak tenang karena kini wajahnya begitu dekat dengan wajah Arka?

Rona merah bersemu di pipi Tara. Pria itu sungguh-sungguh tampan!
“Tara? Tara?” Arka menepuk-nepuk pipi Tara. “Kenapa pipimu merah? Kamu sakit?”

Tangan Arka bergerak menyentuh kening Tara. Buru-buru Tara menyingkirkannya. “A-aku sehat, Mas!” jawab Tara.

“Sungguh? Wajahmu merah. Pipimu apalagi. Seperti orang demam,” timpal Arka tak percaya.

“Iya. Aku sehat!” jawab Tara. 

Perempuan berbaju training itu buru-buru bangun dari atas pangkuan Arka. Dia mengambil kursi roda Arka dan menyuruh Arka duduk di sana.

“Kita makan di rumah aja, Mas,” ajak Tara. “Aku gerah. Pengen buruan mandi.”

“Ah, iya,” Arka menuruti ucapan Tara. Dia segera duduk kembali di kursi rodanya. “Sini aku yang bawa belanjaanmu.”

Arka mengambil plastik berisi makanan yang dibeli Tara. Dia tak ingin Tara kesulitan membawanya.

“Jalannya hati-hati saja. Kamu kan kemarin habis dari rumah sakit,” ucap Arka menasihati Tara.

“Iya, Mas,” jawab Tara patuh. Kini dia melangkah lebih hati-hati demi keselamatan jabang bayi di perutnya itu.

Tara membuka pintu apartemen. Dia mengira Lisa dan Triplet belum bangun karena mereka pasti kecapekan dengan hari yang melelahkan tempo lalu. 

“Ayah! Lihat tuh malingnya! Itu malingnya!” 

Terdengar suara teriakan Triplet. Ketiga bocah kembar itu berlari ke ruang tamu dan menyambut kedatangan Tara.

Tentu saja Tara kaget. Dia semakin kaget lagi saat melihat Galen ada di dalam apartemennya sekarang!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya TRIK CINTA SEASON 1- BAB 11-20
1
0
Kode voucher KEKASIH
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan