
Karena utang ayahnya, Riana harus menjadi seorang pembantu sekaligus pengasuh di rumah David, seorang Pimpinan Cabang Perusahaan Bodyguard ternama di Indonesia. Di rumah itu, Riana harus pura-pura menjadi Fiona, Mama dari Rafa, keponakan David, yang sudah satu tahun ini menghilang dalam kecelakaan tragis di Jepang bersama Brian, kakak kandung David.
David berjanji pada Riana akan menganggap lunas utang Riana ketika dia berhasil menemukan Brian dan Fiona lagi. Riana pun menyetujuinya daripada...
BAB 6
"Masuk," perintah David.
Riana masih berdiri mematung. Bingung. Seharusnya yang mengantarnya hari ini menjemput Rafa kan Joni? Kenapa yang muncul malah David?
"Mana Joni?"
"Masuk sekarang atau kutarik paksa?!" David menatap tajam Riana dalam mobil. Glek! Riana langsung membuka pintu penumpang dan duduk manis di sisi David.
Mulut Riana terkunci rapat-rapat. Tak lagi ingin berkata aneh pada pria di sampingnya. Di situasi seperti ini, kata mutiara diam adalah emas adalah hal terbaik yang pernah Riana dapat seumur hidup.
Sambil menyetir, David mulai memberondong Riana dengan beragam pertanyaan.
"Rafa menyusahkanmu waktu di rumah sakit?"
"Nggak. Dia anak manis. Ibuku suka Rafa."
"Ibu sehat berarti?"
"Ya. Kondisinya tak seburuk biasanya."
"Kamu suka dengan ruangannya?"
"Ruangan itu menguras dompetku," Riana menundukkan wajah sedih," Apa kamu nggak bisa kembaliin ibuku ke ruang semula? Kami sudah terbiasa dengan pelayanan rakyat jelata. Kamu nggak perlu susah payah membantuku."
"Sudah kubilang kan. Biaya itu masuk ke hutangmu."
"Kalau gitu aku minta gaji yang lebih besar juga. Apa bisa?"
"Mau berapa?"
"Dua puluh juta per bulan?"
"Hutang bungamu 80%," respon David sambil memarkirkan mobilnya.
"Banyak sekali! Ini pemerasan namanya."
"Ini usahaku. Aku juga tak mau rugi," David mematikan mesin," Kalau tak sanggup, kamu bisa bayar dengan tubuhmu."
Muka Riana langsung memerah seketika. Bisa-bisanya orang ini masih berpikir untuk menjual dirinya. "A-aku akan bekerja keras! Akan kurawat Rafa sampai dia dewasa!"
"Ya. Lakukanlah sebaik mungkin," David keluar dari mobil. Riana pun ikut keluar. Bahkan, dia berjalan mendahului David untuk menjemput Rafa.
"Mama!" teriak Rafa senang saat melihat Riana datang menjemput. Riana langsung memeluk bocah itu dan mengecup pipinya.
"Aow!" teriak Rafa kesakitan. Riana heran. Apalagi Rafa memegangi lengannya yang tertutup seragam. Refleks Riana langsung menyingkap kain lengan Rafa. Tampak sebuah luka biru lebam.
"Kok luka? Kenapa?" selidik Riana khawatir.
"Jatuh," Rafa menunduk. Tak berani menatap Riana.
"Anak laki-laki biasa jatuh. Tak usah khawatir," komentar David di belakang Riana.
"Nggak. Pasti ada yang mukul kamu? Iya kan?" Riana tak percaya dengan jawaban Riana.
"Nggak kok. Rafa jatuh."
"Jangan bohong, Rafa."
"Rafa nggak bohong," bocah itu terus menunduk. Tak berani melihat Riana. Membuat Riana yakin 100% bahwa Rafa memang berbohong.
"Ayo ikut, Mama. Kita ngobrol sama guru sebentar," Riana langsung menggendong Rafa masuk ke ruang guru.
David bingung dengan sikap Riana. Akan tetapi, dia mencoba tenang dan melihat apa yang sebenarnya ingin dilakukan Riana.
"Permisi," Riana masuk ke ruang guru. Seorang guru datang menghampiri.
"Iya. Ada apa?"
"Saya ingin mengobrol dengan wali kelas dua. Apa bisa?"
"Oh, iya. Kebetulan saya sendiri," jawab si Bapak Berkacamata," Ada perlu apa ya?"
"Ini anak saya lengannya luka lebam. Apa benar karena jatuh?"
Si guru memperhatikan Rafa sejenak lalu menjawab," Oh, tadi ada pertengkaran di kelas. Sepertinya tadi kena pukul di lengan."
"Pertengkaran karena apa?"
"Biasa, Bu. Anak kecil. Ledek-ledekan orang tua."
"Benar gitu Rafa?" tanya Riana pada Rafa.
Rafa mengangguk perlahan," Si Noval sama gengnya bilang Rafa nggak punya Mama sama Papa."
Hati Riana langsung hancur mendengar jawaban Rafa. Bagaimana mungkin anak sekecil Rafa harus menerima ejekan seperti itu dari teman-temannya? Lagipula apa salahnya juga kalau tidak punya orang tua? Selama masih bisa berprestasi dan jadi anak baik, bukannya itu sudah cukup bagus?
"Pak, saya minta ditemukan dengan orang tua anak yang mengejek anak saya. Minggu ini harus ketemu. Permisi," Riana menarik Rafa keluar ruang guru. Si bapak guru tampak bingung dengan sikap menuntut Riana.
David masih mengikuti Riana dan Rafa hingga masuk ke dalam mobil. Riana duduk di bagian belakang kursi penumpang bersama Rafa.
"Rafa, sudah berapa lama digituin sama temen-temen di sekolah?" selidik Riana.
"Hng….. nggak tahu. Lupa."
"Rafa, kalau ada yang nakal ke Rafa, bilang sama orang rumah. Kalau tiap hari ada luka di badan, itu bikin Mama sedih. Ngerti?" Riana mencoba tegas pada bocah itu.
"Tapi waktu itu di rumah belum ada Mama," tutur Rafa," Om juga sibuk kerja."
"Rafa….," Riana memeluk lembut bocah itu," Sekarang udah ada Mama. Jangan bohong lagi kalau ada yang nakal sama Rafa. Ya?"
"Iya."
Sepanjang perjalanan pulang, David tak bicara apapun. Hanya sesekali melihat Riana dari kaca depan mobil. Tampak perempuan itu sedang mengelus-elus kepala keponakannya yang sudah tertidur lelap di pangkuannya.
"Habis ini kita langsung ke rumah sakit. Hari ini jadwal menjenguk ibumu bukan?"
"Iya."
Setiap tiga hari sekali, David mengizinkan Riana menjenguk ibunya. Tentu dengan pengawasan dari Joni. Rafa juga ikut mengekori Riana.
"Kamu yakin dengan pertemuan orang tua murid di sekolah?"
"Yakin kok. Memang seharusnya diberitahu orang tuanya. Biar bisa bener didik anaknya."
"Tapi kamu bukan mamanya Rafa."
"Siapa peduli? Rafa sudah panggil aku mama juga. Kamu juga setuju kan kalau aku jadi Mama Rafa? Aku lagi kerjain tugasku sebagai Mama Rafa dengan baik. Kamu nggak boleh menghalangiku, David."
"Ya. Baiklah," David hanya mengiyakan ucapan Riana.
Sekilas Riana merasa David tersenyum. Entahlah. Mungkin salah lihat, batin Riana.
Sesampainya di rumah sakit, seperti biasa Riana datang menyapa ibunya. David menunggu Riana di luar sambil menggendong Rafa yang masih tertidur pulas.
"Hai, aku udah selesai," Riana keluar kamar rawat ibunya," Kita mampir beli obat ya? Buat luka Rafa."
"Bukannya lebam cuma dibiarkan aja?"
"Nggak tahu juga sih. Cuma bisa tanya dokter. Siapa tahu ada obatnya."
"Oke. Terserah kamu saja," pungkas David.
Walaupun David ini ketua preman penagih hutang, Riana merasa David tak cukup buruk sebagai seorang manusia. Pasalnya, David cukup menghargai orang-orang di sekitarnya. Bahkan, David terhitung cukup sayang dengan ponakannya. Ya, meskipun caranya terkadang aneh.
"Heh! Jangan melamun! Cepat jalan!" gertak David yang ternyata sudah cukup jauh di depan Riana.
"Iya. Tunggu sebentar," Riana berjalan cepat mengejar David.
BRUK!
"Aduh," Riana terjatuh. Seseorang menabraknya dengan kencang.
"Maaf. Sini saya bantu," suara si penabrak sangat familiar.
"Jo?" Riana terbengong saat tahu yang menabraknya tak lain dan tak bukan adalah Jo.
"Ayo," Jo mengulurkan tangannya pada Riana.
"Makasih," Riana berdiri tanpa menerima uluran tangan dari Jo. Membuat Jo harus menarik tangannya dengan wajah kecewa.
"Mau ke mana? Jenguk ibumu?"
"Pulang. Mari," Riana menundukkan kepala sebagai tanda ucapan perpisahan. Tak ada keinginan untuk berlama-lama dengan Jo. Pokoknya satu-satunya yang ingin dilakukan oleh Riana adalah menghindari Jo. Entah bagaimana caranya.
"Ayo, kita ke apotek," Riana langsung menggandeng David. Seketika David tersentak bingung saat jemari mungil Riana merengkuh jemarinya.
"Riana!" panggil Jo tak mau ketinggalan. Jo tetap mengejar Riana. Membuat David tak menghentikan langkah dan menoleh ke arah Jo.
BAB 2
Mata David tak henti-hentinya menatap Jo. Sementara itu, Jo masih dengan santainya memeriksa luka lebam di lengan Rafa yang sudah terbangun.
Jo akhirnya berhasil memaksa Riana masuk ke ruangannya. Tentu dengan alasan memeriksa Rafa. Alasan yang Jo duga tak mungkin bisa ditolak Riana dan pasti akan diikuti oleh laki-laki berwajah dingin yang Jo duga adalah suami Riana.
"Anakmu berantem?" tanya Jo usai memeriksa Rafa.
"Iya. Ada anak yang ganggu dia," jawab Riana.
"Sering-sering dikompres aja. Dua tiga hari bakal hilang," Jo melirik David. Sebuah senyuman dilemparkannya pada David sebelum menyapa.
"Suaminya Riana ya?"
"Iya."
"Bukan," jawab Riana dan Rafa serentak. Mentah-mentah menolak jawaban David. Membuat David melotot kesal.
"Ini Om-ku. Namanya Om David. Ini Mamaku. Mama udah lama pergi. Tapi kemarin dateng lagi. Pulang ke rumah," Rafa memeluk lengan Riana erat. Senyumannya begitu riang.
Dahi Jo mengkerut. Apa maksud bocah kecil itu?
"Ayo pulang. Om ada kerjaan habis ini," David langsung mengangkat Rafa dalam pelukannya. Laki-laki keluar dari ruangan Jo tanpa mengucapkan apapun.
"Tu-tunggu!" Riana langsung berdiri. Jo memegang tangan Riana.
"Riana, aku ingin mau bicara denganmu," pinta Jo.
"Maaf, Jo. Aku harus pulang," Riana berusaha menarik tangannya. Namun, genggaman Jo begitu kencang.
"Aku minta nomormu?"
"Nggak ada, Jo. Aku nggak ada hape!"
"Ini. Telpon aku," Jo menyodorkan kartu namanya. Riana hanya melihat.
"Terima atau …."
"Iya," Riana langsung menyambar kartu nama Jo sebelum Jo menyelesaikan ucapannya. Dengan kasar Riana menarik tangannya dari genggaman Jo. Dia berlari keluar mengejar David dan Rafa.
"Hah…." Riana menghela napas lega. Akhirnya dia bisa mengejar sampai mobil tepat waktu.
David hanya terdiam. Akan tetapi, dia menyetir dengan ugal-ugalan. Entah sudah berapa kali dia menerobos lampu merah di jalan.
"Ma, Rafa takut," Rafa memeluk erat Riana.
Sebenernya aku juga takut, Rafa. Tapi nggak mungkin aku ngomong gini ke kamu.
Walau gemetar, Riana tetap memeluk lembut Rafa. Tangannya menepuk-nepuk kepala Rafa. "Jangan takut. Mama ada di sini."
JEDUK!
Kepala Riana terbentur sisi mobil saat David memarkirkan mobil di halaman rumahnya. Riana mengerang sambil tetap memeluk Rafa. Tak ingin bocah kesayangannya itu mengalami hal sama dengannya.
"Keluar!" hardik David geram.
Riana tak paham kenapa laki-laki itu berubah mood begitu cepat. Padahal, dirinya tak melakukan kesalahan apapun. Bahkan, sedari tadi dia berusaha melindungi Rafa.
"Iya," Riana langsung membuka pintu mobil dan menggendong Rafa keluar. Walaupun ingin marah, mulut Riana tetap terkunci. Percuma saja bagi dia untuk komplain. Toh, pemenangnya sudah jelas. Pasti David.
Daripada menanggapi amarah David, jauh lebih baik jika dia membawa Rafa langsung masuk ke dalam rumah. Mengurus Rafa jauh lebih aman dan menyenangkan daripada harus berlama-lama bersama David. Dengan cepat, Riana pun melesat ke dalam kamar Rafa, meninggalkan David yang masih menggerutu tak jelas di dalam mobil.
David memukul setir mobilnya. Meluapkan kekesalannya. Setelah beberapa menit, dia menelpon seseorang.
"Ya, Bos? Ada apa?"
"Cari identitas dokter di rumah sakit tempat ibu Riana dirawat. Namanya Jo. Aku tunggu nanti hasilnya."
***********************
Jo termenung. Otaknya berpikir keras mencerna celetukan Rafa tadi.
"Apa maksudnya? Lama nggak ketemu? Terus balik lagi? Misal laki-laki tadi bukan suaminya? Terus siapa suami Riana? Hmm, ada yang nggak beres kayaknya," Jo menscroll kontak di hapenya. Ada nama Sena tampak di layarnya. Dia segera menelepon.
Tut… Tut... Tut….
"Iya. Selamat sore. Ada yang bisa saya bantu?"
"Ini Sena ya? Teman Riana?"
"Oh? Iya. Ini siapa ya?"
"Ini Jo. Jonathan Bagaskara. Mantan Riana."
"Oooh. Iya. Ada apa ya? Bukannya kamu udah nikah sama perempuan lain? Kenapa cari-cari Riana? Jangan bikin susah Riana ya?" omel Sena membuat telinga Jo sakit.
"Riana udah nikah?"
"Hah? Apa?"
"Riana udah nikah??" Jo mengeraskan suaranya.
"Nikah? Kamu ngayal ya? Riana mana mungkin mikir cinta-cintaan. Dia butuh banyak uang buat ngurusin ibunya."
Belum nikah? Berarti anak itu bukan anak Riana? Terus kenapa Riana mengakui anak itu anaknya dia?
"Hallo?? Jo?? Kok diem sih? Kalo nggak ada yang penting, aku matiin ya?"
"Eh, tunggu… tunggu… aku mau minta nomornya Riana."
"Buat apa? Inget istri Jo! Jangan deket-deketin Riana deh. Nanti kena semprot lagi dia sama mamamu. Cukup sekali Jo kamu bikin Riana sakit hati."
Bukan buat itu Sen. Ah, pokoknya aku butuh nomor Riana sekarang juga."
"Nggak bisa."
"Kantormu masih kantor redaksi majalah Supernova bukan?"
"Kok tahu?"
"Aku ke sana sekarang," Jo mematikan teleponnya.
"Ada yang nggak beres dari Riana," gumam Jo sambil melepas jas kerjanya lalu menggantungnya di kursi. Dipakainya jaket kulit warna cokelat yang ada di dalam lemari. Tak lupa dia mengambil kunci mobilnya yang ada di atas meja. Dengan langkah terburu, dia segera menuju parkiran mobil.
*************
Riana termenung. Dirinya sudah selesai menyuapi Rafa dan kini bocah manis itu sudah terlelap. Biasanya jam segini dia bekerja. Ya, sudah lama dia tak masuk kerja. Sudah tentu dia dipecat.
Walaupun begitu, Riana masih bisa menulis cerita untuk web novel-nya atau mengerjakan tulisan pesanan dari klien-kliennya. Setidaknya ada hal berguna yang bisa dilakukannya agar bisa mendapatkan pundi-pundi tambahan.
Kini? Dia hanya termenung. Menunggui anak kecil tiduran. "Rasanya udah kayak ibu rumah tangga aja. Padahal, nikah aja belum," gumam Riana.
Krucuk!
Riana sadar. Dirinya sama sekali belum menyentuh makanan. Dia hanya sibuk mengurusi Rafa. Sampai lupa bahwa tubuhnya juga membutuhkan asupan.
"Hmm, mending aku buat mi rebus telor. Mumpung Rafa udah bobok juga. Bisa agak lamaan makannya," Riana langsung meluncur menuju dapur.
Saat akan memasuki dapur, samar-samar Riana mendengar suara Mbok Shinta bersama Joni sedang mengobrol. Sepintas Riana mendengar namanya disebut.
"Tapi mirip ya? Neng Riana sama Nyonya?" tutur Mbok Shinta.
"Hmm, iya sih, Mbok. Si Bos juga sempet kaget waktu lihat. Makanya langsung dibawa ke sini," Joni menanggapi ucapan Mbok Shinta.
"Syukurlah. Paling nggak ya Si Rafa nggak lagi nangis. Mbok itu ya sedih lihat Si Rafa nangis terus kalau pas kumat kangennya."
"Ya, wajar sih Mbok. Kan ditinggal sama orang tua. Aku aja kadang masih kangen sama ibu bapak di desa."
"Kamu kan ada kakakmu, Si Jono. Masih ada temen kangen-kangenan. Nah, Si Rafa masih kecil. Nggak ada temennya lagi."
"Sekarang udah ada, Mbok. Ada Neng Riana yang nemenin Rafa. Seneng dah itu anak tiap hari gelendotan macam koala."
"Hush! Jaga omonganmu!" Mbok Shinta memukul bahu Joni. Membuat pria berbadan besar itu mengaduh.
Riana berjalan mundur. Tak jadi masuk ke dapur. Dia milih berbalik. Kembali ke kamar Rafa.
BRUK!
Belum sempat melangkah, Riana sudah menabrak seseorang. Saat mendongak, tampak David sudah berdiri tegap di hadapannya.
"Ah... Maaf…." pinta Riana sambil memegangi hidungnya yang kesakitan.
Bukannya menjawab ucapan Riana, David justru menarik Riana. Membuat Riana bingung.
"Tu-tunggu! Kita mau kemana? Kenapa kamu tarik-tarik aku?" Riana tak mengerti dengan tingkah David.
"Diam!" bentak David. Riana bisa merasakan kemarahan dalam ucapan David. Mati! Apalagi salahku?! jerit batin Riana.
BAB 8
David melempar Riana masuk ke ruang kerjanya. Suara pintu terkunci dari dalam terdengar begitu jelas. Jantung Riana bergemuruh. Tak tahu apa yang akan dilakukan oleh David padanya saat ini.
Otak Riana berputar. Memikirkan kesalahan apa yang dilakukan selama bersama David hari ini. Apa dia marah karena aku minta tambahan gaji?
Telinga Riana mendengar langkah kaki David yang semakin dekat. Samar-samar saat mengintip sekilas, Riana melihat tangan David menggenggam erat sebuah kemoceng.
Gimana nih? Dia mau pukul aku pake itu? pikiran Riana sudah kemana-mana.
Semakin langkah David mendekat, semakin mundur pula tubuh Riana bergerak. Mundur. Mundur. Hingga mentok di dinding. Jemari Riana mencengkeram erat dinding. Kedua matanya tertutup rapat. Bersamaan dengan otot leher dan wajahnya yang menegang karena ketakutan.
TUK!
Sesuatu menyentuh kepalanya.
TUK! TUK! TUK!
Makin lama makin kencang tapi masih wajar. Tak sakit seperti disambit rotan. Perlahan mata Riana terbuka. Tampak David di hadapannya sambil mengetuk-ngetukkan kemoceng di kepalanya. Riana mengedip- ngedipkan matanya berulang kali sambil menatap David.
"Ini!" David menyodorkan kemoceng itu ke Riana.
"Buat?"
"Bersihin debu di kamar Rafa. Rafa gampang alergi debu," David melepaskan kemoceng itu. Riana yang paling tak sempat menangkap kemoceng itu dengan cepat hingga harus berlutut di lantai untuk mengambilnya.
David hanya menatap Riana sekilas. Laki-laki itu berbalik dan duduk di kursi kerjanya. Sementara Riana, masih termangu bingung sambil memegangi kemoceng.
"Duduk!" perintah David. Dengan susah payah, Riana segera berdiri. Walaupun kedua kakinya masih gemetar karena imajinasi dan ketakutannya yang terlalu membeludak di pikiran.
Sambil memandangi Riana yang kikuk di hadapannya, David mulai melontarkan kalimat," Kita harus memperjelas pekerjaanmu di sini."
Riana hanya mengangguk lalu bertanya," Seperti apa?"
"Ada beberapa aturan yang harus kamu patuhi. Pertama, harus siap sedia bersama Rafa. Rafa adalah prioritasmu. Jika ada sedikit masalah dengan Rafa, kamu mati. Mengerti?"
"Iya."
"Kedua, dilarang memiliki pasangan."
"Oh…."
"Jangan coba-coba berpikir mendekati dokter di rumah sakit itu."
"Iya," jawab Riana lebih santai. David menatap aneh Riana.
"Kamu bukannya suka sama dokter itu?"
"Apa aku harus jawab sekarang?"
"Aku harus tahu itu kan."
Riana tak paham dengan pikiran laki-laki yang ada di hadapannya itu. Apa sih mau orang ini? Batin Riana. Walaupun aku masih suka Jo, mana mungkin aku berpikir berpacaran dengannya. Masalah hutang ini saja sudah membuatku pusing! omel Riana dalam hati.
"Riana!" panggil David mengejutkannya.
"Oh, nggak. Aku nggak suka dia. Dia bukan tipeku," Riana terdiam sejenak," Hmm, apa aku juga bisa mengajukan syarat?"
"Syarat? Apa?"
"Apa aku boleh pakai hape?"
"Buat?"
"Komunikasi?"
"Nanti Joni yang akan urus."
"Terus apa aku bisa pakai rumahku lagi? Hmm, maksudku, apa boleh aku membelinya darimu? Itu rumah kesayangan ibuku. Kalau ibuku tahu rumahnya disita, aku takut penyakitnya akan umat. Lagipula, ibuku juga perlu rumah itu kalau kondisinya sudah stabil."
"Hmm," David menopang dagunya," Rumah itu sudah tua sih. Pakai saja. Tapi ada ongkos sewanya."
"Haaah? Beneran?"
"Tapi kamu tetap tinggal di sini," tegas David.
"Iya. Itu gampang. Aku akan menjaga Rafa dengan baik. Kamu bisa mempercayaiku," sahut Riana penuh semangat.
"Bagus," David mengambil sebuah tas tenteng yang cukup besar. Disodorkannya tas itu pada Riana.
"Apa ini?"
"Untukmu," ujarnya. Riana mengambil tas itu. Saat melongok, isinya obat salep pegal-pegal dan alat pijat punggung.
"Punggungmu pasti sakit kan? Tiap hari gendong Rafa."
"Oh, iya. Terima kasih," tutur Riana," Hmm, aku kembali dulu ya? Rafa mungkin sudah bangun."
Riana ingin segera keluar. Tak terlalu nyaman baginya berdua saja dengan David. Apalagi dia belum bisa menebak orang seperti apa David itu.
"Kamu nggak penasaran soal orang tua Rafa?" tanya David tiba-tiba.
"Hmm? Aku?"
"Iya. Bukannya wajar kalau kamu ingin tahu soal orang tua Rafa?"
"Nggak kok," jawab Riana secepat kilat. Sedari awal Riana memang sudah memutuskan untuk tidak menanyakan terkait orang tua Rafa. Lagipula ini hanya pekerjaan tak terduga. Dia tak tertarik mencampurkan perasaan personalnya dengan pekerjaan aneh ini.
Lagipula, Rafa bukan anak yang harus dicurigai. Anak itu polos. Kalaupun memang ada yang menjahatinya, tentu akan ada Joni atau Jono yang akan melindunginya. David pun juga pasti akan turun tangan. Pekerjaan ini tak lebih dari pekerjaan mengasuh anak seperti pada umumnya.
"Benar tak mau tahu?"
"Benar! Aku serius! Kamu bisa percaya padaku. Aku orang yang bisa diandalkan sebagai pekerja profesional."
"Baiklah, baiklah. Keluar sana," David sudah tampak jengah mendengar ucapan Riana.
"Iya," Riana berbalik dengan wajah riang. Saat sudah berada di luar ruang ruang kerja David, dia menghembuskan napas lega.
"Fuuuuuuuuuuuuuh!" Riana mengelus-elus dadanya. Menenangkan jantungnya yang masih berdegup kencang.
"Kukira aku bakal mati. Untunglah cuma ngajak aja," Riana melanjutkan langkahnya kembali ke kamar Rafa.
*****************
Sena menatap bingung Jo yang sudah ada di lobi kantornya. Laki-laki itu masih seperti biasa. Tampak tenang tapi sedikit arogan. Tipe laki-laki yang sebenarnya selalu Sena curigai. Akan tetapi, sahabatnya, Riana, sangat cinta mati dengan laki-laki itu. Membuatnya mau tak mau tetap merestui hubungan mereka walaupun dalam hati merasa Riana pantas mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik.
"Sena," Jo melambaikan tangan memanggilnya.
Jo hanya akan melambaikan tangan pada Sena jika dia punya masalah dengan Riana. Jika hubungan mereka baik-baik saja, laki-laki itu bahkan tak mau menyapanya.
Sena mendekati Jo dengan wajah datar. Kedua tangannya bersedekap di dada. Menatap Jo malas.
"Apa di sini ada kafetaria? Kita ngobrol di sana sebentar," ajak Jo.
"Okey," Sena menyetujui ajakan Jo. Dia melangkah mendahului Jo menuju kafetaria kantornya. Sambil menunggu pesan capuccino dan jus apel, mereka duduk di kursi dekat jendela kaca.
"Kamu sengaja balik ke sini ya? Biar bisa ganggu Riana lagi?" tuduh Sena sebelum Jo sempat memulai pembicaraan," Bukannya kamu di Jakarta? Lanjutin usaha rumah sakit orang tuamu?"
"Sena, aku tak mau membahas itu. Aku hanya ingin fokus membahas Riana. Apa Riana sudah menikah?"
"Kamu ngomong apa sih? Memangnya kenapa kalau Riana udah nikah? Kamu nggak suka lihat Riana udah muvon dari kamu?"
"Berarti bener? Dia udah nikah?"
Sena terdiam. Mencoba berpikir. Kalau dia mengatakan Riana belum menikah, Sena khawatir Jo ada intensi mengajak Riana balikan. Padahal, setahu Sena, Jo sudah dijodohkan dan menikah dengan anak kolega orang tuanya di Jakarta. Akan jadi buruk jika Riana, sahabatnya yang polos itu, menerima lagi perasaan Jo dan nanti dilabeli sebagai pelakor. Sudah cukup sekali dirinya melihat Riana menangis berbulan-bulan seperti orang gila saat pertunangan Riana dengan Jo gagal.
"Iya. Dia udah nikah," jawab Sena tegas.
"Tapi kamu tadi bilang kalau dia belum menikah?"
" Aku salah denger tadi. Sinyal di gedung ini jelek. Kalau nggak telepon kabel, susah tembusnya. Sering putus-putus."
"Sama siapa nikahnya? Suaminya kerja di mana? Riana udah punya anak?"
"Apa sih Jo? Ngebet banget pengen tau soal Riana?! Emangnya kenapa? Kamu mau nikahin Riana?"
"Iya. Aku mau balikan lagi sama dia," jawab Jo tegas.
"GILA!" kata itu langsung mencelos di bibir Sena. Bagaimana mungkin laki-laki begitu yakin berkata seperti itu. Bahkan, nggak mengedipkan matanya sedikit pun. Gila! Jonathan sudah gila!
BAB 9
"Kurang ajar kamu!" Sena langsung mengambil gelas cappucino-nya yang baru saja datang dan mengguyurkannya ke muka Jo.
Jo memejamkan mata sesaat. Wajahnya masam mendapat perlakuan seperti itu dari Sena. Namun, dia tak bisa membalas Sena. Dia masih butuh informasi dari Sena seputar Riana.
"Sudah puas kan? Sekarang jawab pertanyaanku Sena. Siapa suami Riana?"
"Fuck off!" Sena berdiri dan meninggalkan Jo.
Arrrgh!" Jo memukul meja penuh rasa frustasi.
Sena langsung berlari ke tempat parkiran. Dia menyetir mobilnya menuju rumah Riana. Perasaannya cukup tak enak juga mendengar berulang kali pertanyaan Jo yang menyinggung pernikahan Riana.
"Si Riana kenapa lagi sih?! Bisa-bisanya ketemu sama Jo! Mana Jo-nya gila kayak gitu?! Hah!" omel Sena sambil terus melajukan mobilnya.
Sena mengambil jalan pintas. Jam sore seperti ini biasanya jalanan Bandung sedang macet-macetnya orang pulang kerja. Walau begitu, tetap saja butuh waktu setengah jam lebih bagi Sena agar bisa sampai di rumah Riana di daerah Gegerkalong.
"Kok sepi? Belum pulang apa ya?" Sena memarkirkan mobilnya tepat di bawah pohon mangga depan rumah Riana.
Rumah tua itu sering jadi tempat singgah Sena waktu masih kuliah. Sena suka sekali menghabiskan waktu di sana untuk berguling-guling atau tiduran. Apalagi rumah Riana selalu tetap sejuk walau musim panas. Sangat cocok untuk beristirahat.
Langkah Sena berhenti di depan rumah Riana. Alis Sena naik. Pintu rumah Riana terbuka sedikit. Sena menelan ludah sambil masuk ke dalam rumah. Bulu kuduknya berdiri melihat kondisi rumah Riana yang carut marut. Dengan hati-hati dia menyalakan saklar ruang tamu. Kekacauan dalam kegelapan itu semakin tampak nyata setelah disorot oleh cahaya lampu.
"Ri? Ri? Kamu di rumah kan?" Sena mengendap-endap lebih waspada. Berharap semoga tak ada maling atau begal di rumah Riana.
Langkahnya bergerak hati-hati melihat sekitar. Tak ada siapapun. Bahkan, dirinya tak melihat bayangan Riana walau sekelebatan saja.
Sena terduduk di kursi kamar Riana. Memandangi kamar Riana yang berantakan. Tangannya mengeluarkan hape dari tas dan menekan nomor Riana.
Nada dering berupa lagu Stars milik Adam Levine vocalis Maroon Five itu mengalun dari bawah selimut. Ya, hape Riana tergeletak di sana. Sena mematikan hapenya.
"Ke mana dia?" Sena berdecak sambil menggigit bibir bawahnya.
*************************
"Ma, ini surat dari sekolah," Rafa memberikan surat undangan untuk pertemuan besok.
Bocah itu langsung naik di paha Riana usai melepas tasnya. Wajahnya tampak kelelahan.
"Capek?"
"Iya. Habis olahraga. Tadi disuruh lari-lari. Ini capek Ma," Rafa menunjukkan betis kakinya.
"Sini ... Sini…. Mama pijit," tangan Riana mulai memijat betis Rafa. Wajah Rafa tampak lega menikmati pijatan Riana. Masih memijat Rafa, Riana memicingkan mata saat melihat keluar jendela.
"Lhoh? Joni! Kok nggak ke arah rumah? Mau ke mana?"
"Kata Bos, sekarang waktunya belanja bulanan. Bos udah nunggu di mall."
"Yeeeeiy! Belanja bulanan!" Rafa langsung bangun dari posisi rebahannya. Bocah itu berteriak senang ketika mobil yang mereka tumpangi masuk ke area parkiran PVJ Mall.
"Rafa mau ramen! Marugame!" bocah itu langsung berlari memasuki area mall. Riana ikut mengejar dari belakang. Meninggalkan Joni yang masih di dalam mobil.
"Ramen!" Rafa sudah berbaris di tempat antrian. Riana merasa bingung. Selain tak membawa uang, dirinya juga tak punya hape. Belum lagi David atau Joni tidak ada.
"Rafa, kita tunggu Om Joni dulu ya? Hmm?" bujuk Riana.
"Rafa udah laper, Ma. Antri dulu. Nanti juga nyusul Om Joni," Rafa masih tak mau keluar dari antrian. Sementara itu, barisan antrian muda mudi pecinta ramen populer ini semakin bertambah di belakang Rafa.
Ah! Gimana nih?! Riana menggigit jari. Kepalanya celingukan. Berharap Joni segera muncul. Keringat dingin mulai bermunculan di dahi Riana.
Ah! Itu dia! Mata Riana menangkap bayangan tubuh David sedang berjalan sendirian.
"DAVID! SINI! DI SINI DAVID!" teriak Riana tak tahu malu. Kedua tangannya melambai-lambai agar David menyadari keberadaannya. Tak dipedulikannya tatapan orang yang tertuju padanya. Daripada dirinya malu dianggap tak bisa bayar makanan. Lebih baik dia malu karena sok akrab memanggil orang.
David yang mendengar panggilan Riana segera berlari mendekat. Laki-laki itu tampak lebih kasual dengan celana jeans dan kaos putih yang dibalut kemeja flanel.
"Ayo, Om, antri! Rafa udah laper nih!" cicit Rafa pada David.
"Iya. Iya," David hendak berjalan kembali ke antrian terakhir. Namun, tangan Riana mencegahnya.
"Di sini aja. Kamu antri gantiin aku," ujar Riana.
"Kamu nggak mau makan juga?"
"Mau sih," Riana terdiam lalu memberanikan diri berbisik di telinga David," Tapi aku kan miskin. Nggak ada uang. Belum dapat gaji dari kamu. Gimana belinya?"
Hampir saja tawa David lepas mendengar bisikan polos Riana. David mengulum bibirnya. Berusaha mengendalikan diri agar tak tertawa.
"Kamu mau makan apa?"
"Apa saja. Asal enak dan murah."
"Kamu duduk aja sana. Aku di sini sama Rafa."
"Di dalam atau di luar?"
"Luar saja. Di sana," David menunjuk spot kosong yang ada di luar dekat jendela," Bawa Rafa juga."
Riana mengangguk lalu menggiring Rafa duduk. Rafa pun menurut saja. Kini hanya David yang ada di tempat antrian.
Sambil menunggu, Riana hanya melihat-lihat orang lalu lalang di mall. Biasanya dia sering nonton film sendirian di sini. Terkadang juga bermain berdua dengan Sena, sahabatnya sejak kuliah.
"Haaah, gimana kabar Sena ya sekarang? Moga aja dia nggak iseng ke rumahku," gumam Riana setengah berharap.
Tak berapa lama David sudah datang dengan nampan berisi tiga buah ramen dan piring tiga piring kecil penuh dengan kudapan tambahan seperti telor omega goreng, udang, dan aneka tempura.
"Minumnya kalau mau tambah tinggal refill saja," beritahu David sambil membagikan mangkok ramen.
Asap dan aroma ramen mengepul begitu kencang. Membuat perut Riana sangat keroncongan. Tak Riana sangka akan bisa menikmati ramen enak ini di saat dirinya sedang banyak hutang.
Dengan lahap Riana menikmati ramen itu. Diam-diam ekor mata David memperhatikan gerak gerik Riana. Senyuman tersungging di ujung bibirnya melihat kelahapan Riana.
"Hmm? Kenapa?" Riana tersadar kalau David memperhatikannya.
"Hum?" Kedua bola mata David membesar. Kaget juga karena tertangkap basah oleh Riana.
"Umm, kamu nggak suka lihat orang makan kayak aku ya?" Riana mengelap mulutnya dengan situ. Ya, sebagian besar laki-laki kadang ilfeel jika melihat perempuan makan dengan rakus seperti yang dilakukan Riana saat ini.
"Nggak. Aku hanya mau menawarimu. Kalau mau tambah," jawab David.
Riana terdiam. Haruskah aku menerima tawaran itu? Sebenarnya dia masih bisa makan satu atau dua porsi ramen lagi.
"Boleh?"
"Kalau kamu mau. Pakai ini saja," David memberikan tiga lembar uang seratus ribuan ke Riana. "Pesan sesukamu. Sekalian pesankan Rafa juga."
Riana melongo sesaat. Buru-buru dia mengatupkan mulutnya sambil mengambil uang itu. David ini sangat loyal ya?
"Rafa, mau tambah lagi?"
"Mau! Mau!" teriak Rafa penuh semangat.
"Mama antri ya? Kamu mau pesan apa?"
"Sama kayak Mama," sahut bocah itu dengan mulut masih penuh ebi tempura.
Riana bangkit dari duduknya. Mulai berjalan menuju antrian lagi.
"Bentar,"' David memegang tangan kiri Riana.
"Iya," Riana menoleh. Di saat itulah tangan David mengusap bagian bawah bibir Riana dengan tisu. Sesaat jantung Riana berdesir dan desiran itu menguat saat pandangannya bertatapan dengan mata David.
BAB 10
Riana bisa merasakan hatinya berdesir tak karuan saat pandangannya bertemu dengan mata David. Sepasang bola mata gelap itu sesaat membuat Riana terhanyut. Segera Riana mengedipkan matanya.
"Hmm, makasih," Riana ikut mengusap bawah bibirnya dengan telapak tangan agar tak kelihatan grogi. Buru-buru dia kabur dari pandangan David menuju antrian.
Gila! batin Riana. Rasanya kedua pipinya memanas untuk beberapa saat. Tenang Riana. Kamu cuma kaget aja.
"Teh, maju, Teh," pembeli lain yang ada di belakang Riana membuyarkan usaha Riana menenangkan diri.
"Oh, iya. Maaf," Riana buru-buru bergerak maju. Detak jantungnya yang tak beraturan membuatnya susah berkonsentrasi.
Untungnya, Riana tak melakukan kesalahan fatal seperti menumpahkan mangkok ramen atau menabrak pembeli lain. Riana bersyukur dirinya masih aman sampai kembali ke tempat duduk dengan ramen pesanannya.
Saat akan mengambilkan mangkok ramen untuk Rafa, tangannya bersentuhan David yang ternyata berniatan sama dengannya. Sentuhan berbeda. Tapi memunculkan desiran yang sama di jantung hati Riana.
"Oh, maaf," buru-buru Riana menarik tangannya. Membiarkan David yang mengambilkan mangkok ramen itu untuk Rafa.
"Ini untukmu," David juga mengambilkan mangkok ramen dari nampan ke meja Riana.
Laki-laki itu dengan sigap mengambil tiga gelas minum di atas meja yang sudah kosong.
"Om, Rafa mau yang manis. Sama air putih."
"Kamu mau apa?" David menatap Riana.
"Oh, hmm, sama dengan Rafa," jawab Riana kikuk.
David langsung beranjak mengambilkan minuman untuk mereka. Riana langsung menghembuskan napas panjang saat David sudah tak ada di hadapannya.
"Mama kenapa? Nggak suka mi-nya?" Rafa menatap heran Riana.
"Oh, nggak kok. Mama suka banget. Nih lihat. Mama makan banyak," Riana langsung menyumpit mi yang masih mengepulkan asap di mangkoknya. Ya, lebih baik sekarang fokus makan aja. Perut kenyang bisa bikin hati tenang, pikir Riana.
Akhirnya makan siang mereka selesai juga. David menggendong Rafa sambil berjalan mengelilingi mall. Riana mengikuti dari belakang. Ya, sebagai pembantu, Riana cukup tahu diri tidak berjalan di samping bosnya. Walaupun dari segi usia mungkin Riana sebelas dua belas dengan David.
"Ma! Jangan kejauhan! Sini di samping, Om!" pinta Rafa dari gendongan David. Belum sempat Riana membalas permintaan Rafa, David sudah mendekatinya lalu menggandeng tangannya.
"Eh?"
'DIAM'. Itulah gerakan mulut tanpa suara yang bisa ditangkap Riana dari bibir David. Riana pun menunduk. Mau tak mau menuruti saja ucapan David. Membiarkan laki-laki itu menggandengnya sesuka hati.
"Om, nonton film dulu yok? Rafa pengen nonton Frozen. Temen-temen ngomongin itu terus. Katanya bagus. Mau lihat Elsa!" pinta Rafa.
Ah, iya sih. Bocah kecil pasti suka film macam itu. Apalagi memang lagi hype filmnya.
"Kita bisa nonton di CGV," celetuk Riana otomatis.
"Oke," David pun mengiyakan tanpa berpikir panjang.
Jadilah mereka bertiga sudah nangkring dengan nyamannya menonton film Frozen 2 di CGV. Sangat beruntung menonton film di hari kerja seperti ini. Selain biayanya tak setinggi saat weekend. Tentu jumlah penontonnya sedikit.
Rafa memilih tempat duduk di antara David dan Riana. Ditemani popcorn manis ukuran jumbo dan soda, mereka bertiga menikmati kisah petualangan Elsa dan adiknya mencari misteri suara-suara misterius yang menghantui Elsa di sebuah hutan rahasia yang penuh keajaiban.
Tak hanya Rafa yang menikmati film itu. Riana juga terhanyut. Apalagi visual dan musikalisasi film Frozen 2 ini jauh lebih bagus dan memanjakan dibanding film Frozen yang pertama. Belum lagi tingkah jenaka Olaf yang selalu berhasil membuat Riana tertawa keras. Mengalihkan sejenak beban pikiran Riana atas hutang besar yang harus dilunasinya.
David hanya diam. Masih memperhatikan Riana. Hatinya cukup lega, perempuan yang sudah lama dicarinya itu mulai menikmati kehidupan bersama dirinya.
Ini bukan pertama kalinya bagi David bertemu dengan Riana. Jauh lama sebelumnya, dia sudah pernah bertemu dengan Riana. Tentu dengan sebuah kenangan yang membekas di hati David. Sayangnya, Riana sepertinya sudah melupakan hal itu.
******************
Sepulang liputan profil seorang desainer busana muda ternama di daerah Tamansari, Sena langsung mengebut menuju tempat kerja Riana. Dia berniat menemui sahabatnya itu. Mengecek apa sahabatnya memang masih melakukan aktivitas seperti biasa atau tidak.
Ya, memang kemarin Sena berpikir untuk melaporkan hilangnya Riana ke kepolisian. Namun, saat mengunjungi ibu Riana di rumah sakit, dia tahu Riana baik-baik saja. Ya, ibu Riana tampak santai menceritakan Riana dan seorang bocah kecil bernama Rafa yang kata ibu Riana adalah anak bos Riana.
"Ini bocah emang lagi aneh sih. Tapi telusuri dulu aja deh sampai ketemu," putus Sena.
Sayangnya, lagi-lagi usaha Sena gagal. Kepala HRD dan produser tim Riana mengatakan sudah lama Riana tidak masuk kerja. Mereka mengatakan mungkin Riana sudah resign dan menyayangkan cara Riana resign yang tanpa kabar seperti itu.
"Aaargh! Ini bocah kemana sih?!" Sena jadi memukul-mukul setir mobilnya yang tak bersalah apa-apa.
"Apa aku harus tungguin dia di rumah sakit ya?," Sena terdiam sejenak," Tapi ada kemungkinan ketemu Jo lagi. Soalnya suster yang ngerawat ibu Riana bilang kalau Jo itu dokter baru yang bertugas nanganin ibu Riana."
……
"Whatever-lah! Yang penting ketemu si bocah aneh itu dulu! Interogasinya bisa nanti-nanti!" Sena langsung menyalakan mesin mobilnya. Bergegas ke rumah sakit.
*******************
"Loh? Popcornku kok nggak ada?" gumam Riana. Sejenak saat menoleh, ternyata Rafa sudah mengambil jatah popcornnya dan memeluk erat di dada.
Duh, emang ya bocah. Kalau jatahnya habis, langsung ambil punya orang. Riana geleng-geleng sendiri melihat tiga buah tempat popcorn ada di tangan Rafa semua. Tiga buah. Punyanya, punya David, dan tentu punya Rafa.
Perlahan Riana mulai mengambil popcorn jatahnya. Di saat yang sama, David melakukan hal yang serupa. Jemari mereka berdua pun saling berdesakan di wadah yang sama.
Duh! Kok kayak gini lagi sih?! batin Riana.
"Kamu ambil duluan aja," David langsung menarik jarinya keluar dari tempat popcorn. Mempersilakan Riana mengambil popcorn sepuasnya. Baru setelah itu, David yang mengambil popcorn.
Jantung Riana yang dari tadi sudah tenang, kembali berdetak kencang. Sambil mengunyah popcorn, sesekali Riana melirik ke samping. David tampak tenang menikmati film Frozen 2 seperti Rafa.
Duh, kenapa sih jantungku jadi nggak jelas gini? Masa' iya, penyakit jantung ibu mulai nurun ke aku? batin Riana gelisah. Tangan kirinya masih memegangi dadanya. Berharap detak jantung kembali normal lagi.
Akhirnya, film Frozen 2 yang mereka tonton selesai juga. Walau sempat terbagi fokus di pertengahan film, Riana puas bisa menamatkan film itu. Sebagai pecinta film, Riana sangat menikmati ending Frozen 2 yang selalu hangat.
"Rafa mau punya adik juga," celetuk Rafa girang sambil menggandeng Riana.
"Ma, nanti kalau Papa pulang, bilang ya? Kalau Rafa mau adik. Kayak Anna di Frozen 2. Biar bisa Rafa ajak berpetualang. Ya?"
Riana mematung. Tak menyangka Rafa akan mengajukan permintaan semacam itu pada dirinya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
